Publikasi Terbaru: Otak dan Identitas, Kajian Filsafat dan Neurosains

Making Heads Turn -
Photographs Courtesy EMnXW

Oleh Reza A.A Wattimena

Diterbitkan di

The Ary Suta Center Series on Strategic Management

Januari 2021 Volume 52

Tubuh manusia adalah benda yang kompleks. Ia memiliki berbagai sistem yang saling terkait satu sama lain. Namun, ada satu organ yang memiliki peran istimewa. Organ itu adalah otak. Perannya amat penting, yakni melakukan koordinasi fungsi dengan seluruh sistem lainnya di dalam tubuh, sekaligus sebagai gudang ingatan.

            Karena terkait dengan ingatan, otak juga membentuk identitas, atau jati diri, manusia. Ego adalah ciptaan dari ingatan. Tanpa ingatan, tubuh manusia, sekaligus identitas, mengalir tanpa henti di sungai perubahan. Ingatan yang membuat manusia menjadi seorang pribadi. Bagaimana memahami kaitan antara otak, ingatan dan identitas pada diri manusia ini?

Versi lengkap klik disini Jurnal Reza, Otak dan Identitas

Ambisi dan Identitas

Pablo Picasso

Oleh Reza A.A Wattimena

            Marcus Aurelius, pemikir Stoa yang sekaligus adalah Kaisar Romawi, pernah menulis, “Nilai seorang manusia tidaklah lebih dari nilai ambisinya.” Sebagaimana diungkap oleh Neel Burton, ambisi berasal dari kata ambitio yang berarti “berkeliling untuk mencari dukungan”. Kata ini kemudian bisa dipahami sebagai upaya untuk mencapai kehormatan dan pengakuan dari masyarakat luas. (Burton, 2014)  

            Kata ambisi juga melibatkan dua hal. Pertama, ia melibatkan dorongan dari dalam diri seseorang untuk mencapai sesuatu yang ia pandang sebagai berharga. Dua, dorongan ini juga melibatkan kemampuan untuk terus berusaha, walaupun tantangan dan kegagalan terus mengancam. Tujuan untuk dari orang-orang yang ambisius adalah mencapai pengakuan dari masyarakat, baik dalam bentuk kekuasaan, uang maupun nama besar. Lanjutkan membaca Ambisi dan Identitas

Ada dan Hibrida

WallHere

Oleh Reza A.A Wattimena

Dalam salah satu acara untuk masyarakat luas di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) minggu lalu, saya mendengarkan satu ide yang amat menarik dari Komaruddin Hidayat, salah satu pemikir publik terbesar di Indonesia saat ini. Ia berkata, bahwa generasi sekarang adalah generasi hibrida (bercampur aduk). Latar belakang orang tua datang dari beragam suku dan ras. Ini membuat identitas etnis dan ras menjadi begitu cair di Indonesia sekarang ini.

Pernyataan itu langsung menyentil diri saya. Saya memang hibrida, baik dari segi fisik maupun pemikiran. Kedua orang tua saya adalah kumpulan dari beragan suku, etnis dan ras. Ayah saya keturunan Ambon, Belanda, Portugis dan Batak, mungkin masih ada yang lainnya. Sementara, ibu saya keturunan Cina, Padang dan sedikit percikan Jawa Surabaya. Akhirnya, lahirlah manusia yang berambut keriting, bermata sipit, dan berbadan besar. Lanjutkan membaca Ada dan Hibrida

Supir Taksi, Globalisasi dan Pencarian Identitas yang Sejati

c7b642992c734bfb5769ac8103d1ece0
4por4.pt

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Penulis dan Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat Muenchen Jerman

Apa hubungan antara demo supir taksi di Jakarta pada 22 Maret 2016 lalu dengan globalisasi? Sekilas, kita tidak bisa melihat hubungan langsung. Namun, jika ditelaah lebih dalam, hubungannya langsung tampak: perkembangan informasi dan teknologi dari negara lain kini memasuki Indonesia, dan mempengaruhi industri transportasi di Jakarta. Pendek kata, para supir taksi itu merasa dirugikan oleh perkembangan industri informasi dan komunikasi yang mengurangi penghasilan mereka per harinya. Siapapun yang diancam mata pencahariannya pasti akan bergerak protes. Sayangnya, ini seringkali berakhir pada kekerasan yang tidak menguntungkan siapapun.

Ini juga terjadi, karena globalisasi, yang salah satunya ditandai dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi, masih belum mencapai titik rekonsiliasi. Artinya, globalisasi masih menghasilkan ketimpangan di berbagai bidang yang juga melahirkan berbagai kemungkinan konflik. Namun, ini janganlah dilihat sebagai titik final. Globalisasi masih mungkin berubah, dan itu semua amat tergantung dari para aktor globalisasi yang adalah manusia-manusia juga. Tulisan ini ingin menawarkan sebuah model di dalam memandang globalisasi dalam konteks Indonesia, yakni globalisasi sebagai rekonsiliasi. Di dalam rekonsiliasi ini, semua aspek kehidupan manusia, mulai dari politik, agama, pendidikan sampai dengan budaya, menemukan titik seimbangnya yang bersifat dinamis. Titik seimbang yang dinamis memungkinkan terciptanya keadilan dan kemakmuran untuk masyarakat Indonesia. Lanjutkan membaca Supir Taksi, Globalisasi dan Pencarian Identitas yang Sejati

Membangun Jiwa, Membangun Bangsa

backpocketcoo.com
backpocketcoo.com

Sebuah Tawaran Filsafat Politik

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik, Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

 

Di tengah beragam kasus korupsi yang menghantam berbagai pejabat politik kita, dan masalah kemiskinan serta kebodohan yang tetap menjadi musuh utama kita, pertanyaan terbesar yang tetap menunggu bangsa ini adalah, bagaimana kita bisa membangun kultur, dan dengan demikian membangun bangsa kita? Ini tetap pertanyaan dengan sejuta misteri, namun tetap tak akan pernah kehilangan arti pentingnya. Jawaban atas pertanyaan ini selalu terkait dengan dua unsur dasariah setiap manusia, yakni jiwa dan tubuh yang saling berpaut, tanpa terpisahkan. Artinya, seperti juga manusia, setiap bangsa memiliki jiwa dan tubuh yang tak bisa dipisahkan.

Jiwa sebuah Bangsa

Secara normatif, dua aspek ini harus dibangun berbarengan. Namun, tetap yang perlu menjadi perhatian utama adalah jiwa dari sebuah bangsa. Kata “jiwa” (Geist) memang abstrak, tetapi memainkan peranan penting di dalam membentuk dan menegaskan identitas nasional sebuah bangsa. Tanpa identitas nasional yang kokoh, sebuah bangsa akan terus digoyang oleh konflik antar warganya, dan sulit untuk bekerja sama membentuk sebuah masyarakat yang adil dan makmur. Tanpa identitas nasional yang mantap, sebuah bangsa akan pecah dan hancur ditelan berbagai krisis, dan akhirnya lenyap dari muka bumi. Lanjutkan membaca Membangun Jiwa, Membangun Bangsa

Topengku, Topengmu, Topeng Kita Semua

Topengku, Topengmu, Topeng Kita Semua

 

Konon, Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat legendaris yang mempelopori penghapusan perbudakan dari bumi Amerika Serikat, adalah seorang pemalu. Dalam kosa kata sekarang, ia adalah seorang yang kuper, alias kurang pergaulan.

 

Ia sering mengurung diri di dalam kamarnya, membaca buku apapun, berkutat dengan proyek sainsnya yang belum jelas akan jadi apa. Teman-temannya pun tidak banyak.

 

Akan tetapi, ketika ia melihat ada sesuatu yang tidak beres, baik tentang orang lain ataupun tentang dirinya sendiri, ia bisa langsung berubah menjadi galak, tegas, dan tidak kompromi. Ia juga terkenal sangat ambisius. Ia dapat berubah sekejap mata, 180 derajat, menjadi sosok yang sama sekali berbeda.

 

Mungkin karakter itulah yang membuat ia sukses menjadi politisi, dan menjadi salah satu presiden terbesar di dalam sejarah Amerika Serikat. Kita tidak pernah tahu yang mana Lincoln yang asli, bisa sang presiden, bisa juga anak pemalu kuper yang hampir tidak punya teman itu.

 

Ibu Dewi, seorang penari Topeng asal Cirebon, tampak langsung berubah, ketika ia mengenakan topengnya untuk mementaskan tarian Topeng yang telah digelutinya seumur hidupnya. Ia tampak langsung menghayati peran yang diberikan padanya, yakni peran yang tampak pada topengnya.

 

Sekejap mata, ia langsung ‘meraga’ menyatu bersama topengnya. Walaupun ia sudah tua, ia tampak langsung berubah menjadi muda, bertenaga, dan bahkan menghentak-hentak, seperti layaknya kuda gila (Ajidarma, 1997).

 

Tentu saja, hal tersebut hanya sementara, karena begitu ia melepas topengnya, ia kembali menjadi ibu Dewi yang semula, yakni yang sudah tua, bijaksana, dan lembut. Begitu topengnya dibuka, sang penari topeng langsung menjadi dirinya sendiri.

 

Tapi, masalahnya bukan itu saja.

 

Topengku Topengmu

 

Ternyata, setiap orang selalu mengenakan topeng yang dipilih untuk diri mereka sendiri. Cukup tahu saja, ada macam-macam topeng yang bisa dipilih, yakni topeng suami yang baik, istri yang baik, pacar baik, pokoknya apapun yang mereka anggap paling baik dan paling oke untuk diri mereka sendiri.

 

Akan tetapi, apakah diri mereka yang sebenarnya, yang berada di balik topeng?  Tampaknya, kita tidak akan pernah tahu.

 

Bayangkan, setiap orang punya koleksi topeng yang digantungkan di gantungan baju kamarnya. Nah, mereka bisa memilih topeng apa yang mereka gunakan, jika mereka hendak keluar dari kamar.

 

Sekali waktu, ada orang yang memilih memakai topeng buruh pabrik, lain kali ia jadi ketua RT, lain kali ia jadi pemain bulu tangkis. Tidak hanya itu, jika ia bosan, ia bisa kembali ke kamar dan mengganti topengnya. Kekasih yang baik dan mesra pun bisa berubah menjadi bos yang galak dan suka marah-marah.

 

Akan tetapi, di antara sekian banyak topeng yang menggantung nganggur di gantungan bajunya, yang mana yang merupakan wajah aslinya?

 

Memang, dalam hidup sehari-hari, kita tidak melihat topeng, tetapi kita melihat wajah orang-orang yang kita temui. Dengan kata lain, orang-orang selalu tampak bagi kita mengenakan wajah mereka sendiri, dan tidak pernah topeng.

 

Jauh di lubuk hati kita, kita selalu tahu, wajah-wajah yang kita temui itu pada dasarnya hanyalah topeng.

 

Hal ini sebenarnya telah direfleksikan secara mendalam oleh Ellias Canetti, filsuf asal Bulgaria, dalam bukunya yang berjudul Crowds and Power (1984). Baginya, manusia itu, seperti juga ulat dan kupu-kupu, adalah mahluk yang dapat bermetamorfosis.

 

Artinya, manusia adalah mahluk yang terus berubah, yang tidak konsisten akan satu identitas saja, tetapi terfragmentasi dalam lapisan-lapisan dirinya. Kemampuan bermetamorfosis itu menempel erat di dalam lapisan sub humannya, yang membuat manusia tidak banyak berbeda dengan binatang dalam kemampuannya ‘menipu’ musuh.

 

Tentara yang memakai baju yang menyerupai lingkungan sekitarnya untuk mengelabui musuhnya sama seperti bunglon yang selalu beradaptasi dengan warna pijakan yang ditempatinya. Suku-suku pemburu primitif sering menyamakan indentitas diri mereka dengan salah satu binatang pemburu yang mereka kagumi. Harapannya jelas, supaya mereka dapat selincah dan sekuat binatang yang mereka puja-puja.

 

Wajah Beneran atau Topeng Semu

 

Lalu, mungkinkah salah satu dari topeng-topeng, atau dari salah satu wujud metamorfosisnya tersebut, yang digantung di gantungan baju itu adalah wajah kita yang sesungguhnya, yang sejati, yang beneran?

 

Masalah yang lebih dalam lagi, apakah mungkin kita memiliki wajah yang sejati, yang beneran itu tadi?

 

Setiap saat dalam hidup kita, kita selalu diberi peran tertentu. Peran tersebut bisa saja dengan sukarela kita jalani, atau dengan keterpaksaan. Peran itu pun selalu berganti, tidak pernah itu-itu melulu.

 

Seorang direktur perusahaan internasional yang kaya raya, yang terkenal galak di kantornya, bisa berubah menjadi kerbau dicucuk idung di depan anak perempuannya yang masih kecil di rumah. Seorang professor kimia di universitas terkenal bisa tak berdaya dihadapan istri yang sangat dicintainya, yang sebenarnya tidak berpendidikan.

 

Yang pasti, topeng apapun yang kita kenakan, kita harus menjalankan peran dari topeng yang kita kenakan itu, suka ataupun tidak. Yang kasihan, ada orang-orang yang mengenakan topeng tertentu bukan karena keinginannya sendiri, tetapi karena orang lain. Yang begini memang kasihan sekali.

 

Lalu, kapan sesungguhnya orang menjadi diri sendiri? Atau, pertanyaan nakal lainnya, bolehkah seseorang menjadi diri sendiri?

 

Bolehkah seseorang menjadi dirinya sendiri, jika ternyata, keberadaan diri yang beneran itu menggangu dan tidak disukai orang banyak? Memang menyedihkan, jika kita tidak boleh menjadi diri kita sendiri.

 

Seringkali, kita tidak boleh menjadi diri kita sendiri, karena kita akan dianggap menganggu kepentingan suatu mahluk yang disebut MASYARAKAT (Ajidarma, 1997).

 

Saya, dan tentunya anda, pasti sering melihat ada orang-orang yang mengenakan topeng tertentu demi untuk menyenangkan orang lain. Jika ada top 10 chart untuk orang yang paling menderita di muka bumi tercinta ini, orang-orang ini cocok menjadi urutan teratas.

 

Andaikan

 

Saya berandai-andai sendiri di kamar saya yang kecil ini, mungkin, jika kita melepaskan topeng yang kita pakai kemana-mana itu, kita tidak akan menemukan apa-apa di wajah kita. Kita adalah manusia yang bertopeng, tetapi tidak berwajah…

 

Mungkin juga, kita telah salah mengira dengan menjadikan salah satu topeng yang kita pakai sebagai wajah kita sendiri… Apapun itu, seperti yang ditulis Seno Gumira Ajidarma hampir 10 tahun yang lalu, “kalau anda bercermin bung, yakinkanlah diri anda sendiri, bahwa anda tidak sedang mengenakan topeng” (ibid)….

 

Memang, seperti yang dibilang Canetti, metamorfosis itu dapat berlangsung tanpa batas. Batas-batas dari metamorfosis adalah batas-batas imajinasi manusia itu sendiri.

 

Batas-batas topeng, dengan demikian, adalah batas-batas ‘keliaran’ manusia itu sendiri. Jika aku adalah topeng, bukankah berarti topeng itu juga aku?

 

Jangan-jangan, konsep manusia itu sendiri juga merupakan sebuah topeng yang khusus. Ah, bukankah ini menandakan bahwa kita hampir tidak tahu apa-apa tentang diri kita sendiri?

 

Siapakah Anda?

Di bawah kaki orakel Delphi terdapat tulisan menarik, yakni “kenalilah dirimu sendiri”. Ketika anda membaca kalimat tersebut, dan berupaya memahaminya secara sungguh-sungguh, pada titik itulah anda mulai bergelut dengan problem filosofis mengenai identitas.

Problem identitas di dalam filsafat adalah problem yang muncul pada suatu momen, di mana anda bertanya apa artinya, sehingga anda dikatakan sebagai orang yang sama, walaupun telah hidup selama bertahun-tahun, dan telah mengalami macam-macam perubahan. Saya yakin, anda telah mengalami banyak perubahan signifikan, jika dibandingkan dengan anda 20 atau 30 tahun yang lalu. Atau, anda yang jelas telah mengalami perubahan signfiikan, jika dibandingkan dengan anda yang masih bayi.

Anda pasti lebih tinggi, lebih berat, dengan rambut lebih banyak, (atau mungkin lebih sedikit). Anda memiliki pengetahuan tentang bahasa maupun wawasan yang lebih luas. Akan tetapi, walaupun anda berubah, anda tetap berpendapat bahwa anda adalah orang yang sama dengan yang tercantum di dalam akte kelahiran anda bertahun-tahun yang lalu.

Ingatan juga merupakan elemen yang penting di dalam penentuan identitas personal. Saya menduga, kesadaran psikis merupakan faktor kunci untuk menentukan identitas seseorang. Akan tetapi, adakah kesadaran psikis itu? Apakah kesadaran semacam itu sungguh terlepas dari badan? Nah, jika badan manusia dilahirkan, berkembang, menua, dan akhirnya meninggal, apakah yang terjadi kemudian?

Di dalam mitologi Yunani Kuno, ada contoh menarik mengenai hal ini. Judulnya adalah Kapal Theseus, dan ditulis oleh Plutarch.

Theseus dan anak buahnya memiliki kapal laut yang mempunyai tiga puluh dayung. Kapal laut itu sangat besar, dan merupakan kebanggaan bagi orang-orang Athena selama berabad-abad, sampai jaman Demetrius Phalereus. Setelah bertahun-tahun, kapal itu mengalami kerusakan. Orang-orang Athena memutuskan untuk memperbaiki kapal tersebut, sehingga menjadi kapal yang lebih besar dan lebih kuat lagi. Para filsuf di Athena pun mulai bertanya-tanya, walaupun kapal itu tampaknya tetap sama, apakah kapal Theseus kebanggaan Athena tersebut sungguh-sungguh masih merupakan kapal yang sama?

Contoh ini masih menjadi perdebatan para filsuf yang mengkhususkan diri mereka untuk merefleksikan konsep identitas personal. Misalnya, bagaimana jika sebuah bangkai mobil tidak langsung dibuang, tetapi kemudian dirakit kembali untuk menjadi mobil yang baru, apakah mobil itu masih mobil yang sama dengan yang sebelumnya?

Memang, cerita tentang kapal Theseus itu adalah sebuah legenda. Akan tetapi, hal yang kurang lebih memiliki pola yang sama dapat dengan mudah ditemukan di lingkungan anda. Misalnya candi Borobudur yang sudah seringkali mengalami renovasi. Apakah candi Borobudur yang berdiri tersebut masih dapat dianggap sebagai candi Borobudur yang dulu? Jika ya, mengapa? Bukankah candi kebanggaan bangsa Indonesia itu telah mengalami renovasi total, sehingga hampir semuanya telah mengalami pergantian?

Oya, problem identitas personal juga sangat terkait dengan konsep waktu dan konsep perubahan. Banyak filsuf yang merefleksikan tentang apa sesungguhnya hakekat waktu, terutama para filsuf abad pertengahan. Jika anda tertarik untuk lebih jauh mengetahui tentang hal ini, jangan ragu-ragu, ketuklah pintu gerbang filsafat, dan masuklah ke dalamnya! J