Moralitas itu Berbahaya

Danger-Sign-292916Oleh Reza A.A Wattimena

Ada satu pola menarik di dalam sejarah. Para pelaku kejahatan terbesar justru adalah orang-orang yang hidup dalam bayang-bayang moralitas. Para penguasa Persia di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan melakukan penaklukan ke berbagai penjuru Timur Tengah. Para penguasa Mesir di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan memperbudak penduduknya sendiri untuk membangun Piramid.

Orang-orang Yahudi mengaku bangsa bermoral dan bertuhan. Namun, mereka yang menyalibkan Yesus, tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Kekaisaran Ottoman Turki mengaku bermoral dan bertuhan. Namun, mereka melakukan penaklukan berdarah ke berbagai penjuru negara Timur Tengah.

Eropa mengaku sebagai benua yang beradab dan bertuhan. Namun, mereka memperbudak dan menjajah begitu banyak bangsa selama kurang lebih 500 tahun. Hitler hidup dalam panduan moral yang tinggi. Ia menjadi otak sekaligus pelaksana pembantaian orang-orang Yahudi di masa perang dunia kedua.

Amerika Serikat mengaku bangsa yang bermoral dan bertuhan. Namun, mereka menjadi otak dari begitu banyak pembantaian massal di berbagai penjuru dunia di abad 20. Kini, para teroris dengan pandangan Islam ekstrimisnya menjadi pelaku kekerasan di berbagai penjuru dunia. Mereka juga mengaku bermoral dan bertuhan.

Mengapa ini terjadi? Mengapa orang-orang yang mengaku bermoral, bertuhan dan beragama justru menjadi pelaku kejahatan-kejahatan terbesar di dalam sejarah? Saya berpendapat, bahwa sumber dari segala kejahatan ini justru lahir dari moralitas itu sendiri. Moralitas bukanlah solusi atas kejahatan, melainkan justru akar dari kejahatan itu sendiri.

Moralitas

Moralitas adalah pertimbangan baik dan buruk. Apakah suatu tindakan baik? Apakah suatu tindakan buruk? Keputusan apa yang baik untuk saya ambil? Inilah kiranya pertanyaan-pertanyaan terkait dengan moralitas.

Kita juga seringkali menggunakan pertimbangan moral dalam membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup. Apakah pernikahan baik untuk saya? Pekerjaan mana yang baik untuk saya? Jahatkah saya, jika saya mengambil keputusan ini?

Satu hal yang pasti adalah, bahwa moralitas adalah pertimbangan pikiran. Ia terjadi di dalam pikiran manusia. Ia tidak ada secara nyata dan empiris di dalam kenyataan sehari-hari. Moralitas bukanlah kenyataan alamiah.

Apa itu kenyataan alamiah? Sesungguhnya, kenyataan alamiah tidak memiliki konsep atau kata untuk menjelaskannya. Ia adalah “sesuatu”. Para filsuf Eropa menyebutnya sebagai “Ada” (Being, Sein, to on). Para mistikus India menyebutnya sebagai “Diri” (the Self). Namun, sejatinya, ia tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Moralitas itu Berbahaya

Lalu, mengapa moralitas itu berbahaya? Moralitas, seperti saya jelaskan sebelumnya, selalu terkait dengan baik dan buruk. Jika sebuah pertimbangan dianggap buruk secara moral, maka orang akan menjauhinya. Jika sebuah pertimbangan dianggap baik secara moral, maka orang akan mengikutinya.

Namun, hidup tidak sesederhana itu. Apa yang buruk biasanya memikat. Apa yang baik biasanya membosankan. Inilah yang sekarang ini banyak terjadi.

Ketika orang melakukan yang buruk, maka ia akan memperoleh kenikmatan sementara. Namun, semua itu akan berakhir pada penyesalan dan penderitaan. Orang akan merasa bersalah, karena ia telah bertindak jahat. Tindakan tersebut telah menyakiti dirinya dan orang lain.

Orang yang suka berbohong memang kelihatan berhasil pada awalnya. Namun, semakin lama, jika ia terus berbohong, ia akan tenggelam di dalam kebohongannya. Ia tidak bisa lagi membedakan kenyataan dan kebohongan yang ia bangun sendiri. Ia pun hidup dalam penderitaan.

Sebaliknya, ketika orang bertindak baik, maka ia akan berusaha untuk mempertahankan tindakannya tersebut. Ia lalu melekat dan terikat dengan tindakan tersebut. Ia tergantung secara emosional dengan tindakan itu. Dalam perjalanan waktu, tindakan baik itu menghasilkan banyak tegangan batin di dalam dirinya.

Tegangan batin, pada akhirnya, akan menghancurkan tindakan baik tersebut. Yang muncul kemudian adalah perasaan bersalah, karena orang tak lagi mampu mempertahankan tindakan baik itu. Orang merasa munafik atau justru menjadi orang yang munafik. Ia justru malah menjadi kejam pada sesamanya dan dirinya sendiri. Tak heran, banyak pelaku kejahatan kejam di dalam sejarah justru adalah orang yang memiliki prinsip moral tinggi, atau bahkan amat religius.

Orang yang memegang erat prinsip jujur akan mengalami ketenangan batin pada awalnya. Namun, ia hanyalah manusia. Ia tidak bisa jujur setiap saat dan setiap waktu. Ada waktunya, ia perlu berbohong, seringkali dengan alasan-alasan yang masuk akal. Orang yang memegang erat prinsip jujur juga pada akhirnya akan berbohong juga. Ini akan melahirkan perasaan bersalah dan penderitaan yang amat dalam pada orang tersebut.

Jadi, tindakan buruk menghasilkan tegangan dan penderitaan. Tindakan baik juga menghasilkan ketegangan dan penderitaan. Keduanya melahirkan tegangan dan ketakutan di dalam batin. Dari tegangan, penderitaan dan ketakutan batin tersebut, orang justru malah menjadi kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri. Ini seperti lingkaran setan yang tak bisa diputuskan.

Moralitas menghasikan semacam keterpecahan kepribadian di dalam diri manusia. Ia terbelah antara harapan tentang dirinya sendiri, dan keadaan nyata di depan matanya tentang dirinya sendiri. Moralitas menghasilkan semacam neurosis di dalam pikiran manusia. Ia memiliki fungsi terbalik, yakni justru mendorong orang untuk menjadi tidak bermoral.

Moral dan keputusan

Sayangnya, kita seringkali menggunakan pertimbangan moral di dalam membuat keputusan. Pertimbangan moral, dan tindakan yang lahir darinya, selalu melahirkan ketegangan di dalam batin. Ketegangan batin berujung pada penderitaan batin. Banyak orang tak kuat menanggung tegangan dan penderitaan batin tersebut. Mereka justru menjadi orang yang paling kejam.

Maka, menurut saya, moralitas itu berbahaya. Ia mencoba menyelesaikan sebuah masalah dengan menciptakan masalah-masalah baru. Banyak negara yang mengaku bermoral justru bertindak kejam terhadap warganya dan terhadap negara lain. Ini lahir dari tegangan dan penderitaan yang sudah selalu tertanam di dalam moralitas itu sendiri.

Indonesia mengaku sebagai negara bermoral dan beragama. Semua orang berteriak soal moral dan agama. Namun, korupsi dan kebohongan menyelubungi dunia politik kita. Diskriminasi dan kebencian mewarnai hidup bermasyarakat kita. Kita pun gemar menghukum mati orang-orang yang kita anggap tak layak hidup. Ini contoh yang amat pas untuk menggambarkan bahaya dari moralitas yang justru menghasilkan kemunafikan dan kekejaman.

Panduan Baru: Kejernihan Berpikir

Yang jelas, kita membutuhkan panduan lain dalam hidup kita, selain moralitas. Kita membutuhkan pijakan lain untuk membuat keputusan. Moralitas seolah menjadi jawaban, namun ia seringkali justru melahirkan masalah-masalah baru yang lebih besar. Moralitas adalah sesuatu yang harus dilampaui.

Saya menawarkan panduan lain, yakni kejernihan berpikir. Pertanyaan yang harus diajukan bukanlah “Apakah ini baik atau buruk?”, melainkan “Apakah ini lahir dari kejernihan berpikir, atau tidak?” Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan baik dan buruk. Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan untuk dan rugi.

Pikiran yang jernih bersifat alamiah. Ia muncul dari kesadaran diri manusia, dan bukan dari pertimbangan akal budi, baik-buruk atau untung-rugi. Pikiran yang jernih melihat situasi nyata. Ia bersikap tepat pada setiap keadaan yang terjadi.

Pikiran yang jernih tidak sibuk dengan masa lalu. Pikiran yang jernih menolak untuk melompat ke masa depan. Ia berfokus pada situasi disini dan saat ini. Ia memecahkan masalah sesuai dengan konteksnya masing-masing.

Bagaimana melahirkan kejernihan berpikir? Caranya sederhana: stop melakukan analisis dan stop berpikir! Lakukan apa yang mesti dilakukan disini dan saat ini. Bertindaklah mengalir secara alamiah dari saat ke saat.

Berbohong bukanlah baik atau buruk. Ia amat tergantung pada konteks. Berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain adalah tindakan yang lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh untuk mempertahankan diri dan keluarga dari serangan perampok adalah tindakan yang juga lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh dan berbohong adalah tindakan yang jernih, jika dilakukan secara tepat pada keadaan-keadaan tertentu.

Melampaui Moralitas

Ketika pertimbangan akal budi masuk, maka kejernihan hilang. Ketika orang sibuk memikirkan baik dan buruk, maka kejernihan hilang. Ketika orang sibuk memikirkan untung dan rugi, maka kejernihan hilang. Orang yang sibuk memikirkan baik dan buruk akan terus mengalami ketegangan di dalam hatinya.

Ia seperti hidup dalam penjara yang dibangun oleh pikirannya sendiri. Hal yang sama terjadi dengan orang yang selalu sibuk melakukan pertimbangan untuk dan rugi di dalam hidupnya. Hidupnya tidak akan pernah lepas dari kecemasan. Dari kecemasan itu, ia bisa bertindak kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri.

Moralitas melahirkan ketegangan. Ketegangan mendorong sikap agresif. Sikap agresif lahir bisa diarahkan pada orang lain, atau pada diri sendiri. Selama orang masih melekat pada moralitas, selamanya ia akan terjebak pada lingkaran setan ketegangan dan penderitaan hidup.

Jalan keluar dari masalah ini hanya satu: kejernihan berpikir. Orang yang hidup dengan kejernihan pikiran tidak hanya berhasil dalam karir, tetapi juga menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati di dalam batinnya. Ia keluar dari lingkaran setan kehidupan yang dibangun oleh moralitas. Jadi, apakah pikiranmu sudah jernih?

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

35 tanggapan untuk “Moralitas itu Berbahaya”

  1. Sungguh artikel yang luar biasa, sangat bermanfaat bagi kami, Situs Hitam, yang fokus mengikuti perkembangan dunia kejahatan. Memang moralitas itu subyektif, dan hanya beda satu huruf dengan amoralitas.

    Suka

  2. Bagaimana melahirkan kejernihan BERPIKIR? Caranya sederhana: stop melakukan analisis dan stop BERPIKIR!
    ***
    Saya masih bingung dengan “Kejernihan berpikir” yang anda maksud. Disatu sisi anda membenarkan tindakan berpikir (Kejernihan berpikir) namun disisi lain anda malah menolaknya (Stop berpikir!). Apakah kejernihan berpikir itu bukan tindakan berpikir? Kalau memang demikian, mengapa anda memakai istilah “berpikir” didalamnya?
    Hehehee.
    Mohon pencerahannya dan salam kenal.

    Suka

  3. 1. Moralitas adalah kesepakatan

    2. jika baik adalah postif dan buruk adalah negatif maka kosong (mati) jika berada ditengah-tengah.
    pilihlah untuk berada diatas kebaikan dan keburukan

    3. masa lalu dipelajari, masa depan disiapkan, hiduplah untuk detik ini.

    Suka

  4. kejernihan berpikir lahir dari intuisi (tanpa pikiran). Pikiran kita seringkali ga lahir dari intuisi, tetapi lahir dari prasangka dan emosi. Ini pikiran yang ga jernih. Pikiran yang lahir dari intuisi akan jadi jernih. Terima kasih atas pertanyaannya

    Suka

  5. Menurut saya pemikiran seperti ini sama saja cacadnya seperti keadaan sosial sekarang yang menjunjung tinggi moralitas. Berdasarkan intuisi dan hati nurani? Sangat naif menurut saya. Apa maksud dari makna tersebut adalah jika seorang mengikuti hasratnya sebagai manusia semuanya dapat hidup bahagia? Berasumsi bahwa kita sebagai manusia dilahirkan di dunia sebagai makhluk koorperatif dan membahagiakan tanpa rasa ingin menguasai dan keserakahan akan satu sama lain? Tolong definisikan lebih jelas maksud dari “hati nurani” yang dimaksud disini. Poin kedua, jika manusia melakukan sebuah tindakan tanpa analisa dan berpikir? Jadi yang dimaksud disini kita sebagai manusia harus menumpulkan kemampuan tersebut dan sepenuhnya mengikuti perasaan dan hasrat kita sebagai makhluk hidup? Jadi menurut bapa dengan hedonisme manusia akan mempunyai kehidupan yang lebih baik?

    Suka

  6. Intinya, memutuskan sesuatu tanpa ketegangan batin, karena batin yang tegang menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan yaitu agresivitas.

    Suka

  7. Awal yang bagus tentang moralitas. Tapi pada paragraf : “Bagaimana melahirkan kejernihan berpikir? Caranya sederhana: stop melakukan analisis dan stop berpikir!” Ini agak membingungkan kalo gak baca komen penjelasan tentang ini. Saran saya, ditambahin biar ga salah paham. 😉

    Suka

  8. Mungkin yang Bapak Reza A.A Wattimena maksud mengenai kejernihan berpikir mirip-mirip dengan gagasan insting dari pemikiran pragmatis william james, yaitu segala sesuatu dianggap benar bila berguna, bermanfaat atau berfaedah. Mengenai moral sebenarnya moral dapat menjadi bumerang bagi peradaban manusia jika moral tersebut dibentuk berdasarkan permufakatan orang, atau kelompok tertentu atau golongan tertentu dengan tujuan mencapai kepentingan mereka sehingga merusak kepentingan manusia (orang) yang lainnya. Seperti pemikiran Pater Anthony de Mello, SJ ia menyatakan bahwa manusia terkungkung oleh ketidakbebasan dirinya karena pengaruh orang di sekelilingnya (masyarakat), yaitu seperti contohnya prestasi, keunggulan sehingga manusia di manapun mengagung-agunkan menjadi berprestasi dan menjadi nomor 1. Sejak lahir manusia sudah diatur oleh tatanan, bahkan sampai matipun ia masih diatur oleh tatanan tersebut…. Menurut saya konsep kejernihan berpikir masih memiliki kelemahan. Justru insting manusia masih memiliki kelemahan karena dipengaruhi oleh faktor biologis manusia itu sendiri, walaupun semua makhluk hidup juga punya naluri (instingnya masing-masing).

    Suka

  9. Yang saya maksudkan dari faktor biologis adalah manusia itu sendiri. Maksud saya adalah insting adalah naluri manusia yang merupakan pertimbangan rasa dan merupakan bagian dari ketidaksadaran (subconciousness) dan manusia tidak dapat hidup berdasarkan naluri secara otomatis. Anda kalau mengendarai kendaraan (mobil atau motor) misalnya pasti menggunakan pikiran agar dapat sampai dengan selamat ke tempat tinggal anda, iya kan kalau tidak menggunakan pikiran pasti sudah ditabrak kendaraan lain atau menabrak kendaraan lain di tengah jalan dan pasti terluka (patah tulang) atau tewas. Yang ada dalam manusia selain naluri adalah ESP (Extrasensory Perception) dan ESP itu pernah digunakan manusia pada zaman peradaban Lemuria Mu (walaupun belum dibuktikan lebih spesifik kemana peradaban itu sekarang). Akan tetapi ESP itu masih ada pada peradaban manusia saat ini contohnya trance, atau perdukunan. ESP lebih mengarah pada power (kesadaran tingkat tinggi) yang melebihi indera ke-6.

    Suka

  10. kejernihan berfikir mungkin contoh mungkin seperti seseorang yang beribadah pada Tuhannya dengan tiada alasan lain kecuali hanya setitik kesadaran bahwa dirinya dicipta. kejernihan berfikir mungkin bukanlah harus berbohong atau membunuh maling untuk mempertahankan diri dan keluarga, bila maling itu sebenernya mengerjakan maling untuk mempertahankan diri untuk hidup disebabkan kerakusan para pemilik harta. dalam artian bila tidak maling dia akan mati kelaparan. kalau saya hakim saya mungkin tak akan menghukumnya haha… dalam kasus itu bukan anda saja yang mempertahankan diri, menurut saya semua yang bergerak sekaligus juga mempertahankan diri. kejernihan berfirkir menurut saya terkait juga dengan menjaga keberlangsungan kebebasan diri dan orang lain, bukan hanya keluarga yang di cinta, tapi juga orang lain dengan tidak menjadikannya maling lalu dibunuh

    Suka

  11. memang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia kadang sangat sulit untuk menemukan kata yang tepat. dalam bahasa italia intuisi disebut dengan coscienza yaitu sesuatu yang lahir dari pikiran yang jernih dan hati yang jernih. perpaduan antara hati dan nalar melahirkan intuisi atau coscienza, consapevolezza juga bisa di gunakan untuk menjelaskan intuisi.

    Suka

  12. hehehe… terima kasih atas sharingnya. Tapi sejatinya, state of mind ini tidak memiliki kata dan konsep. Ia sebelum itu semua. Namun, memang, untuk keperluan pembelajaran, kita berusaha memberikannya nama.

    Suka

  13. Berdasarkan paragraf2 pendahuluan mengenai sejarah dan berbagai contoh keburukan moral, saya jadi bertanya2, apakah benar bila moral yang ada sekarang merupakan hasil ciptaan? Yang kemudian diikuti oleh pengikutnya masing2 sepanjang sejarah itu. Sebut saja istilahnya ada “bendera moral” masing2 yang diusung dan kiranya sampai sekarang banyak pengikutnya.

    Kemudian solusinya, dengan melepas bendera tersebut. Manusia tetap sama dan tetap dapat berpikir (diistilahkan dengan berpikir jernih) dengan tambahan tanpa kewajiban berpikir berdasarkan moral2 yang sudah ditentukan oleh masing2 bendera.

    Tapi bukankah manusia seperti itu tidak akan dikenali? Ia tidak punya bendera, bahkan jika cara tersebut mau dipaksakan, mau tidak mau mesti membuat bendera sendiri, yaitu “bendera berpikir jernih” atau “bendera ‘tanpa bendera'”.

    Saya takut, pak. Setiap orang bahkan lebih hebat karena punya banyak bendera yang bisa diusung sesuai situasi yang dihadapi. Hari ini ia bisa tampil Kristen, besok sebagai kapitalis, besok sebagai aktor politik. Bukannya seperti itu moral imperialis yg tidak membebani mereka karena bisa diimbangi dengan moral Kristen? Gold, glory, and gospel yang pola nya sama dengan berbagai pelaku sejarah yang bapak sebutkan diatas. Atau Amerika dgn moral agama, tapi invasinya tidak membatalkan moral agama karena masih ada moral patriotism mereka.

    Justru akan sulit bahagia bila sama sekali gak punya bendera, karena gak bisa membedakan lawan dan kawan. Yang akan bahagia-dan yg belum dipertimbangkan rasanya di artikel ini- yaitu orang2 yang punya banyak bendera moral

    Suka

  14. Salam. Terima kasih sudah berbagi. Saya sepakat, kita mesti punya bendera. Namun, kenakanlah bendera yang tepat yang seluas semesta, yakni kita sebagai warga negara semesta. Jangan gunakan bendera yang sempit dan tertutup. Bagaimana menurut anda?

    Suka

  15. Manifestasi pikiran manusia pak.
    Memang moral itu terlihat cacat ketika di perhadapkan dengan hal yg dilematis, apalagi jika itu pengambilan keputusan etis.
    Tpi moral tidak sepenuhnya cacat pak
    Krn seperti pemikiran max sceheler, tentang etika nilai.
    Saya rasa kesadaran yg meruntuhkan moral pak.
    Bukan hanya sebatas instingtual, tetapi lebih kepada kesadaran pak
    Mari berdiskusi pak
    Saya juga tertarik dengan masalah moral

    Suka

  16. Tidak ada yang sepenuhnya sempurna. Tidak ada yang sepenuhnya cacat. Tergantung pada arah dan dasar yang ada. Jika moral berpijak pada kejernihan berpikir dan hati nurani, serta mengarah pada upaya untuk menolong semua mahluk, maka ia bisa digunakan seperlunya. Salam

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.