
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Sulit bagi kita untuk berkembang sebagai pribadi dan sebagai bangsa di abad 21 ini, jika kita tidak memiliki mentalitas ilmiah. Dalam arti ini, mentalitas ilmiah adalah sikap batin yang mencoba menerapkan cara berpikir ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Inilah, menurut saya, yang menjadi kunci kemajuan dari berbagai bangsa di abad 21 ini. Tanpa pengembangan mentalitas ilmiah, bangsa kita akan terus terjebak ke dalam kebodohan, baik dalam bidang politik, maupun bidang-bidang kehidupan lainnya yang lebih bersifat pribadi.
Mentalitas Ilmiah
Syarat pertama dari mentalitas ilmiah adalah kemampuan untuk mengamati apa yang ada di kenyataan. Pada titik ini, pengalaman sehari-hari bukan hanya sebagai obyek untuk dilihat, tetapi sebagai sesuatu yang diamati dan dialami. Orang yang memiliki mentalitas ilmiah selalu berpikir bertolak dari pengalaman yang diamati. Ia tidak hidup dalam takhayul, ataupun gosip.
Berpijak pada pengalaman dan pengamatan, tumbuhlah rasa penasaran di dalam dirinya. Ingatlah, rasa penasaran adalah awal dari belajar, dan awal dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Rasa penasaran muncul karena rasa kagum terhadap apa yang ada, atau apa yang terjadi, misalnya keindahan alam, keberadaan masyarakat, dan sebagainya. Rasa penasaran mendorong penjelajahan intelektual maupun spiritual manusia.
Bentuk konkret dari rasa penasaran adalah pertanyaan. Siapa yang berpikir, dia pasti bertanya. Bertanya adalah simbol dari tindak berpikir manusia. Pertanyaan yang bermutu jauh lebih berharga daripada jawaban-jawaban kaku, yang merasa sudah pasti akan rumusannya sendiri. Dalam konteks politik, pertanyaan bisa mengundang pemberontakan terhadap kekuasaan yang menindas.
Namun, pertanyaan tidak boleh berhenti hanya menjadi pertanyaan. Ia menuntut pencarian dan penelitian untuk mengajukan beberapa jawaban yang mungkin. Pertanyaan menuntut dorongan untuk memahami lebih jauh, yakni untuk melampaui pengetahuan kita sebelumnya, untuk menjadi lebih dari sebelumnya. Untuk mencapai pemahaman, kita memerlukan metode, atau cara, untuk menjelajahi kenyataan di luar dan di dalam diri kita sendiri.
Metode yang terpenting adalah metode berpikir dan penarikan kesimpulan. Akal budi dan logika adalah dasar dari mentalitas ilmiah. Dua hal ini harus ada, supaya mentalitas ilmiah bisa terbentuk. Keduanya berperan besar di dalam penarikan kesimpulan yang akhirnya juga mendorong lahirnya tindakan. Prinsip dasarnya: penarikan kesimpulan harus sesuai dengan pernyataan-pertanyaan sebelumnya, yang telah terbukti kebenarannya.
Kesimpulan tersebut tidak bisa dibiarkan abstrak saja, melainkan harus diuji kembali pada fakta yang ada di kenyataan. Teori ilmiah adalah bagian dari kesimpulan, dan itu tidak pernah bisa dilepaskan dari “percakapan” dengan kenyataan yang ada. Pola pikir ini, menurut saya, tidak hanya penting di dalam kegiatan penelitian ilmiah, tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari. Ingat, tindakan kita adalah buah dari pikiran kita, dan pikiran kita sedapat mungkin haruslah dibentuk dari proses penarikan kesimpulan yang logis dan rasional.
Namun, seorang ilmuwan tidaklah boleh menjadikan teorinya sebagai kebenaran mutlak. Inilah sikap ilmiah yang disebut sebagai sikat anti-dogmatis. Setiap teori dan kesimpulan haruslah dipertanyakan ulang, dan diuji lagi di hadapan kenyataan. Sekali lagi saya tegaskan, sikap semacam ini tidak hanya penting untuk proses penelitian ilmiah, tetapi juga untuk menjalani hidup sehari-hari.
Diskusi yang Beradab
Sejarah ilmu pengetahuan sudah menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan berkembang melalui polemik dan perdebatan yang keras. Edmund Husserl, bapak fenomenologi asal Jerman, juga menegaskan, bahwa salah satu ciri dasar dari akal budi manusia adalah kemampuannya untuk berkembang melalui polemik. Maka, kita pun tidak boleh takut dengan debat, diskusi, dan polemik, karena itulah yang mengembangkan kita sebagai pribadi, dan juga sebagai masyarakat. Namun, debat, polemik, atau diskusi memiliki beberapa prinsip dasar juga, dan tidak boleh asal.
Prinsip pertama adalah kesetaraan antar individu. Setiap orang, di dalam proses diskusi, berdiri sebagai orang yang sejajar dan setara. Usia, agama, ataupun pengalaman seseorang tidak boleh menjadi faktor yang dominan di dalam diskusi. Setiap orang punya dan kewajiban untuk menyatakan pendapat mereka. Pendapat yang dianggap paling bisa menjelaskan situasi dan memberi pencerahan dapat menjadi pendapat dominan dalam diskusi, walaupun itu keluar dari mulut anak muda yang tak punya pengalaman.
Setiap pendapat bernilai, walaupun itu salah. Penghargaan pada pendapat orang lain menjadi bagian utama dari proses diskusi, sehingga setiap orang punya dorongan dari dalam dirinya untuk berpikir, dan mengutarakan pendapatnya. Karya orang lain pun harus dihargai. Bila mengutip atau terinspirasi dari karya orang lain, maka kita harus memberikan keterangan selengkapnya. Sikap semacam ini, sekali lagi, tidak hanya penting untuk penelitian ilmiah, tetapi juga untuk hidup sehari-hari.
Kritik tajam adalah bagian dari setiap diskusi ataupun debat. Namun, kritik pun harus memiliki aturan. Pertama, kritik tidak boleh diajukan pada pribadi orang secara langsung, melainkan pada pendapat yang ia sampaikan. Dua, kritik tak boleh menggunakan kekerasan, baik kekerasan bahasa maupun kekerasan fisik. Tiga, kritik harus berakar dari akal sehat, dan bukan pada otoritas feodalistik, seperti misalnya usia (karena saya lebih tua dan lebih lama bekerja atau lebih tinggi sekolahnya, maka saya lebih benar).
Pengembangan mentalitas ilmiah jauh lebih penting dari pada pengembangan material ekonomi semata. Orang bisa punya uang banyak, namun mentalitas ilmiahnya belum jadi, maka sikap hidupnya pun juga pasti tidak beradab. Kontradiksi semacam inilah yang banyak kita temukan di kehidupan sehari-hari di Indonesia (misalnya: orang kaya tapi buang sampah sembarangan). Pendidikan, agama, dan lingkungan keluarga memainkan peranan amat penting dalam membentuk mentalitas ilmiah ini. Jadi, tunggu apa lagi?
Diskusi yang paling adil, menurut saya, adalah diskusi yang tanpa aturan sama sekali. Seluruh entitas saya, misalnya, diadu dengan seluruh entitas lawan diskusi saya. Diskusi tersebut akan mengubah pelaku-pelakunya. Tema diskusi dan argumentasi cuma alat saja. Yang berubah selama dan setelah diskusi adalah orang-orangnya, para pelakunya. Saya akan menyerang tidak hanya ide lawan, tapi juga karakternya. Publik akan menilai bukan cuma isi otak, tapi juga isi jiwa pelaku diskusi.
SukaSuka
Selama masa pemerintahan Stalin di Uni Soviet, semua penelitian ilmiah harus sesuai dengan “materialisme dialektis”. Mereka yang beranggapan bahwa Darwinisme adalah dasar biologi sesungguhnya memiliki mentalitas dogmatis yang sama.
SukaSuka
ide yang sangat menarik dan radikal… bagaimana supaya diskusi semacam ini tidak berujung pada konflik?
SukaSuka
ya.. ini memang terjadi.. sikap dogmatis memang godaan paling berbahaya di dalam ilmu pengetahuan dan filsafat
SukaSuka
Hehehehe….sayangnya budaya dialektika tidak menjadi inti budaya masyarakat kita. Malah budaya dogma yang memang mendarahdaging 🙂
SukaSuka
betul sekali james… budaya dogma ini mirip kanker yang menggerogoti berbagai sendi masyarakat kita..
SukaSuka