Revolusi atas Revolusi Digital

Jual Aku Klik maka Aku Ada - Manusia dalam Revolusi Digital - Kab. Sleman -  Gemah Ripah Sukses Jaya | TokopediaOleh Reza A.A Wattimena

Kita hidup di masa revolusi digital. Di masa ini, perbedaan antara dunia maya di gawai dan dunia nyata sehari-hari menipis, bahkan lenyap sama sekali. Tak jarang, orang bekerja dan menjalin hubungan sepenuhnya di dunia digital. Ia hanya berhenti untuk makan, atau untuk ke toilet.

Apa dampak dari revolusi digital ini bagi hidup manusia secara keseluruhan? Inilah pertanyaan dasar dari Fransisco Budi Hardiman di dalam bukunya yang berjudul Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. Buku ini diterbitkan pada 2021 oleh Penerbit Kanisius Yogyakarta. Dengau pisau filsafati yang tajam, Budi Hardiman memasuki relung-relung batin manusia di masa revolusi digital, dan menyediakan panduan hidup yang dibutuhkan.   

Kehidupan di Rimba Digital

Persoalan dasar adalah persoalan identitas. Siapakah aku, jika sebagian besar hidupku dihabiskan di gawai-gawai elektronik dunia digital? Siapakah aku, jika hubunganku dengan manusia lain tidak lagi lewat perjumpaan langsung, tetapi lewat chatting di berbagai bentuk media sosial? Satu hal yang pasti, perilaku kita di dunia digital kini turut menentukan nasib kita sebagai manusia pribadi, dan juga sebagai peradaban.

Budi Hardiman melihat, bahwa revolusi digital adalah anak kandung dari nalar pencerahan Eropa. Di dalam nalar pencerahan, pembuktian nyata dan pengamatan adalah kunci utama. Iman dan kepercayaan pada tradisi lama ditunda, bahkan dihilangkan. Pola budaya semacam inilah yang melahirkan ilmu pengetahuan modern, teknologi dan revolusi digital yang kita alami sekarang ini.

Revolusi digital adalah revolusi industri yang keempat. Ini ditandai dengan perkembangan dunia digital yang begitu pesat. Semua kegiatan manusia pun berpindah dari dunia nyata sehari-hari ke dunia digital yang virtual. Perubahan dasyat ini membawa dampak yang sangat kompleks bagi hidup manusia, baik kesehatan mental, kehidupan sosial sampai dengan keadaan politik internasional.

Kata kunci disini adalah luapan informasi. Informasi menjadi begitu melimpah dan murah. Ini menciptakan peluang sekaligus petaka. Tak jarang, karena kebingungan yang menyiksa, orang justru menjadi semakin sempit berpikir dan membenci keberagaman hidup.

Manusia pun kini menjadi barang dagangan. Perhatiannya menjadi komoditi. Ia melihat gawai, tetapi gawai juga menatapnya. Pola pencarian digitalnya dicatat, dan nantinya digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari pemasaran barang, sampai dengan kampanye aliran politik tertentu yang amat mungkin merusak dan berbahaya.

Kediriannya (sense of self) pun ditentukan oleh kegiatannya di dunia digital. Harga dirinya ditentukan oleh berapa likes yang ia dapat dari media sosial. Keberadaannya tergantung dari seberapa aktif dia memamerkan dirinya di dunia digital. Kata Budi Hardiman, premo ergo sum, “Aku klik maka Aku ada”.

Dari ini lahirnya homo digitalis. “Homo Sapiens”, demikian tulisnya, “berubah menjadi Homo Digitalis.” (hal. 15) Kata digital berasal dari bahasa Latin, yakni digitalis. Artinya adalah jari. Manusia digital (Homo Digitalis) memperoleh keberadaannya dari kegiatan jari yang mengklik.

Karena kegiatan jari menjadi begitu banyak, keterpecahan pribadi pun tak terhindarkan. Tindak berpikir menjadi terpecah belah. Orang tak memiliki waktu dan tenaga untuk bertekun mendalami tema ataupun keahlian tertentu. Semuanya menjadi serba cepat, karena hanya dengan kegiatan jari, semua hal kini bisa terpenuhi, mulai dari mengisi perut yang kosong, sampai berjumpa dengan kekasih pujaan hati.

Kita pun memasuki masa anomali, atau masa krisis. Cara hidup lama yang analog (tanpa banyak campur tangan dunia digital) sudah berakhir. Namun, cara hidup homo digitalis belum sepenuhnya terpahami. Kita kosong wacana tentang kompleksitas dunia digital, serta dampaknya untuk kehidupan manusia secara keseluruhan.

Persoalan ontologi manusia pun maju ke depan. Ini adalah persoalan soal hakekat atau inti kedirian manusia. Semuanya kini berubah dengan revolusi digital. Persoalan kebenaran, keindahan dan moralitas pun tak lagi sesederhana dahulu.

Kompleksitas keadaan juga diperparah oleh hadirnya orang-orang yang berkepentingan busuk. Mereka menyebarkan kebohongan di dunia digital. Kebohongan dan fitnah yang terus berulang amat mungkin dilihat sebagai kebenaran. Manusia digital, karena kebingungan yang ia alami, tak cukup mampu membedakan antara kebenaran dan kebohongan, atau antara fakta dan fiksi.

Di titik ini, Budi Hardiman pun mengajukan pertanyaan, dimana peran nalar kritis dalam revolusi digital ini? Mungkinkah nalar kritis diselamatkan di tengah kebingungan dan kompleksitas yang terjadi? Jawaban positif pun diberikannya. Dengan berbekal tradisi nalar kritis di dalam filsafat Jerman, Budi Hardiman menawarkan panduan bagi manusia di masa revolusi digital.

Persoalan Kebenaran

Hidup tentu saja tak bisa lepas dari kebenaran. Walaupun kerap tertutup kabut kebohongan dan kebingungan, kebenaran tetap menjadi kebutuhan utama manusia. Kebenaran hanya dapat dicapai, jika ia bisa dibedakan jelas dengan ilusi. Di dalam tradisi Filsafat Eropa, ilusi yang mengaburkan kebenaran ini diciptakan oleh setan yang cerdas, atau genius malignus.

Kata ini lahir dari pemikiran Rene Descartes, salah satu pemikir terbesar dari Perancis. Ia curiga pada segala pengetahuan yang ia terima dari masyarakat, dan dari panca inderanya. Tujuannya bukanlah menghancurkan semua pengetahuan, melainkan justru menemukan pengetahuan yang tak lagi bisa dibantah. Metode semacam ini kiranya amat perlu bagi manusia yang hidup di masa revolusi digital, terutama supaya tidak terkecoh oleh berita palsu, ataupun tipuan-tipuan digital yang memikat lainnya

Untuk memberikan panduan di kerumitan masa revolusi digital ini, Budi Hardiman menggunakan metode fenomenologi lunak. Konsep ini memiliki dua arti. Fenomenologi berarti upaya menggambarkan secara apa adanya keadaan yang terjadi. Segala penilaian ditunda terlebih dahulu, supaya kebenaran sebagaimana adanya bisa menjadi jelas.

Namun, di dalam buku ini, fenomenologi tidak sepenuhnya netral. Ia memiliki nuansa kritis dan normatif. Ia tidak puas hanya dengan menggambarkan apa yang ada, tetapi juga menawarkan refleksi yang berpijak pada tata nilai tertentu. Budi Hardiman tidak hanya menggambarkan apa yang terjadi di masa revolusi digital ini, tetapi juga menawarkan pertimbangan kritis, sekaligus saran yang jitu untuk menjalaninya dengan bijak.

Dengan berbekal fenomenologi lunak, tiga pertanyaan lalu diajukan. Pertama, apa itu kebenaran, dan bagaimana kebenaran dibela, jika kebohongan menjadi keseharian di dalam dunia digital? Dua, apakah keindahan di dalam karya seni, dan bagaimana memahaminya, terutama jika karya seni hanya berperan sebagai penyampai pesan digital, dan bisa dicipta ulang secara digital dengan begitu mudah dan murah?  Tiga, apa itu tindakan moral, dan bagaimana kita melakukannya, terutama jika tindakan dipersempit menjadi sekedar mengklik di gawai, tanpa banyak pertimbangan lagi?

“Kita”, demikian tulis Budi Hardiman, “sedang masuk ke dalam era digital yang membuat jawaban-jawaban lama yang terkait dengan komunikasi korporeal tidak lagi memadai.” (hal. 32) Maka, jawaban-jawaban baru tentu diperlukan. Filsafat bisa membantu proses tersebut. Yang diperlukan adalah kemauan untuk berpikir lebih dalam, daripada sekedar “mengklik” untuk menemukan kebenaran.

Fanatisme Digital

Tindakan “mengklik” memang amat mudah. Tidak ada kesadaran dan tanggung jawab yang diperlukan. Akibatnya, tindakan ini banyak menebarkan brutalisme di dalam dunia digital. Inilah tindakan yang merusak, meyakiti dan menyebarkan fitnah yang merugikan orang lain.

Dunia digital pun seolah menjadi pesta kebencian dan fanatisme kejam. Orang-orang menjadi semakin fanatik dengan keyakinan butanya. Ia hanya mau berteman dan membaca hal-hal yang sudah sesuai dengan keyakinan awalnya. Muncullah ruang-ruang fanatik penuh kebencian yang tersebar di relung-relung gelap dunia digital.

Ini berpijak pada empat faktor. Yang pertama adalah faktor epistemologis, yakni soal cara berpikir penuh fanatisme dan kebencian yang dikembangkan di dalam dunia digital. Yang kedua adalah soal faktor psikologis, yakni soal keadaan batin dari orang terpenjara fanatisme digital. Yang ketiga adalah faktor sosiologis, yakni kehadiran kelompok-kelompok yang mengembangkan kecenderungan fanatisme di dalam dunia digital. Yang keempat adalah faktor politis, yakni hadirnya pihak-pihak yang secara sengaja menyebarkan kebencian dan perpecahan untuk kepentingan busuk mereka.

Fanatisme adalah musuh demokrasi. Maka, di alam demokrasi, fanatisme haruslah dibasmi sampai ke akarnya. Ini dapat dilakukan dengan menyebarkan kesadaran untuk membaca beragam buku bermutu, melihat hidup dengan humor serta kuatnya negara hukum demokratis. Tanpa ketiga hal itu, fanatisme akan tumbuh subur, serta menebarkan kebencian dan perpecahan di dalam masyarakat.

“Prosedur permainan dalam negara hukum demokratis,” demikian tulis Budi Hardiman, “harus sanggup melatih orang-orang ini untuk bermain fair dan menghargai fairness, agar demokrasi sebagai permainan tetap menjadi tuan atas para pemainnya.” (hal. 94) Fanatisme membelenggu rasa fairness. Ia hanya melihat dunia dari sudut pandang pribadi ataupun kelompok yang sempit, sambil mengabaikan kepentingan pihak lain.

Fanatisme memikat, karena kebohongan lebih menarik. Kebohongan dekat dengan fiksi, maka ia merangsang imajinasi. Kebenaran terlalu dekat dengan kenyataan, sehingga ia membosankan. Tak heran, semakin berlebihan kebohongan yang dirangkai, semakin mudah fanatisme tercipta.

Ini terjadi, karena manusia tak sepenuhnya rasional. Manusia memang berakal budi. Namun, ada sisi-sisi lain dari dirinya yang sering tampil ke depan. Salah satu sisinya adalah kebutuhan untuk percaya, dan kerinduan untuk dibohongi. Inilah akar penyebab dari fanatisme, baik di dunia sehari-hari maupun di dunia digital.

Maka, akal budi tetap harus dirawat dan dikembangkan. Ia amat penting di dalam upaya manusia mencapai kebenaran. Perlu ada aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan baru yang berpijak pada akal budi, supaya dunia digital tidak menyebarkan kebencian dan perpecahan lebih jauh. Filsafat berperan amat besar di dalam mewujudkan hal ini.

Keindahan Sebagai Pertaruhan

Tak hanya kebenaran menjadi pertaruhan di masa revolusi digital. Keindahan pun juga menjadi ranah pertaruhan. Tentang ini, Budi Hardiman mengacu pada pemikiran Walter Benjamin tentang seni. Ada empat pandangan dasar yang penting untuk disimak.

Pertama, karya seni tidak lagi menjadi milik kalangan tertentu semata. Ia sudah menjadi bagian dari budaya massa yang dinikmati oleh banyak orang, tanpa kecuali. Dua, karya seni kini lepas dari tradisi dan kultur yang dianggap luhur. Karya seni telah menjadi ranah yang mandiri.

Tiga, karena sudah menjadi ranah mandiri, karya seni kini bisa memainkan peranan yang lebih luas, misalnya sebagai alat politis, ataupun sebagai hiburan semata. Empat, ini terjadi, karena proses penciptaan karya seni sudah berubah. Ia tidak lagi dilakukan oleh seorang seniman di dalam ruang-ruang rahasia, melainkan sudah diciptakan secara massal untuk dinikmati banyak orang.

Di masa revolusi digital, walaupun mengalami perubahan arti, karya seni tetap memiliki peranan penting dalam hidup manusia. Dunia sudah menjadi tempat penciptaan dan penerapan teknologi. Di dalam proses ini, manusia kerap kehilangan rasa kemanusiaannya, dan hidup secara mekanis, seperti layaknya mesin. Seni bisa menyelamatkan manusia dari keadaan yang mencekik semacam ini.

Soal Kemanusiaan Kita

Di dalam hidup, kita tak banyak bisa memilih. Kita tak memilih, dimana kita dilahirkan. Kita juga tak memilih, siapa orang tua kita. Kita terlempar ke dunia ini dengan segala kerumitannya.

Inilah kiranya yang menjadi permenungan dari Martin Heidegger, seorang pemikir Jerman di awal abad 20. Dengan menimba dari pemikiran Heidegger, Budi Hardiman mencoba memahami manusia di dalam revolusi digital. Di masa ini, manusia terlempar berkali-kali ke dalam dunia maya. Ia tercabut dari dunia yang nyata, dan seolah berenang tanpa arah di lautan dunia digital.

Semakin ia mencari arah, semakin ia tersesat. Semakin ia memberontak, semakin ia justru terpenjara dalam rayuan iklan, kebohongan dan propaganda. Justru, di dalam dunia digital yang rumit, manusia perlu untuk lebih santai. Ia perlu lebih terbuka, tenang dan berenang di dalamnya. Hanya dengan begitu, ia bisa selamat dari depresi digital, dan tetap melestarikan rasa kemanusiaan di dalam dirinya.

Ini menjadi penting di masa pandemi COVID 19 sejak awal 2020 lalu. Nyawa manusia melayang begitu mudah dan begitu cepat. Ekonomi rontok, akibat berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di berbagai negara. Tak hanya tenggelam dalam kerumitan dunia digital, kini manusia pun diancam oleh virus yang amat kecil, namun mematikan.

Untuk selamat dari tikaman virus COVId 19, manusia harus menjaga jarak. Bagi yang sudah terkena, ia harus mengurung diri, sampai sembuh. Dua monster ini semakin menjauhkan manusia dari tubuhnya, yakni revolusi digital dan jaga jarak sosial (social distancing) dalam kerangka pandemi COVID 19. Hidup manusia semakin sepi, sekaligus rumit dan menakutkan dalam waktu yang sama.

Manusia perlu bersentuhan. Chatting tidak akan pernah cukup. Sarana komunikasi di media sosial bisa membantu, tetapi tidak akan pernah memuaskan dahaga manusia untuk berjumpa langsung dengan manusia lainnya. Sebagai tubuh, manusia perlu untuk mendunia secara nyata, tidak hanya secara digital.

Di masa pandemi, manusia tetap bisa berjumpa. Namun, ia harus menerapkan disiplin untuk menjaga jarak. Ia harus solider dengan orang-orang yang menderita, karena tikaman virus COVID 19 ini. Hanya dengan begitu, peradaban manusia bisa kembali dimulai, setelah dipaksa hening dalam tragedi pandemik selama berbulan-bulan.

Perlunya Etika Komunikasi Digital

Meng-klik kini menjadi keseharian manusia. Meng-klik kini menentukan jati diri manusia. Ia bisa merusak, ataupun menyelamatkan manusia dari petaka. Maka, moralitas pun menjadi bagian tak terpisahkan darinya.

Budi Hardiman melihat perlunya kesadaran pelaku di dalam meng-klik. Kesadaran lahir dari pertimbangan akal sehat dan nurani yang jernih. Ia adalah tanda dari kebebasan manusia. Ini amat diperlukan, supaya tindak meng-klik menjadi sarana untuk saling mengembangkan, dan bukan saling menikam.

Puasa digital kiranya juga diperlukan. Manusia memilih untuk melepas gawai, serta hidup di antara hijaunya pohon, dan birunya langit. Inilah bagian dari tanda kebebasan, yakni kebebasan untuk berkata tidak terhadap trend yang deras mengepung. Kebebasan untuk menarik diri dari dunia digital menyediakan kemungkinan untuk hidup reflektif, dan meningkatkan mutu kesehatan mental.

Untuk menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran pelaku di dalam dunia digital, etika komunikasi digital mutlak diperlukan. Etika ini menjadi panduan nilai di dalam hubungan antara manusia di dalam dunia digital. Tindak meng-klik butuh kesadaran sekaligus aturan yang jelas, sehingga ia mencerahkan, dan tidak memperkeruh keadaan. Etika komunikasi digital adalah tanggapan sadar manusia yang berakal budi dan berhati nurani terhadap kerumitan revolusi dunia digital.

“Yang menentukan hidup kita”, demikian tulis Budi Hardiman, “bukanlah mesin-mesin cerdas, melainkan tetap sikap dan respons kita terhadap merekalah yang membuat perbedaan.” (hal. 248) Mesin boleh semakin cerdas. Algoritma komputer boleh semakin canggih di dalam memahami dan meramal tindakan manusia. Namun, jika manusia cukup sadar, mereka bisa berkata tidak, lalu mematikan gawai, dan mulai bersentuhan langsung dengan dunia.

Beberapa Pertimbangan

Buku karya Budi Hardiman ini hadir tepat pada waktunya. Kita hidup di masa revolusi digital yang belum memiliki pola yang masuk akal. Banyak orang tersesat di dalamnya. Buku ini bisa menjadi panduan di tengah kepungan kebingungan global ini. Dengan tilikan filosofis yang tajam dan mendalam, Budi Hardiman menawarkan revolusi atas revolusi digital, yakni sebuah Metarevolusi Dunia Digital.

Ada tiga pertimbangan yang bisa diberikan. Dua terkait dengan isi pandangan yang ditawarkan. Satu terkait dengan cara penulisan buku.

Satu, konsep “dunia” yang ditawarkan Budi Hardiman tidaklah tepat. Ia mengandaikan adanya dua dunia, yakni dunia nyata dan dunia digital. Sekilas, pembedaan tersebut tampak masuk akal. Namun, kenyataannya tidaklah sesederhana itu.

Dunia yang dianggap nyata oleh Budi Hardiman tak lebih dari ciptaan otak manusia semata. Ia adalah karya dari hubungan antara otak, sistem saraf dan kesadaran manusia. Ia bukanlah dunia nyata yang sifatnya pasti dan obyektif. Berbagai penelitian neurosains dan Philosophy of Mind sudah sampai pada kesimpulan ini. (Wattimena, 2020)

Dunia digital hanyalah bagian dari dunia karya otak, sistem saraf dan kesadaran manusia tersebut. Ia sama-sama lunak, cair dan terus berubah. Ia tidak memiliki hakekat yang sejati pada dirinya sendiri. Pembedaan dua dunia yang dibuat Budi Hardiman tidak hanya terdengar naif, tetapi juga berbahaya.

Dua, kekhawatiran utama dari Budi Hardiman adalah soal perubahan arti menjadi pribadi (ego personal) di dalam revolusi digital. Ini mengandaikan adanya ego manusia yang utuh dan tetap. Pemaparannya tentang kesadaran pelaku juga mengandaikan adanya diri yang bebas, bernalar dan otonom. Pengandaian ini juga tak boleh lolos dari pertanyaan.

Para ilmuwan dan filsuf abad 21 sudah cukup sepakat, bahwa ego manusia adalah ilusi. Ia tidak memiliki hakekat yang utuh pada dirinya sendiri. Ia tidak otonom dan bebas. Ia adalah hasil dari kumpulan kebiasaan yang berakar pada hubungan dengan dunia sosial.

Niklas Luhmann, pemikir Teori Sistem asal Jerman, sudah banyak menulis soal ini dalam bukunya Soziale Systeme: Grundriß einer allgemeinen Theorie yang terbit pada 1984. Kesadaran pelaku itu hanya ilusi. Ia hanyalah bagian dari sistem. Dalam arti ini, sistem adalah kumpulan komunikasi yang begitu kompleks, sehingga melahirkan ilusi adanya individu yang otonom.

Maka, identitas ego hanyalah ada sebagai kesepakatan. Ia penting untuk keperluan administratif dan praktis sehari-hari. Namun, ego tidak ada sebagai kenyataan mutlak yang utuh dan tak berubah. Budi Hardiman tampak melupakan pembedaan yang amat penting dan mendasar ini.

Etika komunikasi digital adalah salah satu bentuk komunikasi baru di dalam sistem yang sudah ada. Ia adalah tawaran yang berpijak tidak dari kebebasan, tetapi dari tekanan sistem untuk memperluas dan melestarikan dirinya sendiri. Cita-cita luhur, seperti keadilan dan kebebasan di dalam dunia digital, juga produk dari sistem itu sendiri yang ingin bertahan hidup. Ia penting, walaupun tidak berpijak dari keluhuran manusia, seperti romantisme yang ditawarkan Budi Hardiman.

Tiga, buku ini sulit sekali dibaca. Beberapa kali, saya harus mengulang kalimat yang sama, karena sama sekali tak paham maksud penulis. Budi Hardiman tampak mengalami trans, ketika menulis buku ini. Tulisannya mengalir tajam ke dalam relung-relung naluri filosofis yang ia miliki, sehingga tampak mengabaikan kemampuan pembaca untuk memahami teks.

Saya berikan dua contoh kalimat. “Sebagai cara berinteraksi dengan pihak-pihak lain”, demikian tulis Budi Hardiman, “disosiasi merupakan implikasi logis fanatisme karena orang-orang yang mengklaim memiliki ortodoksi tertentu merasa perlu mendisosiasi dari kelompoknya orang-orang yang tidak ortodoks.” (hal. 87) Ini kalimat kedua, “Dalam telepresensi bela rasa menjadi mungkin dengan membayangkan wajah-wajah konkret, bukan sekedar pesan-pesan anonim.” (hal. 59) Apakah tidak ada rumusan yang lebih sederhana untuk menyampaikan ide filosofis yang mendalam tersebut?

Ini merupakan gejala umum di dalam dunia filsafat, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Ide-ide pencerahan dirumuskan dengan cara yang terlalu rumit. Pembaca sulit mengerti, sehingga kehilangan gairah untuk belajar lebih jauh. Di masa revolusi dunia digital, cara lain tentu diperlukan.

Lepas dari tiga pertimbangan ini, isi buku ini wajib direnungkan oleh para warga dunia digital. Ini membantu mereka menemukan panduan dunia yang serba kompleks dan membingungkan ini. Buku ini menawarkan sebuah revolusi cara pandang terhadap revolusi digital, yakni sebuah metarevolusi dunia digital. Jangan sampai kita melewatkannya.***

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

12 tanggapan untuk “Revolusi atas Revolusi Digital”

  1. Slmt mlm pak Reza. Apresiasi dan profisiat utk buku barunya. Membaca judul bukunya saya tergerak utk memilikinya. Krn itu mohon informasi cara membelinya. Slm hormat dan terimakasih.

    Suka

  2. Sudah Belih Buku nya tetapi belum dibaca. Yang baca duluan adalah Review Buku nya oleh bang Reza. Apakah buku tersebut masih layak untuk dibaca…?

    Suka

  3. Ulasan yang sangat menarik.
    Terutama tiga catatan, di bagian akhir, makin menjadikan dinamis pikiran pembaca.

    Terima kasih banyak Pak Reza atas analisisnya.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.