Patriarki Keji yang Menolak Mati

Aesthetica Magazine - Reframing SurrealismOleh Reza A.A Wattimena

Perempuan… Dari rahimnya, kita semua dikandung, dan terlahir ke dunia. Namun, di masyarakat yang rusak, perempuan terus menjadi korban. Di berbagai bidang kehidupan, perempuan mengalami ketidakadilan. Di setiap konflik, perempuan menjadi korban terbesar. Mereka tidak hanya dibunuh, tetapi diperkosa dan disiksa, sebelum dipaksa menerima ajal.

Beberapa Data

Kommas Perempuan melaporkan adanya 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Ini yang tercatat resmi. Kasus tersebut ditangani berbagai lembaga, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama sampai dengan lembaga rujukan Komnas Perempuan. 79% kasus adalah Kasus Dalam Rumah Tangga/Ranah Personal (KDRT/RP). Jumlahnya 6480 kasus. Di dalamnya, ada 50% Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang berjumlah 3221 kasus.

Kekerasan dalam pacaran terjadi 1309 kasus (20%). Sementara, kekerasan terhadap anak perempuan terjadi 954 kasus (15%). Kekerasan lainnya terjadi dengan mantan pacar, mantan suami dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Pola kekerasan pun tak banyak berubah, yakni kekerasan fisik 2025 kasus (31%). Ini diikuti dengan kekerasan seksual sebanyak 1983 kasus (30%), kekerasan psikis sebanyak 1792 kasus (28%) dan kekerasan ekonomi sebanyak 680 kasus (10%). (CATAHU 2020 Komnas Perempuan: Lembar Fakta dan Poin Kunci (5 Maret 2021))

Dengan segala kemajuan budaya dan peradaban manusia, kekerasan terhadap perempuan tetap lestari. Di abad sejuta informasi dan kemudahan, perilaku kita di Indonesia juga masih jauh dari beradab. Akarnya adalah budaya patriarki. Ia memang kuno, namun menolak mati, dan bahkan menguat di abad ini.

Patriarki adalah cara berpikir yang melahirkan sistem sosial, dimana laki-laki memegang kekuasaan utama, dan menindas perempuan di berbagai bidang kehidupan. Patriarki menjadi seperangkat ajaran yang membenarkan penindasan laki-laki terhadap perempuan. Ia bisa berupa penjelasan biologis-fisik, bahkan teologi-agamis. Kata ini berasal dari kata Yunani yang secara harafiah berarti “aturan yang dibuat oleh ayah”.

Tersebar Luas

Paham ini merasuk ke dalam agama-agama dunia yang tersebar di Indonesia. Agama pun menjadi pembenaran terhadap penindasan terhadap perempuan. Penindasan itu dibenarkan, karena dianggap sesuai dengan keinginan Tuhan. Laki-laki dianggap, secara alami, lebih bijak, dan berhak untuk mengatur hidup perempuan. Maka, penindasan perempuan oleh para laki-laki pun tidak hanya dianggap biasa, melainkan juga dianggap sebagai sesuatu yang suci.

Di politik Indonesia, budaya patriarki pun tersebar luas. Jangan harap perempuan bisa menjadi presiden di Indonesia. Itu bertentangan dengan agama dan budaya. Dalam banyak hal, perempuan juga tidak bisa bekerja di dalam bidang politik dengan bebas, kecuali ia punya dukungan uang maupun politik yang kuat.

Dalam bidang ekonomi, perempuan juga cenderung dibayar lebih murah. Ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Dengan bobot kerja dan tanggung jawab yang sama, perempuan terus dipinggirkan di dalam soal pengupahan. Perempuan pun lebih sulit mendapat kenaikan jabatan, daripada laki-laki.

Dalam hidup keseharian di Indonesia, perempuan terus menerus ditindas. Mereka dipaksa untuk bekerja di rumah, sehingga tidak punya sumber daya ekonomi yang cukup untuk mandiri. Mereka cenderung menjadi korban kekerasan dari para laki-laki bermental patriarki. Tubuh mereka ditakuti, sehingga perempuan harus menutupi badannya dari ujung kepala sampai ujung kaki, seperti selimut berjalan.

Di tempat tidur, perempuan juga wajib melayani suaminya. Agama dan budaya membenarkan semua penindasan ini. Di media, perempuan juga selalu menjadi obyek jualan. Keindahan tubuhnya dikomersilkan untuk bahan jualan.

Karena ditindas begitu lama, banyak perempuan Indonesia menerima penindasan patriarki ini begitu saja. Mereka pasrah. Mereka berpendapat, penindasan itu sesuatu yang alami, dan dikehendaki oleh yang Ilahi. Tak heran, banyak perempuan Indonesia juga bermental patriarki. Mereka merayakan penindasan terhadap diri mereka, dan ikut menindas perempuan-perempuan lainnya.

Memahami Akar

Penindasan terhadap perempuan bukanlah sesuatu yang alami. Ia juga bukanlah kehendak Tuhan. Penindasan itu dibuat oleh para penguasa busuk untuk melestarikan kekuasaan dan kekayaan mereka semata. Para penguasa itu pun memakai topeng agama dan budaya untuk membenarkan sikap busuk mereka.

Tak heran, kapitalisme amat dekat dengan patriarki. Kapitalisme hendak memperbesar modal yang ada dengan segala upaya. Jika perlu, penindasan dan kekerasan digunakan. Perempuan adalah korban terbesar dari meluasnya kapitalisme global.

Sekelompok laki-laki memiliki uang dan kuasa. Mereka ingin mempertahankan itu semua, dan memperbesarnya. Untuk itu, mereka membangun ideologi rasisme, patriarki dan kapitalisme global. Para pemuka agama dan kaum intelektual pun disuap untuk melestarikan semua ketidakadilan ini.

Jalan Keluar

Ada lima hal yang kiranya bisa dilakukan. Pertama, kita harus peka pada keberadaan pola pikir patriarki di berbagai bidang hidup kita. Di pekerjaan, kita harus belajar peka pada penindasan ini. Hal serupa juga perlu kita lakukan di dalam keluarga kita.

Dua, kita juga harus melakukan refleksi diri mendalam. Apakah saya seseorang yang bermental patriarki? Apakah saya menindas perempuan untuk kepentingan saya? Apakah agama dan budaya yang saya anut masih gemar melakukan penindasan terhadap perempuan?

Tiga, dari dua hal tersebut, kita harus mulai berani bersikap kritis terhadap penindasan. Kita harus berani bersuara, ketika melihat penindasan terhadap perempuan. Kita harus berani melakukan kritik diri, maupun kritik terhadap komunitas kita, baik tempat kerja, agama, budaya maupun keluarga. Kita tidak boleh mendiamkan penindasan terhadap perempuan, apalagi ikut melakukannya, karena memperoleh keuntungan darinya.

Empat, kita juga harus mulai ikut aktif di dalam organisasi pemberdayaan perempuan, ataupun hak-hak asasi manusia secara keseluruhan. Perubahan sosial hanya bisa lahir dari gerakan sosial. Gerakan sosial hanya bisa lahir dari organisasi-organisasi dengan misi luhur yang menolak diam di hadapan penindasan. Begitulah hukum perubahan sosial, sebagaimana ditulis oleh Noam Chomsky.

Lima, gerakan perlawanan terhadap patriarki harus melibatkan banyak pihak. Kelompok-kelompok agama diajak untuk berubah, dan melakukan perlawanan. Partai-partai politik juga diajak untuk melakukan hal serupa. Hanya dengan kerja sama dengan berbagai pihak, gerakan perlawanan terhadap patriarki bisa menang.

Patriarki memang keji. Mereka menindas dan menyiksa rahim-rahim yang telah melahirkan kita. Di abad 21 ini, ia tidak boleh dibiarkan ada. Sudah waktunya, patriarki menjadi bagian dari kajian sejarah, karena ia sudah selayaknya punah dari cara berpikir dan sistem sosial kita. Jangan ditunda lagi.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

6 tanggapan untuk “Patriarki Keji yang Menolak Mati”

  1. begitulah keadaan perempuan dewasa ini bukan hanya di indonesia, juga di bbrapa negara2 lain.
    agama apa saja memegang peran sangat penting dalam menyisihkan hak sesama manusia.
    bagaimana “peri kemanusiaan” dibawah selimut undang2 negara atau/dan agama bisa terwujud ?
    bagaimana negara bisa maju dan sejahtera kalau cara hidup biadab di abad pertengahan bahkan di sanjung2.
    saya hanya prihatin dan ikut menderita walau dalam sehari2 hidup “bebas”.
    dua jantung yg beda berdenyut !!
    semoga peminat forum ini hati tergugah dgn thema2 yg sangat “bermutu” !!
    salam hangat !!

    Suka

  2. Perempuan di cari sekaligus di maki
    Di cintai sekaligus di benci
    Di sanjung tetapi menjadi batu sandung
    Di lindungi sekaligus dibasmi
    Di beri surga pada telapak kakinya namun dihancurkan hatinya

    Suka

  3. Bersyukurlah saya yang terlahir di keluarga yang minim patriarki, mungkin lingkungan sosial sama aja kayak yg lain, lelaki selalu mendominasi tapi dirumah, kayak gak ada gitu.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.