
Oleh Reza A.A Wattimena
Pakaiannya berlebihan. Ia seperti orang dari masa lalu dan dari dunia lain yang berkunjung ke bumi. Jalannya sangat percaya diri. Tak sadar, ia menjadi pusat perhatian sekitarnya.
Imannya tebal, namun dangkal. Ia percaya buta pada ajaran agama warisannya. Semua kata ditelan mentah-mentah. Jika disuruh membakar diri pun ia rela melakukannya.
Ia juga senang bergerombol. Jika sendirian, ia takut, dan tak percaya diri. Dengan bergerombol, ia bisa bersikap sombong dan seenaknya. Dengan bersembunyi di balik jubah agama, dan gemar bergerombol dengan teman-temannya, ia suka menindas orang-orang yang lebih lemah.
Ironinya, orang-orang semacam ini hanya “pasukan rendahan”. Mereka dipergunakan oleh kekuasaan yang sempit dan korup. Mereka menjadi alat penguasa yang busuk. Tak heran, mereka kerap kali mendapat banyak sponsor, baik dalam bentuk uang maupun nasi bungkus, hanya ketika peristiwa politik besar tiba.
Mereka juga menjadi mesin pendulang uang bagi penguasa busuk. Mereka rela memberikan uang mereka, kerap kali tanpa kejelasan, bagaimana uang itu dipergunakan. Akibatnya, segelintir elit politik, termasuk pemuka agama, hidup kaya raya. Sementara, pengikutnya hidup dalam kemiskinan yang mencekik.
Agama Tanpa Empati
Ini semua terjadi, karena agama kehilangan empati. Agama menjadi sistem yang mandiri, terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Agama juga hanya menjadi pelarian, karena sistem politik dan ekonomi yang bobrok. Agama tanpa empati berarti agama itu sudah kehilangan inti utamanya.
Empati adalah kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Empati berarti, orang menunda sudut pandangnya sendiri, dan mempertimbangkan sudut pandang orang lain. Empati adalah inti dari dialog yang sehat. Di dalam masyarakat demokratis, seperti Indonesia, empati adalah dasar dari kehidupan bersama yang sehat.
Mengapa di Indonesia, agama bisa kehilangan empati? Padahal, inti dari semua agama adalah sikap welas asih. Sikap ini lahir dari kesadaran mendalam, bahwa segala sesuatu adalah satu, yakni bagian dari alam semesta yang nyaris tak berhingga ini. Bentuk nyata dari ini adalah empati.
Ada empat sebab dari krisis empati. Pertama, pemahaman agama di Indonesia masih amat dangkal. Ajaran asing diambil begitu saja, tanpa pengolahan lebih jauh. Kedalaman dimiliki beberapa pihak, namun ia kurang tersebar di masyarakat luas, karena memang butuh usaha lebih besar untuk dipahami. Budaya berpikir instan jaman ini juga turut menyumbang dari kedangkalan pemahaman agama yang terjadi.
Dua, kedangkalan beragama juga lahir dari matinya sikap kritis. Sikap kritis adalah sikap tidak gampang percaya. Orang lalu mencari lebih dalam dari apa yang didengar atau dibacanya. Sikap kritis merupakan bagian penting dari pendidikan bermutu tinggi. Tanpa sikap kritis, empati juga akan tergilas oleh prasangka buta.
Tiga, krisis empati juga berakar pada krisis berpikir. Dunia pendidikan Indonesia memang tidak mendidik untuk berpikir, melainkan sekedar berhitung dan menghafal. Pola ini hanya menghasilkan kedangkalan, tidak hanya di dalam hidup beragama, tetapi juga di bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti politik maupun ekonomi. Ini bisa dilihat dengan mudah dari bagaimana kita di Indonesia mengelola kota-kota besar yang kita punya.
Empat, agama kehilangan empati, ketika ia hanya menjadi kendaraan politik dan ekonomi kelompok-kelompok busuk semata. Ajaran agama tidak diperhatikan. Moral tak diperhatikan. Empati lenyap ditelan udara. Yang tampak hanya kerumunan tak berpikir dan tanpa arah saja, siap untuk diperas oleh penguasa politik dan ekonomi busuk.
Lima, empati juga lenyap, ketika ketakutan berkuasa. Ketakutan membuat orang, atau kelompok, menjadi agresif. Ini terjadi, karena identitas dan ilmu pengetahuan mereka amat lemah serta dangkal. Kedalaman dan kokohnya identitas akan membawa pada sikap hening dan bersahaja.
Mengembalikan Empati
Empati tidak akan pernah hilang. Ia adalah kemampuan alamiah manusia. Namun, ia harus dilatih. Ada empat hal yang kiranya bisa ditawarkan.
Pertama, kita harus mendalami agama sampai ke akarnya. Jangan hanya berhenti soal aturan, cara berpakaian atau penampilan luar semata. Inti dari semua agama adalah meleburnya jati diri kita dengan semesta, sehingga semua perbedaan hilang. Di titik ini, empati akan muncul secara alami.
Dua, Indonesia harus melakukan revolusi secara mendasar. Mutu pendidikan kita amat sangat rendah. Mendidik nurani, empati dan akal budi harus dilakukan. Pola hafalan dan patuh buta harus disingkirkan.
Tiga, di ranah hukum, kita perlu untuk membuat aturan tegas pelarangan penggunaan agama untuk politik kekuasaan. Ajaran-ajaran agama bisa menjadi terang moralitas bagi arah politik. Tapi, ia tidak boleh digunakan di ruang publik untuk kepentingan politik sempit dan busuk. Aturan ini harus dibuat dasar hukumnya, dan diterapkan dengan tegas.
Empat, langkah terpenting adalah dengan mengembalikan spiritualitas ke dalam kehidupan. Agama adalah organisasi ciptaan manusia yang tak lepas dari korupsi, kolusi, nepotisme dan kepentingan-kepentingan sempit lainnya. Sementara, spiritualitas adalah soal jalan hidup, supaya orang bisa menemukan dirinya yang sejati, dan menjadi tercerahkan. Di titik ini, empati akan muncul secara alami, karena empati adalah bagian penting dari spiritualitas.
Jalan Zen bisa menjadi satu kemungkinan, dari banyak kemungkinan lainnya. Zen adalah jalan hidup untuk menyentuh inti terdalam dari diri manusia. Inti ini bersifat abadi, jernih dan penuh kebijaksanaan. Hanya dengan ini, empati bisa muncul secara alami, dan mewarnai langsung kehidupan manusia. Agama, yang dipeluk dalam spiritualitas, akan membawa kedamaian, tidak hanya di dalam hubungan antar manusia, tetapi juga di dalam diri pribadi.
Bukankah itu yang kita semua inginkan?
Mantul !!!
SukaSuka
sepakat sekali. zen adalah jalan baik kearah nalar sehat dan hati nurani, hanya untuk di terap kan di indonesia memerlukan jangka waktu
panjang. zen (deshimaru, zuzuki, glasmann, pater lassalle dkk) offiziell dimulai sejak ca.50 thn. di negara barat. di amerika perkembangannya juga mirip, berhubungan dgn banyanya ikut campur perang amerika dan korea, setelah itu vietnam dgn semua problem (terutama psychisch)yg diderita prajurit2 yg bersangkutan.
sebelumnya periode tsb zen ada dalam bentuk kecil (pribadi /contoh graf dĂĽrkheim , hellriegel dgn “die kunst des bogenschiessens, dkk.)
agama apapun dalam bentuk dewasa ini harus di renovasi radikal, menurut hemat saya.
dewasa ini agama membawa penganut nya kearah jurang neraka dan segala penderitaan, semua nya dibungkus dgn janji2 muluk.
hanya lah masyarakat umum tidak mampu membedakan agama dan spiritualitet, walau kedua nya berhubungan.
salam hangat !!
SukaSuka
Waw, pd akhirnya ttp ada unsur Budisme nya, gmn dong?
SukaSuka
Empati ini penting banget ya kak, sebagai bentuk memanusiakan manusia, sehingga bisa saling menghormati dan menghargai satu sama lain 🙂
SukaSuka
Salam hangat mas Reza
Mas Reza, saya baru saja selesai membaca artikel mas yang berjudul “akar-akar fanatisme”. Saya ingin tahu apakah setelah beberapa tahun tulisan itu diupload, pemikirin bapak terhadap fanatisme masih sama?? Apa solusi bapak untuk perkembangan fanatisme agama dan politik?? Menurut mas Reza sendiri apakah makin lama makin banyak umat beragama yang Semakin Konservatif ( konservatif = makin tradisional dalam berpikir) karena pengaruh media sosial.
Saya cukup tertarik jika mas Reza mau menulis artikel atau penelitian tentang pengaruh media sosial terhadap Konservatisme atau Fanatisme Agama. Izinkan saya mengutip satu paragraf tulisan mas reza:
“Kebebasan itu mengerikan. Berpikir itu sulit dan melelahkan. Tanggung jawab atas pilihan yang telah diambil itu membebani jiwa. Maka, orang lebih memilih untuk takluk ke dalam ajaran kelompok yang bersifat mutlak dan pasti, serta mengingkari kebebasannya sendiri. Di alam kebebasan dan keterbukaan, orang malah rindu untuk ditaklukkan oleh kepastian dan kemutlakkan, yang merupakan jalan tol menuju fanatisme”.
Saya sepakat bahwa berpikir itu sulit dan melelahkan
Maaf kalau komentar saya terlalu panjang
SukaSuka
Salam damai Mas Reza
Mas Reza, saya baru selesai membaca tulisan mas yang berjudul akar-akar fanatisme, setelah membacanya saya ada beberapa pertanyaan.
1. Bagaimana pandangan zen terhadap fanatisme ?
2. Jika seseorang menjadi fanatik pada pandangan Zen, apa solusi ya?
3. Menurut mas Reza apa solusi untuk mendidik orang-orang agar tidak terjebak dalam fanatisme baik fanatik politik dan fanatik Agama?
Menurut saya sendiri, sepertinya “fanatisme” sengaja dipelihara oleh para “elit politik” untuk kepentingan sempit mereka. Terlihat dari banyaknya politisi yang cenderung membela “tokoh-tokoh” Agama yang kontroversial dan membiarkan (cuek) kasus-kasus intoleransi terjadi kalau tidak diliput oleh media.
SukaSuka
Saya rasa susah sekali untuk membuat aturan tegas pelarangan penggunaan agama untuk politik kekuasaan. Sebab para elit politik sendiri suka menggunakan isu agama untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Salam damai Mas Reza
SukaSuka
tulisan yang mencerahkan. Saya senang membaca tulisan ini, karena tegas dan berani mengungkap situasi. Seandainya banyak orang sadar akan apa itu agama dan bagaimana seharusnya bersikap, Indonesia pasti lebih maju, seperti Visi pa Jokowi, INDONESIA MAJU, bukan INDONESIA MENANG seperti kata Prabowo, sebab Indonesia tidak sedang kalah tetapi, berjuang untuk maju. Dan sesungguhnya tidak ada yang terlahir sebagai orang yang kalah, tetapi menjadi maju senantiasa dambaan setiap orang. Pada posis ini pun agamawan di Indonesia seharusnya berpikir Maju atau menatap masa depan, bukan menang, tetapi pengikutnya melarat dan jauh dari sikap kritis terhadap fonomena agama yang diseret ke ruang publik, salam hangat. Terima kasih telah berbagi.
SukaSuka
salam hangat, bapak, terimakasih suguhan pencerahan nya.
bahasa rasa tentu, hny dpt ditangkap oleh rasa pula.
salam hangat🙏
SukaSuka
artikel yang mencerahkan dan sangat membantu bagi saya kak, terimakasih banyak ya udah berbagi 🙂
ijin mem-follow blog anda ya, untuk mengetahui kabar artikel di blog anda, semoga berkenan untuk berteman dengan saya, terimakasih
SukaSuka
Saya sangat kagum dengan artikel anda prof
SukaSuka
terima kasihi
SukaSuka
Sepakat… terima kasih
SukaSuka
Dimana Buddhismenya? Tidak ada satupun kata itu di dalam tulisan ini.
SukaSuka
empati memang dasar penting dalam hubungan antar manusia yang sehat.
SukaSuka
Terima kasih. Banyak ide saya masih sama dengan tulisan itu. Sekarang ini, radikalisme memang menjangkiti banyak agama, terutama Islam dan Kristen di Indonesia. Radikalisme ekonomi juga menguat dengan kapitalisme yang menghancurkan ekonomi rakyat kecil. Terima kasih juga atas idenya. Salam.
SukaSuka
Salam damai juga. Saya sepakat dengan anda. Fanatisme seolah dipiara oleh para elit politik untuk kepentingan busuk. Di dalam zen, tidak ada fanatisme, kecuali ia mendalami Zen dengan tidak tepat. Jalan Zen adalah jalan spiritualitas. Ini bisa digunakan untuk memerangi fanatisme dalam tingkatnya yang paling dalam.
SukaSuka
Itu memang tantangannya. Namun, jika ada niat dan usaha, pasti ada jalan.
SukaSuka
Terima kasih. Saya sepakat dengan uraian anda. Salam
SukaSuka
Terima kasih. Salam hangat.
SukaSuka
Terima kasih kembali. Kita sama-sama belajar ya.
SukaSuka
terima kasih. Semoga terbantu ya.
SukaSuka
Apakah Jalan Zen yang Ajaran Spiritual itu (Koreksi Jika Saya Salah) Itu Similar dengan Buddhisme?
SukaSuka
Zen (meditasi) ada sebelum Buddhisme. Ia adalah jalan menuju pembebasan. Agama-agama besar, seperti Hindu dan BUddha, menggunakan Zen sebagai salah satu pilarnya. Kata Zen sendiri berasal dari Jepang, yang artinya meditasi. Namun, sebagai sebuah jalan, ia jauh lebih tua dari agama-agama dunia.
SukaSuka
Salam Sdr. Reza.
Saya sangat tertarik dengan kajian-kajian anda atas dinamika politik Indonesia. Saya berniat untuk mengusung artikel-artikel anda dalam skripsi saya. Pembahasannya seputar politik Indonesia – intervensi agama dan kerumunan pendukungnya. Mohon pencerahannya, dengan pembahasan lebih dalam beserta referensi-referensi (buku/jurnal) penunjang. Terimakasih. 🙏
SukaSuka
Terima kasih. Bisa dilihat di: https://rumahfilsafat.com/karya-kami/
SukaSuka