Tema: Pendidikan Anti-Korupsi Berbasis Nilai- Nilai Pancasila
Fasilitator : Hendar Putranto, M. Hum.
Narasumber: Dr. der Phil. Reza A.A Wattimena
Hari, tanggal: Selasa, 12 Juni 2018 (14.00-14.50)
Lokasi: Booth Dairy Queen, Mall Kota Kasablanka
Sesi Pembuka oleh Hendar Putranto, M. Hum.
Oke, hari ini tanggal 12 Juni 2018, bertempat di Dairy Queen, Kota Kasablanka jam 13.55. Hendar Putranto sebagai ketua tim peneliti skema PKPT, sebagai ketua tim TPP (Tim Peneliti Pengusul) sedang bertemu dengan narasumber, salah satu narasumber ahli untuk pendalaman tema: Anti-Korupsi Berbasis Nilai-Nilai Pancasila. Beliau bernama Reza Wattimena, doktor filsafat lulusan dari Universitas Munchen[1] jurusan filsafat dan kapasitas beliau sebagai penulis buku Filsafat Anti-Korupsi yang diterbitkan Kanisius tahun 2012. Atas dasar itulah, maka Hendar mengontak Dr. Reza Wattimena untuk dijadikan narasumber terkait dengan pendalaman tema Anti-Korupsi Berbasis Nilai-Nilai Pancasila.
Konklusi Pertanyaan :
- Latar belakang dan metodologi penelitian yang digunakan untuk menulis buku Filsafat Anti-Korupsi?
- Apakah langkah pencegahan anti-korupsi yang dilakukan di sekolah level SMA akan berlangsung efektif atau tidak?
- Jika tidak, apakah langkah pencegahan bisa mulai lebih awal yaitu di dalam keluarga? Apakah Zen bisa berkontribusi dalam pencegahan anti-korupsi tersebut?
(03:31-05:33)
Reza : Oke, terimakasih, Pak Hendar. Jadi, mungkin alasan saya dahulu menulis buku itu adalah karena korupsi sudah seperti kanker yang menyebar di masyarakat Indonesia dan selama ini orang memahami korupsi sebagai pelanggaran hukum semata, lupa bahwa itu adalah akar budaya, akar moral, bahkan akar spiritualitas yang cukup dalam. Buku saya tahun 2012 itu ingin memahami korupsi dan mencoba melampaui korupsi tidak dengan pendekatan hukum, itu juga dipakai tapi itu hanya syarat, tetapi juga terlebih dengan memahami korupsi dalam kaitannya dengan kehidupan manusia yang lebih menyeluruh. Ada faktor mental, faktor sosial, budaya, spiritual, ada faktor pendidikan juga. Jadi memang korupsi harus dipahami keseluruhan, multidimensi, tidak hanya soal hukum. Ini mungkin salah satu kelemahan mendasar dari pemberantasan korupsi di Indonesia, yang melihatnya hanya soal hukum.
Hendar : Pelanggaran hukum dan harus ditindak secara hukum.
Reza : [bahwa Korupsi itu pelanggaran hukum dan harus ditindak secara hukum] itu sudah jelas, tapi dampaknya jauh lebih luas, maka pencegahan dan pemberantasan (korupsi) harus lebih luas daripada soal hukum. Seharusnya kita sevisi dalam hal ini, ya. Dan metode yang saya pakai waktu itu, saya mencoba mengaitkan beberapa teori dari pemikir-pemikir besar dalam filsafat untuk melihat korupsi sebagai sisi gelap manusia, sisi kejahatan manusia. Jadi, manusia itu punya dorongan untuk rakus, iri hati, dorongan untuk melakukan hal-hal jahat kepada orang lain untuk kepuasan dirinya, dan bagaimana itu dipahami. Jadi tidak diabaikan, tetapi dipahami. Karena dari situ korupsi berasal, dari kerakusan, dari iri hati, dari keinginan untuk mencuri, mencuri apa yang bukan haknya. Dan di dalam buku itu, saya mencoba meneropong dengan beberapa teori yang dipakai di filsafat dan teori-teori sosial pada waktu itu.
(05:34-08:14)
Hendar : Misalnya salah satu atau dua pemikir yang masih diingat?
Reza : Saya pakai pemikiran Elias Canetti yang melihat bahwa manusia itu memiliki sisi hewani. Bagaimana manusia berperilaku seperti binatang tanpa kontrol nurani, tanpa kontrol akal sehat, rampas tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan misalnya merampas hak orang, merampas uang rakyat tanpa pertimbangan nilai-nilai yang beradab. Saya juga pakai Nietzsche yang mana manusia itu didorong oleh kehendak untuk berkuasa- Der Wille zur Macht–ingin menguasai (dan) salah satu cara untuk menguasai adalah dengan kekuasaan, punya uang. Dan uang itu lalu dicari dengan segala cara termasuk nyolong atau korupsi. Dan itu akarnya cukup dalam ya, dalam kerakusan manusia. Saya juga baru nulis, baru saja tadi malam. Saya nulis artikel soal kerakusan, seluk beluk kerakusan. [https://rumahfilsafat.com/2018/06/11/seluk-beluk-kerakusan/]
Hendar : oh tulisan ini yang ada di blog “rumahfilsafat”, ya?
Reza : Iya, saya baru nulis ini. Dan ini juga sumber dari korupsi. Orang sudah kaya tapi masih corrupt itu, masalahnya dimana gitu? Bukan karena dia miskin atau apa, tetapi emang namanya rakus. Dan rakus ini unsurnya banyak yang saya bahas dalam tulisan ini.
Hendar : Secara psikologis, begitu, atau?
Reza : Secara psikologis, sosial. Karena itu sekali lagi tidak bisa dipahami hanya dari satu sudut. Psikologis, pasti. Ada faktor pendidikan, ada faktor keteladanan. Bagaimana melihat para pemimpin masyarakat kita yang corrupt, justru malah dipuja-puja, gitu, ya? Ya, itu akhirnya memberikan kesan bahwa koruptor itu biasa kok, semua orang melakukannya, tinggal pinter-pinter aja gak ketangkap. Anggapan-anggapan salah yang tersebar di masyarakat. Nah ini yang perlu dibongkar, karena ini tidak bisa dicegah oleh hukum, karena ini ‘kan pandangan/ide. Ide itu ‘kan menyebar. Koruptornya paling, “Ah, biarin lah, paling dua, tiga tahun dipenjara. Keluar dari penjara, masih kaya.” Kayanya pun kaya bener, bukan kaya doang. Dan memang, pada akhirnya di dalam buku itu saya bilang, solusi korupsi di samping hukum adalah transendensi, satu, bagaimana orang memahami kerakusan, iri hati, memahami sisi-sisi gelap dalam dirinya. Setelah dia paham itu, dia bisa melampauinya. Tapi kalau dia tidak paham itu, bahkan cenderung mengabaikannya atau menganggapnya sebagai dosa atau godaan setan, [tidak paham itu] akhirnya dia hanyut.
(08:15-09:00)
Hendar : Eksternalisasi kesalahan itu sendiri merupakan bentuk dia tidak mau mengakuinya ya?
Reza : Iya, karena dia tidak paham. Dia menyangkal bahwa dirinya itu punya sisi gelap itu, sisi rakus, sisi hewani. Nah buku itu memang terlebih untuk memahami sisi gelap manusia yang menjadi sumber korupsi, lalu mencoba menawarkan jalan keluar dari situ, dari pemahaman bukan dari penyangkalan. “Oh, kita ini makhluk suci, makhluk pilihan Tuhan.”
Hendar : Imago dei.. Citra Allah.
Reza : Imago dei, citra Allah. Itu bener, tapi tidak hanya itu. Maka, solusinya adalah transendensi, bagaimana manusia memahami sisi-sisi gelap dirinya. Lalu, kedua adalah mencoba melampaui semuanya itu. Memang pada akhirnya, jalan paling efektif untuk membongkar korupsi adalah pendidikan. Tidak bisa disangkal.
(09:01-13:30)
Hendar : Oke, Good. kalau begitu, kita bisa masuk ke poin nomor dua. Sekarang yang kami sedang lakukan penelitian, tahun lalu sebagai background aja, tahun lalu kami sudah masuk ke sekitar 10 sekolah di Banten dan 10 sekolah di Jakarta, cukup banyak ya 20 itu. Tapi, efektif yang mau bekerjasama sekitar 19 sekolah, artinya kami tempuh dengan tahap kuisioner dulu, kami berikan daftar pertanyaan kepada para siswa 30 orang di tiap sekolah, jadi sekitar totalnya responden ada 570-an siswa SMA se-DKI Jakarta dan Banten. Lumayan itu 570. Kami masih punya berkasnya semua, data orisinilnya kami masih punya. Hasil olahan datanya juga ada. Diantaranya misalnya ada pertanyaan yang begini, “Apakah menurutmu, korupsi bisa dilakukan di sekolah, dalam setting sekolah?” Kami berikan contoh: menyontek. Tapi hasilnya mengejutkan sekali, karena dari 570 siswa, ini yang sejauh saya ingat untuk koma persennya saya gak hapal. Tetapi begini, dominan mengatakan bahwa menyontek, baik itu waktu ujian maupun nyontek PR, bagi mereka itu bukan korupsi. Itu merupakan kesalahan, tapi bukan korupsi. Jadi, mereka menoleransi sikap seperti itu atau tindakan nyontek itu dengan mengatakan itu adalah hal yang biasa saja. Salah ‘sih memang karena mereka tahu itu melanggar aturan sekolah, tapi bukan korupsi. Nah, kami akhirnya kemarin memberikan penyadarannya adalah itu adalah benih korupsi, karena kamu mengakui bahwa sebenarnya itu tidak jujur. Nah, itu. Jadi itu adalah contohnya aja, jadi, ternyata mereka sendiri melihat bahwa korupsi itu lebih dekat dengan materialisasi. Jadi, kayak misalnya nyontek, bagi mereka itu bukan materialisasi karena bagi mereka, saya cuma melihat, “Oh, dia gak kehilangan kok.” yang nyontek dia, tapi dia gak kehilangan barangnya. Tapi, mengambil uang kas kelas, bagi mereka itu korupsi.
Reza : Nah, tahan dulu. Sebenarnya, korupsi itu apa? Jadi ada dua. Yang pertama, korupsi dari kata corruptus, tapi akar (etimologis)nya adalah pembusukan. Jadi, sesuatu itu disebut corrupt kalo itu membusuk. Dan itu dari hal-hal yang sangat immaterial, misalnya kamu bersahabat sama orang karena ada maunya, kamu ingin naik pangkat makanya kamu bersahabat dengan dia. Artinya persahabatan itu turun derajatnya, membusuk menjadi corrupted friendship istilahnya. Persahabat yang corrupt, membusuk. Jadi nilai-nilai luhur manusia, misalnya agama itu ‘kan luhur, untuk membantu manusia untuk menemukan kebaikan dan kedamaian. Tapi ketika itu dipolitisir, agama menjadi corrupt, agama menjadi busuk. Dan itu disebut corrupted religion, agama yang sudah menjadi alat politik.
Hendar : Itu bentuk immaterialnya dari korupsi ya?
Reza : Iya, sesuatu yang luhur tapi karena dicampuri oleh kepentingan-kepentingan busuk. Akhirnya jadi ikut busuk sesuatu itu.
Hendar : Termasuk pendidikan juga bisa masuk disitu?
Reza : Pendidikan, ketika pendidikan menjadi proses cuci otak untuk indoktrinasi. Apalagi, pendidikan di Indonesia dijajah oleh dua, formalisme agama, jadi pendidikan itu dijadikan pendidikan agama-agama yang seperti itu sama pendidikan yang untuk mengabdi kepada kepentingan bisnis, pokoknya ada duitnya. Duit, duit, duit, duit, duit. Makanya jurusan-jurusan seperti sastra Jawa, sejarah malah semakin minim. Sekarang sudah akuntansi, komputer, perpajakan, yang ada duitnya justru semakin banyak, ya. Jadi, ketika pendidikan sudah kena virus itu, formalisme agama dan kepentingan bisnis, pendidikan jadi corrupt , pendidikan jadi busuk. Jadi itu adalah arti asalinya, arti sebenarnya ya. Tapi dalam pendidikan ‘kan berkembang, korupsi yang dipahami oleh banyak ahli saat ini sebagaimana dalam buku saya yang saya pake adalah ketika kita menggunakan barang publik untuk kepentingan privat. Jadi, barang itu adalah sesuatu yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum atau bersama, kita gunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan kita semata. Contoh, trotoar. Trotoar itu ‘kan punya umum, ketika saya pakai buat jualan. Saya sedang melakukan korupsi, kenapa? Karena saya menggunakan barang umum untuk kepentingan pribadi saya.
Hendar : Dan menghalangi orang lain yang mengakses itu.
Reza : Iya, meresahkan orang lain. Jadi, tindakan-tindakan korupsi yang dalam tindakan sehari-hari. Ketika naik motor, motong jalan lewat trotoar. Itu ‘kan buat orang pejalan kaki bukan buat pengendara motor. Makanya pengendara motor itu sedang melakukan korupsi, menggunakan barang publik untuk kepentingan privat. Apalagi kalau sudah urusan keuangan negara, itu mah sudah jelas.
(13:31- 15:00)
Hendar : Iya, kalau itu ‘kan Undang-Undang tindak pidana korupsi.
Reza : Iya, Nah kalau itu ‘kan sudah jelas masuk ke dalam Undang-Undang tindakan pidana korupsi. Dana APBN digunakan untuk kepentingan-kepentingan jalan-jalan sama keluarga, beli mobil baru, itu ‘kan nyolong, itu jelas korupsi.
Hendar : Iya, betul.
Reza : Nah, dalam kasus anak SMA ini, mungkin mereka juga agak blur ya dengan pengertian corrupt. Mereka tahu kalau menyontek itu salah, itu perbuatan salah itu jelas. Tapi apakah bisa dikategorikan korupsi, juga mungkin mereka agak bingung, karena mereka gak paham korupsi itu apa sebenarnya.
Hendar : Hmm, Iyaa.. Iyaa.
Reza : Kalau dalam soal sekolah itu misalnya, yang justru jadi banyak gurunya ya yang saya ambil.
Hendar : Ya, Ya. Itu memang terjadi dan memang mereka cerita juga ke kami.
Reza : Laptop yang seharusnya digunakan untuk keperluan mengajar, dibawa ke rumah untuk main games sama anaknya. Ya, gapapalah semua orang melakukan itu, akhirnya korupsi menjadi budaya, ‘kan tidak ada kepekaan, “Oh, ini korupsi loh.” Karena itu barang untuk kepentingan sekolah, kepentingan bersama. Ketika dipakai untuk main game kamu dan anakmu, kamu menggunakan barang publik untuk kepentingan privat itu korupsi per definisi.
Hendar : Per definition-nya. Belum dana BOS dan sebagainya lagi yang lain.
Reza : Ya, kalau sekolah-sekolah negeri, ya. Mudah dipakai untuk macam-macam, pemelintiran macam-macam. Jadi, memang harus ada pemahaman dulu kalau menggunakan barang publik untuk kepentingan privat itu korupsi, disini. Masalah ada hukum atau engganya, engga ada urusan. Tapi itu korupsi. Dan ini harus disebarkan pemahaman, karena banyak orang Indonesia gak tahu. Karena memang konsep barang privat di Indonesia itu belum jelas ‘sih. Masih blur ya.
(15:01-17:28)
Hendar : Oh, oke..
Reza : Ya, ini ‘kan tanah, tanah milik Tuhan bisa dipakai semuanya. Padahal itu tanah milik orang, sudah jelas ya. Tanah milik negara dibikin rumah. Yang seperti di pinggir rel, itu ‘kan banyak dibuat rumah-rumah. Itu ‘kan tanah milik negara, tapi bikin rumah, nanti ujungnya tanah ini milik Tuhan. Ya bener, tapi bukan itu konteksnya, ‘kan? Yaa, semua juga milik Tuhan.
Hendar : Everything under the sun, lalu ya.
Reza : Jika mau mendirikan rumah di tanah negara, kamu menggunakan barang publik untuk kepentingan privat, itu korupsi. Per definition-nya. Kayaknya hukum belum sampai ke situ. Undang-Undang Tipikor itu hanya soal penyelenggara negara.
Hendar : Ya, gratifikasi misalnya atau penyuapan, birokrasi, administratif juga, ya unsurnya.
Reza : Belum sampai pemahaman yang hidup sehari-hari. Saya dulu pernah membahas soal korupsi di Jerman untuk mahasiswa Jerman. Mahasiswa Indonesia di Jerman (PPI). Kalau ngomong itu ada kasus dimana mereka tinggal di asrama, mereka menggunakan kertas toilet milik asrama untuk kepentingan privat mereka, misalnya di kamar.
Hendar : Dibawa maksudnya?
Reza : Iya, dibawa. Mereka gak melihat itu korupsi. Ya kan itu kita pake bareng-bareng. Ya, kan itu dipake di WC umum bukan di kamarmu.
Hendar : Dan pendanaan pembelian tisu itu sendiri dari negara?
Reza : Iya, itu dari negara Jerman. Itu dipakai untuk kepentingan asrama bukan untuk kepentingan di bawa ke kamar untuk kepentingan sendiri-sendiri, maksudnya ya, “Daripada beli baru mending ambil aja tisu yang ada di toilet.” Ya, untuk bersihin kaca, macam-macam.
Hendar : Itu mereka kaget dong digituin?
Reza : Kaget. Ya, waktu saya bilang, mereka korupsi, mereka kaget. Karena mereka gak tahu kalau itu korupsi. Mereka mengira, yaa…
Hendar : Padahal ini mahasiswa yang studi di Jerman. Itu aja mereka gak paham. Waw, luar biasa ya. Kalau begitu, ini memang revolusioner sekali ya.
Reza : Iya. Memang banyak banget orang yang melakukan korupsi, tetapi mereka gak tahu kalau itu korupsi. Karena di kepala mereka kalau korupsi itu, ya soal KPK, pejabat publik, tapi bahwa dalam kehidupan sehari-hari ketika menggunakan barang milik publik untuk kepentinganmu, itu korupsi per definisi. Itu yang di buku saya bahas, yang terbitan 2017. Saya ada soft copy-nya.
Hendar : Nanti saya bisa tanyakan David, dia agennya Kanisius, bisa.
Reza : Oke, jadi ya begitu.
(17:29-19:42)
Hendar : Oke, itu apakah ada contoh-contoh seperti itu di buku?
Reza : Engga ada. Saya cuma bilang itu, korupsi ya itu. Bisa secara logika digunakan untuk menganalisis kasus-kasus lain.
Hendar : Jadi, kalau pada siswa SMA tadi yang antara kaitan menyontek, bagi mereka itu salah tapi bukan korupsi. Kalau bagi tim peneliti itu adalah benih-benih menuju korupsi, Anda setuju gak?
Reza : Jadi, benih korupsi itu rakus.
Hendar : Oke, jadi kita tarik lebih dalam ya. Jadi..
Reza : Jadi, orang ingin memiliki sesuatu yang bukan haknya karena berbagai sebab lah. Sambil pamer, Indonesia masih begitu ‘kan? Tetangga beli mobil baru, kita harus beli mobil baru. Budaya itu, saya sendiri masih merasakannya di gang saya.
Hendar : Tekanan seperti itu ya?
Reza : Iya, karena mobil saya itu mobil tua dan saya bangga dengan itu. Tapi tetangga saya beli mobil baru, tetangga yang lain, “Ih, dia beli mobil baru tuhh. Yuk, kita beli mobil baru juga. Mas Reza gak beli mobil baru?” “Oh, gapapa masih oke nih.” Tapi jawaban saya nih aneh buat mereka. Ni mestinya kita semua, ya gak enak dong, tetangga beli mobil baru. Budaya semacam itu loh. Budaya pamer, budaya iri hati,
Hendar : sawang sinawang, lihat-lihatan, kok lu punya ini, gue gak punya.
Reza : Budaya pamer, budaya iri hati, terus besar pasak daripada tiang, pendapatan seberapa, pengeluaran seberapa. Budaya-budaya semacam itu yang menjadi celah untuk korupsi. Dan itu sayangnya, masih tersebar begitu luas di akar rumput terutama. Ya, tadi, tetangga renovasi rumah, “Ih, duit darimana?” “Kita juga harus renovasi, ahh..” kan gak ada duit, akhirnya bagaimana caranya supaya dapet uang? Cara cepat biar dapet uang, gimana? Nyolong.
Hendar : Korupsi, itu.
Reza : Entah kamu dapat warisan, cepet dapet duit, atau kamu nyolong? Ya gitu aja, akhirnya mereka nyolong. Kalau kebetulan mereka pegawai pemerintah, bisa ambil dari macem-macem, kalau dia pegawai swasta bisa markup segala macam. Tapi itu korupsi, anaknya melihat itu, “Oh, Bapak saya dapet duit cepet, tinggal nyolong. Yaudah, saya ikut juga.” Ya gitu. Itu tadi pendidikan keluarga, yah. Akhirnya, ada faktor keteladanan. Korupsi jadi teladan.
Hendar : Hmm.. Korupsi malah jadi teladan.
Reza : Di sekolah diajarin tidak melakukan korupsi, tapi Bapak saya korupsi?
(19:43-21:48)
Hendar : Nah itu bagaimana skemanya itu inverted values, pembalikan nilai-nilai, ressentiment [konsep Nietzsche]. atau apa ini?
Reza : Engga, masalahnya adalah mana yang lebih punya pengaruh kuat ke anak. Orangtua apa sekolah? Ya, jelas orangtua. Di sekolah diajarin tidak boleh korupsi, tapi kemudian ia lihat bapaknya atau ibunya atau keluarganya korupsi, didiamkan? Malah dianggap keren karena jadi kaya tiba-tiba, gitu ya. Lalu anak mengalami kebingungan, mana nih yang bener? Keluarga atau sekolah? Ya, kalau anak itu belum punya pemikiran kritis, ya dia pasti ikut keluarga, itu secara alamiah. Dan, ya akhirnya itu salah satu tatanan besar membongkar korupsi adalah karena itu menjadi sesuatu yang dianggap bagus. Menjadi kaya karena korupsi, itu sesuatu yang dianggap biasa atau bahkan layak dicontoh dan orang berlomba-lomba untuk masuk ke posisi-posisi dimana mereka bisa korupsi yang biasa disebut lahan basah. Apa kek..?
Hendar : Dinas pekerjaan umum misalnya.
Reza : DPM, makanan atau jadi polisi.
Hendar : Bea cukai.
Reza : Orang mau jadi polisi bukan karena ingin mengayomi rakyat, karena banyak pemasukan-pemasukan yang tidak jujur, gitu ya?
Hendar : uncountable ini, ya. Income.
Reza : Pemasukan yang seharusnya buat negara, masuk ke kantongnya dia. Korupsi kan itu, misalnya tilang, ngurus-ngurus surat, biar bisa dapet shortcut segala macem. Tapi kan itu harusnya uangnya uang negara, tapi akhirnya diambil untuk dia. Nah, itu dianggap biasa. Polisi aja melakukan itu.
Hendar : Polisi yang menegakkan hukum aja melakukan itu.
Reza : Cobalah saya perpanjang SIM, “Mas, mau jalur cepat bayar segini atau jalur nunggu bayar segini?” itu polisi yang minta begitu. Kalau jalur cepet, nanti segini langsung nanti selesai. Nah, ya orang, kita pilih cepet lah ya, gak mau bertele-tele ‘kan?
Hendar : Dikondisikan untuk ..
Reza : Dikondisikan. Polisinya aja melakukan itu dan…
Hendar : Masa kita melawan polisi, engga saya gak mau ini. Kan kita juga, ya lalu ‘kan susah.
Reza : Dan sejauh saya tahu, KPK belum berani untuk polisi.
Hendar : Karena unsur KPK sendiri diantaranya adalah polisi. Jadi ya mau bagaimana mau ngobrak-abrik rumahnya sendiri?
(21:49-24:52)
Reza : Belum lagi yang masuk ke militer.
Hendar : Hmm.. Di TNI segala maksudnya?
Reza : TNI. Saya punya temen yang jelas-jelas salah satu bagian dari militer, sering mengadakan pelatihan-pelatihan palsu. Ada dananya tapi tidak ada pelatihannya, misalnya..
Hendar : Bukti tanda tangan daftar hadir?
Reza : Ada. Tapi ‘kan itu bisa dibikin. Tapi pelatihan aslinya enggak ada.
Hendar : Foto-foto, dokumentasinya?
Reza : Ya dibuat-buat aja. Yang penting ‘kan ada dokumentasi. Masalah bener apa enggaknya ‘kan.. Lagian enggak ada yang ngecek juga. Siapa yang meminta akuntabilitas TNI dan POLRI? Transparansi dana? Engga ada yang berani. Itu salah satu faktor kenapa…
Hendar : Kok serem ya sebenarnya kalau korupsi di kubu militer itu …
Reza : Ya, maka pengadaaan apa?
Hendar: Iyaa, misalnya mau dari tank sampai dengan …
Reza : Beli rudal sampai dengan senapan-senapan baru, siapa yang mau ngecek?
Hendar : Di DPR kan ada bagian untuk pertahanan dan keamanan, ‘kan? Tapi ya dari DPR-nya sendiri aja begitu.
Reza : Komisi 1. Ya, tapi tau kan lah ya DPR kita kayak gimana ? Jadi, yaaa..
Hendar : LSM juga enggak ada berani yang ngutak-ngatik TNI ya? Untuk apa, misalnya TNI watch gitu kan ya?
Reza : Saya belum pernah denger.
Hendar : TNI watch memang belum pernah denger, tetapi kalau Polisi watch kan ada ‘kan? Terus mereka juga ada komisi, Kompolnas, ya.
Reza : Mungkin kali. Saya belum pernah denger. Dimana mereka masuk untuk minta transparansi dana, penggunaan pembelian tadi. Dan mereka itu ‘kan aparat hukum, ya. Ketika mereka saja tidak transparan dan malah cenderung banyak korupsi. Ya, wajarlah kalau itu jadi budaya di masyarakat. Orang tidak merasa sungkan lagi untuk melakukan korupsi, walaupun mereka tahu itu korupsi. Jadi ada dua, yang pertama, mereka tidak tahu itu korupsi. Yang kedua, mereka tahu tapi tetap dilakukan, kenapa? Karena semua orang sudah melakukan itu termasuk lembaga hukum.
Hendar : Sudah menjadi kelaziman.
Reza : Saya juga pernah dapet cerita nyata, teman saya yang di pemerintahan Jawa Barat, oknum KPK-nya pun bisa diajak korupsi. Jadi KPK pun tidak kebal korupsi. Saya bilang ini apa, bupatinya minta dana, apa ya? Uang memperlancar ‘lah biar lancar dalam birokrasi ‘lah istilahnya. Terus, dilaporin KPK loh? Hahaha, pegawai KPK-nya nih, pegawai KPK-nya juga minta uang pelancar juga.
Hendar : Pegawai itu bukan penyidik, ya?
Reza : Saya gak tahu persis, ya. Mungkin oknum KPK juga. Ya, KPK selalu tampil di headline berita sebagai..
Hendar : Ya, ya, malaikatnya lah istilahnya.
Reza : Iya, menangkapi para koruptor ini.
Hendar : Santo Mikhael yang bawa pedang, ini, ya?
Reza : Iya, tapi apakah lembaga ini sungguh bersih, ini ‘kan…
Hendar : Di dalamnya sendiri, kita gak tahu.
Reza : Itu kesulitan memang. Salah satu dilema di demokrasi. Siapa yang mengurus para pengurus? Siapa yang mengawasi para pengawas? Nah, disitu makanya solusinya harus lebih fundamental, daripada hanya sekadar hukum. Karena ketika aparat hukumnya sendiri sudah terbiasa dengan korupsi, lalu solusi untuk menghancurkan korupsi itu menjadi mentah.
(24:53-27:11)
Hendar: Tapi kekuatan.. Contoh karena tadi bicara tentang keteladanan tanda kutip nilai korupsi, orang-orang dengan tokoh yang kita sudah tau namanya seperti Bapak Kapolri Hoegeng Imam Santoso (mantan Kapolri ke-5, bertugas 1968-1971), polisi yang katanya jujur sekali, terus ada (mantan Hakim Agung 2 September 2000 s.d 1 Juni 2018) Artidjo Alkostar yang masih hidup, yang jadi hakim agung itu kan.. Ada beberapa lagi tokoh-tokoh anti korupsi, misalnya Benjamin Mangkoedilaga kalau pernah dengar. Jadi apakah mereka itu tidak cukup kuat untuk mengangkat moral maupun moril dari roh bangsa ini, supaya ini lho yang diteladani tuh yang ini, bukan yang tuh tuh tuh tuh itu. Bagaimana?
Reza: Ya itukan seperti pemanis bibir, ya istilahnya ya. Ya ini … supaya kesannya ada upaya memberantas korupsi, tapi dalam pelaksanaan sehari-hari tuh masih korup total-totalan, mulai dari pengurusan paspor, pengurusan SIM, perpanjangan surat, motor, mobil, segala macem, urusan tilang menilang, ngurus tanah, segala macem, itu juga masih suap kiri suap kanan. Itu seperti, itu membangun citra kosong aja, karena upaya, apa ya, dalam kesehariannya juga masih jauh ya. Jadi seperti istilahnya, ya, menampilkan sesuatu yang bagus untuk menutupi yang buruk.
Hendar: Façade aja ya di depan aja ya?
Reza: Iya pencitraan aja. Façade, kayak gedung bagus, tapi dalamnya bocor, listriknya macet, kecoanya banyak, toiletnya jorok, tapi depannya bagus.
Hendar: Oke, oke.
Reza: Itu seringkali digunakan oleh penguasa politik ya untuk memodifikasi supaya mereka bisa dipilih lagi, diangkat lagi, seolah-olah mereka tuh bersih dan anti korupsi, pencitraan! Dan itu memang taktik politik. Diangkat, misalnya 3 orang anti korupsi, tapi ada 10 juta lainnya koruptor, ya mau gimana?
Hendar: Jadi ada penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption award yang (diberikan) setiap tahun..
Reza: Itu tetap dilakukan, sebagai sebuah usaha-usaha simbolik untuk memerangi korupsi, tapi, membongkar birokrasi, penyebaran pemahaman korupsi dalam masyarakat sebenarnya dari mulai penggunaan trotoar untuk berdagang, itu juga harus terus dilakukan.
(27:12-31:01)
Hendar: Baik, yang terakhir tadi tentang keluarga? Penarikan nilai-nilai sikap, nilai-nilai dan pembentukan sikap anti korupsi yang dimulai dari keluarga, kira-kira apakah ada blueprint yang bisa kita contoh, berangkat dari pengalaman Saudara Reza karena pernah tinggal di luar negeri, gitu misalnya?
Reza: Pengalaman saya tinggal di Jerman adalah, korupsi itu memalukan ya, mereka tidak melihat itu sebagai pelanggaran hukum, mereka melihat itu sebagai masalah harga diri. Kalau orang korup, itu orang gak punya harga diri. Makanya ketika misalnya, kita mau nyuap polisi di Jerman, kita seperti menghina mereka. Dengan mengatakan “lo tuh bangsat, lo tuh koruptor, makanya gue bayar.” Jadi memang sudah ada budaya, orang yang melakukan korupsi itu orang yang gak punya harga diri, orang yang martabatnya rendah.
Hendar: Scum of the earth, artinya sampah masyarakat, semacam itu.
Reza: Ya, jadi jelek lah. Kalau di Indonesia, kan orang koruptor mobilnya Alphard, bagi-bagi, nyumbang ke gereja, ke masjid, ke wihara, ke tempat-tempat ibadah, biar untuk mereka dianggap suci. Kita masih terpukau sama itu, walaupun kita tahu itu uang korupsi. Wah mobilnya baru, wah rumahnya besar, wah nyumbang buat masjid, wah berzakat. Padahal uangnya darimana kita gak tahu.
Hendar: Ya, ya. Kalau disana belajar pembentukan harga diri itu dari keluarga juga di bule atau gimana?
Reza: Persis, persis. Jadi banyak, dan itu masalah hukum ya. Kalau ketangkap tuh hancur ya. Jadi gak kayak di Indonesia, ketangkap 2-3 tahun keluar. Ketangkap hancur, harus dikembalikan, dan dia ya bangkrut lah total dan dipenjara lama sekali. Itu satu. Dan yang kedua, ada pemahaman yang tersebar di masyarakat bahwa korupsi itu hanya dilakukan oleh orang-orang rendah, martabat rendah. Dan mereka gak melakukan korupsi karena mereka tahu itu menunjukan bahwa mereka gak punya harga diri. Itu yang harus, saya pikir harus ditanamkan.
Hendar: Oke, integritas ya.
Reza: Integritas terlalu luas ya. Integral, menyeluruh. Tapi lebih bagaimana kita rebranding. Rebranding itu berarti membangun pemahaman baru bahwa korupsi itu soal pelecehan harga diri. Satu itu. Terus kedua, mungkin masuk ke yang lebih mendalam lagi ya. Memang pada akhirnya solusinya adalah pendidikan, itu sudah jelas lah.
Hendar: Pendidikan nilai di dalam keluarga kah?
Reza: Jelas. Tapi pendidikan nilai yang disertai keteladanan. Jangan bapaknya bilang, “kamu harus jujur!” tapi bapaknya nyolong, “kamu harus jujur!” tapi bapaknya selingkuh. Anak itu melihat apa yang dilakukan, bukan apa yang dikatakan.
Hendar: Oke.. Ya, ya.
Reza: Itu psikologis banget ya. Anak itu meniru apa yang, meniru perbuatan, bukan meniru perkataan. Itu jelas. Nanti lo.. hahaha, ajarin anak-anak yang baik-baik, lo harus lakukan. Supaya dilihat. Yang dilihat adalah apa yang lo lakukan. Bukan apa yang lo katakan, yang lo katakan akan dilupakan. Jadi membangun keteladanan di dalam keluarga, orang tua tuh harus, ya mereka mengajarkan yang baik-baik ke anaknya, mereka harus mengikuti itu. Saya bahkan punya pemikiran orang gak bisa sembarangan jadi orang tua, harus ada seleksi. Hahaha. Jangan nikah, punya anak, nikah, punya anak, kayak kelinci aja.. Tapi gak siap didik anak. Ngomongnya baik-baik, harus jujur, harus soleh, tapi bapaknya selingkuh, atau ibunya selingkuh, atau apa.. Mukulin anaknya, kekerasan dalam keluarga. Ngomongnya sayang, tapi mukul. Bapak sayang kamu, besok dipukul.
(31:02-34:39)
Hendar: Jadi, rebranding suatu, apa ya namanya ya, kerangka pembentukan sikap itu lewat adanya nilai, pengajaran pendidikan nilai, tapi juga keteladanan dari nilai yang diucapkan itu..
Reza: Pasti. Keluarga dan guru.
Hendar: Gurunya juga, mulai dari TK ya berarti ya.
Reza: Guru kan sosok kedua ya, yang menjadi panutan seorang anak. Guru TK, guru harus bersih dari korupsi. Keteladanan-keteladanan itu harus dibangun. Jangan sampai anak lihat, loh kita diajarin anti korupsi, tapi guru itu bawa laptop ke rumah, itu mobil sekolah dipakai jalan-jalan, apa penghapus, bolpen dari sekolah di bawa pulang. Anak melihat itu kan. Jadi kita jadi munafik aja deh. Jadi sebenarnya yang diajarkan di banyak keluarga dan pendidikan di Indonesia yang saya lihat adalah mengajarkan kemunafikan. Artinya, mereka mengajarkan harus jujur tapi mereka nyolong, mereka mengajarkan harus baik, harus penuh sayang, tapi mereka kasar. Menghukum dengan kasar, memaki dengan kasar, membunuh kebebasan. Jadi banyak kemunafikan-kemunafikan yang diajarkan, secara tidak langsung sebenarnya. Mereka juga gak sadar, mereka mengajarkan kemunafikan. Kaya tadi orang tua, “kita harus hidup hemat, nak..” tiap awal tahun ganti mobil, tiap minggu ke mall, “kita harus hidup sederhana, nak..” tapi handphone ada dua puluh di rumah, bayar pake kartu kredit, yang harus ngutang. Jadi kemunafikan-kemunafikan, kontradiksi-kontradiksi itu yang akhirnya mematikan dan anak jadi bingung. Seperti yang saya bilang, anak meniru apa yang diperbuat, meniru perbuatan bukan meniru perkataan. Itu terjadi di sekolah maupun di keluarga, dan mereka jeli melihat itu.
Hendar: Jeli walaupun tidak terkatakan ya?
Reza: Mereka melihat..
Hendar: Mereka melihat, mereka membentuk ya.
Reza: Iya.
Hendar: Mengkonstruksi ya didalam.
Reza: Bapak gua bilang gua harus jujur, tapi bapak gua kemarin katanya mau ngajak jalan, tapi sekarang gak jadi. Berarti dia bohong. Berarti bohong gapapa. Tuh dia kemarin bilang mau jalan, sekarang gak jadi. Bohong. Yang gitu-gitulah, hal kecil seperti itu yang mereka lihat. Bapak gua bilang gua harus penuh sayang, sayang sama orang lain, tapi bapak gua mukulin ibu gua. Yang mereka tiru yang mana? Yang sayang diomongin atau yang dilakuin bapaknya? Yang dilakuin bapaknya! Nanti anak itu akan mukulin orang lain juga atau mukulin istrinya atau suaminya. Ya itu proses sosialisasi kan gitu, internalisasi. Begitu juga soal korupsi. Diajarin harus nilai-nilai agama yang luhur, bapaknya maling. Korupsi birokrasi, entah dirjen, atau apalah, atau pegang proyek dari negara, nyolong. Anaknya kan lihat. Jadi nyolong itu boleh? Ya gua nyolong aja. Jadi kita membangun generasi koruptor, tanpa kita sadari. Kita pengennya membangun generasi anti korupsi, tapi karena tidak ada keteladanan, yang ada adalah kemunafikan, lalu secara tidak langsung kita membangun generasi koruptor. Jadi kayak sebaliknya. Itu yang disebut unintended consequences, dampak yang tidak diinginkan tapi terjadi karena kita tidak jernih dalam melaksanakan proses pendidikan itu, penuh kemunafikan, penuh kontradiksi. Ya itulah.
(34:40-36:27)
Hendar: Kalau sumbangan dari zen yang dipelajari oleh Saudara Reza bagaimana?
Reza: Zen itu kan begini.. Jadi kejahatan manusia, hal-hal jahat termasuk korupsi, itu terjadi karena manusia itu menderita. Entah dia dirongrong oleh rasa iri hati, lihat tetangga beli mobil baru misalnya, atau lihat kok kakak saya lebih sukses daripada saya, atau adik saya lebih sukses, atau ponakan saya lebih sukses daripada saya, ada rasa iri hati, itu kan menderita, orang iri itu kan gak enak rasanya. Pernah gak sih ngerasa iri hati? Itu orang apartemennya keren banget, rumah gue biasa-biasa aja. Rasa iri hati kan gak enak, atau rakus. Gue udah punya cukup, ingin lebih. Ada perasaan yang diisi dengan makan, dengan belanja. Jadi, banyak kejahatan, hampir semua kejahatan yang manusia lakukan kepada orang lain, termasuk maling, membunuh, korupsi, itu karena orang menderita. Dia diserang oleh rasa iri, rasa rakus, itu dia pasti menderita. Nah, dari kacamata zen, orang menderita itu karena dia tidak tahu siapa dia sebenarnya. Orang melihat dirinya melulu sebagai identitas sosialnya. Saya adalah nama saya, saya adalah agama saya, profesi saya, kondisi ekonomi saya, keluarga saya. Nah, itu kan hal-hal yang berubah ya. Kondisi ekonomi naik turun, nama juga bisa diubah, profesi bisa ganti, agama pun bisa ganti sekarang. Jadi, ketika orang menyamakan diri mereka dengan identitas sosial mereka, mereka rapuh, selalu dalam keadaan insecure. Kenapa? Karena itu semua berubah. Sekarang saya kaya, besok saya bisa miskin, kan gak ada yang tau, penuh ketidakpastian. Miskin karena bukan salah saya, karena kondisi ekonomi nasional mungkin. Dolar naik tujuh belas ribu misalnya. Jadi serajin apapun saya bakal miskin, apalagi kalo kerja saya ekspor impor ya. Jadi ketika orang hidup dengan penuh ketidakpastian seperti itu, orang lalu menderita. Dan menderita itu ujungnya banyak..
Hendar: Outlet penyalurannya ya?
Reza: Dampaknya banyak. Dari iri hati, rakus, kekerasan. Orang melakukan kekerasan kan karena dia tidak nyaman, tidak bahagia dengan dirinya. Makanya saya bilang, coba tunda semua identitas sosialmu. Tunda pemahamanmu tentang agamamu, negaramu, lalu kembali ke diri kamu yang sebenarnya, sebelum itu semua, sebelum identitas sosial.
Hendar: Original position.
Reza: Ya original. Sebelum original position. Masih ada konsep, masih ada kata. Sebelum identitas sosial..
Hendar: Sebelum kata..
Reza: Bahkan sebelum konsep.
Hendar: Sebelum konsep..
Reza: Jadi ya kita ini kan, salah satu sumber penderitaan manusia adalah pikiran. Pikiran itu.. Pikiran itu berguna untuk kerja, nyetir, atur duit. Tapi ketika semua hal dipikirkan, jadinya overthinking, terlalu banyak berpikir. Terlalu banyak berpikir melahirkan kecemasan. Jadi, lagi kencing mikir, lagi nyetir mikir, lagi jalan mikir, lagi duduk mikir. Ketika pikirannya overload ya, terus berlangsung gitu ya, itu membuat orang cemas, takut. Mikirin masa depan, menyesal atas masa lalu, coba dulu saya begini, apalagi kalo punya keluarga, nanti anak saya gimana, cucu saya gimana, cicit saya gimana, tujuh turunan dipikirin. Itu karena pikiran yang overload. Nah, zen mengajak kita untuk melepaskan semua itu dan kembali ke sebelum pikiran. Kondisi kejernihan, sebelum pikiran ini, yang ada cuma dua, jernih dan damai. Ini yang disebut kondisi asal manusia, jati diri manusia. Ketika orang sampai ke kondisi itu, dia jernih, dia damai, lalu dia kembali lagi bisa menggunakan pikirannya dengan maksimal. Saya membuktikan sendiri kalo saya abis belajar zen, saya jadi lebih produkitif, lebih bahagia, lebih.. Walaupun mungkin..
Hendar: Fullfilled ya..
Reza: Ya, lebih damai. Sehingga saya tidak menderita. Karena saya tidak menderita, saya tidak berbuat jahat ke orang lain, saya tidak korupsi, saya tidak maling, dan tidak perlu iri hati. Walaupun banyak kesempatan untuk itu ya, untuk iri hati, untuk maling, untuk korupsi, saya tidak mau mengotori, buat apa? Saya sudah bahagia kok dengan apa yang ada. Jadi belajar untuk, ya, damai jernih dengan keadaan yang ada. Lalu lakukan apa yang perlu dilakukan.
(39:43-41:55)
Hendar: Bagaimana pendekatan zen itu bisa didamaikan dengan tuntutan birokrasi modern, misalnya, atau konsep progresivitas bahwa manusia perlu progress dong, hidupnya tadinya misalnya gubuk miskin menderita lalu jadi punya rumah kavlingan, kontrakan, dan seterusnya. Itu kan progresivitas. Itu apakah semacam bentuk-bentuk dari excess dari modernitas yang lahir dari ketidakbahagiaan-ketidakbahagiaan atau disebut hollow consciousness misalnya, atau bagaimana? Kalau zen melihat..
Reza: Mungkin begini, progress oke, tapi, apa dasar dari kemajuan itu? Apakah ketakutan? Kalau dasarnya adalah ketakutan, kecemasan, pasti akan kacau. Sebenarnya saya ingin maju karena takut miskin. Harus saya pokoknya ngapain aja, supaya gak miskin. Bayangkan hidup semacam itu ya. Dibayangi terus ketakutan, ketakutan akan miskin, ketakutan akan gagal, kecemasan akan masa depan. Mungkin dia akan sukses nanti, tapi hidup macam apa yang dia jalani ya. Banyak orang sukses, baru-baru ini ada dua orang yang sangat sukses di dunia global, bunuh diri.
Hendar: Yang si Kate Spade (desainer fashion ternama yg bunuh diri) itu ya? [https://www.cnn.com/2018/06/05/us/kate-spade-dead/index.html]
Reza: Ada dua. Satu lagi, siapa tuh namanya lupa. Maka kesuksesan material, jika itu didasari ketakutan kecemasan, takut miskin, takut menderita, itu justru malah melahirkan penderitaan lebih besar lagi. Penderitaan kerakusan, iri hati, dan segala macam itu, korupsi. Pertanyaannya, hidup macam apa itu? Hidup macam apa itu yang dijalani? Manusia hidup cuma 70 tahun, 80 tahun lah ya, masa mau hidup kayak begitu? Hahaha. Oke, kaya, sukses, tanah dimana-mana, tabungan deposito dimana, tapi selalu dihantui oleh ketakutan akan miskin, ketakutan akan masa depan, hidup macam apa seperti itu? Dan ironisnya banyak orang menjalani hidup semacam itu. Mereka kerja banting tulang karena takut miskin. Sudah kerja banting tulang di hal yang tidak dia sukai, pulang ke rumah masih ada ketakutan akan miskin dan ketakutan menderita. Pantesan orang banyak stres, depresi, bunuh diri, dan narkoba. Narkoba itu kan pelarian. Orang tuh kalau gak ada masalah mana mau pake narkoba. Narkoba itu pelarian sesaat, masalahnya narkoba itu menciptakan kecanduan.
(41:56-43:51)
Hendar: Lalu industrinya juga ada. Jadi memang ada industri yang untuk mengekstrapolasi ketakutan manusia yang seperti itu ya?
Reza: Iya, pasti. Dan ada banyak industri yang mendistraksi ketakutan manusia itu. Belanja, diskon Ramadhan, hahaha. Atau film-film baru yang selama dua jam kita terdistraksi, setelah dua jam kita cemas lagi. Hahaha. Atau belanja, wah baju baru, seminggu lah seneng baju baru, habis itu menderita lagi. Hidup seperti lingkaran setan, itu yang disebut sengsara ya. Naik turun naik turun naik turun.
Hendar: Cycle of suffering, ya?
Reza: Ya, lingkaran penderitaan. Nah itu, jadi apa dasar, kalau kemajuan didasarkan oleh kejernihan dan kedamaian, tadi ya misalnya, dia sudah paham jati dirinya, dia sudah paham bagaimana cara kembali ke sebelum identitas sosial, kembali ke sebelum pikiran, dia sudah bisa jernih bisa damai lalu dia progress dari situ ya gak ada masalah. Karena dasar dari kemajuan ya kejernihan dan kedamaian, malah jadinya proporsional. Kerja tapi kerja secukupnya, seimbang lah, ada waktu untuk keluarga, ada waktu untuk rekreasi, apa lagi.. Punya ambisi boleh, tapi ambisinya bukan karena ketakutan atau iri hati.
Hendar: Yang kalaupun tidak diperoleh, ya dia tidak perlu sampai..
Reza: Ya kalau pun gagal, ya, coba lagi lah. Ambisinya, ambisi yang lebih altruis, misalnya untuk meruntuhkan kemiskinan, melawan korupsi. Seperti Bapak Hendar ini yang ambisinya sudah altruis ya, hahaha. Misi saya adalah membongkar korupsi.
Hendar: Mencegah. Mencegah korupsi dengan pembentukan sikap anti korupsi!
Reza: Ya, itu kan ambisi ya. Tapi ambisi yang tujuannya altruis, untuk kebaikan bersama. Bukan untuk..
Hendar: Buat saya sendiri, menang saya sendiri, bukan.
Reza: Supaya nanti anaknya bisa tinggal di Indonesia yang lebih..
Hendar: Ya, yang lebih peaceful.
Reza: Lebih kurang korup tuh, lebih kurang korup.
Hendar: Less corrupt than our era.
(43:52-48:11)
Reza: Intinya itu, silahkan bekerja, silahkan punya ambisi, tapi apa dasar ambisi. Kalau dasarnya adalah ketakutan, kecemasan, penderitaan, itu akan hancur. Itu akan menciptakan lingkaran penderitaan, lingkaran setan penderitaan. Tapi kalau dasarnya adalah kedamaian, sudah belajar kembali ke sebelum pikiran, kembali ke sebelum identitas sosial, sebenarnya gampang kok, duduk, dengerin. Dengerin orang jalan, orang ngomong..
Hendar: Gitu ya.
Reza: Karena detik ini gak ada pikiran. Ada suara apa, suara anak kecil. Ketika kita duduk dan hanya mendengar, itu tidak ada pikiran, tidak ada konsep. Ketika kita bisa sering disitu, ya ketika kita nyetir, kita di tempat makan, kita mandi, pikiran kita menjadi jernih. Dan ketika waktunya dibutuhkan untuk berpikir, pikirannya jadi lebih bagus. Karena lebih segar. Gak habis energinya. Itu zen. Itu saya kupas dalam dua buku saya.
Hendar: Yang terbaru.. Ada fotonya.
Reza: Bisa dibeli di penerbit, hahaha.
Hendar: Yang uang penjualan dan royaltynya.
Reza: Uang penjualannya saya sumbangkan ke pengembangan wihara.
Hendar: Oke. Mantap, altruis ya, motifnya altruis. Luar biasa. Oke, jadi, terima kasih atas sesi siang hari ini, dengan Saudara Reza Wattimena, kami teman lama sejak dulu kuliah di (nama kampus), back in 2005 ya, kita ketemu lagi setelah dua belas tahun, dalam percakapan yang selama ini baru, ya kayaknya baru ini lagi lah ya, secara face to face ya. Jadi saya sangat berterimakasih, dan bersyukur bisa ketemu sama Saudara Reza dengan kita bertukar pikiran, tidak semua selalu disetujui tapi kadang-kadang, ya ada perbantahan yang masih dalam koridor akademis ya, masih dalam koridor akademis, penggalian-penggalian pertanyaan juga, dan mudah-mudahan sumbangan dari pemikiran zen kembali back to basic yaitu sebelum berpikir yaitu adalah kondisi yang jernih dan damai.
Reza: mencerap … to perceive, bahasa Inggrisnya.
Hendar: to perceive..
Reza: (bahasa Jerman) sekedar melihat, sekedar mendengar.
Hendar: Tanpa menjudge ya, tanpa analisis, tanpa judge.
Reza: Mungkin bagusnya adalah, mengamati tanpa penilaian. Saya melihat ada anak. Saya tidak menilai anak itu baik anak itu buruk. Saya melihat.
Hendar: Lihat saja ya.
Reza: Itu dalam buku zen. Nah kalau kita mempraktekkan itu, keluarnya adalah jernih dan damai. Kalau kita jernih dan damai, kita mau ngapain aja terserah. Mau kerja, mau nganggur, mau kawin, mau gak kawin, urusan masing-masing. Tapi setidaknya adalah kamu paham, detik dimana kita hanya melihat, kita mendengar, jati diri asli kita keluar secara otomatis, secara alamiah. Karena memang dia selalu ada disana, tapi ketutup dengan logika, rasionalitas, ambisi, oleh programming masyarakat, kerakusan, iri hati, kebencian, dendam, yang membuat hidup orang menderita. Itu alasannya mengapa banyak orang yang sudah dianggap sukses oleh masyarakat tetap terjebak dengan penderitaan. Entah dia jadi narkoba, pengguna narkoba, kecanduan.
Hendar: Atau seks juga kecanduan..
Reza: Kecanduan seks. Itu kan pelarian juga, kalau tidak didasarkan kejernihan dan kedamaian. Atau dia kelilit hutang, walaupun mungkin dia selebriti atau orang sukses lah, perusahaannya banyak, tapi dia tetap kelilit hutang kenapa? Banyak sekali kasus kaya gitu kan di Indonesia, di seluruh dunia apalagi.
Hendar: Luar biasa. Baik, saya akan tutup sekitar 48 menit, sekitar segitu. Dan untuk urusan administrasinya akan dibereskan menyusul.
Reza: Tiga million.
Hendar: Hahaha. Gak nyampe, anggaran cuman seratus juta. Karena sebagai narasumber juga ada haknya yang diterima dan itu diatur juga dalam peraturan menteri keuangan no 49 tahun 2017, halaman 19. Artinya memang ada untuk narasumber, dan ini kan memang narasumber yang in line with the research. Jadi kita bisa justify itu untuk pengeluaran. Oke, saya tutup.
[1] Doktor dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München Jerman dengan disertasi berjudul Zwischen kollektivem Gedächtnis, Anerkennung und Versöhnung.
[2] Lih. https://rumahfilsafat.com/2012/08/26/buku-filsafat-terbaru-filsafat-anti-korupsi/; Filsafat Anti Korupsi: Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi (2012)
Penulis: Reza A.A Wattimena, ISBN: 978-979-21-3362-2, Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Pak, jadi berbisnis juga “nyolong” / “korupsi” donk.
Contoh distributor, tentu dpt untung dr selisih jual beli (markup harga), dan msh banyak contoh lain sperti itu… Travel agent, warung, etc… ?
SukaSuka
Itu bagian dari bisnis. Korupsi tidak seperti itu. Sudah baca tulisannya?
SukaSuka