
Pemikiran Ken Robinson
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Pendidikan kita di Indonesia memang dipenuhi dengan mitos, yakni pemahaman yang salah atas kenyataan kehidupan. Pertama, anak-anak berlomba untuk masuk jurusan IPA, atau ilmu alam, walaupun mereka tidak memiliki ketertarikan, apalagi bakat, dalam bidang itu. Tentu saja, pendidikan ilmu-ilmu alam amatlah penting. Akan tetapi, jelas, pendidikan semacam itu tidak cukup, karena hidup jauh lebih kaya dan rumit, daripada sekedar fakta-fakta matematis alamiah yang menjadi kajian ilmu-ilmu alam.
Sebaliknya, pendidikan perlu memberi kesempatan yang secukupnya untuk pelbagai bidang-bidang kehidupan lainnya yang juga amat penting, mulai dengan seni sampai dengan pendidikan olah raga. Ilmu pengetahuan adalah dunia yang amat luas dan kaya. Semuanya perlu diperkenalkan (bukan dikuasai!) kepada peserta didik, lalu mereka bisa memilih, bidang apa yang menjadi panggilan hidup mereka. Mitos, bahwa pendidikan ilmu-ilmu alam (bukan ilmu pasti, karena tidak ada ilmu pasti. Kalau itu pasti, maka itu pasti bukan ilmu, melainkan permainan saja) itu lebih tinggi, jelas harus ditinggalkan.
Metode Pendidikan
Kedua adalah soal metode, atau gaya mengajar, atau gaya penyampaian materi ajar. Peserta didik, terutama anak-anak, adalah mahluk yang amat dinamis. Tidak mungkin mereka diajak duduk berjam-jam, terkurung dalam ruang kelas yang seringkali tidak nyaman, dan melakukan pekerjaan yang hampir tidak membutuhkan kegiatan fisik apapun (hanya duduk dan menulis). Tak heran, banyak anak tak suka belajar, karena metode mengajar di kelas sama sekali tidak cocok dengan keadaan psikologis maupun fisik mereka. Mereka menjadi mahluk yang terasing di dalam dunia pendidikan.
Jika anak tidak bisa belajar, orang tua pun datang ke psikolog atau pakar pendidikan untuk bertanya. Banyak dari “para ahli” tersebut yang memberikan analisis, bahwa anak mengalami ADHD (Attention Deficit Disorder), yakni ketidakmampuan untuk berkonsentrasi penuh untuk melakukan satu kegiatan. Tentu saja, gangguan semacam ini ada, tetapi jelas tidak menjadi penjelasan yang umum. Pada umumnya, anak memang sangat dinamis, maka ketika dipaksa melakukan kegiatan yang sangat membosankan (seperti belajar di kelas dengan metode lama), jelas mereka tidak akan bisa berkonsentrasi!
Ilmu pengetahuan berkembang dari pemikiran filosofis yang lahir di Yunani Kuno. Dalam arti ini, ciri khas filsafat Yunani dibandingkan dengan filsafat lainnya (misalnya seperti di Cina dan Timur Tengah) adalah penekanan yang luar biasa kuat pada kemampuan akal budi manusia untuk memahami alam. Namun, akal budi tidak akan berguna, jika orang-orang di Yunani Kuno tidak memiliki motivasi sebagai daya dorongnya. Dalam konteks ini, motivasi tersebut adalah rasa penasaran.
“Jika anda bisa membangkitkan rasa penasaran di dalam diri anak,” demikian kata Ken Robinson, pakar pendidikan asal Inggris, “mereka akan terus belajar tanpa perlu pendampingan.” Saya sangat setuju dengan pendapat ini. Anak kecil adalah filsuf alamiah, yang selalu penasaran dan terdorong untuk ingin tahu. Rasa penasaran adalah titik awal dari segala bentuk pemikiran dan ide-ide yang mengubah dunia.
Peran Guru
Guru, tentu saja, punya peran sangat besar di dalam membangkitkan rasa penasaran di dalam diri anak. Oleh karena itu, guru harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah dan masyarakat, supaya mereka bisa mengembangkan dirinya semaksimal mungkin. Inilah kesalahan kita juga di dunia pendidikan Indonesia. Masih segar di kepala saya, bagaimana guru sering disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”: slogan yang sebenarnya menutupi kemalasan pemerintah dan masyarakat untuk menghargai guru sepenuhnya!
Para guru juga harus ingat, bahwa mengajar itu bukanlah kegiatan mekanis (hanya menghafal dan mengulang hasil hafalan), tetapi juga merupakan proses mencipta: proses kreatif. Proses belajar bukan hanya proses menyerap informasi (ini yang seringkali terjadi di Indonesia, walaupun sudah banyak dikritik!), tetapi proses untuk terlibat, terprovokasi secara pemikiran, dan proses mencipta! Inilah yang disebut dengan belajar, dan belajar merupakan esensi dari pendidikan.
Peran utama guru adalah membantu orang (anak) untuk belajar. Namun, sejauh saya amati, pendidikan kita di Indonesia tidak mengajak orang untuk belajar, melainkan untuk ujian! Ya, ujian! Orang sekolah bukan untuk belajar, tetapi untuk lulus ujian! Tentu saja, ujian tetap perlu, tetapi bukan sebagai yang utama (apalagi tujuan) dari pendidikan. Ujian dibuat untuk membantu pendidikan, dan bukan pendidikan justru untuk ujian. Kita berpikir terbalik!
Ketika pendidikan disempitkan menjadi semata soal ujian, maka kita membangun kultur kemalasan berpikir: kultur patuh seperti robot. Pendidikan menjadi soal menghitung angka dan membuat persamaan matematis, sementara imajinasi dan rasa penasaran, yang merupakan esensi pendidikan, justru ditindas atas nama keseragaman berpikir. Pola ini (ujian sebagai unsur utama pendidikan) membunuh kreativitas manusia. Padahal, manusia adalah mahluk yang kreatif, yakni mahluk yang gemar mencipta. Dalam arti ini, pendidikan justru membunuh manusia!
Manusia Kreatif
Robinson juga berulang kali menegaskan, bahwa manusia adalah mahluk yang dari dirinya sendiri gemar mencipta. Ia adalah mahluk kreatif. Kita sebagai manusia juga adalah mahluk yang unik. Tidak ada orang yang riwayat hidupnya identik, walaupun mereka kembar identik. Ini juga penyebab, mengapa begitu banyak kebudayaan yang begitu beragam dan kaya di berbagai penjuru dunia ini.
“Kita (manusia)”, demikian kata Robinson, “menciptakan hidup kita sendiri melalui proses imajinasi terus-menerus atas berbagai alternatif dan kemungkinan, dan salah satu peran penting pendidikan adalah untuk membangkitkan dan menghidupkan kekuatan-kekuatan ini, kreativitas.” Pendidikan adalah proses untuk menciptakan kemungkinan baru bagi setiap peserta didik. Maka dari itu, pendidikan perlu untuk mengasah imajinasi, dan bukan hanya soal menghafal, mengulang, apalagi hanya soal lulus tes!
Di Indonesia, kementerian pendidikan mengatur hampir semuanya. Inilah gaya berpikir sentralistik yang diwarisi dari rezim Orde Baru. Jakarta, dengan jajaran birokrasinya, mengatur semua hal terkait dengan pendidikan. Mereka merasa tahu banyak hal, walaupun ternyata banyak yang salah. Banyak kebijakan dibuat tanpa persetujuan pihak-pihak terkait, sehingga kebijakan tersebut dianggap semata sebagai paksaan, dan kemudian akhirnya gagal total.
Pendidikan adalah dunia manusia, bukan mesin. Tidak bisa satu kebijakan dari pusat dibuat sama rata ke seluruh Indonesia yang latar belakang budayanya amat beragam! Ini cara berpikir pabrik yang sama sekali tidak cocok dengan dunia pendidikan. Cara berpikir mekanis-teknis-birokratis para birokrat pendidikanlah yang justru menghancurkan pendidikan Indonesia.
Tak bisa disangkal lagi, kita perlu menata ulang seluruh paradigma dan sistem pendidikan di Indonesia, mulai dari metode mengajar, upah guru, kebijakan terkait dengan segala bentuk ujian, sampai dengan peralatan teknis pendidikan berupa gedung dan segala kebutuhan lainnya. Kapan kira-kira seluruh proses ini dimulai? Setelah pemilu 2014 nanti? Hmm…
Diinspirasikan dari Presentasi Ken Robinson dalam forum TED (Technology Education and Design) dengan judul How to Escape Educations’s Death Valley Mei 2013.
Maka dari itu saya lebih becik (baik) berotodidak, Pak… 🙂
SukaSuka
Saya sepakat dengan tulisan bapak ini. Terkadang saya bertanya-tanya ketika duduk d bangku SMA dulu
tentang tujaun pendidikan d sekolah. Utamanya ketika UN berlangsung, seakan-akan itulah tujuan utama menimba ilmu bertahun-tahun, demi selembar kertas soal dan untuk mendapat hasil bagus segala cara pun ditempuh.
SukaSuka
hehehe.. otodidak bagus. tetapi belajar bersama juga bagus.. memang tidak boleh terlalu ekstrem
SukaSuka
ya.. itu masalah kita.. kita memang butuh sistem dan paradigma baru
SukaSuka
Pak Reza, boleh saya copas tulisan Bapak ini ke blog saya? saya akan cantumkan sumbernya Pak …
SukaSuka
Silahkan.. semoga berguna
SukaSuka