Buku Filsafat Terbaru: Filsafat Anti Korupsi

Buku Filsafat Terbaru:

Filsafat Anti Korupsi:

 Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan,

dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi

Penulis: Reza A.A Wattimena

ISBN: 978-979-21-3362-2

Penerbit: Kanisius, Yogyakarta

“Pelaku korupsi adalah manusia dengan segala kerumitan dan dinamika jiwanya yang amat unik, dan kita perlu untuk memahami kerumitan dinamika jiwa manusia tersebut. Sejauh saya pahami, ini adalah buku pertama yang tidak secara teknis mendekati korupsi dari aspek hukum, politik, ataupun ekonomi, melainkan dari sisi-sisi terdalam manusia yang melakukannya. Inilah yang menurut saya menjadi nilai unik sekaligus kelebihan dari buku ini. Buku ini ditujukan untuk para praktisi hukum, politisi, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, dan orang-orang yang peduli pada upaya bangsa untuk menghancurkan korupsi di berbagai bidang. Selamat membaca dan selamat tercerahkan.”

Bisa didapatkan di Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Klik Kanisius

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

5 tanggapan untuk “Buku Filsafat Terbaru: Filsafat Anti Korupsi”

  1. Saya pernah menjadi PNS dengan lingkungan yang “demikian” hingga saya memutuskan untuk keluar. Lalu saya pindah ke swasta, sampai posisi tertentu, dari penghasilan halal sudah berlebih tapi pekerjaan memaksa saya merugikan negara. Saya pun keluar. Dan kini cuma mengajar pelatihan ala kadarnya, ternyata masih ada juga unsur korupnya karena melayani peserta pelatihan yang korup. Sepertinya berdagang di pasar lebih aman, sayang saya tidak punya jiwa dagang. Hidup sederhana, dan sering sulit. Apakah semua orang bisa? Tentu tidak dan sulit pula untuk tidak maklum.
    Pengamatan saya sebagian besar yang korupsi di negara kita merasa “terpaksa” baik oleh pendapatan yang terlalu kecil (dulu) atau sistem yang korup. Tidak ikut tersingkir – kut berdosa.
    Setujukah anda?

    Suka

  2. Saya setuju dgn Pak Muhammad di atas orang berbuat korup itu krn terpaksa. Lingkungan yg memaksa, sistem yg memaksa. Lihat saja, misalnya pejabat publik atau politisi yg tadinya belum terlibat di liungkungan itu, diketahui bgtu santunnya, tetapi setelah masuk dlm lingkungan itu lalu kita mendengar berita ttgnya terlibat kasus korupsi, dll. Tetapi, saya juga berpendapat bhw alasan “terpaksa” itu menunjukkan org tersebut blm dewasa secara rasio dan emosi, serta tumpul hatinuraninya.
    Ditambah lagi dgn hukum kita yg bgtu lemah, dgn mudah dipermainkan. Kita dapat seja menyebutkan mcm2 faktor penyebab terjadinya korupsi…. persoalannya sekarang bagaimana mata rantai itu bisa diputuskan? dgn apa? oleh siapa?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.