
dan “Kesalahan-kesalahan” yang Bijaksana
Oleh Reza A.A Wattimena
Setiap orang pasti ingin menjadi ahli dalam satu bidang tertentu. Ada yang ingin menjadi ahli kesehatan (dokter), ahli mesin (insinyur), ahli politik, ahli pendidikan, ataupun apapun. Namun apa sebenarnya arti kata “ahli”? Seorang ahli fisika ternama, Niels Bohr, pernah menulis begini, “seorang ahli adalah orang yang telah membuat semua kesalahan yang dapat dibuat pada satu bidang yang amat sempit.”
Jadi seorang ahli adalah orang yang telah membuat semua kesalahan pada satu bidang yang amat spesifik. Itulah kiranya pendapat Bohr, dan didukung oleh seorang ahli neuropsikologi, Jonah Lehrer. Jika dipikir lebih jauh, inilah juga inti belajar, yakni membuat kesalahan pada satu bidang, lalu membuat perbaikan, lalu membuat kesalahan lagi. Pendidikan bukanlah seni menghafal, melainkan suatu “kebijaksanaan yang lahir dari kegagalan.” (Lehrer, 2011)
Lehrer kemudian mengutip penelitian yang dilakukan oleh Jason Moser dari Universitas Michigan, Amerika Serikat. Pertanyaan penelitiannya amat sederhana; mengapa ada orang yang sungguh belajar dari kesalahan masa lalu, dan memperbaiki dirinya, sementara yang lain tidak? Di dalam hidup setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Namun nyatanya ada orang yang mengabaikan kesalahan itu, sehingga cenderung mengulanginya, dan ada orang yang belajar dari kesalahan tersebut, dan memperbaiki hidupnya. Mengapa?
Moster –menurut hemat Lehrer- mengutip penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Carol Dweck, Professor di Universitas Stanford, AS. Di dalam penelitian tersebut, Dweck membedakan dua macam orang. Yang pertama adalah orang-orang dengan pola berpikir tetap-tertutup. Sementara yang kedua adalah orang-orang dengan pola berpikir bertumbuh-terbuka. Apa bedanya?
Bedanya begini. Orang-orang dengan pola berpikir tetap-tertutup cenderung setuju dengan penilaian dari orang lain. Sementara orang-orang dengan pola berpikir bertumbuh-terbuka cenderung percaya, bahwa orang bisa berubah, jika mereka memiliki keinginan dan sumber daya yang mencukupi untuk melakukan itu.
Orang-orang dengan cara berpikir tetap-tertutup melihat kesalahan sebagai tanda kegagalan. Kesalahan berarti saya tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan suatu tugas, lalu pergi meninggalkannya. Sementara orang-orang dengan cara berpikir bertumbuh-terbuka melihat kesalahan-kesalahan dalam hidup sebagai awal bagi proses pembelajaran. Kesalahan adalah “mesin dari pendidikan.” (Lehrer, 2011)
Di dalam penelitiannya Moser dan Dweck sampai pada kesimpulan yang sama, bahwa kesalahan dan kegagalan, di tangan orang-orang yang memiliki pola berpikir bertumbuh-terbuka, akan menjadi alat yang amat berharga untuk belajar dan memperbaiki diri. Lebih dari itu di dalam proses belajar, orang harus menjauhi label “pintar”, dan mulai memakai label “pekerja keras”. Orang pintar cenderung merasa gagal, ketika gagal melakukan sebuah pekerjaan yang sulit. Sementara pekerja keras akan terus berusaha, belajar dari kesalahan mereka, untuk menyelesaikan suatu misi, sesulit apapun itu.
Penelitian Moser, Dweck, dan Lehrer membawa kita pada satu kesimpulan normatif kecil, bahwa orang harus menggunakan pola berpikir bertumbuh-terbuka di dalam memandang kesalahan-kesalahan dalam hidup, dan orang harus melatih dirinya menjadi pekerja keras, daripada menjadi orang “pintar”. Di dalam pendidikan dasar, anak harus lebih dipuji sebagai pekerja keras, dan sedapat mungkin tidak dipuji sebagai anak “pintar”. Menjadi pekerja keras berarti bersedia terbuka dan bertumbuh di dalam kesalahan-kesalahan hidup, serta belajar darinya. Inilah kualitas terpenting di dalam pendidikan.
Argumen ini sebenarnya sesuai dengan cara kerja pikiran manusia itu sendiri. Ketika kita mengalami kesalahan, dan itu pasti pengalaman yang amat tidak enak, otak kita akan fokus pada titik-titik penting kesalahan yang sebelumnya telah kita buat. Fokus tersebut tidak boleh diabaikan, melainkan harus diolah lebih jauh untuk menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru yang membuat kita tak lagi jatuh ke kesalahan yang sama nantinya. Pengolahan inilah yang seringkali terlupakan, digantikan dengan sikap abai dan cuek, yang nantinya membuat kita mengulangi lagi kesalahan yang sama.
Lehrer mengutip perkataan Samuel Beckett yang amat legendaris. Bunyinya begini, “Kita mencoba. Kita gagal. Tidak apa-apa. Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik.” Saya menyebutnya kesalahan-kesalahan yang bijaksana. Pertanyaannya adalah bagaimana supaya kita bisa membuat kesalahan-kesalahan yang bijaksana?
Di titik inilah pikiran dan hidup Steve Jobs, pendiri dan CEO Apple yang baru meninggal 5 Oktober 2011 lalu, bisa bermakna untuk kita. Seperti kita tahu hidup dan karya-karya Jobs mengubah cara kita bekerja, dan bahkan cara kita berpikir. Namun pada hemat saya warisannya yang paling berharga adalah kesalahan-kesalahannya, dan cara ia menghayati kesalahan-kesalahan hidup yang telah ia buat, sampai akhir hayatnya.
Kesalahan hidup adalah bagian dari desain hidup kita. Justru pola hidup kita menjadi sempurna, karena kita melakukan kesalahan-kesalahan yang bermakna dan bijaksana. Dan kesalahan-kesalahan yang bijaksana, sebagai “mesin dari pendidikan”, justru lahir dari kemauan untuk berani berpikir dan bertindak sendiri. Kesalahan justru lahir dari kemandirian berpikir dan bertindak sendiri!
Steve Jobs berani berpikir sendiri; berpikir berbeda. Ia membuat banyak kesalahan. Tapi ia belajar dan bergerak melampaui kesalahan-kesalahan itu. Kesalahan adalah bagian dari desain hidupnya, dan juga hidup kita semua.
Namun sayangnya di Indonesia, keberanian berpikir sendiri –yang seringkali berujung pada kesalahan-kesalahan yang bijaksana- adalah sesuatu yang langka. Pola didik dan pola asuh anak-anak kita justru mengedepankan konformisme berpikir, yakni berpikir sesuai dengan apa yang dikatakan oleh orang lain, atau oleh otoritas yang berkuasa (orang tua, guru). Pola semacam ini membunuh kreativitas dan daya hidup anak-anak kita sendiri. (Merchant, 2011)
Merchant melukiskan situasi pendidikan sekarang ini dengan sangat baik. “Di antara tekanan dan guru, orang tua, dan teman-teman, kita seringkali melupakan proses mencari makna hidup pribadi, dan justru menyesuaikan diri dengan kelompok.” Apa akibatnya? Akibat terjauhnya adalah kita tidak lagi percaya, bahwa diri kita unik, dan bahwa kita memiliki sesuatu yang berharga, khas diri kita, yang bisa disumbangkan untuk orang lain. Kita tidak tahu siapa diri kita, tidak berani mencipta ulang diri kita sendiri, karena kita hidup secara buta dalam aturan-aturan yang dibuat oleh orang lain.
Inilah mentalitas yang saya sebut sebagai mentalitas “penjilat pantat”. Kita hidup dalam kerangka aturan yang dibuat oleh orang lain, menyangkal keunikan kita sebagai pribadi yang berharga, dan amat takut berbuat salah, karena sadar, bahwa berpikir sendiri berarti berpeluang besar untuk membuat kesalahan. Padahal keunikan pribadi kitalah yang membuat kita berharga sebagai manusia. Itulah yang dihayati oleh Steve Jobs.
Keunikan sudut pandang hidup Steve Jobs, sehingga mampu melahirkan produk-produk yang mengubah cara orang bekerja dan berpikir, lahir dari pengalaman hidup, cinta, dan kesalahan-kesalahan yang ia buat dalam hidupnya, sebagai akibat dari keberaniannya untuk berpikir sendiri. Andai kata Jobs menolak ini semua, lalu memilih cari aman, takut berbuat salah, namanya tidak akan dikenal, dan kita tidak akan memperoleh pelajaran hidup yang amat berharga dari perjalanan hidupnya.
Sewaktu kembali ke Apple, setelah sebelumnya sempat didepak akibat pertarungan kekuasaan internal, Jobs membuat sebuah pernyataan. Saya kutip lengkap pernyataan itu.
“Ini untuk para orang gila. Orang-orang yang merasa tak punya tempat. Para pemberontak. Para pembuat masalah. Orang-orang yang melihat segala sesuatu dari sudut yang berbeda. Orang-orang yang tak suka pada peraturan. Orang-orang yang tak punya rasa hormat pada status quo. Anda bisa mengutip mereka, tidak setuju dengan mereka, memuja, atau bahkan merendahkan mereka. Namun ada satu hal yang anda tak bisa lakukan pada mereka, yakni mengabaikannya. Karena mereka mengubah segala sesuatu. Mereka mendorong peradaban manusia untuk maju. Dan ketika beberapa orang melihat mereka sebagai orang gila, kami justru melihat seorang jenius. Karena orang yang cukup gila untuk berpikir bahwa mereka bisa mengubah dunia adalah orang-orang yang nantinya akan sungguh mengubah dunia.” (Merchant, 2011)
Tentu saja kita semua tahu, bahwa menjadi seorang pemberontak jelas tak akan membuat kita populer. Sebaliknya kita justru akan dicaci, dimaki, dan disalahpahami. Bahkan orang-orang seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr harus diasingkan dari komunitas tempat tinggalnya. Jobs sendiri tak berbeda. Ia butuh bertahun-tahun untuk menemukan cara, supaya Apple bisa mencapai kejayaan. Bahkan ia sempat dituduh sebagai orang gila oleh rekan-rekan kerjanya di Apple.
Jobs berani berpikir sendiri. Ia menolak hidup dalam “kotak” yang telah dibuat oleh orang lain untuknya. Ia pun berbuat salah. Ia jatuh dan terpuruk.
Namun kegagalan dan kesalahan dalam hidupnya, dipacu dengan keinginan untuk menjadi lebih baik, serta cita-cita untuk mengubah dunia, itulah yang membuat ia memiliki intuisi untuk menciptakan produk-produk yang tidak hanya berguna, tetapi membuat hati penggunanya bernyanyi. Jobs mengajarkan kepada kita, bahwa tugas kita bukanlah menyesuaikan diri dengan apa kata orang tentang diri kita, tetapi justru harus berpikir sendiri, dan berbuat salah, serta berani gagal. Jobs mengajarkan kita untuk mengenali tujuan dasar hidup kita yang amat unik, “untuk tidak menjadi penjilat pantat (kiss ass) namun menjadi orang berprestasi (kick ass).” (Merchant, 2011)
Pada akhirnya tugas setiap orang adalah menemukan jalan hidupnya sendiri, yakni jalan hidup yang belum pernah dilalui oleh orang lain, jalan hidup yang unik. Anda boleh kagum pada Steve Jobs. Namun sebagai tanda cinta dan kekaguman anda, justru anda harus menolak untuk menjadi seperti dia. Anda harus berani mendesain hidup anda sendiri, berani salah di dalam pilihan yang anda buat, berani gagal dalam keputusan yang telah anda ambil, namun kemudian berani bangun dari kegagalan, dan akhirnya berani meninggal di dalam jalan hidup yang telah anda pilih sendiri. Itulah kebijaksanaan tertinggi kehidupan yang diagungkan oleh para filsuf besar sepanjang sejarah.
Saya yakin suatu saat nanti, Steve Jobs akan berdiri bersama para filsuf besar di altar agung yang bernama.. sejarah manusia.
Penulis adalah Dosen di Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya
keberhasilan hal yg trpenting tetapi prosesnya, dmn suatu keberhasilan d awali dgn kegagalan. intinya dalam segala sesuatu tdk blh putus asa ktika menghadapi masalah atopun dgn kegagalan, sebagai bukti bhw kegigihan akan menghasilkn yg dinamakn kberhasilan: james watt sudah gagal 9999 kali membuat bola lampu, tetapi dia trus gigih mencoba dan mencoba shg mencapai hasil yg bisa rasakan sekarang.
msh banyak lg contoh2 yg bs kita liat bhw kegagalan adalah hal yg biasa n itu adalah kesuksesan yg tertunda.
intinya jgn mudah putus asa, kegigihal n semangat diri kita yg hrs kita kembangkn, percaya pada diri kita bahwa kita ‘MAMPU’.
SukaSuka
Ya. Saya setuju. Tapi memang kita tidak boleh naif. Harus ada pertimbangan yang cukup realistik (melihat situasi nyata), tanpa harus menjadi seorang pesimis (gampang menyerah, dan takut mencoba). Misalnya tidak mungkin orang yang tak punya kaki menjadi pemain basket profesional di NBA. Dia juga harus realistis.
SukaSuka
Jobs adalah orang original yang melihat kompleksitas dunia dengan sederhana: Lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan dengan antusiasme dan kecintaan pada apa yang kita lakukan itu.
Ini yang banyak dilupakan orang, di tengah jaman yang suka merumitkan sesuatu yang sebenarnya soal fokus dan kesederhanaan.
SukaSuka
Ya setuju James. Itu salah satu paradoks jaman ini; untuk bisa bertahan di dalam jaman yang semakin rumit ini, kita justru harus menjadi orang yang “sederhana” di dalam fokus hidup kita.
SukaSuka
Sampai ada artikel setelah Alm. Steve Jobs dengan judul “ïnjil dari Steve Jobs” karena buah karyanya sampai membius dan dicari orang diseantero dunia, sampai ada yang antri berhari hari hanya ingin mendapatkan cutting edge produk apple, atau yang lain ngantri dengan berbagi motive. Hal ini terjadi karena besarnya animo dan kebutuhan orang. Barangkali sensasi “dicari”ini yang ingin dibandingkan dengan Injil, namun yang jelas perbedaan terletak pada kelanggengan Injil yang sampai ribuan tahun tetap up to dated dan bukannya cepat usang dengan keluarnya produk/ajaran baru.
Steve Jobs selalu mencari news makers dunia yang sayangnya juga mati diusia relatif muda, di bawah 60Tahun, sehingga ada jutaan orang didunia ini berbela sungkawa kepada pendekar teknologi dunia ini.
Sensasinya terus menggoyang rasa penasaran kita untuk menjadi lebih kreatif dan bertanya-tanya… akan kah kita hanya jadi penonton atau mau menjadi palaku mengikuti sikap kreatif dalam BER-KARYA ala Steve Jobs……………………..
SukaSuka
Ya. Ikuti sikap kreatif Steve Jobs. Mencipta dan berkarya terus menerus, dan jadikan ini sebagai panduan hidup…
SukaSuka
menjadi manusia yang autentik merupakan suatu pilihan yang menyakitkan namun juga mencerahkan… mungkin apa yang dialami Jobs adalah suatu proses aktualisasi diri atau dalam bahasa Carl Rogers disebut Fully functioning Person… 🙂
SukaSuka
iya. Otentisitas itu paradoks memang. Di satu sisi membebaskan. Di sisi lain menciptakan kecemasan eksistensial. Manusia yang “sempurna” selalu hidup dalam tegangan dua perasaan itu.
SukaSuka
“Think Differently” ‘seharusnya’. Tapi Jobs menetapkan cara berpikir berbeda dengan cara yang berbeda: “Think Different”.
Jadi berbeda saja tak cukup. Ia harus diberi alasan kuat untuk membedakannya dengan “asal berbeda”.
SukaSuka
Ya. Saya setuju. Asal berbeda menjadikan kita bagian dari kerumunan orang-orang yang “asal berbeda”, tetapi sebenarnya tidak punya otentisitas dan orisinalitas. Ini jelas yang ingin ditolak oleh Jobs.
SukaSuka