Martabat, Citra Diri, Hegemoni,….

mater.org.au
mater.org.au

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala, Surabaya

Hampir 12 jam setiap harinya, Amin (bukan nama sebenarnya) bekerja sebagai buruh tambang di pedalaman Aljazair, Afrika Utara. Pekerjaannya selalu melibatkan kekuatan fisik yang ekstrem. Bersama teman-temannya, ia menggali dan menutup galian dengan aspal setiap harinya. Ia menerima upah, namun sayang, upah itu tidak semestinya.

Untuk pekerjaan yang sama, rekannya yang berasal dari Inggris mendapat upah yang lebih tinggi. Kemampuan mereka sama. Bahkan, untuk beberapa situasi, kemampuan Amin lebih tinggi dari koleganya tersebut. Yang membedakan mereka dalam hal ini hanya satu: ras.

Karena ditekan situasi, Amin tak punya pilihan. Ia merasa, martabatnya sebagai manusia direndahkan, hanya karena ia berasal dari Indonesia. Menurut dia, bangsa Indonesia tak punya martabat di hadapan bangsa-bangsa lainnya di dunia. “Jika bekerja di Malaysia”, demikian katanya,”banyak perempuan Indonesia hanya akan menjadi pelacur. Sebagai pekerja, kami juga sering mengalami diskriminasi dari petugas resmi Malaysia, hanya karena kami orang Indonesia.”

Sistem politik dan ekonomi dunia memang memuliakan martabat satu ras tertentu, dan secara bersamaan merendahkan martabat ras lainnya. Di dalam politik, tindakan agresi satu bangsa tertentu dianggap sebagai pembebasan. Sementara, tindakan agresi bangsa lainnya dianggap sebagai terorisme. Di dalam bidang ekonomi, seperti yang dialami Amin, orang Indonesia seringkali mendapatkan upah yang jauh lebih rendah untuk pekerjaan yang sama, dibandingkan dengan orang yang berasal dari bangsa-bangsa lainnnya (Eropa, Amerika, Australia?)

Ini adalah fakta nyata yang berakar begitu dalam pada pemikiran sekaligus mentalitas manusia modern di awal abad 21 ini. Penjajahan belumlah berakhir, melainkan kini mengambil rupa yang begitu halus dalam bentuk hegemoni budaya, sehingga orang yang terjajah tidak merasa dijajah, melainkan justru menikmatinya. Hegemoni ini melanggengkan ketidakadilan global yang sudah ada, dan berusaha untuk memberi keuntungan berlimpah untuk beberapa pihak yang menjadi otak utama dari hegemoni ini. Ketika hegemoni dan kekuasaan berbicara, martabat manusia pun terinjak, dan cuma menjadi isapan jempol belaka.

Martabat dan Filsafat

Berbicara tentang martabat manusia berarti kita berbicara tentang nilai utama dari seorang manusia, yakni sesuatu yang sudah selalu ada tertanam di dalam dirinya. Bahasa Indonesia punya kata yang amat bagus untuk menggambarkan situasi ini: asasi. Di dalam Filsafat Yunani Kuno, yakni di dalam pemikiran Plato, martabat setiap manusia terletak pada jiwanya, yakni unsur yang mengatur tubuh setiap orang, dan mencoba membimbing orang itu untuk mencapai keutamaan jiwa yang sejati. Pendidikan adalah cara untuk mengangkat manusia ke tingkat keluhuran jiwa, dan bukan sekedar pencari kerja di pasar masyarakat yang sudah selalu diwarnai ketidakadilan global.

Para filsuf Eropa Abad Pertengahan melihat martabat manusia sebagai cerminan langsung dari citra Allah. Allah membuat manusia sesuai dengan citra-Nya sendiri. Maka dari itu, manusia itu luhur dan lebih tinggi statusnya sebagai mahluk hidup, dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya. Setiap orang memiliki martabat yang luhur, karena setiap orang merupakan cerminan langsung dari Tuhan itu sendiri.

Filsafat Eropa Modern melihat manusia sebagai mahluk berakal budi yang mampu memahami sekaligus menguasai alam dengan kekuatan dirinya. Ilmu pengetahuan modern adalah hasil dari pemahaman tentang martabat manusia semacam ini. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang merupakan produk nyata dari kemampuan akal budi, manusia membuat alam tunduk untuk melayani kepentingan-kepentingan manusia itu sendiri.

Di dalam filsafat Barat kontemporer, semua pandangan tentang manusia itu dipertanyakan ulang. Perang dunia yang menghancurkan hampir seluruh Eropa dan Asia, terutama dengan digunakannya senjata atom pemusnah massal untuk pertama kalinya dalam sejarah, membuat orang memikirkan ulang peran akal budi di dalam kehidupan. Konsep martabat manusia pun dirumuskan ulang sebagai sesuatu yang lebih cair dan berakar pada konteks sosial maupun budaya suatu masyarakat. Istilah khusus untuk gejala ini: proses peminggiran subyek (decentering the subject).

Filsafat Timur, mulai dari Taoisme sampai dengan pandangan dunia Jawa, melihat manusia hanya sebagai satu elemen kecil dari alam yang besar dan agung. Ia tidak punya status khusus, melainkan berdiri sejajar dengan ratusan juta mahluk hidup lainnya di jagad semesta yang juga terbatas ini. Martabat manusia dilihat dari peran setiap orang yang ia ambil untuk merawat dan mengembangkan alam yang ada, baik alam natural maupun alam sosial (masyarakat dan organisasi).

Citra Diri dan Hegemoni

Semua pemahaman ini membentuk pandangan manusia tentang dirinya sendiri, atau apa yang bisa kita sebut sebagai citra diri (self-image). Pandangan ini begitu sederhana, tetapi memiliki dampak yang amat luas. Orang yang tidak percaya diri dan melihat dirinya sebagai orang yang bodoh dan rendah akan membiarkan dirinya diinjak oleh orang orang lain. Ia akan diam saja dan menerima keadaaan, ketika ia mengalami ketidakadilan.

Sebaliknya, orang yang memiliki citra diri tinggi juga akan merasa, bahwa ia berhak untuk dihargai oleh orang sekitarnya. Ketika ketidakadilan terjadi, ia merasa terdorong untuk melawan dan menuntut, walaupun harus melalui jalan konfrontasi. Ia merasa berhak mendapatkan upah yang layak, ketika telah bekerja keras mengabdikan kemampuannya. Dari sini dengan mudah ditarik sebuah argumen, bahwa banyak orang di Indonesia memiliki citra diri rendah dan lemah, sehingga cenderung diam, ketika mengalami ketidakadilan dan penindasan.

Citra diri yang rendah akan mendorong sikap rendah diri di hadapan orang lain, terutama orang asing. Inilah yang dirasakan Amin, ketika ia mendapat upah rendah, walaupun harus melakukan pekerjaan yang sama beratnya, dan bahkan mungkin lebih berat, dari rekan kerjanya yang berasal dari Inggris. Ia merasa, ini nasib sebagai orang Indonesia, yakni bangsa yang dianggap rendah oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Terlihat dari matanya, betapa ia pasrah, ketika ia mengatakan ini, walaupun ia tahu, hal ini jelas-jelas salah.

Penjajahan Budaya

Kita hidup di era penjajahan budaya dan penjajahan cara berpikir. Dua hal ini nantinya juga mendorong penjajahan ekonomi dan politik, yakni akhirnya juga melanggengkan ketidakadilan global yang tengah terjadi sekarang ini. Bangsa-bangsa kaya akan semakin kaya di atas penderitaan dan ketidakadilan yang dialami bangsa-bangsa lainnya. Ketika pikiran telah dijajah, maka tubuh dan segala bagian lahiriah manusia juga akan ikut terjajah, sekaligus kehilangan martabatnya sebagai mahluk yang berharga.

Ironisnya, banyak orang tidak melihat hal ini, karena mereka ikut menikmatinya. Orang tidak lagi melihat penjajahan sebagai penjajahan, karena otak mereka telah dicuci oleh hegemoni dan media, sehingga mereka tidak lagi bisa bersikap kritis terjadi keadaan ketidakadilan global yang telah terjadi. Seorang teman tengah melakukan penelitian intensif terhadap media massa di Jerman yang secara agresif menghancurkan citra ras dan bangsa tertentu untuk kepentingan hegemonialnya. Maka, jangan percaya begitu saja pemberitaan media, karena begitu banyak peran kepentingan, hegemoni, dan kekuasaan dibelakangnya, yang membuat pemberitaan berat sebelah, dan akhirnya kita mendapatkan pandangan serta informasi yang salah tentang dunia.

Saya juga amat prihatin, bahwa begitu banyak orang Indonesia di Jerman yang bahkan lebih rasis dari orang Jerman itu sendiri (kelompok kanan ekstrem). Mereka mencerca dan menghina bangsa sendiri, sambil memuja bangsa asing. Ya, mereka telah dicuci otaknya, hidup dalam hegemoni, dan dibuat menjadi steril, sehingga tidak lagi sadar akan racun yang terus berkecamuk di kepalanya sendiri. Mereka adalah korban dari penjajahan budaya yang kuat mencekram begitu banyak manusia di abad 21 ini, dan ikut melestarikan penindasan maupun ketidakadilan global yang terus menerus terjadi.

Ironis dan menyedihkan…

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

4 tanggapan untuk “Martabat, Citra Diri, Hegemoni,….”

  1. Media membuat citra agama-agama tertentu juga menjadi lebih rendah. Rasisme sepertinya tidak lagi hanya terbatas pada warna kulit, tapi dari sisi spiritualitas seseorang.

    Suka

  2. sunguh kagum,.,!! setelah membaca tulisan ini ternyata banyak manfaatnya baik untuk pemerintah maupun untuk rakyatnya .,., terimakasih telah memberikan sejuta ilmu melalui sebuah media pemikiran yang begitu kritis

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.