
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang di München, Jerman
Politik dunia telah menjadi sedemikian rumit. Untuk menjalankan kebijakan yang sudah jelas tujuan baiknya, seperti pembangunan instalasi air bersih di Somalia dan pengentasan senjata kimia-biologis pemusnah massal di Timur Tengah, kita perlu menjalani beragam diskusi dan sidang yang amat meletihkan. Indonesia pun juga mengalami gejala yang sama. Untuk mengurus dokumen sederhana, kita harus berkeliling kampung, mulai dari RT, RW, Lurah, bahkan sampai dengan camat. Yang jadi masalah, seringkali itu semua dilakukan semata-mata karena aturan buta, bukan karena adalah alasan yang masuk akal, yang bisa kita terima.
Alhasil, kita menjadi malas berurusan dengan administrasi politik. Kita menjadi warga negara yang apatis, yang bersikap masa bodo pada gerak politik di negara kita sendiri. Ironinya, yang membunuh kepedulian politik kita justru adalah mesin administrasi politik yang kita ciptakan sendiri, guna mengembangkan politik. Ini seperti senjata makan tuan saja.
Politik, yang sejatinya bertujuan amat luhur, kini dipersempit hanya menjadi sekedar administrasi belaka. Politik kehilangan maknanya untuk memperkaya hidup kita sebagai warga, dan menjadi semata mesin yang buta dan tak punya perasaan. Ketika Aristoteles lebih dari 2000 tahun yang lalu bilang, bahwa manusia bisa mewujudkan keutuhan dirinya di dalam politik, ia tentu tidak harus ke RT, RW, lurah dan camat untuk mengurus dokumen kecil saja, bukan? Yang salah mungkin bukanlah politik pada dirinya sendiri, tetapi kesalahan berpikir kita semua yang mengubah politik hanya menjadi semata mesin-administrasi-birokrasi semata yang tanpa jiwa. (Habermas, 1981) Lanjutkan membaca Antara Politik dan Desain