Ideologi sebagai Kanker Masyarakat

thesuffolkvoice.net
thesuffolkvoice.net

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Setiap detik, kita berpikir. Untuk hal-hal kecil, seperti apa menu makanan kita malam ini, kita berpikir. Juga untuk hal-hal besar, kita memeras pikiran kita untuk sampai pada keputusan. Berpikir adalah hal yang amat mendasar sekaligus penting bagi manusia.

Namun, tindak berpikir manusia kerap kali terjebak pada kesesatan. Kita seringkali melompat pada kesimpulan, ketika informasi yang ada tidak mencukupi. Kita seringkali melihat hal-hal yang tidak ada, karena ketakutan dan rasa benci. Kita pun juga mengabaikan hal-hal yang sebenarnya penting, karena kelalaian dan kemalasan berpikir.

Inilah yang saya sebut sebagai kesesatan ideologis. Ideologi dalam arti ini adalah kesalahan berpikir dan kesadaran palsu atas dunia, yang lalu diyakini sebagai kebenaran secara naif, tanpa sikap kritis. Dunia dilihat sebagai tempat yang baik-baik saja, walaupun masalah dan penindasan bersembunyi di balik kenyataan sehari-hari. Orang hidup dengan nyaman, walaupun di depan matanya, penindasan dan penderitaan terjadi setiap harinya, tanpa celah.

Politik

Dua ideologi yang menjangkiti dunia politik kita adalah: ideologi kerakusan dan ideologi apatisme. Ideologi kerakusan adalah suatu bentuk kesalahan berpikir yang menyatakan, bahwa politik adalah arena untuk mencari uang dan kekuasaan. Orang menjadi walikota atau anggota DPR bukan untuk mengabdi pada kebaikan bersama, melainkan untuk menjadi kaya dan terkenal di masyarakat. Ideologi kerakusan ini yang menjadi kanker politik dan menghancurkan kehidupan politik kita di Indonesia.

Ideologi apatisme adalah kesalahan berpikir yang menyatakan, bahwa politik adalah urusan pemerintah semata. Warga negara biasa tidak perlu ikut campur. Serahkan semua urusan pada yang berwewenang. Ideologi ini salah total, karena membiarkan urusan politik dimonopoli oleh segelintir orang yang seringkali rakus (ideologi kerakusan) dan korup. Kontrol sosial atas politik adalah persyaratan utama dari masyarakat yang beradab, dimana warganya peduli dan ambil bagian dalam politik.

Ekonomi

Ekonomi Indonesia juga mengalami penyakit ideologi, yakni ideologi pasar bebas dan ideologi ilusi. Ideologi pasar bebas adalah bentuk kesalahan berpikir, dimana peraturan untuk mengatur kinerja ekonomi dianggap sebagai hambatan yang buruk untuk ekonomi. Di dalam ideologi ini, pasar haruslah dibiarkan bebas, sehingga tercipta hukum pasar yang membawa kebaikan bagi semua. Ideologi langsung ambruk di mata pengalaman empiris, bahwa negara-negara yang mengaku menggunakan pasar bebas justru memiliki banyak aturan untuk melindungi ekonomi negaranya (AS dan Inggris), dan negara-negara yang sungguh menggunakan pasar bebas justru terus diterjang krisis ekonomi yang berkepanjangan (negara-negara di Sub-Sahara Afrika).

Ideologi kedua yang menjangkiti ekonomi Indonesia adalah ideologi ilusi, dimana ekonomi dianggap semata-mata sebagai pergerakan uang yang pucat, tanpa wajah dan hati nurani. Ukuran kemakmuran lalu adalah pendapatan per kapita dan Gross Domestic Bruto, yang kerap kali adalah angka-angka pucat yang menyembunyikan banyak penindasan, ketidakadilan dan kesalahpahaman di belakangnya. Ekonomi sejatinya adalah urusan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa manusia. Percuma angka-angka statistik tinggi, tapi orang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Kultur dan Prasangka

Ideologi juga menjadi kanker yang menggerogoti kultur di Indonesia. Dalam arti ini, kultur tidak hanya berarti budaya, melainkan sebuah cara hidup tertentu yang dianut oleh sekelompok orang. Cara hidup semacam ini mengandaikan adanya pandangan dunia tertentu yang menjadi latar belakang sekaligus tolak ukurnya. Dalam artinya yang paling negatif, dua hal ini lalu berubah menjadi prasangka atas sekelompok orang tertentu, dan prasangka tidak pernah bisa dilepaskan dari ideologi.

Ada satu ideologi dalam konteks ini yang berakar begitu dalam pada cara pandang orang Indonesia dan juga dunia internasional pada umumnya, bahwa negara kita miskin dan ketinggalan, karena kemalasan orang-orangnya. Kemalasan ini lahir dari mentalitas yang memang sudah melekat pada diri orang Indonesia. Tidak ada ideologi yang lebih jahat dan salah dari pada ini. Fungsi filsafat dan ilmu pengetahuan pada umumnya di Indonesia adalah untuk mengubur dalam-dalam cara berpikir semacam ini.

Di München, Jerman, jam 7 pagi, jalanan masih sepi. Disini, orang juga malas berwirausaha. Orang lebih senang bekerja di kantor, dan menjalankan visi orang lain seumur hidupnya, yang penting digaji. Bandingkan dengan di Indonesia. Jam 5, jalanan sudah mulai ramai. Pasar demikian hidup. Semua jenis barang dan jasa dijual, seringkali illegal. Wirausaha bertebaran di mana-mana, mulai dari ojek payung sampai dengan semir sepatu, sesuatu yang tidak akan ditemukan di negara-negara maju, termasuk Jerman.

Untuk bisa menjalankan bisnis yang berhasil di Indonesia, orang butuh begitu banyak kemampuan, mulai dari kepemimpinan sampai dengan lobi dengan preman kampung setempat. Untuk menjalankan bisnis di Jerman, mudah sekali, orang cukup punya uang banyak dan sedikit kepemimpinan. Mana yang lebih malas dan mana yang lebih rajin? Pendapat bahwa bangsa Indonesia miskin karena malas adalah pendapat yang amat jahat, salah dan omong kosong terbusuk yang pernah saya dengar.

Pendidikan

Dunia pendidikan Indonesia juga tak luput dari ideologi. Dua ideologi yang setidaknya berakar pada dunia pendidikan Indonesia, yakni ideologi tukang dan ideologi tes. Ideologi tukang adalah kesalahan cara berpikir yang menyatakan, bahwa pendidikan hanya untuk mengabdi pada bisnis dan perusahaan di masyarakat. Artinya, pendidikan hanya untuk menghasilkan tukang-tukang yang menjadi kacung dari perusahaan-perusahaan besar, apalagi perusahaan multinasional.

Jika pendidikan Indonesia hidup dalam ideologi tukang, maka tidak akan ada pemimpin yang lahir untuk menciptakan perubahan. Tidak akan ada wirausahawan kreatif yang memiliki banyak ide dan otot untuk mewujudkan ide itu. Yang ada hanyalah orang-orang ahli bermental tukang dan budak yang siap menjadi kacung perusahaan-perusahaan besar. Ideologi tukang dalam pendidikan ini harus ditebas dengan tegas.

Ideologi kedua adalah ideologi tes, yakni kesalahan berpikir yang menyatakan, bahwa ukuran utama keberhasilan sebuah proses pendidikan adalah tes. Hasil belajar belasan tahun hanya diukur dalam satu atau dua jam tes. Tes itu lalu menentukan nasib orang seumur hidupnya. Ini adalah salah satu ideologi yang paling salah dan menyakitkan yang ada di Indonesia.

Pendidikan yang sejati tidak butuh tes. Yang dibutuhkan adalah pendampingan dan pengamatan dari orang tua dan guru pada anak-anaknya. Nilai lalu muncul dari pendampingan dan pengamatan yang menyeluruh, bukan dari tes semata yang seringkali juga tidak memiliki dasar yang jelas. Ideologi tukang dan ideologi tes adalah kanker pendidikan yang perlu untuk disadari dan kemudian dimusnahkan.

Akar Penindasan

Di dalam berbagai diskusi di Jerman, saya sering memperhatikan, bagaimana kesalahan berpikir (ideologi dalam arti khusus) muncul dari penggunaan bahasa yang dipakai, ketika berdiskusi, atau menulis. Bahasa adalah cerminan cara berpikir. Penggunaan bahasa yang bermasalah (ideologis) juga mencerminkan cara berpikir yang salah. Penindasan, ini argumen saya, dimulai dari kepala dan mulut, yakni dari pikiran dan dari bahasa.

Contoh paling jelas adalah konsep negara-negara Selatan (Südländer). Di dalamnya tercakup beberapa pengertian, yakni miskin, bodoh, terbelakang, butuh sumbangan, malas, dan lemah. Indonesia dimasukan ke dalam kelompok ini, bersama Malaysia, negara-negara di benua Afrika, juga Asia dan Amerika Selatan. Yang mengejutkan adalah, betapa konsep ini begitu sering dipakai di dalam diskusi dan pembuatan kebijakan, terutama di tingkat internasional, seperti di PBB maupun organisasi-organisasi internasional lainnya.

Akibatnya, kebijakan yang dibuat berpijak pada ideologi atau kesalahan berpikir, akhirnya menciptakan kebijakan yang salah arah pula. Kebijakan yang salah arah tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menciptakan masalah baru, walaupun masalah yang lama belum juga diselesaikan. Inilah yang kerap kali terjadi di dalam berbagai diskusi di forum internasional ataupun universitas-universitas di negeri asing. Jika kita tidak kritis, kita juga akan menggunakan cara berpikir yang sesat di dalam melihat bangsa kita sendiri.

Dari cara berpikir yang salah, lahirlah konsep-konsep yang juga salah. Kesalahan mendasar adalah pada sikap menindas dan arogan negara-negara Eropa dan AS, ketika melihat Indonesia, dan negara-negara lainnya. Penindasan dimulai dari bahasa dan kepala. Maka, perang lawan penindasan politis adalah pertama-mata perang melawan kesalahan berbahasa yang juga cerminan dari kesalahan berpikir. Keduanya adalah dampak dari ideologi yang menjadi kanker masyarakat.

Dunia yang Berbeda

Di Jerman, ketika ada masalah sosial, maka para wakil rakyat di Reichstag akan berkumpul, berdiskusi dengan para ahli dan akademisi, lalu membuat kebijakan. Kebijakan lalu dijadikan hukum, dan dijalankan dengan pendampingan lembaga-lembaga hukum di Jerman. Kebijakan lalu sungguh membawa perubahan nyata bagi kehidupan sehari-hari di Jerman.

Soalnya tentu lain dengan di Indonesia. Ketika ada masalah, kebijakan sering telat dibuat. Jika pun ada kebijakan, itu tetap tidak berjalan, karena aparat hukumnya korup. Jadi, kebijakan bukanlah senjata yang paling pas untuk membuat perubahan. Kita perlu senjata lain.

Di satu sisi, perjuangan untuk menghasilkan kebijakan yang bermutu harus terus dijalankan. Di sisi lain, upaya untuk melakukan lobi dengan pembentukan jaringan yang kuat untuk menyelesaikan satu masalah sosial tertentu juga harus terus dilakukan. Taktik Machiavelli melalui intrik, persuasi dan politik juga perlu dilakukan, guna menggolkan tujuan tertentu. Dunia memang bukan surga, maka kita juga tidak bisa bertindak suci murni, seperti malaikat.

Menjadi Otentik

Ketika Korea Selatan hendak mendirikan pabrik manufaktur, seluruh dunia menentangnya. Argumennya, Korea adalah negara kecil, maka sebaiknya mereka fokus pada pengembangan ekonomi kreatif, dan bukan ekonomi manufaktur. Namun, para pemimpin Kore tahu, apa yang menjadi misi dan identitas Korea. Mereka pun meneruskan upaya mereka dengan konsisten.

Korea berani menjadi otentik, bahkan ketika seluruh dunia menentangnya. Kini, Cina menggunakan model yang sama, yakni politik yang otentik, yang mungkin tidak populer di mata dunia (yang kerap kali hanya mata AS dan Eropa), namun bisa membangun rakyatnya. Negara-negara Skandinavia (Norwegia, Swedia, Denmark, dan Finlandia) sudah lama menolak pola pikir kapitalisme pasar bebas yang digaungkan oleh AS dan Inggris. Mereka otentik dengan model yang cocok untuk mereka. Kapan giliran Indonesia?

Ideologi dan Fenomenologi

Hidup kita dipenuhi dengan ideologi-ideologi, yakni pandangan yang salah atau kesadaran palsu tentang dunia yang diyakini sebagai kebenaran, tanpa dipertanyakan lagi. Ketika kita tidak kritis pada ideologi, kita akan melihat dunia dengan cara yang salah. Ketika itu terjadi, pertimbangan dan keputusan kita sebagai manusia pun akan menjadi salah. Masalah-masalah yang ada akan terus ada, bahkan berkembang, jika kita terus hidup dalam ideologi.

Maka, kita perlu mengubah cara berpikir ideologis yang, bagaikan kanker, kini menggerogoti masyarakat kita. Fenomenologi sebagai metode untuk melihat dunia apa adanya kiranya bisa menjadi alternatif. Sebuah jembatan teoritis kiranya bisa dibangun dengan membangun model berpikir fenomenologi (melihat dunia apa adanya) dengan tujuan dasar teori kritis (melihat dunia sebagai arena pertarungan kekuasaan dan penindasan, baik fisik maupun simbolik). Hanya ketika ideologi dibongkar, kita bisa sungguh hidup bermartabat, baik sebagai pribadi, maupun sebagai bangsa.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Ideologi sebagai Kanker Masyarakat”

  1. mantap bang reja….. ane jadikan tulisan tulisan abang ini sebagai menu pagi sarapan saya sebelum berangkat ngampus, saya ingin bertemu langsung sama abang, saya ingin pula mengundang abang untuk mengisi seminar di kampus saya. saya katakan sekali lagi entaaaap bang ahaha

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.