Universitas = “Pabrik Manusia”
Tampaknya, dunia pendidikan kita masih saja dijajah oleh cara berpikir kuno. Suatu bentuk cara berpikir yang sesering apapun dikritik, tetapi selalu dapat lolos, dan kemudian menyelinap kembali ke tempatnya semula, yakni pikiran kita.
Contoh paling sederhana adalah ketika sedang dilakukannya rapat evaluasi akhir semester. Ketika berbicara mengenai tingkat kelulusan, para dosen mulai berbicara tentang jumlah mahasiswa/i yang lulus atau akan lulus tahun ajaran ini. Ketika berbicara mengenai kompetensi, para dosen mulai berbicara tentang mata kuliah A yang menghasilkan kualitas A pada diri mahasiswa/i, sementara mata kuliah B menghasilkan kualitas B juga pada diri mahasiswa/i.
Hal ini memang terjadi hampir di semua level pendidikan di negeri kita, mulai dari TK sampai jenjang pendidikan doktoral. Ketika melihat kualitas dan kompetensi fakultas, yang langsung dilihat adalah jumlah kelulusan, dan berapa banyak mahasiswa yang diterima.
Sejak kapan kita, para dosen dan masyarakat pada umumnya, melihat tingkat kelulusan suatu fakultas akademik semata-mata pada angka dan jumlah, dan lupa pada kualitas individual unik yang justru harus dikembangkan potensinya semaksimal mungkin? Sejak kapan kampus jadi pabrik penghasil manusia yang harus sesuai dengan selera pasar, seperti layaknya pabrik makanan, ataupun pabrik kaleng?
Sejak kapan kita punya anggapan naif, bahwa mahasiswa/i adalah kebo dicucuk idung yang bisa diajarkan macam-macam, dan kemudian secara otomatis jadi seperti apa yang kita ajarkan? Sejak kapan, kita kembali pada anggapan naif, bahwa anak didik kita adalah tabula rasa yang putih tanpa warna, dan pada akhirnya kita bisa warnai sesuka hati kita?
Jelas, walaupun dampak destruktifnya sudah terasa, makanan yang rusak ataupun tidak layak konsumsi dapat ditarik kembali dari pasaran, untuk kemudian diolah kembali. Tapi, kita tidak akan pernah bisa menarik kembali manusia dari pasaran, jika manusia tersebut ternyata juga kita anggap sebagai produk gagal dari suatu “pabrik manusia” yang sering juga kita sebut sebagai kampus atau sekolah!
Alasannya jelas, manusia bukanlah barang! Manusia bukanlah angka! Sikap mereduksi manusia, demi keterukuran pengamatan, melulu pada angka ataupun prosentase adalah suatu sikap naif yang sebenarnya menunjukkan tidak lain daripada kemalasan berpikir, dan kegagapan dalam menghayati kedalaman hakekat manusia itu sendiri.
Rasionalitas instrumental-strategis
Cara berpikir ini disebut juga cara berpikir rasional-instrumental-strategis. Artinya, kita melulu melihat sebagai fenomena di depan mata kita sebagai sesuatu yang bisa dikalkulasi, dimanipulasi, dan kemudian digunakan seperlunya untuk kepentingan penguasaan kita atas fenomena tersebut.
Cara berpikir semacam ini memang kental di dalam ilmu-ilmu alam, karena memang kita memiliki kepentingan terhadap benda-benda alam. Kita perlu mengkalkulasi kadar zat di dalam minyak bumi, sehingga minyak itu bisa dimanipulasi, dan kemudian digunakan untuk memenuhi kepentingan kita.
Akan tetapi, sikap seperti itu tidaklah dapat kita terapkan pada manusia. Manusia tidak boleh, dan memang tidak bisa, dikalkulasi melulu dengan menggunakan angka-angka ataupun metode positivistik lainnya.
Manusia, dengan darah, daging, tulang, jiwa, serta pikirannya, adalah suatu entitas yang kompleks, yang baru bisa sungguh dihargai, jika kita pertama-tama mengakui kompleksitas tersebut. Sikap menolak mengakui kompleksitas itu untuk mencapai pengukuran yang stabil dan pasti adalah suatu sikap positivistik yang akan meracuni seluruh cara pandang kita terhadap apa itu manusia sesungguhnya!
Jika diteruskan, kita akan melihat mahasiswa/i pada khususnya, dan manusia pada umumnya, tak lebih sebagai barang atau komoditi, yang bisa diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Disinilah akar dari semua bentuk dehumanisasi sepanjang sejarah manusia, mulai dari perbudakan sampai pembantaian massal di kamp-kamp konsentrasi.
Harus bagaimana?
Jelas, kita harus segera meninggalkan pandangan lama yang melihat bahwa kampus ataupun sekolah itu adalah „pabrik manusia“, di mana kita bisa mencetak pikiran-pikiran anak didik seturut dengan tujuan kita sambil tanpa sadar, atau justru disadari?, melupakan bahwa mereka sudah memiliki potensi yang perlu untuk dikembangkan sebelum kita menuangkan materi ke kepala mereka.
Kita juga perlu segera menyadari, bahwa fokus pendidikan kita bukanlah menghasilkan jumlah kelulusan sebesar-besarnya, tetapi menghasilkan manusia-manusia yang bisa berpikir sendiri, kritis, punya kemampuan khusus, dan yang lebih dasar lagi, menghasilkan manusia yang memiliki keterbukaan dan rasa kemanusiaan tinggi. Jika jumlahnya sedikit, itulah yang harus difokuskan.
Institusi pendidikan jangan mengorbankan kualitas mahasiswa/i dan visi utama pendidikan mereka hanya untuk mendapatkan citra baik ataupun akreditasi yang tinggi! Di tengah badai pragmatisme, kita perlu sikap reflektif dan tenang untuk menyingkapi apa yang tengah terjadi, termasuk apa yang terjadi di dalam kepala kita***
Menyukai ini:
Suka Memuat...