Kota dan Ilusinya

Alternate-Perspectives-ESB-Slavin-671x479
newyorkwritesitself.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Siapa yang tak tergoda dengan gemerlap cahaya kota di malam hari? Gedung-gedung tinggi menjulang memamerkan kecanggihan dan keindahannya. Kota-kota besar dunia memikat begitu banyak orang untuk hidup di dalamnya. Sayangnya, daya pikat tersebut tidak selalu berakhir sebagai cerita bahagia.

Tukang parkir itu masih muda. Setelah lama meninggalkan Jakarta, saya mulai banyak kehilangan arah. Saya bertanya satu alamat kepadanya. Anak muda asal Madura itu menggeleng kepala, tanda tidak tahu.

Ia adalah salah satu anak muda korban pikatan kota Jakarta. Tanpa modal kemampuan ataupun uang, ia merantau ke Jakarta. Ia mendengar, di Jakarta, orang bisa mendapatkan kekayaan yang melimpah. Modal nekad dan harapan besar, ia pergi ke Jakarta, serta meninggalkan semua sanak keluarganya di Madura.

Gemerlap cahaya kota memang menjanjikan kemasyuran uang dan nama besar. Di beberapa budaya, orang belum menjadi pria sejati, jika ia tidak pernah merantau. Beragam kemungkinan tampil di depan mata. Sayangnya, seperti semua bentuk kemungkinan, hal-hal jelek pun tak terhindarkan.

 

Anonimitas, Kriminalitas dan Identitas

Ketika orang meninggalkan tempat asalnya, dan terpikat dengan gemerlap kota, ia seperti dicabut dari akar budayanya. Ia seolah menunda semua ikatan emosional yang sebelumnya telah membentuk dia menjadi manusia. Di kota besar, ia seperti bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang manusia bersama dengan jutaan manusia lainnya yang mencari sesuap harta dan nama besar.

Di kota besar, orang seolah tanpa wajah. Ia menjadi anonim, satu di antara sekian juta manusia lainnya. Tanpa pengolahan yang tepat, ciri anonim ini bisa melahirkan banyak masalah, mulai dari gangguan kejiwaaan, sampai dengan kecemburuan sosial yang akut. Rasa iri muncul, ketika diri terjebak kemiskinan, namun dipaksa melihat orang menggunakan mobil mewah, sambil berbelanja di tempat-tempat mahal. Anonimitas dan kesenjangan sosial ekstrem adalah bumbu utama dari konflik dan revolusi.

Keadaan ini juga bisa meningkatkan kriminalitas di kota. Orang-orang tanpa pekerjaan dan keahlian apapun membanjiri kota. Tidak semuanya beruntung. Yang tak beruntung mengalami godaan besar untuk melakukan tindak kriminal, seperti mencuri, memeras, memperkosa dan bahkan membunuh.

Akar dari semua ini adalah kebingungan akan jati diri. Di kota besar yang gemerlap, orang mengalami krisis identitas. Ia tercabut dari akar budayanya, dan tidak mampu menanamkan identitas barunya di kota besar yang gemerlap dan gigantis. Jika ditambah dengan tekanan kemiskinan, perilaku merusak adalah buah yang tak terhindarkan untuk dipetik.

Di tingkat yang lebih luas, pikatan kota juga melahirkan banyak kesalahan tata kota. Pemukiman kumuh berkembang dimana-mana, karena para pendatang yang terpikat tak berhasil menemukan perumahan yang layak. Dari kekumuhan lahirlah banyak masalah kesehatan dan bencana, seperti banjir yang tak lagi bisa dihindarkan. Kemacetan ekstrem, seperti yang terjadi di Jakarta, adalah hasil dari pikatan ilusi kota Jakarta yang menawarkan janji-janji yang tak selalu ditepatinya.

Akibat lainnya, desa menjadi terbengkalai. Padahal, di desa, lapangan kerja juga tersedia. Namun, karena banyak orang terpikat oleh rayuan ilusi kota, beragam pekerjaan itu tak terisi. Desa pun kekurangan tenaga kerja, menurun produktivitasnya dan menjadi miskin. Ini seperti lingkaran setan saja.

 

Prioritas

Jalan keluarnya ada dua. Yang pertama adalah, kita tidak boleh terpikat oleh ilusi kota. Kita harus sungguh jernih melihat keadaan yang ada. Pendek kata, kita harus punya prioritas yang berakar pada budaya kita sendiri, sambil bersikap kritis pada segala pikatan yang kerap kali ilusif.

Pemerintah juga memainkan peranan penting disini. Desa harus menjadi sasaran pembangunan dan investasi pemerintah, supaya bisa menawarkan peluang yang besar bagi warganya. Pemerintah kota juga perlu melakukan kontrol, supaya proses urbanisasi (perpindahan orang dari desa ke kota) tidak ekstrem, dan kemudian melahirkan berbagai masalah. Permasalahan pemukiman kumuh dan urbanisasi tanpa kontrol harus menjadi perhatian utama pemerintah.

Hidup memang menawarkan banyak hal. Namun, sebagian besar di antaranya adalah ilusi. Ilusi tersebut begitu memikat, sehingga tampak sungguh nyata dan menggoda. Kita perlu secara kritis dan jernih membedakan antara ilusi yang menipu, dan kenyataan sebenarnya. Tidak ada jalan lain.

 

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

13 tanggapan untuk “Kota dan Ilusinya”

  1. Terima kasih, Keren penjelasannya. Banyak sekali orang lebih bertahan di kota dari pada kembali ke desanya. Padahal banyak sekali potensi yang bisa di kembangkan di desa sendiri.

    Suka

  2. Bagus tulisannya pak Reza. Memang benar, banyak sekali yang tidak ingin kembali ke desa karena terbawa oleh arus ilusi itu. Bukannya mengembangkan desa malah lebih memilih tinggal di kota.

    Suka

  3. Dalam mitologi Yunani, dikenal seorang wanita penggoda bernama Dewi Sirens yang tinggal di sebuah pulau terpencil di tengah samudera luas. Tiap laki2 yang melintas dengan kapalnya di dekat pulau itu akan begitu mudah tergoda dengan suara nanyian merdunya. Semakin dekat, semakin menggoda, hingga pada akhirnya seluruh penumpang beserta kapalnya tenggelam dan lenyap tanpa bekas. Syahdan, ada pemuda bijak yang telah mendengar kisah tersebut, hingga suatu saat ia sengaja melintas di dekat pulau di mana Dewi Sirens berada. Tak hayal, nyanyian merdu si wanita penggoda berkumandang menggoda tiap laki2 yang sudah berada di dekatnya. Tiba2 si pemuda bijak mengeluarkan seruling ajaib dari saku bajunya, dengan segera menyanyikan lagu indah yang tak kalah menggodanya. Maka terjadilah pertempuran antara dua nanyian penggoda, yaitu antara nanyian kehidupan dan nyanyian kematian, antara nanyian kenyataan dan nyanyian ilusi… Dua nyanyian yang saling bersaing!
    Hidup menawarkan pilihan, apakah akan memilih kehidupan atau kematian, kenyataan ataukah ilusi.
    Jadikan nyanyian kita sebagai prioritas, dan nyanyikan dengan segenap perasaan dan kesadaran, sehingga kita tak mudah lagi tergoda dengan nyanyian2 yang tak berperasan dan memabukan.., karena menemukan jati diri tidaklah harus di kota!

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.