Oleh Reza A.A Wattimena
Kerajaan Inggris menguasai India di abad 19 yang lalu. Pada masa itu, ada masalah besar di Delhi. Ular Kobra menjadi wabah di sana. Begitu banyak ular Kobra berbisa racun yang berkeliaran di kota, sehingga mengancam kehidupan masyarakat umum.
Pemerintah Inggris berupaya mencari jalan keluar. Mereka menawarkan hadiah bagi orang yang berhasil menangkap ular Kobra beracun tersebut, dan membawanya ke pihak yang berwajib. Kebijakan itu sukses besar. Begitu banyak ular kobra yang ditangkap, dan diberikan ke pemerintah.
Namun, ular Kobra tetap berkeliaran. Jumlahnya tak menurun. Sementara, hadiah yang dikeluarkan pemerintah terus bertambah. Apa yang terjadi? Pola serupa juga dialami Pemerintah Prancis dengan wabah tikus yang menyerang Hanoi pada masa yang kurang lebih sama.
Ternyata, banyak orang membuat kandang Kobra ilegal. Ular Kobra menjadi barang dagangan. Mereka dipelihara, dan bahkan diperjualbelikan. Pemerintah menangkap semua pelanggar hukum tersebut. Namun, ular Kobra yang sudah dipelihara dilepas keluar. Akhirnya, Kota Delhi semakin dipenuhi dengan ular Kobra.
Autoimun
Inilah gejala autoimun di dalam pembuatan kebijakan. Di dalam ilmu kedokteran, autoimun terjadi, ketika daya tahan tubuh justru menyerang tubuh itu sendiri. Daya tahan tubuh, yang seharusnya menjadi penjaga tubuh, kini justru menjadi penyakit. Ia menyerang dan menghancurkan sel-sel sehat di dalam tubuh.
Jacques Derrida, pemikir Prancis, menggunakan konsep ini, ketika ia berbicara soal terorisme global setelah 9/11 di Amerika Serikat. Terorisme global, menurutnya, adalah autoimun politik. Para pelaku teroris adalah hasil bentukan Amerika Serikat untuk melawan Uni Soviet di masa perang dingin. Mereka adalah pasukan pelindung AS yang kini justru menyerang balik AS sendiri.
Ini disebut juga sebagai dampak yang tak diinginkan (unintended consequence) dari sebuah kebijakan. Nama kerennya adalah efek Kobra (Cobra Effect), sebagaimana contoh kasus Kobra di Delhi sebelumnya. Sebuah kebijakan dibuat untuk menyelesaikan masalah. Namun, ia justru memperbesar masalah, dan melahirkan masalah baru.
Ini kiranya juga kerap terjadi di Indonesia. Contoh paling jelas adalah kebijakan pemerintah terkait dengan pandemik COVID 19. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan justru melahirkan ketakutan dan kemiskinan. Bukanlah tak mungkin, berbagai kebijakan yang merusak ini akan melahirkan gelombang terorisme berikutnya.
Ketidakberpikiran (Die Gedankenlosigkeit)
Ada tujuh hal yang penting untuk diperhatikan terkait efek kobra dan autoimun politik ini. Pertama, keduanya terjadi, karena kedangkalan berpikir. Martin Heidegger, pemikir Jerman, menyebutnya sebagai ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit). Para pembuat kebijakan hanya berpikir teknis, namun tidak dengan daya reflektif dan sikap kritis yang dibutuhkan.
Dua, bentuk ketidakberpikiran ini adalah paradigma teknokratisme sempit yang digunakan oleh pemerintah Indonesia. Paradigma ini hanya tunduk pada data yang ada untuk membuat keputusan. Data tersebut tidak selalu benar, karena ia tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Manusia yang menjadi budak data bukan hanya manusia tidak berpikir, tetapi juga telah kehilangan kemanusiaannya.
Tiga, tanda dari mental budak data ini adalah hilangnya pertimbangan nurani, dan tuli terhadap teriakan rakyat. Pertimbangan nurani melampaui data, dan menyentuh langsung rasa kemanusiaan setiap orang. Ia mendengarkan secara sungguh apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh rakyat. Inilah yang kiranya dilupakan oleh pemerintah kita di Indonesia.
Empat, tanpa kejernihan nurani dan kesediaan untuk mendengar, kita tidak akan bisa memahami akar masalah. Kita akan terjebak pada analisis dangkal yang merusak. Kebijakan yang keluar tidak hanya memperbesar masalah, tetapi melahirkan masalah baru. Pola semacam ini sudah berulang di Indonesia, yakni ketika jalan keluar yang dibuat pemerintah justru memperparah keadaan.
Lima, kesalahan kebijakan juga kerap terjadi, karena ada kepentingan tak jujur di baliknya. Biasanya, ini adalah kepentingan diri para oligark, yakni orang-orang kaya yang memiliki pengaruh besar pada jalannya pemerintahan. Kebijakan yang keluar lalu hanya menguntungkan mereka. Rakyat pada umumnya diabaikan kepentingannya, atau bahkan dikorbankan.
Enam, kepentingan-kepentingan lain juga kerap membuat sebuah kebijakan menjadi tidak depat. Contohnya adalah kepentingan tradisi dan agama yang dipaksakan untuk diikuti oleh masyarakat umum. Ini terjadi dengan amat jelas di Indonesia. Akal sehat, nurani dan bahkan Pancasila, dasar negara Indonesia, kerap dikesampingkan demi memenuhi kepentingan agama sempit yang merugikan banyak orang.
Tujuh, tekanan global juga amat kuat mempengaruhi kebijakan. Kebijakan negara-negara maju, seperti di Uni Eropa dan Amerika Serikat, kerap diikuti secara buta orang negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Ini sangat jelas dalam kebijakan yang diambil pemerintah terkait dengan pandemik COVID 19. Rakyat dipermiskin dan diperbodoh, karena pemerintah tunduk patuh pada kecenderungan global, tanpa sikap kritis.
Melampaui Kobra
Jelaslah, sebuah kebijakan dibuat untuk menyelesaikan masalah. Kebijakan yang memperbesar masalah, atau justru melahirkan masalah baru, adalah kebijakan ular kobra (Cobra Policies). Ini hanya dapat dicegah, jika pemerintah, bersama masyarakat umum, mampu berpikir kritis dan reflektif di dalam menanggapi tantangan yang ada. Teknokratisme, yang secara buta tunduk pada data dan penerapan teknologi, haruslah dihindari.
Kebijakan harus mengacu pada nurani yang jernih dan akal sehat. Ia harus lahir dari telinga yang mendengar kebutuhan rakyat banyak. Dengan begini, analisis yang dibuat pun tepat mengenai akar masalah. Jalan keluar yang tepat pun bisa dirumuskan dan diterapkan.
Kepentingan-kepentingan busuk harus dikendalikan, atau bahkan dilenyapkan. Di balik beragam kepentingan busuk itu, yang ada hanyalah kaum koruptor yang rakus dan mempermiskin rakyat banyak. Kepentingan agama dan tradisi juga harus dibaca dengan akal sehat dalam terang kepentingan bersama. Agama, tradisi dan tekanan maupun kecenderungan internasional tidak boleh menjadi pandangan mutlak yang harus dipatuhi secara buta. Semuanya harus dibaca dengan sikap kritis, akal sehat, nurani serta keberpihakan pada masyarakat luas.
Kebijakan yang salah kaprah lahir dari cara berpikir yang salah kaprah. Di Indonesia, kesalahan penanganan pandemik COVID 19, pembiaran radikalisme agama, pembiaran pelanggaran HAM, pelemahan KPK, pembodohan sistematik melalui pendidikan dan pemiskinan rakyat melalui kesalahan beragam kebijakan adalah tindakan salah kaprah yang akan menghancurkan bangsa. Jika dibiarkan, sama seperti pengalaman India di masa penjajahan Inggris, “Ular Kobra” akan berkeliaran. Sangat mungkin, ia akan membunuh kita.***
begitu pula pandangan saya.
kita tida bisa merubah keadaan sekali gus.
kl kita minat merubah , kita mulai dari diri kita sendiri. (gandhi).
terima kasi atas karya diatas !!
salam hangat !!
SukaSuka
ular kobra itu tidak akan menyerang kita kalo kita tidak menganggunya
SukaSuka
Tepat sekali. Salam hangat selalu
SukaSuka
Begitu ya. Sudah baca tulisannya?
SukaSuka
Keren tulisannya kak
SukaSuka