Revitalisasi Negara

Kompas, 4 Juli 2011

ikiwq.com

Oleh Eko Prasojo

Membaca tulisan dan kritik berbagai kalangan akhir-akhir ini seakan merasakan kuatnya dorongan perubahan menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemerintah mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen, sedangkan sejumlah kalangan berpendapat bahwa perkembangan sektor riil semakin jauh dari harapan masyarakat. Pada sisi lain, keadaan politik semakin tidak menentu, oportunisme di kalangan politisi semakin tinggi dengan fenomena perpindahan partai, kinerja dewan, baik di pusat maupun di daerah, dikritisi tidak optimal. Sedangkan korupsi hampir dapat dipastikan semakin terinternalisasi menjadi budaya yang kokoh, baik di birokrasi, politik, maupun peradilan.

Revitalisasi negara

Negara sebagai sebuah organisasi merupakan organisme yang hidup. Setiap generasi yang hidup pada zamannya memiliki konstitusinya sendiri. Dengan kata lain, perkembangan dan dinamika masyarakat harus diikuti dengan perubahan sistem negara. Maraknya berbagai penyimpangan dari tujuan-tujuan didirikannya negara di Indonesia, seperti meluasnya praktik korupsi, memburuknya kualitas pelayanan publik, penguasaan sumber daya alam oleh asing, melebarnya kesenjangan kaya dan miskin, serta tidak mampunya negara membuat dan menegakkan kebijakan yang melindungi masyarakatnya, jelas mengindikasikan bahwa sel-sel negara sudah tidak berfungsi sebagaimana seharusnya.

Penulis melihat sumber persoalan yang menyebabkan tidak berfungsinya negara pada dua hal: yaitu (1) berbagai inkompatibilitas sistem yang eksis dalam sistem negara pada masa lalu dan saat ini, dan (2) tidak tersedianya atau mungkin memburuknya kualitas budaya bangsa sebagai nilai-nilai bersama dalam cara mencapai tujuan bersama. Inkompatibilitas sistem yang penulis maksudkan adalah kondisi yang tidak sinergis dan harmonis antarberbagai subsistem negara. Berbagai kondisi tersebut memang sangat erat kaitannya dengan struktur perangkat keras negara, yaitu (1) desain sistem tata negara, (2) desain sistem politik, (3) desain sistem pemerintahan, dan (4) desain sistem administrasi negara. Keempat pilar fondasi bangunan negara ini tampaknya saat ini mengalami inkompatibilitas.

Desain sistem presidensial tidak didukung dengan jumlah partai politik yang sedikit, Dewan Perwakilan Daerah sebagai kamar kedua parlemen tidak didukung dengan kewenangan untuk menolak rancangan undang-undang, sistem presidensial yang memberikan kekuasaan pemerintahan kepada presiden tidak sepenuhnya dapat dijalankan karena desain pemerintahan daerah yang terfragmentasi.

Kemudian, sistem politik multipartai yang dikombinasikan dengan corak pemerintahan yang sangat desentralistik ternyata pula menyebabkan bervariasinya kepentingan dalam pemerintahan di tingkat nasional maupun daerah, sedangkan desain sistem administrasi dalam negara kesatuan dan corak presidensial pada akhirnya tidak efektif berjalan karena kuatnya intervensi politik dalam birokrasi dan sistem pemerintahan yang sangat desentralistik.

Berbagai inkompatibilitas dalam sistem negara ini jadi penyebab penyakit-penyakit dalam politik, pemerintahan, dan birokrasi. Partai politik tak mampu menciptakan regulasi yang melindungi dan menjamin kesejahteraan masyarakat, pemerintah tak mampu mewujudkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pemerintahan, sedangkan birokrasi tak dapat menyelenggarakan pelayanan publik dengan baik. Kondisi-kondisi ini mengarah pada negara yang lemah seperti disampaikan Fukuyama, yaitu negara yang tidak dapat membuat dan melaksanakan kebijakan dalam rangka perwujudan tujuan-tujuan negara dalam ruang lingkup aktivitas negara yang sangat banyak.

Hal ini menyebabkan persepsi yang semakin kuat di masyarakat bahwa keberadaan negara tak dirasakan oleh masyarakat. Bahkan, semua kecenderungan ini mengarahkan Indonesia pada apa yang disebut dengan negara kleptokrasi (Kompas, 14/6/2011). Para penyelenggara negara bukan hanya tak mampu mewujudkan tujuan-tujuan bernegara, tetapi justru jadi pencuri dan pencari rente dari semua kesempatan penyelenggaraan negara. Karena itu, selain dijuluki negara kleptokrasi, Indonesia dapat pula dijuluki negara para pencari rente (rent seeker state).

Revolusi budaya

Faktor kedua penyebab buruknya kualitas negara dan berbagai persoalan negara Indonesia adalah tak tersedianya budaya unggul atau bahkan buruknya kualitas budaya yang ada. Neo dan Chen dalam buku The Dynamic Governance (2008) menyebut tiga faktor utama tercapainya kemajuan Singapura seperti sekarang; yaitu (1) dynamic capabilities (kapabilitas dinamis), meliputi kemampuan melihat perubahan ke depan, kemampuan untuk terus-menerus melakukan perbandingan dengan negara lain, serta kemampuan untuk terus-menerus memperbaiki sistem dan proses; (2) culture, yang meliputi principle dan beliefs seperti budaya antikorupsi, budaya kinerja, meritokrasi, kehati-hatian, dan berpikir jangka panjang; dan (3) change, yaitu kemampuan melakukan inovasi dan menyusun kebijakan yang adaptif bagi perubahan lingkungan dan tuntutan masyarakat.

Ketiga faktor kemajuan tersebut tampaknya absen dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. Negara saat ini bukan saja tidak memiliki kapabilitas dinamis untuk menyusun perubahan-perubahan dalam rangka perwujudan tujuan-tujuan bernegara, tetapi juga tidak didukung oleh budaya dasar yang menjadi prasyarat bekerjanya negara secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berkinerja tinggi. Alih-alih budaya antikorupsi, sebaliknya budaya dominan yang ada saat ini, tecermin dari perilaku penguasa pada umumnya, adalah pembiaran terhadap berbagai kasus korupsi atau mungkin menjadi bagian dari korupsi.

Korupsi sebagai budaya tampaknya tak terhindarkan dalam berbagai praktik politik, pemerintahan, dan birokrasi. Tidak mengherankan jika efektivitas pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK selalu mengalami jalan buntu. Hal ini selain karena tidak sebandingnya kemampuan kelembagaan KPK dengan jumlah dan kualitas kasus-kasus korupsi yang terjadi, juga karena pemberantasan korupsi saat ini lebih banyak dititikberatkan pada upaya represif daripada preventif berupa perubahan budaya antikorupsi.

Di level birokrasi, budaya dominan yang ada saat ini adalah budaya kekuasaan dan bukan budaya kinerja. Promosi jabatan tak didasarkan pada meritokrasi atas kompetensi dan kinerja, melainkan pada afiliasi politik dan kepentingan. Budaya kinerja sebagai budaya unggul hampir tidak mungkin terjadi karena pekerjaan-pekerjaan birokrasi tidak pernah diukur kinerjanya, baik output maupun dampak. Pekerjaan birokrasi selalu berkait dengan orientasi proyek dan kepentingan untuk mendapatkan rente dari uang negara.

Berbagai persoalan tersebut tampaknya bermuara pada kelemahan budaya yang dimiliki oleh penguasa negara maupun masyarakat. Belajar dari pengalaman China, revolusi budaya (cultural revolution) merupakan salah satu fondasi penting dalam tahapan pencapaian China seperti sekarang ini. Revolusi budaya dilakukan di China dalam kurun waktu 1966 sampai 1978, dengan melakukan perubahan radikal atas nilai dasar dan cara-cara bekerjanya semua penyelenggara negara.

Perubahan budaya ini dilakukan dengan komitmen politik yang sangat tinggi dari pimpinan tertinggi negara atas semua kader Partai Komunis tentang nilai-nilai kemajuan yang harus dicapai oleh China dan menghentikan semua cara lama yang tidak kondusif dalam mengelola negara. Hal ini mudah dilakukan di China karena sistem partai politik yang tunggal serta kesatuan komando yang kuat dalam politik, ekonomi, maupun birokrasi.

Revolusi budaya adalah perubahan radikal terhadap nilai (values), cetak pikir (mindset), cara pandang (way of thinking), serta cara hidup dan cara kerja (way of life) yang unggul dari semua penyelenggara negara, yaitu pimpinan lembaga negara, presiden, menteri, politisi dan anggota dewan, kepala daerah, pejabat birokrasi, dan tentu saja masyarakat sipil dan kalangan pengusaha. Budaya unggul harus jadi gerakan nasional yang dipimpin oleh presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, misalnya saja budaya antikorupsi dan budaya berkinerja tinggi.

Kedua budaya ini harus digelorakan dan menjadi darah daging oleh penyelenggara negara melalui berbagai gerakan pembudayaan dan internalisasi nilai. Perubahan budaya ini memang tak bisa cepat selesai. Meskipun demikian, hal ini dapat diakselerasi melalui berbagai gerakan yang terencana dan komitmen politik yang tinggi dari presiden. Itu sebabnya gerakan ini harus menjadi suatu revolusi, yaitu gerakan yang dilakukan secara bersama-sama dalam waktu bersamaan. Penulis yakin, tanpa disertai dengan revolusi budaya, berbagai macam perubahan sistem yang terjadi tak akan memberikan dampak luar biasa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga.

Eko Prasojo Guru Besar Ilmu Administrasi Negara dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.