Oleh Nuruddin Al Akbar, Peserta Kelas Circles Indonesia dan Platon Academy, Kandidat Doktor Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Pada saat penutupan kelas “Urban Zen” yang diselenggarakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat), Budhy Munawar Rachman selaku “ketua kelas” memberikan pengumuman mengenai dibukanya kelas “Filsafat Seyyed Hossein Nasr”. Saat itu Rachman memberikan informasi, bahwa Nasr adalah seorang filsuf Islam kontemporer “terbesar” yang masih hidup hingga hari ini. Kelas tersebut direncanakan akan “mengupas” pemikiran Nasr dari berbagai sisi oleh para pengkaji intens karya-karya dan pemikiran Nasr di Indonesia semacam Subhi Ibrahim, Aan Rukmana, dan Gerardette Philips.
Saat Rachman memberikan informasi tersebut, penulis secara spontan berpikir, bahwa antara pembahasan kelas Zen dan pembahasan mengenai Nasr adalah pembahasan yang tidak memiliki kaitan apapun. Kecuali jika kaitan yang dimaksudkan bahwasanya baik tradisi Zen ataupun tradisi filsafat Islam yang menjadi kajian utama Nasr sama-sama bercorak “tradisi Timur” yang, dalam kacamata Nasr, berbeda dengan tradisi filsafat Barat modern yang notabene sudah melepaskan dimensi spiritualitas dari pembahasannya.
Namun kemudian penulis terfikir, bahwa Nasr adalah seorang pemikir yang tidak hanya secara intens mengkaji tradisi Filsafat Islam khususnya di era medieval/ abad pertengahan. Sebagaimana diutarakan dalam flyer kelas tersebut, dikatakan bahwa pemikiran Nasr terkait dengan “silang pengetahuan” dalam peradaban modern di dunia Timur dan Barat. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa gagasan Nasr lebih luas dari sekedar kajian filsafat Islam dalam arti sempit.
Nasr adalah seorang yang berupaya mengembangkan filsafat perenialis, dimana didalamnya mencakup kajian mengenai Islam sebagai agama dan peradaban. Namun filsafat perenialis memiliki satu karakteristik khas, yakni meyakini adanya knowledge (pengetahuan) dan wisdom (kebijaksanaan) yang bersifat perennial (tidak dibatasi oleh waktu/zaman), dan knowledge ini dapat ditemukan dalam semua tradisi dunia. Maka dalam tradisi keagamaan besar dunia, termasuk juga Buddhisme, dalam kacamata filsafat perenialis, juga mengandung kebijaksanaan dan pengetahuan ini.
Tidak mengherankan, jika sebagai bagian dari proyek filsafat perenialnya, Nasr juga dikenal intens melakukan kajian mengenai perbandingan aneka agama dan spiritualitas, yang dalam kasus Nasr coba dikerangkai sedemikian rupa dalam upaya mengangkat kebijaksanaan yang terkandung dalam aneka tradisi tersebut untuk memecahkan aneka problem peradaban kontemporer. Maka penulis kemudian semakin “penasaran” untuk “mengulik”, bagaimana atau sejauh mana Nasr memiliki kajian tentang Buddhisme dan juga secara khusus Zen? Bagaimana pandangan filusuf Islam “terbesar” di zaman ini -jika meminjam istilah Rachman- terhadap tradisi “Indo-Iranian” atau kadang dikatakan sebagai “timur jauh” tersebut-?
Penelusuran singkat penulis paling tidak menemukan, bahwa Nasr memiliki sejumlah pembahasan mengenai Buddhisme dan Zen, namun dalam aneka karyanya secara terserak. Ia tidak memiliki buku khusus yang membahas mengenai Buddhisme, sebagaimana gurunya Frithjof Schuon. Namun, dari aneka karyanya yang terserak tersebut, kita dapat menemukan, bahwa Nasr memiliki pandangan yang “khas”, dalam artian ia mencoba melanjutkan interpretasi perennial Schuon mengenai Buddhisme, namun dalam gaya pembahasan yang lebih “popular”, dan tidak dengan bahasa yang “njlimet” (sukar dipahami) sebagaimana gurunya tersebut.
Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi, bagaimana sikap “khas” Nasr terhadap tradisi Buddhisme, dan juga secara khusus Zen. Setidaknya, kita bisa kategorisasikan pembahasan Nasr tentang Buddhisme dan Zen dalam empat kategori yakni: pertama, dalam konteks memberikan pengantar terhadap karya antologi gurunya Schuon yang ia coba edit dan sarikan sedemikan rupa. Kedua, saat ia membahas mengenai kosmologi tradisional (mencakup aneka tradisi keagamaan besar dunia maupun “indigenous religion”). Ketiga, ketika ia membahas mengenai kaitan antara logika dan puisi dalam kaitannya dengan tradisi filsafat Timur. Keempat, pembahasannya mengenai perbandingan antara tradisi sains modern dan tradisi sains timur.
Dikarenakan pandangan Nasr mengenai Buddhisme dan Zen dapat dikatakan dipengaruhi kuat oleh gurunya Schuon, maka perlulah untuk memahami bagaimana pandangan sang guru tersebut. Menariknya, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa Nasr berupaya menyusun satu karya antologi yang berupaya menyajikan intisari dari pemikiran gurunya tersebut. Karya yang dimaksud ialah The Essential Frithjof Schuon (2005) yang dieditori dan sekaligus diberi pengantar oleh Nasr.
Sebagaimana diakui dalam pengantarnya pada edisi 2005 (edisi 2005 adalah edisi kedua, sebelumnya karya antologis ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 1986 ketika Schuon masih hidup), Nasr menyatakan, bahwa karya ini adalah upaya dia untuk merangkum “intisari” dari pemikiran Schuon dari berbagai karyanya yang terserak. Dengan kata lain, melalui karya antologis tersebut, kita bisa melihat interpretasi sang murid mengenai poin-poin pemikiran sang guru yang diyakininya sentral, khususnya dalam kaitannya mengenai Buddhisme dan Zen.
Menariknya, Nasr menyatakan, bahwa sebelum karya tersebut, ia mengkonsultasikan karya antologis kepada gurunya tersebut, hingga akhirnya mendapatkan persetujuan. Nasr juga menyatakan, bahwa sebenarnya ada berbagai ide yang dirinya pandang esensial, namun tidak mendapatkan persetujuan oleh Schuon untuk dimasukkan dalam karya antologis tersebut. Alasan inilah yang kemudian membuat Nasr menyatakan pasca kematian gurunya pada tahun 1998, ia sebenarnya berencana menambahkan sejumlah isi pada buku original tersebut. Namun, karena ia teringat dengan sikap gurunya di masa lalu, maka sang murid memilih mempertahankan isi buku tersebut pada cetakan 2005.
Dari penjelasan Nasr dalam pengantar buku tersebut, kita bisa menyimpulkan, bahwa apa yang dipaparkan dalam buku The Essential Frithjof Schuon (2005) mengenai Buddhisme dan Zen adalah pemikiran original Schuon. Namun, pada saat yang sama, bisa kita katakan, bahwa tulisan tersebut juga menegaskan posisi Nasr terhadap Buddhisme dan Zen. Sebagai murid Schuon, ia tentunya menganggap ide-ide Schuon tersebut sebagai suatu kontribusi berharga bagi filsafat perenialisme, dan menjadi “kewajiban” bagi dirinya, yang juga seorang perenialis, untuk mengembangkan ide sang guru lebih lanjut. Sebagai bukti, jejak dari pemikiran gurunya tersebut dapat ditemukan dalam karya-karya Nasr yang dijiwai corak perenial yang kuat dalam menginterpretasikan tradisi Buddhisme secara umum, dan Zen secara khusus.
Dalam pendahuluan buku tersebut, Nasr memberikan penegasan bahwa Schuon memiliki ketertarikan mendalam pada tradisi Buddhisme Mahayana dan juga Buddhisme Jepang. Ketertarikan ini tidak dapat dilepaskan dari pengalaman Schuon dalam melihat perkembangan kajian Buddhisme di dunia Barat yang menurutnya “tidak sehat”. Schuon menganggap perkembangan tersebut “tidak sehat” dalam arti bahwa informasi yang masuk dan berkembang di publik Barat saat itu cenderung “reduktif” dan “distortif”, sehingga justru menghasilkan gambaran tentang keliru mengenai Buddhisme dan Zen. Sebagai contoh di satu sisi Buddhisme dan Zen dianggap sebagai ajaran yang “eksentrik”. Namun, disisi lain Buddhisme dan Zen juga dilihat memiliki paralelitas dengan tradisi “humanisme sekuler” Barat -dengan kata lain Buddhisme adalah versi Timur dari Humanisme Sekuler-.
Schuon memberikan contoh bagaimana gambaran Buddhisme sebagai ajaran yang “eksentrik” dalam kaitannya dengan diskusi mengenai rasionalitas. Tidak jarang Buddhisme diposisikan sebagai ajaran yang menolak rasionalitas (anti rasionalitas). Padahal, menurut Schuon, harus dibedakan antara tren irasionalitas, atau antipati pada rasionalitas yang memang berkembang di Barat saat itu, dengan posisi Buddhisme yang ingin menekankan pada kesadaran beyond rasionalitas (melampaui rasionalitas). Ketidakjelasan, atau tumpeng tindihnya dua tema ini, dalam konteks masyarakat Barat yang membuat misalnya gambar tantrik mandala yang dibuat oleh kalangan Buddhis disepadankan dengan gambar yang dibuat orang yang sakit jiwa/ hilang akalnya -dengan kata lain Buddhisme menjadi sinonim dengan kegilaan-.
Perlu dipahami, “kegilaan” ini tidak mesti dipandang negatif pada waktu itu, tetapi dianggap sebagai jalan pembebasan atas kondisi sosial politik yang dirasa “serba rasional”, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan kebahagiaan. Maka tidak heran, jika aneka bentuk spiritualitas baru (yang kemudian diistilahkan sebagai new age movement) muncul di dunia Barat, dan salah satu bentuknya adalah penolakan terhadap rasionalitas dan memilih jalan irasionalitas untuk mendapat pencerahan. Bahkan sempat muncul gagasan, bahwa obat-obatan semacam LDS dan Meskalin yang membuat akal hilang dianggap sebagai jalan pembebasan -sebagaimana diyakini Aldous Huxley dalam periode tuanya- (The Guardian, 2/4/2020). Sehingga banyak kalangan muda Barat misalnya yang kemudian memilih menggunakan obat-obatan sebagai strategi transformasi spiritual mereka, karena obat-obatan tersebut dianggap mampu memaksimalkan daya imajinasi mereka (BBC Culture, 12/1/2017).
Uniknya, meskipun di satu sisi Buddhisme diasosiasikan dengan negasi terhadap rasionalitas, tetapi di sisi lain Buddhisme justru diasosiasikan dengan tradisi humanisme sekuler yang dapat dikatakan justru “memuja” rasionalitas. Upaya pengasosiasian ini tidak dapat dilepaskan dari ajaran Buddhisme yang dianggap sebagai “agama ateis”, dan bahkan “bukan agama sama sekali”, karena tidak membicarakan mengenai Tuhan. Sekali lagi, penyebutan Buddhisme sebagai “ateisme” tidak bermakna negatif, karena dalam kacamata Barat modern, agama dan spiritualitas justru dianggap tradisi yang “kadaluwarsa”.
Schuon tidak sepat dengan kesimpulan tersebut, dan menyatakan bahwa adalah benar dalam tradisi Buddhisme pembahasan mengenai Tuhan tidak menjadi sentral pembahasan. Namun adalah suatu kesimpulan yang keliru kemudian menyamakan Buddhisme dengan “ateisme” dan juga “bukan agama”, sebagaimana dipahami dalam kerangka humanisme sekuler. Schuon lebih suka menyebut Buddhisme sebagai tradisi “non-teistik” dan bukannya “ateistik”. Alasannya karena bagi Schuon, spiritualitas justru mendapat tempat yang sentral dalam tradisi Buddhisme, dan hal ini tentunya tidak berlaku bagi kalangan humanisme sekuler yang menjadikan positivisme, saintisme, dan juga materialisme sebagai fondasi berpijaknya.
Dikarenakan adanya “distorsi” dan “reduksi” makna Buddhisme yang bagi Schuon dalam tahap “akut” tersebut, maka ia tertarik untuk menyelami tradisi Buddhisme tersebut. Menariknya sebagaimana diakui oleh Nsar, gurunya tersebut kemudian memilih mendalami tradisi Mahayana dan juga Buddhisme Jepang. Alasannya, karena pada tradisi Mahayana gambaran kosmologi dan juga manusia secara lebih filosofis terekam dengan lebih jelas dibandingkan dengan Buddhisme dalam tahap-tahap awal perkembangannya di India.
Ketertarikannya dengan Jepang didasari oleh pengamatan Schuon, bahwa Jepang -saat ia hidup- ialah negeri yang mampu menjaga tradisi tetap hidup di tengah “gempuran” modernitas Barat. Sehingga bagi Schuon menjadi penting untuk melihat bagaimana Buddhisme dipraktikkan oleh masyarakat yang masih menghidupi tradisi tersebut. Perlu diinformasikan, meskipun Schuon paham, bahwa Jepang adalah “tanah tradisi hidup”, namun pada saat yang sama ia juga perlu menggarisbawahi tidak semua yang berasal dari Jepang dapat disinonimkan dengan tradisi (perpaduan Tao-Zen), tetapi juga buah dari logika modernisasi yang melanda negeri tersebut. Sehingga adalah keliru misal menyamakan karya seni kontemporer Jepang yang becorak “abstrak”, misalnya, dengan karya yang dihasilkan dengan pengaruh kuat dari tradisi Zen.
Kita dapat menyebut upaya Schuon mendalami Buddhisme sebagai upaya “menjernihkan” makna Buddhisme terhadap masyarakat Barat, khususnya dalam menggarisbawahi hadirnya dimensi spiritual dalam Buddhisme. Schuon sendiri melihat upaya “penjernihan” ini mendesak, karena ia melihat ketertarikan kepada Buddhisme di kalangan masyarakat Barat ialah ketertarikan yang “natural”, karena kondisi masyarakat Barat yang menghadapi krisis eksistensial “akut”, akibat realitas yang semakin hari semakin memburuk dan penuh dengan kekerasan.
Situasi tidak ideal tersebut diperparah dengan skeptisisme masyarakat Barat terhadap solusi yang sifatnya “mainstream”. Solusi yang dimaksud ialah solusi yang sifatnya etis atau rasional seperti konsep benar dan salah ataupun debat publik rasional di ruang publik (termasuk debat filosofis). Aneka solusi tersebut dianggap tidak menghasilkan perubahan yang berarti. Dalam situasi yang penuh “kemuakan” dari masyarakat barat akan kondisi yang mereka jalani sehari-hari, maka mereka mencoba mencari alternatif di luar kerangka “mainstream” ala rasional-etis tersebut. Sayangnya karena “keterbatasan artikulasi” dari para eksponen Zen dari dunia Timur -maupun juga adanya upaya memahami Buddhisme dan Zen dari kacamata Barat modern atau postmodern membuat proses pencarian alternatif ini -di mata Schuon- dapat berakhir dengan “kekecewaan”, dan bukannya “pencerahan”, sebagaimana diharapkan.
Jika kita mencermati tulisan Schuon mengenai Buddhisme dalam karya antologisnya The Essential Frithjof Schuon (2005), kita bisa menemukan berbagai penjelasan yang cukup detail, khususnya mengenai sejumlah aspek yang menjadi penciri tradisi Mahayana. Termasuk dalam hal ini, Schuon juga berupaya melakukan elaborasi terhadap tradisi Zen yang coba ia kaitkan dengan dengan tradisi Buddhisme Jepang secara lebih luas. Namun diantara aneka pembahasan tersebut, kita dapat melihat dua pembahasan penting terkait, yakni pembahasan mengenai mode eksistensi manusia, dan juga realm of existence (alam kehidupan).
Menurut Schuon, ada dua bentuk eksistensi manusia, yakni mode eksistensi palsu (samsara), dan mode “supraeksistensial” yang merupakan mode eksistensi sejati. Begitu pula ada realm of thirst (thrisna/ alam penuh kehausan) dan voidness (sunyata/ kekosongan). Antara mode dan realm of existence tersebut dapat dikatakan saling terkait antara satu sama lain. Pencerahan dapat dikatakan sebagai proses transformasi dari satu mode dan realm palsu ke mode dan realm of existence yang sejati.
Bagi Schuon, pengetahuan atau kebijaksaan mengenai realm dan mode of existence palsu dan sejati dalam Buddhisme tersebut mengisyaratkan perbedaanya yang signifikan dengan skema kesadaran dan juga realitas semesta, sebagaimana yang jamak dipahami dalam kerangka psikologi dan kosmologi modern yang sekuler. Sehingga menjadi tidak tepat untuk memahami Buddhisme dalam kerangka modern Barat, karena justru dengan pemahaman semacam ini, maka dimensi transformatif dari Buddhisme potensial menjadi “hilang”. Sehingga bagi Shuon adalah tugas mendesak untuk menjernihkan makna Buddhisme dan Zen kepada publik secara luas -khususnya publik Barat-. Salah satu poin sentral dari tradisi Buddhisme ialah tawaran akan satu cara pandang baru terhadap realitas dan juga manusia (kesadaran manusia). Cara pandang baru inilah yang menjadi fondasi bagi upaya transformatif, baik di level diri manusia maupun jalannya peradaban.
Sebagaimana kalangan perenialis pada umumnya, Schuon melihat “pemiskinan” konsep manusia dan semesta di era modern (Reza Wattimena menyebutnya era Urban). Pemiskinan makna manusia dan ala mini pada gilirannya memberi jalan bagi munculnya krisis eksistensial yang akut yang bermula di dunia Barat, namun seiring berjalannya waktu juga menyebar ke seluruh belahan dunia lainnya. Problem eksistensial ini tidak dapat diselesaikan, jika seorang masih “ngotot” mempertahankan kerangka modern atau postmodern tersebut, meskipun ia mencoba “memperkayanya” dengan aneka tradisi non-barat entah itu Buddhisme, Hinduisme, Taoisme, atau Islam (secara khusus Sufisme yang marak di Barat karena dianggap mengandung spiritualitas tinggi).
Satu poin menarik ditegaskan oleh Schuon mengenai upaya “penjernihan” makna Buddhisme ini dapat dimulai dari tidak lagi melakukan “penyangkalan” terhadap dimensi “celestial” dari pengalaman “pencerahan” yang dialami Sakyamuni (Sidharta Gautama). Bagi Schuon, Sidharta mendapatkan “pencerahan”, ketika ia membuka diri dengan dimensi “transenden” dari semesta ini – dengan kata lain ada juga pengakuan akan kesadaran manusia yang memiliki dimensi “celestial” tidak hanya “terrestrial” sebagai prasyarat untuk melakukan “perjumpaan” dengan yang Liyan (dimensi transendental) –. Dengan kata lain, proses transformasi -sebagaimana terjadi pada Sidharta- mesti dimulai dari membuka diri terhadap “perjumpaan” dengan semesta, dan bukan justru “menutup rapat-rapat” dari kemungkinan “perjumpaan kosmik” tersebut, hanya karena “dogmatisme” seseorang pada kerangka modern yang melihat manusia dan alam secara materialistik.
Sebagaimana gurunya Schuon, dalam karyanya Religion and The Order of Nature (1996), Nasr juga memberikan interpretasi perenial terhadap Buddhisme. Memang benar Buddhisme dibangun diatas filosofi pembebasan seorang dari penderitaan. Mode eksistensi yang penuh penderitaan ini (samsaric existence) mesti dilampaui, sehingga seorang dapat mencapai mode eksistensi yang melampaui penderitaan (disebut juga nirvana). Dalam upaya melampaui penderitaan inilah maka segala macam pembicaraan yang memalingkan seorang dari misi utamanya tersebut mesti dihindari, karena dianggap “membuang waktu”.
Jika seorang mencermati secara sekilas filosofi Buddhisme tersebut, maka akan sulit kiranya membayangkan, bahwa tradisi Buddhisme mau membicarakan mengenai persoalan yang sifatnya metafisik, seperti diskusi mengenai hakikat dari segara sesuatu (nature of things). Namun bagi Nasr, faktanya dalam perkembangan Buddhisme baik di wilayah Tibet, China, dan Jepang pembahasan mengenai hal-hal yang bersifat metafsik semacam kosmologi ternyata juga mendapatkan tempat. Bagi Nasr, perkembangan Buddhisme di berbagai wilayah yang juga menyentuh sisi kosmologi dan metafisika tersebut merupakan hal yang “natural”, karena bahkan dalam tradisi Buddhisme awal, kita telah dapat menemukan -secara implisit- pandangan kosmologinya yang “khas”.
Buktinya -menurut Nasr- ialah istilah Buddha yang merujuk pada person yang mampu mencapai derajat Tathagata. Istilah Tataghata sendiri merujuk pada person yang telah sampai pada pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, melihat sesuatu “apa adanya” (tatha). Lebih jauh, Buddha ialah person yang mampu menyingkap hakikat mengenai dharma. Istilah dharma sendiri merujuk pada “agama”, sekaligus juga tatanan universal atau “hukum alam” yang menopang bekerjanya dunia dan mode eksistensi samsara berfungsi.
Poin penting yang membedakan Buddhisme dengan tradisi teistik ialah dalam Buddhisme dharma tidak dibicarakan dalam konteks asal usulnya -bahkan dalam Buddhisme, dharma ini dianggap tidak memiliki awal-. Tradisi Buddhis awal lebih menekankan pada pembahasan mengenai kaitan dharma dengan kehidupan manusia. Dengan kata lain, dharma sebagai sebuah bentuk pengetahuan “transendental” yang mesti dipahami dan diinternalisasikan dalam kehidupan untuk mencapai “kesempurnaan hidup”.
Buddha juga dipahami sebagai sosok yang mampu menyingkap (discovery) dan bukan menemukan (inventing/creator) dari dharma tersebut dan menyeberluaskan pengetahuan tersebut kepada khalayak luas. Kita dapat menganalogikan -dalam derajat tertentu- posisi Buddha dengan “saintis” -istilah yang sering dipakai oleh Reza Wattimena- yang berupaya menyingkap hakikat dari realitas semesta ini. Para saintis tersebut bukan merupakan pencipta hukum-hukum gravitasi misalnya, tetapi “menemukan” hukum tersebut. Kalaupun disebut sebagai inventor/creator, maka yang dilakukan oleh saintis adalah memberinya nama. Begitu pula dalam konteks Buddhisme, istilah yang dipakai untuk menamai “hukum alam” tersebut ialah dharma.
Ketika Nasr menerjemahkan dharma sebagai “hukum alam” maka yang dimaksud ialah hukum dalam arti luas tidak sekedar dibahami dalam fisika modern, misalnya seperti hukum gravitasi. Istilah dharma menyiratkan tentang hukum yang menopang baik eksistensi manusia maupun eksistensi semesta secara umum. Hukum yang mencakup dimensi imanen dan transenden dari realitas. Selain juga, hukum alam ini memiliki dimensi religiusitas yang tinggi, karena dengan memahami hukum kehidupan inilah seseorang dapat dibebaskan dari mode eksistensi samsara.
Meminjam definisi dari aliran Buddha Sarwastiwada, Nasr menyebut bahwa dharma memiliki dimensi kebenaran, pengetahuan, kewajiban, dan moralitas. Dengan kata lain kosmologi dalam Buddhisme adalah kosmologi yang bercorak spiritual, dan sangat berbeda dengan model kosmologi modern yang menolak adanya dimensi “nilai” di dalamnya.
Dalam konteks inilah kita juga dapat menyatakan, ada perbedaan antara posisi Buddha dengan saintis, karena saintis dalam arti modern ialah person yang menemukan “hukum alam” dalam arti “sempit”. Hal ini tidak dapat dilepaskan pula dari definisi sains modern yang cenderung memisahkan antara “fakta” dan “nilai”, sehingga aspek spiritual dari kosmologi dihilangkan sedemikian rupa dalam pembahasan sains. Berbeda dengan Buddhisme yang memiliki visis kosmologis yang berdimensi transendensi yang kental.
Dari penjelasan diatas, kita bisa pahami, bahwa sebagaimana gurunya Schuon, Nasr juga menekankan bahwa Buddhisme memiliki pandangan kosmologis yang bercorak spiritual. Nasr sendiri memahami, bahwa ada banyak tafsiran mengenai detail bahkan hakikat dari dharma tersebut dalam berbagai aliran Buddhisme. Akan tetapi menurut Nasr, semua tradisi Buddhisme sepakat akan wujudnya kosmologi yang bercorak spiritual dan moral, dimana manusia mesti “membuka diri” layaknya Siddharta untuk menyerap dan memahami pengetahuan “kosmik” (dharmic) tersebut, dan menyelaraskan hidupnya mengikuti “hukum alam” tersebut, jika ingin mendapatkan “pencerahan” sehingga mampu mentransfomasikan dari dari mode samsara menuju mode nirvana.
Selain berbicara mengenai Buddhisme secara umum, Nasr juga menyinggung tradisi Zen secara khusus. Dalam pembahasan mengenai dharma misalnya, Nasr secara khusus juga menyinggung keterkaitan antara dharma manusia dan juga alam. Dengan kata lain, sebagaimana alam yang “diikat” oleh hukum-hukumnya, maka begitu pula manusia terikat dengan hukum kehidupan dharmic. Lebih jauh dalam tradisi Buddhisme Jepang sebelum Zen berkembang luas – tradisi ini nantinya juga mempengaruhi Zen-, ada penekanan yang kuat untuk menjadikan alam sebagai “guru” bagi manusia. Manusia dibayangkan dapat memetik hikmah dari berbagai entitas alam di sekelilingnya yang bergerak dalam ritmik kosmiknya (berjalan selaras dengan hukum dharma).
Keterpaduan dharmic alam dan manusia yang kental dalam corak Buddhisme Jepang, bahkan di era “pra-Zen” ini, menurut Nasr, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Shinto. Sebagai informasi, sebelum masuknya Buddhisme, tradisi ini tidak bernama. Namun tradisi ini memiliki ajaran sangat kental dengan upaya membangun relasi manusia dan alam secara eksistensial-spiritual. Barulah ketika Buddhisme datang ke Jepang, eksponen dari tradisi ini memilih untuk memberi nama pada trdisi tersebut sebagai Shinto, yang artinya jalan para dewa. Istilah ini untuk mengkontraskan dengan Buddhisme yang dapat diterjemahkan sebagai jalannya Buddha. Sebagaimana Shinto yang terpengaruh oleh kedatangan dengan Buddhisme dengan nemamai tradisi yang sbeelumnya tak bernama, Buddhisme yang masuk ke wilayah Jepang juga dipengaruhi kuat tradisi Shinto mengenai relasi kosmik antara manusia dan alam, dan menginternalisasikannya dalam tradisi Buddhisme yang telah “mapan”.
Kukai misalnya -sosok Biksu legendaris yang dianggap sebagai salah satu penyebar awal Buddhisme ke Jepang- mencoba mengilustrasikan Buddha-nature (atau bisa disebut juga primordial nature/ kesadaran alamiah) sebagai sebentuk cahaya agung yang bersinar di dalam segala hal -pengunaan metafor cahaya yang kental dalam tradisi Shinto yang menuhankan matahari-. Begitu pula ilustrasi mengenai Buddhahood (Budhabhava) -person yang telah mencapai pencerahan sempurna- yang seringkali diasosiasikan dengan tanaman dan pepohonan.
Dengan kata lain, dalam tradisi Buddhisme Jepang, alam memiliki fungsi religius dan moral penting bagi manusia. Melalui proses refleksi atas berbagai fenomena alam di sekelilingnya -alam sebagai tangga spiritual- maka manusia dapat didorong sedemikian rupa untuk menyadari hakikat terdalam dari realitas, realitas yang hadir apa adanya, yang ketika sorang menyadarinya maka itulah momen dimana pencerahan tertinggi tercapai (Buddhahood).
Selain membicarakan Zen dalam kaitanya dengan dharma, Nasr juga menyinggung tradisi Zen, ketika ia sedang mendiskusikan kaitan antara logika dan puisi dalam tradisi Filsafat Timur dalam karyanya Islamic Art and Spirituality (1987). Melalui karyanya, Nasr sedang berupaya membandingkan antara tradisi Barat modern dan tradisi filsafat Timur dalam melihat relasi antara logika dan puisi. Menurut Nasr, dalam konteks Barat modern, keduanya dianggap sebagai hal yang terpisah. Di sisi lain, tradisi filsafat Timur tidak melihat keduanya secara terpisah, namun sebagai jalan yang saling melengkapi dalam upaya menyingkap kebenaran. Bahkan Nasr menyebut dalam karya puisi Rumi, misalnya, juga mengandung berbagai pesan-pesan filosofis yang kaya.
Terkait logika, Nasr -sebagaimana gurunya Schuon- berupaya “menjernihkan” salah satu tradisi Zen yang khas yakni Koan. Karena Koan menekankan pada artikulasi bahasa yang “penuh paradoks” maka seringkali Koan dianggap sebagai wujud irasionalitas atau anti-logika. Ujung dari pemahaman semacam ini tidak lain kemudian menggap Zen sebagai tradisi yang “sejajar” dengan “kegilaan”, “absurditas” dan “anti-rasionalitas”.
Bagi Nasr, penyimpulan semacam itu keliru -walau dimaknakan secara positif oleh sebagian kalangan di Barat saat itu yang “muak” dengan cara berfikir rasional yang justru menyeret pada krisis eksistensial- karena Koan pada hakikatnya ialah strategi yang dikembangkan oleh tradisi Zen untuk “membebaskan” pikiran dari limitasi rationication. Istilah rationication sendiri sekiranya dapat diterjemahkan sebagai reduksi fakultas jiwa menjadi semata ratio dan mengasikan intellectus. Meminjam istilah Reza Wattimena, proses rationication ini kemudian melahirkan overthinking dan bahkan sampai tahap “lubernya” analisis dan ide -karena proses berfikir sudah sampai taraf tidak bisa dikontrol oleh seorang person itu sendiri-.
Strategi Koan sendiri dimaksudkan sebagai jalan untuk melampaui limitasi dari kekuatan pikiran yang “terjebak” oleh proses rationication tersebut. Koan dilakukan dengan mengajukan pernyataan yang terlihat penuh paradoks sebagai cara untuk “menghentikan” proses overthinking tersebut dengan secara “cepat” layaknya seroang “menginjak rem darurat”, sehingga “pikiran” yang sebelumnya begitu “aktif melaju kencang” dapat ditransfromasi sedemikian rupa dalam mode ketenangan batin.
Ketika pikiran berhasil “direm” dan mode ketenangan batin dapat dicapai, maka seorang akan sampai pada keadaan satori (atau sering disebut sudden enlightenment/ pencerahan seketika). Pencerahan seketika ini dapat terjadi, karena ketika pikiran mencapai situasi tenang, maka kejernihan untuk melihat realitas dapat dilakukan. Seorang dapat melihat suatu secara apa adanya (Buddhahood) melampaui wujud realitas yang sebelumnya terdistorsi atau tereduksi sedemikian rupa, akibat “kacaunya” pikiran kita.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui kesalahan pandangan yang menyamakan Koan dengan “kegilaan”, “absurditas” dan “irasionalitas”. Karena “kegilaan” justru menyiratkan adanya “kekusutan” dan “kesemerawutan” berfikir. Di pihak lain, Zen melalui Koan-nya justru berharap seorang dapat sampai pada tahap kejernihan berfikir. Kejernihan berfikir ini seringkali disimbolkan dengan permukaan air yang tenang, sehingga ia dapat dengan jelas memantulkan realitas apa adanya (misal permukaan air merefleksikan bulan purnama secara sempurna). Refleksi sempurna ini tidak akan terjadi, ketika permukaan air bergelombang dan tidak tenang. Jika permukaan air tidak tenang, maka ia akan memantulkan realitas dalam bentuknya yang “buram”-entah hasilnya distortif atau bahkan tidak terlihat sama sekali-.
Fenomena air bergelombang inilah yang dalam bahasa Reza dikatakan sebagai mode kesadaran yang tengah mengalami situasi overthinking sehingga justru “menumpulkan” kejernihan berfikir. Dalam analisis yang lebih metasifik ala Nasr, fenomena air bergelombang ini tidak dapat dilepaskan dari proses rationication yang secara default tidak memungkinkan pikiran manusia untuk berada dalam mode ketenangan eksistensial. Implikasinya, akan sangat sulit bagi seorang dalam mode kesadaran ini untuk merevitalisasi kembali keadaan alamiah kesadarannya yang ditandai dengan kejernihan (buddha-nature), dan bukan “kekeruhan” berfikir yang pada gilirannya mengakibatkan penderitaan batin dan fisik sekaligus (mode eksistensi samsara).
Terakhir -sejauh penelurusan penulis-, Nasr tercatat membicarakan Zen khususnya dalam pengaruhnya terhadap seni dan arsitektur dalam karyanya Sufi Essays (1972). Dalam karya tersebut Nasr berupaya menegaskan pentingnya revitalisasi sains Timur yang selama ini terpinggirkan, akibat definisi sains yang “reduktif”. Dalam arti modern yang dianggap sebagai pengetahuan sejati (ilmu) ialah sains modern sementara bentuk pengetahuan lainnya seringkali dikategorisaiskan sebagai bukan ilmu -artinya dianggap inferior- atau “pseudo-science” atau “sains palsu”. Bagi Nasr, istilah science dan pseudo-science ini penggunaannya telah melewati batas-batas “ilmiah”, dan lebih dipakai untuk kepentingan ideologis untuk “membungkam” jenis pengetahuan lainnya yang menurut Nasr adalah bentuk sains yang memiliki legitimasi pula untuk berkembang secara global.
Nasr melihat, bahwa rancang bangun sains modern saat ini dipengaruhi oleh corak kuantitatif dan menegasikan aspek kualitatif. Perlu dipahami disini istilah kuantitatif dan kualitatif bukan sekedar perbedaan dalam metode penelitian, sebagaimana jamak kita temui dalam buku-buku akademik. Corak kuantitatif lebih merujuk pada cara pandang yang melihat realitas dalam bentuknya saja (form), tetapi mengabaikan sisi makna (meaning) yang inheren dalam realitas tersebut. Dalam istilah yang jamak ditemui sains dikatakan hanya berurusan dengan soal fakta dan bukan makna. Dikotomi ini, bagi Nasr, tidak dapat diterima, karena dengan menghapus sisi kualitatif dari pembahasan sains justru akan “memiskinkan” sains itu sendiri, dan pada saat yang sama potensial menghasilkan aneka destruksi pada kehidupan manusia dan juga semesta secara keseluruhan. Alasannya karena makna tidak pernah inheren dalam sebuah penelitian sains, maka pertanyakan mengenai “pantaskah” dan “perlukah” (pertanyaan etis) menjadi tidak bermakna, dan sebaliknya yang diakui adalah pertanyaan mengenai “bisakah” dan “mungkinkah” yang dianggap sebagai domain ilmiah.
Efek negatif dari logika kuantitif ini misalkan bisa kita ilustrasikan dengan kasus ilmu arsitektur -satu pembahasan yang juga diangkat Nasr dalam bukunya tersebut-. Dengan pertanyaan “bisakah”, seorang bisa mengajukan berbagai pertanyaan “turunan” seperti “bisakah kita membangun gedung mencapai awan?”, “bisakah kita membangun bangunan seperti segitiga terbalik?”, “bisakah kita menciptakan taman hiburan yang membuat semua pengunjungnya akan terpusing-pusing dan mabok ketika keluar?” Aneka pertanyaan tersebut meskipun “absurd”, dan kadangkala menyiratkan “egoisme” dan “elitisme” dari arsitek atau seorang yang mempekerjakan sang arsitek, namun tetap akan dianggap sebagai bentuk “pertanyaan” yang “ilmiah”. Implikasinya bagi Nasr, banyak karya arsitektur kontemporer yang diklaim sebagai buah karya dari ilmu arsitektur justru menyiratkan “keanehan”, dan bahkan “kejelekan” ditinjau dari sisi etis.
Berbeda dengan tradisi arsitektur Timur yang dibangun diatas prinsip sacred geography (geografi sakral) yang mengandung dimensi etis dan metafisik yang tinggi, dimana melihat keterkaitan ruang dan yang Ilahi (yang transenden). Dengan kata lain, dalam perancangan satu karya arsitektur, aspek nilai dan metafisika ini sedapat mungkin coba diinternalisasikan ke dalamnya. Sehingga karya yang dihasilkan memiliki dimensi fungsional secara “luas” mencakup fungsi “penyadaran manusia”.
Nasr menjadikan contoh taman Zen di Jepang sebagai wujud dari sains Timur yang masih hidup hingga saat ini. Taman Zen bukanlah sekedar taman yang dibangun dengan prinsip “ingin tampil beda”, “nyentrik”, “abstrak” misalnya sebagaimana menjadi tren dalam dunia Barat. Taman ini didesain untuk “menyedot” perhatian manusia yang melihatnya agar ia merefleksikan diri mengenai metafisika Buddhisme yakni voidness (kekosongan). Dengan kata lain, aspek sacred geography sangat kental dalam penciptaan taman Zen, dimana taman adalah ruang yang darinya diharapkan manusia dapat melakukan perjumpaan dengan dimensi transendental melalui taman tersebut -kita dapat menyebut pula taman Zen sebagai upaya kreatif menghadirkan momen theophany (perjumpaan dengan yang Ilahi)-.
Sebagai informasi, Nasr tidak membatasi taman Zen saja sebagai wujud sains timur (arsitektur sakral), tetapi ada berbagai wujud taman lainnya dari berbagai tradisi termasuk tradisi Islam. Salah satu wujudnya ialah desain arsitektur rumah di berbagai wilayah Islam di Timur Tengah yang memiliki ruang terbuka di dalamnya (difungsikan sebagai taman). Ruang terbuka (tanpa atap, beratapkan langit) ini hadir, karena alasan filosofis, bahwa rumah tersebut “membuka diri’ terhadap “tatanan kosmik”yang lebih besar. Nasr menjadikan taman Zen sebagai salah satu ilustrasi, bagaimana tradisi sains timur ini masih hidup dan dipraktekkan hingga hari ini oleh berbagai masyarakat Timur (dalam hal ini Jepang). Maka bagi Nasr adalah suatu hal yang mendesak untuk memikir ulang rancang bangun dan juga demarkasi sains hari ini yang menurutnya “reduktif”.
Sebagai penutup bisa kita katakan, bahwasanya di mata Nasr, Buddhisme adalah sebuah wujud tradisi “timur jauh” atau “Indo-Iranian” yang memiliki kekuatan transformatif, baik bagi manusia maupun peradaban dunia. Namun sebagaimana posisi gurunya Schuon, Buddhisme dan Zen mesti “dijernihkan” pengertiannya terlebih dahulu, sehingga tidak lagi dipahami dalam kacamata humanisme sekuler ataupun “irasionalitas” postmodern. Tafsiran semacam itu, bagi Nasr, justru mengaburkan potensi transformatif Buddhisme dan Zen tersebut khususnya bagi publik Barat.
Mengikuti gurunya, Nasr meyakini bahwa Buddhisme memberikan gambaran terhadap realitas dan juga manusia yang kaya sekaligus mendalam, jika dibandingkan dengan gambaran modern tentang alam dan manusia yang telah mengalami “pemiskinan” sedemikian rupa. Apa yang perlu dilakukan adalah “membuka diri” untuk menerima “suara kosmik” tersebut, dan bukan justru menggunakan Buddhisme dan Zen sebagai “tameng” untuk “menutup mata dan telinga”, sehingga semakin menjauhkan diri kita untuk mengalami perjumpaan eksistensial-spiritual dengan yang Liyan tersebut.
***
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/
Assalamualaikum Wr Wb. Mohon maaf mengganggu waktunya. Sebelumnya saya M. Asroruddin Thayyib dari Madura, mau meminta izin untuk pembuatan konten youtube dengan isi pembahasan tulisan di “rumah filsafat”. Jika diizinkan, saya ingin membuat konten tulisan dan pembacaan teksnya.
Ttd. M. Asroruddin Th
SukaSuka
Silahkan. Terima kasih dan salam hangat.
SukaSuka
saya rasa karya diatas di tujukan utk. peminat filsafat alumni perguruan tinggi.
penataan kata sangat sulit utk dimengerti kaum awam.
pelajaran utk hidup tanpa pemikiran ruwet !
salam hangat !
SukaSuka
Begitulah. Maafkan.
SukaSuka