
Oleh Reza A.A Wattimena
Masihkah kita bisa bicara soal patriotisme sekarang ini? Di tengah situasi negara yang pemimpinnya penuh dengan korupsi, serta berbagai masalah bangsa lainnya yang tak terselesaikan, masihkah kita bisa mencintai bangsa Indonesia sekarang ini? Mari kita mulai dengan pengertian singkat. Patriotisme adalah rasa cinta pada bangsa dan negaranya sendiri. Rasa cinta itu terwujud di dalam tindakan nyata. Ada empat aspek dari patriotisme. (SEP, 2011)
Yang pertama, patriotisme mencakup afeksi, yakni perasaan sayang dan cinta, pada negara dan bangsanya. Yang kedua, patriotisme mencakup kepedulian pada kekayaan maupun permasalahan negaranya sendiri. Yang ketiga, patriotisme mencakup beragam upaya untuk memperbaiki situasi bangsa dan negara. Yang keempat, patriotisme mencakup kesediaan untuk rela berkorban, demi kebaikan bangsa dan negaranya.
Dahulu kala patriotisme diterjemahkan sebagai aksi angkat senjata melawan penjajah Belanda dan Jepang. Para pejuang Indonesia bersedia merelakan hidup mereka, demi mengusir penjajah yang merugikan bangsa dan negara Indonesia. Namun sekarang ini penjajah, dalam arti kolonialisme Belanda dan Jepang, sudah tidak ada. Maka patriotisme pun harus diartikan dengan cara berbeda.
Sekarang ini patriotisme haruslah diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan kebaikan bagi semua pihak di Indonesia. Berbagai upaya perlu dilakukan, mulai dari perbaikan kualitas pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, dan sebagainya. Musuh utama patriotisme adalah sikap-sikap yang merugikan kehidupan bersama, seperti sikap materialistik (hanya peduli uang), hedonistik (hanya mencari kenikmatan), apatis (tidak peduli pada urusan bersama), dan egois (hanya memikirkan kepentingan pribadi, keluarga, ataupun golongannya).
Di sisi lain patriotisme sekarang ini haruslah diartikan sebagai upaya untuk memperjuangkan dan menegaskan eksistensi diri melawan kecenderungan-kecenderungan negatif jaman, seperti budaya suap dan sikap korup. Di tengah jaman yang terus berubah ini, orang justru harus menegaskan jati dirinya sebagai orang Indonesia yang tak tergoda untuk jatuh ke dalam korupsi. Ingat yang menjadi cita-cita patriotisme sekarang ini adalah upaya-upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama bagi semua pihak di Indonesia.
Namun sebelum berbicara tentang rasa sayang dan cinta pada bangsa Indonesia, kita perlu terlebih dahulu bertanya, apa itu Indonesia? Indonesia adalah sebuah visi bersama dari para pendiri republik (Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan yang lainnya), yang terwujud melalui perjanjian sosial untuk membentuk suatu negara. Maka dapatlah dikatakan bahwa Indonesia adalah bentukan kita bersama, yakni beragam suku, etnis, dan agama yang begitu beragam, dan tersebar di seluruh Indonesia.
Namun visi bersama yang bernama Indonesia itu seolah terlupakan. Seperti dikatakan oleh Bung Karno dahulu, kemerdekaan Indonesia adalah sebuah jembatan emas untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Namun jembatan ini seolah goyang, dan nyaris runtuh. Visi bersama yang luhur itu ditutupi oleh kabut korupsi dan pelbagai masalah sosial lainnya yang membuat hidup bersama menjadi amat sulit.
Padahal kalau dipikirkan lebih dalam, Indonesia sebagai visi bersama bukanlah pemerintahan yang korup, ataupun teroris yang melakukan bom bunuh diri. Indonesia sebagai visi bersama, sebagai jembatan emas, jauh lebih tinggi dan luhur dari semua itu. Kita boleh membenci pemerintah yang korup, ataupun teroris yang melakukan bom bunuh diri. Namun kita –sebagai warga negara Indonesia- tidak pernah boleh membenci Indonesia sebagai visi bersama yang nyaris, namun tak pernah boleh, terlupakan.
Jelaslah bahwa patriotisme di Indonesia kian luntur. Banyak orang-orang muda, yang seharusnya memiliki rasa cinta yang berapi-api kepada bangsanya, terlena oleh buaian teknologi dan barang-barang konsumsi yang menggiurkan. Mereka menjadi anak-anak muda pemburu teknologi, dan lupa pada cita-cita kebaikan bersama bagi semua pihak. Mereka menjadi anak-anak muda yang tidak peduli, sekaligus apolitis (seolah bisa hidup sendiri, tanpa pihak lain).
Lalu bagaiman bentuk konkret dari rasa cinta pada Indonesia sebagai visi bersama yang luhur tersebut? Setidaknya ada dua. Yang pertama, kita bisa menjadi pencipta sebagai penyebar ide-ide pencerahan yang berguna untuk perkembangan Indonesia, baik dalam bidang, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Yang kedua, kita bisa turun ke lapangan untuk menciptakan gerakan sosial, ataupun organisasi, bagi perkembangan masyarakat, dan konsisten berjuang di dalamnya.
Ini semua penting supaya bangsa Indonesia sungguh bisa merdeka, baik secara politik, ekonomi, maupun pemikiran. Ide-ide pencerahan amat diperlukan, sehingga pikiran kita sebagai bangsa tidak sempit, dan kemudian bisa melihat kemungkinan-kemungkinan lain untuk menciptakan kemajuan. Aksi nyata juga amat diperlukan, supaya ide-ide tersebut bisa menjadi gerakan nyata yang memperbaik kualitas hidup masyarakat.
Di sisi lain juga amat penting ditekankan penguasaan sains dan teknologi sekarang ini. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa siapa yang menguasai sains dan teknologi, dialah yang menjadi penguasa dunia sekarang ini. Ini penting supaya Indonesia tidak melulu menjadi pengikut pemikiran bangsa lain, ataupun konsumen produk semata, tetapi juga menjadi bangsa inovator yang mencipta dan berkarya untuk kebaikan bersama.
Di balik semua itu, peran serta orang muda amatlah diperlukan. Mengapa orang muda? Karena merekalah yang memiliki semangat untuk berpikir berbeda, dan menerapkannya ke dalam realitas. Mereka masih memiliki idealisme luhur yang amat sulit ditemukan di kalangan orang-orang tua. Tentu saja yang penting adalah semangat muda, yakni semangat untuk selalu berpikir berbeda dari yang umum, demi kebaikan bersama. Karena mungkin saja terjadi adanya orang-orang muda yang berpikiran seperti orang-orang tua yang kolot dan miskin inovasi.
Banyak orang muda sekarang hidup mapan dibuai kekayaan dan teknologi. Mereka merasa bahwa semuanya baik-baik saja, dan tidak ada masalah yang perlu dipikirkan, selain mencari nilai tinggi di dalam sekolah mereka. Mereka mapan sehingga miskin inovasi, dan berpikiran kolot, seperti layaknya orang tua. Sikap patriotis tidak ada artinya untuk mereka.
Ada juga orang-orang yang seolah memiliki patriotisme tinggi, namun sebenarnya hanya menggunakan alasan-alasan berbau patriotis untuk menyembunyikan ambisi pribadi mereka untuk menjadi terkenal. Mereka berprestasi di berbagai bidang, dan meraih penghargaan internasional dengan membawa nama Indonesia. Namun jika diselidiki lebih dalam, motif mereka adalah ketenaran pribadi, dan tidak ada hubungannya dengan rasa cinta pada bangsa dan negara Indonesia. Mereka adalah para egois berselubungkan cita-cita patriotis semu.
Ini terjadi karena mereka salah didik. Bukan berita baru bahwa sistem dan paradigma pendidikan di Indonesia kacau balau. Pendidikan mengikuti pola pasar bebas yang penuh dengan kompetisi. Akibatnya para peserta diri hanya berfokus untuk menang (dapat nilai tertinggi dengan berbagai cara, termasuk menyontek), dan tak peduli pada nilai-nilai luhur kehidupan, atau visi bersama yang amat luhur, yang bernama Indonesia.
Memang sulit sekali untuk mencintai, jika kita tidak mempunyai alasan untuk mencintai. Kita diminta untuk mencintai Indonesia. Namun kita tidak pernah diberi alasan yang cukup masuk akal, mengapa kita harus mencintainya? Akibatnya cinta kita pun setengah hati, dan tak jadi realitas.
Kita perlu mencintai Indonesia, karena seluruh hidup kita berhutang pada sistem maupun visi bersama yang disebut sebagai Indonesia. Kita adalah Indonesia! Kita memiliki sekaligus dimiliki oleh bangsa dan negara kita, yakni Indonesia. Namun memiliki haruslah dengan cinta, dan bukan dengan niat untuk menguasai. Memiliki dengan niat menguasai, pada akhirnya, sama dengan menghancurkan.
Masalah lain yang muncul adalah perbedaan antara visi pribadi dan visi bangsa. Namun ini sebenarnya pemahaman yang salah. Jika saya peduli dengan diri saya sendiri, maka saya pun juga harus peduli dengan bangsa tempat saya hidup dan bertumbuh di dalamnya. Maka tidak ada perbedaan yang sungguh signifikan antara kepentingan pribadi saya di satu sisi, dan kepentingan bangsa dan negara di sisi lain.
Kesadaran semacam ini bisa muncul, jika pendidikan di Indonesia sudah memiliki paradigma yang tepat. Nyatanya banyak orang –terutama orang muda- tak memiliki akses ke pendidikan yang bermutu. Akibatnya mereka tetap terjebak di dalam kebodohan dan kemiskinan. Kita sebagai bangsa dengan pemerintah sebagai ujung tombaknya harus mengupaya pendidikan bermutu yang berlaku untuk semua.
Masalah lain yang banyak muncul adalah sikap sektarian sempit yang hanya berfokus pada kebaikan suku, etnis, ataupun kelompok agamanya semata. Patriotisme Indonesia dilindas oleh sikap sempit sukuisme, dan berbagai sikap sempit lainnya. Inilah sikap cinta tanah air yang terkotak-kotak dan setengah hati yang mengancam visi bersama yang luhur dari para pendiri bangsa kita.
Pemerintah sendiri tidak menghargai niat baik dari orang-orang yang bersedia mengorbankan diri untuk kepentingan bangsanya. Tidak hanya merasa tidak dihargai, orang-orang itu pun cenderung merasa dirugikan. Hal ini menjadi contoh bagi orang-orang lainnya yang mungkin memiliki niat baik untuk membela kepentingan bangsanya.
Banyak juga orang salah berpikir soal patriotisme. Mereka menyangka bahwa para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri adalah pahlawan negara yang patut mendapat julukan seorang patriot. Padahal mereka pergi ke luar negeri bukan untuk membela negara, melainkan untuk cari uang, karena tidak mendapatkan pekerjaan yang layak di tanah airnya sendiri. Jadi kita pun harus kritis terhadap penggunaan konsep patriotisme di dalam percakapan sehari-hari.
Sikap patriotis hanya dapat berjalan dengan lancar, jika orang memiliki integritas. Dalam arti ini integritas adalah ketahanan diri untuk tetap berpegang pada nilai-nilai kehidupan, lepas dari beragam tantangan yang mengancam. Dalam arti ini integritas juga berarti keberanian untuk mengambil posisi yang benar, walaupun posisi itu terkesan tidak populer. Tanpa integritas yang kokoh, tidak akan ada patriotisme.
Integritas ditambah dengan cinta pada bangsa akan menjadi daya dorong pencipta patriotisme yang kuat. Cinta pada bangsa dan negara Indonesia berarti mengenali, mencintai, dan memperjuangkan kebaikan bersama orang-orang yang ada di dalamnya. Tidak ada cinta tanpa niat untuk mengenali. Dan tidak ada cinta, tanpa perjuangan nyata untuk membuat keadaan menjadi lebih baik.
Patriotisme juga mesti dibedakan dari sikap meledak-ledak sementara untuk mencintai bangsa. Sikap meledak-ledak ini akan lenyap ditelan waktu dan kebosanan. Patriotisme harus lahir dari afeksi hati pada visi bersama yang bernama Indonesia. Afeksi tersebut kemudian dituangkan di dalam proyek hidup yang bertujuan untuk menciptakan kebaikan bersama di Indonesia. Patriotisme Indonesia adalah proyek besar yang membutuhkan komitmen seumur hidup.
Maka diskusi tentang patriotisme harus lebih sering digulirkan. Wacana tentang patriotisme harus lebih sering terdengar, terutama oleh anak-anak muda harapan bangsa. Tujuannya adalah supaya kesadaran patriotik semacam itu bisa tersebar dan terus berkembang. Semuanya demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yakni kemerdekaan yang menjadi jembatan emas menuju keadilan dan kemakmuran.
Cara lain adalah dengan menggali secara mendalam dasar negara kita, yakni Pancasila. Diperlukan kajian kritis dan refleksi atas makna Pancasila bagi perkembangan bangsa dan negara Indonesia sekarang ini. Slogan yang tepat adalah; Indonesia., kenalilah, cintailah, dan perjuangkan! Kita tidak bisa sungguh mengenal Indonesia, sebelum memahami secara mendalam makna dari Pancasila.
Juga diperlukan kesadaran dari setiap warga negara untuk membentuk dirinya semaksimal mungkin dengan cara belajar tanpa henti. Kesadaran untuk membentuk dan mengembangkan diri dibalut dengan sikap peduli pada sesama manusia yang membutuhkan. Semua ini bisa dikembangkan dari aksi-aksi kecil, namun konkret, yang perlahan namun pasti bisa berkembang menjadi gerakan bersama.
Patriotisme juga tidak hanya berarti sikap buta-fanatik pada kepentingan bangsa dan negara tertentu. Patriotisme lahir dari afeksi dan niat baik, maka tidak pernah bermuara pada penghancuran pihak-pihak lain secara tidak beradab, walaupun pihak-pihak itu berseberangan kepentingannya dengan kepentingan bangsa dan negara. Maka patriotisme harus dibalut dengan sikap kritis dan cinta universal. Tanpa dua hal itu, patriotisme hanya menjadi sikap sempit buta di dalam membela kepentingan bangsa dan negara tertentu.
Kita mendekati hari pahlawan 10 November di Indonesia. Jadikan momen ini sebagai saat untuk melakukan refleksi tentang patriotisme, dan memperkuat hati untuk berbuat sesuatu demi terciptanya kebaikan bersama di Indonesia. Bangkitlah patriotisme Indonesia!
Tulisan ini diinspirasikan dari diskusi COGITO Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya pada 30 September 2011. Terima kasih pada seluruh anggota sivitas akademika Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya.
Penulis adalah Dosen Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Apakah patriotisme itu ? Apakah cinta dengan tempat lahir seseorang, tempat seseorang mengenang masa kecil, mimpi dan aspirasinya ? Dengan sebuah tempat, dimana kita dengan jiwa kekanak-kanakan memandang awan yang bergerak dan bertanya mengapa kita tak dapat begerak secepat awan itu ? Dengan tempat dimana kita melihat bintang-bintang betebaran di langit ? Dengan tempat dimana kita mendengar kicauan burung dan berangan-angan ingin bisa terbang seperti burung ke tempat nun jauh ? Atau, apakah cinta dengan tempat kita dipangku ibu mendengar dongeng-dongengnya ? Singkatnya, apakah patriotisme itu adalah cinta dengan setiap jengkal tempat dimana kita dibesarkan dan bermain, dimana kita dapat mengenang masa kecil yang penuh dengan kegembiraan ?
Kalau itu adalah patriotisme, hanya sedikit orang Amerika yang bisa menjadi patriotik, karena tempat bermainnya sudah dibangun menjadi pabrik-pabrik dan dengungan mesin telah menggantikan musik (kicauan) burung.
Kalau begitu, apakah patriotisme itu ? Leo Tolstoy, anti patriotisme terbesar zaman ini, mendefinisikan patriotisme sebagai suatu prinsip yang membenarkan pelatihan pembunuh ; suatu usaha yang memerlukan peralatan yang lebih canggih untuk membunuh manusia daripada untuk membuat keperluan manusia, misalnya, sepatu, pakaian dan rumah ; usaha yang dapat membawa kebesaran dan sukses, lebih daripada usaha-usaha lain.
Gustava Herve, juga seorang anti patriot yang besar, mengartikan patriotisme dengan tepat. Menurutnya, patriotisme adalah takhyul yang lebih bahaya dan brutal daripada agama. Takhyul agama berasal dari ketidak mampuan manusia untuk menjelaskan fenomena alami. Misalnya, ketika seorang manusia primitif mendengar geledek dan melihat kilat, dia tidak dapat menjelaskan kejadian itu dan menganggap bahwa ada kekuatan yang lebih besar darinya. Dia juga akan menganggap semua fenomena lain, seperti hujan sebagai fenomena gaib. Lain dengan patriotisme yang merupakan takhyul yang diciptakan dan dipertahankan secara artifisial, melalui jaringan penipuan dan kebohongan ; tahkyul yang merebut kehormatan seseorang dan membuatnya sombong.
Memang, egoisme dan kesombongan adalah sifat-sifat yang harus dimiliki seorang patriot. Saya akan coba menjelaskan pernyataan di atas. Paham patriotisme menganggap bahwa dunia ini terpecah menjadi bagian -begian kecil, setiap bagian dikelilingi pintu besi. Mereka yang beruntung (kebetulan) lahir dalam sebuah bagian tersebut, akan menganggap diri mereka lebih tinggi derajatnya, lebih pandai dan lebih segala-galanya (dibandingkan dengan manusia di luar pintu besinya). Jadi merupakan tugas bagi setiap orang yang lahir di bagian yang ’terpilih’ itu untuk berperang, membunuh dan mati untuk membuktikan “kebenaran dan kelebihannya” kepada orang lain di luar pintu besinya.
Mereka yang tinggal di bagian-bagian lain, akan mempunyai jalan pikir yang sama. Sudah pasti demikian, karena sejak masih kanak-kanak pikiran mereka sudah diracuni dengan cerita-cerita yang penuh prasangka (untuk menimbulkan kebencian) terhadap orang-orang asing. Ketika anak -anak itu sudah menjadi dewasa, pikirannya sudah dipenuhi dengan kepercayaan bahwa dia adalah yang “terpilih” oleh Tuhan untuk membela negaranya dari serangan orang-orang asing. Untuk memenuhi maksud tersebut, kita di Amerika, mempersiapkan angkatan bersenjata, amunisi dan kapal perang yang semakin megah dan yang jumlahnya semakin banyak.
Untuk memenuhi maksud patriotismne, baru-baru ini, Amerika mengeluarkan empat ratus juta dolar dalam waktu yang singkat. Cobalah kita pikirkan, empat ratus juta dolar yang diambil dari hasil keringat warga negara (mereka yang membayar pajak). Sudah pasti, bukanlah orang-orang kaya yang menunjang patriotisme. Mereka (orang-orang kaya) adalah manusia kosmopolitan, merasa “di rumah” di setiap negara. Kita di Amerika, tahu mengenai fakta ini dengan jelas sekali ; bukankah, orang kaya Amerika, menjadi orang Perancis di Perancis, orang Jerman di Jerman, atau orang Inggris di Inggris. Tetapi patriotisme itu bukanlah untuk mereka yang berkuasa dan yang kaya. Patriotisme, seperti agama, cukup diterapkan bagi orang awam. Kita diingatkan kepada Frederick the Great, kawan dekat Voltaire, yang berkata, ” agama adalah penipuan (yang terorganisir), tetapi harus dipertahankan untuk orang awam “.
Patriotisme adalah sebuah institusi yang mahal, tidak ada orang yang akan menyangkalnya setelah meneliti statistik di bawah ini. Kenaikan perbelanjaan militer (darat dan udara) yang besar mengejutkan setiap pelajar ekonomi yang kritis. Dari tahun 1881 sampai 1905, perbelenjaan militer Inggris naik dari $ 2.101.848.936 ke $4.143.226.885 ; bagi Perancis, dari $3.324.500.000 ke $3.455.109.900 ; bagi Jerman, dari $725.000.200 ke $ 2.700.375.600 ; bagi Rusia, dari $ 1.900.975.500 ke $ 5.250.445.100 ; bagi Amerika, dari $ 1.275.500.750 ke $ 2.650.900.450 ; bagi Itali, dari $ 1. 600.975.750 ke $1.755.500.100 ; bagi Jepang, dari $182.900.500 ke $ 700.925.475.
Dalam periode 1881-1905 kenaikan dalam pengeluaran untuk angkatan bersenjata Inggris naik empat kali lipat ; Amerika, tiga kali lipat ; Rusia, dua kali lipat ; Jerman 35% ; Perancis 15% ; dan bagi Jepang, hampir 500%.
Secara proporsi, pengeluaran militer (darat dan udara) negara-negara tesebut dari total pengeluaran negara, juga naik (untuk periode 1881-1905)) : Di Inggris dari 20 ke 37 %, di Amerika dari 15 ke 23 %, di Prancis dari 16 ke 18%, di Itali dari 12 ke 15 %, di Jepang dari 12 ke 14%. Tetapi, di Jerman, pengeluaran untuk militer menurun dari 58 ke 25 % ; penurunan ini terjadi karena kenaikan dalam pengeluaran untuk hal-hal yang lain yang luar biasa besar jumlahnya.
Perbelanjaan untuk angkatan laut juga sama luar biasa besarnya. Dalam periode yang sama, kenaikan dalam pengeluaran marinir adalah sebagai berikut : Inggris, 300% ; Perancis, 60% ; Jerman, 600% ; Amerika, 525% ; Rusia, 300% ; Itali, 250% ; Jepang, 700%.
Dalam periode 1881-1885, pengeluaran untuk angkatan laut Amerika adalah $6.20 untuk setiap $100 pengeluaran negara ; jumlah ini naik menjadi $6.60 dalam lima tahun berikutnya, menjadi $8.10 pada lima tahun berikutnya dan akhirnya, $16.10 untuk periode 1901-1905. Kita bisa pasti, berdasarkan statistik yang ada, bahwa pengeluran tersebut akan terus naik di tahun-tahun berikutnya.
Kenaikan anggaran perbelanjaan militer dapat kita ilustrasikan lebih jauh dengan menghitung perbelanjaan tersebut sebagai pajak per kapita. Dari (lima tahun) periode pertama (1801-1805) sampai periode kelima (1901-1905), perbandingan pengeluran militer sebagai pajak per kapita dapat kita lihat : di Inggris, dari $18,47 ke $52,50 ; di Perancis dari $19,66 ke $23.62 ; di Jerman dari $10,17 ke $15.51 ; di Amerika dari $5.62 ke $13,64 ; di Rusia dari $6,14 ke $8,37 ; di Itali dari $9,59 ke $11,24 ; di Jepang dari $0,86 ke $3,11.
Penghamburan yang luar biasa yang dibutuhkan patriotisme, merupakan alasan yang cukup untuk menyembuhkan orang yang mempunyai kepandaian rata-rata dari penyakit tersebut.
Orang-orang awam digalakkan untuk menjadi patriotik, dan untuk kemewahan tersebut mereka harus bersedia untuk membantu pembela-pembela negara dan kadang mengorbankan anak mereka. Patriotisme membutuhkan kesetiaan seseorang terhadap bendera, yang artinya kesediaan untuk membunuh ibu, bapa dan sanak saudara.
Alasan pro-militarisme yang sering kita dengar adalah “kita membutuhkan angkatan bersenjata untuk menjaga negara kita dari serangan orang asing.” Setiap orang yang pandai tentunya tahu bahwa alasan tersebut hanya dipakai untuk menakut-nakutkan dan memaksa mereka yang jahil. Pemerintah negara-negara di dunia mengetahui keinginan masing-masing dan tidak akan secara sembarang menyerang satu sama lain. Mereka tahu bahwa keinginan mereka bisa dicapai dengan lebih efektif dengan diplomasi. Bahkan, menurut Carlyle, “perang adalah perrgaduhan antara dua orang pencuri yang terlalu takut untuk berperang sendiri ; jadi mereka memakai mereka merekrut orang-orang, memberikan mereka seragam dan senjata, dan membiarkan mereka lepas seperti binatang liar membunuh satu sama lain.
Setiap perang yang dikaji, pasti mempunyai sebab yang sama. Misalnya perang Spanyol-Amerika, yang dikatakan sebagai perang yang hebat dan penuh nilai patriotik dalam sejarah Amerika. Bagaimana perasaan kita dipenuhi dengan kemarahan terhadap orang Spanyol yang kejam ! Betul, bahwa kemarahan kita tidak bangkit secara spontan. Perasaan itu dibangkitkan dengan agitasi koran-koran selama berbulan-bulan.
Tetapi setelah perang usai dan yang gugur telah dikubur ; akibat perang itu dirasakan oleh orang awam, dalam bentuk kenaikan harga barang-barang dan harga sewa rumah. Setelah kita sadar dari buaian patriotisme, tiba-tiba kita tahu bahwa sebab perang Spanyol-Amerika adalah karena harga gula ; atau secara lebih kasar, nyawa, darah dan uang orang Amerika telah dipakai untuk menjaga interest kapitalis Amerika dalam perdagangan gula. Pernyatan di atas tidaklah dilebih-lebihkan, tetapi berdasarkan fakta dan angka.
Penggunaan kekerasan seperti yang disebutkan di atas juga bukan insiden yang langka, contohnya adalah kebijakan pemerintah Amerika terhadap buruh-buruh di Kuba. Ketika Kuba masih dikuasai Amerika, pasukan yang sama yang membebaskan Kuba, diperintahkan untuk menembak buruh tembakau Kuba yang sedang mogok kerja.
Bukanlah hanya kita (di Amerika) yang melakukan perang untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Penyebab perang Rusia-Jepang yang brutal telah diumumkan oleh menteri perang Rusia, Kuropatkin. Kaisar Rusia dan kerabatnya baru berinvestasi dalam usaha pembuatan peralatan perang, dan maksud perang tersebut adalah untuk membuka pasar bagi peralatan perang tersebut.
Alasan bahwa kekuatan militer yang besar adalah jaminan untuk menjaga perdamaian sama logikanya dengan pernyataan bahwa individu yang merasa damai adalah dia yang menjaga dirinya dengan persenjataan yang berat. Pengalaman membuktikan bahwa individu yang bersenjata mempunyai tendensi untuk memamerkan “kekuatannya”. Begitu juga halnya dengan pemerintah. Negara yang benar-benar ingin perdamaian tidak akan membuang waktu dan tenaga untuk persiapan perang ; inilah perdamaian abadi. Tetapi keinginan untuk memperbesar kekuatan militer bukanlah karena ancaman dari luar. Ancaman datang dari dalam negeri ; ketidak puasan masa dan buruh atas pemerintah. Angkatan bersenjata dipersiapkan untuk menangani musuh-musuh internal tersebut ; musuh yang kalau telah kesadarannya bangkit, akan jauh lebih berbahaya daripada kekuatan asing dari manapun.
Institusi negara adalah kekuatan yang telah beratus-ratus tahun memperbudak masa melalui penguasaan psikologi masa. Aparatus negara tahu bahwa sebagian besar masa adalah ’anak kecil’ yang bisa dibujuk dengan mainan. Dan kalau mainan ini semakin berwarna-warni, mereka akan semakin suka.
Angkatan bersenjata sebuah negara merupakan “mainan” tersebut. Untuk membuat “mainan” itu lebih menarik ratusan ribu dolar telah dipakai untuk “menghiasinya”. Contohnya : pemerintah Amerika mengirim satu konvoi angkatan laut ke Pasifik supaya setiap warga negara Amerika merasa bangga dengan negaranya itu. Kota San Fransisco menghabiskan seratus ribu dolar untuk menyambut konvoi tersebut ; Los Angeles, enam puluh ribu ; Seattle dan Taccoma sekitar serartus ribu. Untuk menyambut konvoi tersebut ? ? Untuk makan dan minum dengan prajurit-prajurit pangkat atas, sedangkan prajurit-prajurit (bawahan) lainnya harus melakukan unjuk rasa untuk sekedar makan yang cukup. Ya, dua ratus enam puluh ribu dihabiskan untuk petasan, pesta dan foya-foya, pada waktu kaum perempuan dan kanak-kanak sedang mengalami kelaparan di seluruh negara ; ketika ribuan penganggur bersedia untuk menjual tenaga mereka semurah-murahnya.
Dua ratus enam puluh ribu dolar ! Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak itu ? Tetapi, bukan untuk roti dan rumah ; anak-anak kota-kota tersebut diajak untuk melihat pesta penyambutan angkatan laut tersebut, supaya mereka ingapat dijatuhkan dari pesawat terbang ke target masyarakat. Kita merasa bangga mengetahui bahwa Amerika akan menjadi negara terkuat di dunia, dan kemudian akan menanamkan kaki besinya di leher negara-negara lain. Itu semua adalah logika patriotisme.
Tetapi, segala dampak buruk patriotisme terhadap masyarakat awam tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penghinaan dan luka yang dirasakan mereka yang bekerja di militer. Mereka adalah korban kejahilan dan takhyul yang patut dikasihani. Dia, pembela dan penjaga negara, apakah yang dapat diberikan patriotisme terhadap seorang prajurit ? Sehari-harinya mereka harus selalu tunduk. Kehidupan mereka penuh dengan kebiasaan buruk (vice), bahaya dan kematian. Ketika saya sedang dalam tur memberikan kuliah di San Fransisco, saya mengunjungi sebuah tempat yang paling indah. Dari sana kita dapat melihat “the Bay” dan “Golden Gate Park”. Tempat itu semestinya digunakan untuk sebuah taman untuk anak-anak dan untuk pertunjukan musik. Tetapi, di tempat itu dibangun barak militer yang jelek.
Di barak yang menyedihkan tu, prajurit-prajurit diangon seperti binatang. Di situ mereka membuang waktu mengelap sepatu lars dan lencana mereka untuk diperlihatkan kepada pemimpin mereka. Kehidupan bagi prajurit seringkali tidak mempersiapkannya untuk hidup kembali secara normal dalam masyarakat. Kebanyakan dari mereka tidak mempunyai keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi mereka yang mempunyai keterampilan, kadang mereka tidak bisa beeradaptasi dengan kehidupan normal, dan keterampilannya tersebut tidak dapat sepenuhnya dimanfaatkan. Mereka terbiasa dengan kehidupan yang “idle” (pasif) dan penuh dengan petualangan (adventure). Tidak ada pekerjaan normal yang bisa memuaskan diri mereka. Pendek kata, mereka tidak lagi dapat melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Tetapi, biasanya yang masuk barak itu adalah eks tahanan ; karena mereka susah mencari penghidupan atau memang karena mentalitas mereka sesuai dengan kehidupan militer. Sesudah kontrak militer selesai, biasanya mereka akan kembali kepada kehidupan kriminal, lebih zalim dari sebelumnya. Di Amerika memang lumayan banyaknya eks serdadu yang meringkuk di penjara ; dan angkatan bersenjata juga dipenuhi dengan eks tahanan.
Dari semua akibat patriotisme yang telah saya jelaskan, yang paling merusakkan adalah pelecehan harga diri seseorang seperti yang diderita oleh serdadu William Buwalda. Karena dia dengan bodohnya percaya bahwa dia bisa menjadi seorang tentara dan juga dapat menerima hak penuhnya sebagai manusia, otoritas militer telah memberikan hukuman berat baginya.
Memang betul bahwa dia telah bertugas untuk negara selama lima belas tahun, dan dalam waktu itu, arsipnya bersih dan sempurna. Menurut Jendral Funston yang meringankan hukumannya menjadi tiga tahun penjara, “tugas seorang serdadu adalah kesetiaan yang tidak dapat dipertanyakan kepada pemerintah, meskipun dia tidak setuju dengan pemerintah tersebut.” Funston telah menjelaskan arti kesetiaan. Menurutnya, jika seseorang masuk militer, dia secara otomatis menolak Deklarasi Kemerdekaan (bagi dirinya).
Memang suatu perkembangan yang aneh, patriotisme membuat seorang mahluk yang berpikir menjadi mesin yang terprogram. Untuk membenarkan hukuman yang dijatuhkannya kepada Buwalda, Funston memberi tahu orang Amerika bahwa tindakan serdadu itu adalah “tindakan kriminal yang serius yang sama beratnya dengan pengkhianatan .” Apakah tindakan tersebut ? William Buwalda adalah salah satu dari seribu lima ratus orang yang menghadiri sebuah pertemuan di San Fransisco, dan dia berjabat tangan dengan orator Emma Goldman.
Buwalda telah memberikan hidup dan kejantanannya bagi negaranya. Tetapi semua itu tidak ada artinya. Patriotisme, seperti monster yang tak pernah kenyang, menghendaki semuanya. Patriotisme tidak mengakui bahwa seorang serdadu itu juga adalah seorang manusia, yang mempunyai perasaan dan opininya sendiri, kesukaan dan pahamnya. Tidak, patriotisme tidak dapat mengakui itu. Hal itu adalah pengalaman yang harus dipelajari oleh Buwalda ; pelajaran yang mahal. Kalau dia sudah dibebaskan, dia akan kehilangan kerjanya di militer tetapi dia akan memperoleh kembali harga dirinya. Setelah usai, kebebasan itu memang berharga ’tiga tahun penjara.’
Seorang penulis mengenai kondisi militer Amerika, dalam sebuah artikel baru-baru ini , memberikan komentar tentang kekuasaan yang dipunyai seorang pemimpin militer atas masyarakat sipil di Jerman. Penulis itu berkata bahwa Republik kita (Amerika) tidak mempunyai arti lain, tetapi hanya untuk menjamin hak yang sama bagi semua orang ; dan itu membenarkan keberadaannya.
Saya yakin bahwa penulis itu tidak berada di Colorado semasa rezim patriotik Jenderal Bell. Dia mungkin akan menukar pikirannya, kalau dia menyaksikan bagaimana orang-orang dilempar ke dalam kandang kerbau, diseksa dan diperlakukan dengan tindakan-tindakan yang merendahkan ; semuanya dilakukan dalam nama patriotisme dan republik (Amerika). Kejadian di Colorado hanyalah sebuah contoh bukti perkembangan militer di Amerika. Jika ada pemogokan, jarang sekali tentara dan anggota militia tidak dikerahkan untuk melindungi mereka yang berkuasa ; dan jarang sekali mereka tidak bertindak brutal dan sombong seperti orang-orang yang memakai seragam Kaiser.
Suatu kemalangan bagi penulis-penulis di negara ini adalah mereka sama sekali tidak tahu mengenai hal-hal yang baru terjadi (current affairs) atau mereka tidak mempunyai kejujuran untuk memberitakan apa yang terjadi. Penulis kita itu menyatakan bahwa militer tidak akan menjadi kekuatan di Amerika seperti di luar negeri, karena pendaftaran militer adalah sukarela, bukannya keharusan seperti di negara -negara lain. Tetapi penulis ini lupa mempertimbangkan dua fakta yang sangat penting. Pertama, wajib militer di Eropa telah menimbulkan kebencian terhadap militer oleh seluruh kelas-kelas masyarakat. Beribu-ribu rekrut baru mendafatar dengan terpaksa, dan setelah mereka berada di barak, mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk meninggalkannya. Kedua, wajib militer lah yang telah menimbulkan gerakan-gerakan anti militer yang kuat, yang merupakan kekuatan yang paling ditakuti oleh pemerintah-pemerintah di Eropa. Gerakan dan sentimen anti militarisme dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah (kapitalis) karena benteng yang melindungi dan memperkuat kapitalisme adalah militarisme. Pada saat militarisme dikalahkan, kapitalisme akan hancur.
Memang betul bahwa tidak ada wajib milliter di negara kita, pemuda/i kita tidak dipaksa untuk menjadi tentara, tetapi ada paksaan yang lebih hebat : mereka yang masuk dalam militer berbuat demikian karena kebutuhan. Bukankah suatu fakta bahawa dalam depresi industrial, pendafatran masuk militer meningkat dengan drastis ? Karir dalam militer bukan hanya menarik dan dihargai, tetapi juga lebih baik daripada susah-susah mencari pekerjaan, antri roti atau tidur di tempat-tempat amal. Karir tersebut setidak-tidaknya memberikan tiga belas dolar sebulan, tiga kali makan setiap harinya dan tempat untuk tidur. Tetapi bagi mereka yang mempunyai harga diri dan prinsip, kebutuhan bukanlah alasan untuk masuk militer. Kita tidak perlu heran kalau otoritas militer menyatakan bahwa materi orang-orang yang mendaftar belakangan ini berkualitas buruk. Pernyataan ini adalah tanda yang baik. Artinya rata-rata orang Amerika masih mempunyai sifat mandiri, cinta kebebasan dan berani menanggung resiko kelaparan daripada memakai seragam.
Orang-orang bijak di seluruh dunia mulai sadar bahwa patriotisme adalah sebuah konsep yang picik dan terlalu sempit untuk memenuhi kebutuhan zaman sekarang. Sentralisasi kekuasaan telah menimbulkan solidaritas internasional antara mereka yang tertindas ; solidaritas anatara kaum buruh di Amerika dan diluar negeri ; solidaritas yang tidak perlu takut dengan serangan dari luar, karena kaum buruh akan membuat pernyataan kepada majikan mereka,”kalau anda mahu membunuh silahkan lakukan pembunuhan tersebut sendiri, kami telah melakukannya untuk anda untuk cukup lama.”
Solidaritas itu juga telah menyadarkan tentara-tentara bahwa mereka semua adalah bagian dari umat manusia. Contohnya, tentara-tentara Paris menolak menjalankan perintah untuk membunuh saudara-saudara mereka dalam revolusi ’Commune 1871.’ Solidaritas tersebut juga telah memberikan keberanian kepada tentara angkatan laut Rusia untuk berontak dalam kapal perang mereka. Solidaritas akhirnya akan mempersatukan kaum tertindas untuk melawan penindas mereka. Kaum proletar Eropa telah sadar dengan kekuatan dashyat solidaritas, dan karena itu telah menyatakan perang terhadap patriotisme dan militarisme. Beribu-ribu orang memenuhi penjara-penjara di Prancis, Jerman, Rusia dan Scandinavia karena mereka berani melawan tahkyul kuno tersebut (patriotisme). Gerakan ini juga tidak hanya terbatas dengan kaum buruh, tetapi juga seniman, sastrawan/ita dan ahli tehnik.
Amerika harus mengikuti gerakan solidaritas tersebut. Mentalitas militer telah tertanam dalam kehidupan sehari-hari orang Amerika. Saya percaya bahwa militarisme sangat berbahaya karena mereka didukung kaum kapitalisme (sebaliknya kaum kapitalis sangat membutuhkan mereka untuk menjaga kepentingan mereka).
Institusi yang paling dahulu diracuni dengan mentalisme militarisme tersebut adalah sekolah. Pemerintah mempunyai konsep ,”Berilah seorang anak itu kepada saya dan saya akan mengajarnya menjadi ’orang.’ Anak-anak diajari taktik militer, perjuangan militer diagung-agungkan dalam kurikulum pendidikan dan pikiran anak-anak itu dibentuk supaya sesuai dengan tujuan negara. Pikiran anak-anak yang masih ’murni’ tersebut dibanjiri dengan moralitas patriotisme. Kaum pekerja Amerika telah banyak menderita di tangan tentara, dan kejijikannya terhadap parasit berseragam itu memang beralasan kuat. Tetapi kebencian saja tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut. Yang kita perlukan adalah pendidikan propaganda untuk tentara-tentara ; bacaan-bacaan anti patriotik yang akan menyadarkan mereka akan keburukan ’pekerjaannya’ itu dan yang akan menyadarkan mereka akan hubungan yang sebenarnya antara mereka dan kaum pekerja yang dengan hasil kerjanya menghidupi mereka. Tepatnya inilah yang paling ditakuti oleh pemerintah. Bagi seorang tentara, sekedar menghadiri pertemuan yang radikal saja sudah dianggap sebagai pengkhianatan, apalagi kalau dia membaca pustaka radikal. Tetapi bukankah merupakan sifat pemerintah yang selalu mengecap segalanya yang berbau kemajuan sebagai khianat/subversif ? Bagi mereka yang berjuang untuk mengubah keadaan sosial mustilah bersedia untuk menghadapi semua itu ; karena mungkin lebih penting untuk menyebarkan kebenaran di dalam barak daripada di dalam pabrik. Kalau kita dapat mengabaikan patriotisme, kita telah membuka jalan menuju masyarakat yang bebas dimana semua nationalitas berada di bawah naungan persaudaraan universal.
Penulis : Emma Goldman, 1911
SukaSuka
saya gak percaya patriotisme setelah baca tulisan emma goldman itu, anyway tulisan yang menarik!
salam
SukaSuka
Terima kasih. Seperti semua hal di muka bumi, patriotisme memang memiliki sisi jeleknya sendiri. Saya rasa yang diperlukan adalah semangat besar untuk memperbesar sisi baiknya dengan harapan, sisi jeleknya akan berkurang.
SukaSuka