
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman
Sulitkah mencari secercah harapan di tengah kericuhan dunia politik Indonesia? Orang-orang yang dipilih untuk memperjuangkan kepentingan rakyat justru memakan uang rakyat untuk mempergendut rekening pribadi mereka. Partai yang memperoleh kepercayaan rakyat untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dan berwibawa juga rontok oleh skandal korupsi. Semua situasi ini membuat kita sulit untuk tetap berharap.
Berita di media massa terus menerus membuat kita tersentak. Semakin heboh dan buruk berita yang disampaikan, semakin banyak oplah iklan terjual, dan semakin banyak pula uang yang masuk. Seolah seluruh roda media massa berlomba untuk menyampaikan berita terakhir yang paling buruk untuk masyarakat. Tak heran, membaca koran dewasa ini menjadi pengalaman yang semakin menyakitkan.
Kecemasan Kolektif
Pemberitaan media massa yang menyakitkan ini sebenarnya juga dipengaruhi oleh fakta, bahwa para pemilik media juga adalah para politisi yang hendak bertarung di dalam pemilu Indonesia 2014 mendatang. Di dalam konteks pertarungan ini, peran media sebagai fungsi kritis masyarakat dan sebagai alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa semakin tersisih oleh kepentingan politik praktis yang lebih menggoda.
Pemberitaan negatif yang menyebarkan aroma “ketiadaan harapan” ini dibarengi dengan kinerja yang jelek dari institusi-institusi publik yang menopang kehidupan bersama di Indonesia. Nyaris semua proses sosial, mulai dari mendaftarkan anak ke Taman Kanak-kanak terdekat sampai dengan pemilihan presiden, dibumbui dengan korupsi, kolusi, maupun nepotisme. Tak heran, aura ketiadaan harapan dan pesimisme bagaikan udara yang kita hirup setiap harinya.
Hampir di setiap persoalan, kita kehilangan fokus tentang akar masalah sebenarnya. Yang cenderung terjadi adalah kita melakukan analisis panjang dan mendalam, tetapi tidak tepat mengena pada akar permasalahan. Misalnya, seperti ditegaskan oleh Anies Baswedan di dalam konferensi pers-nya beberapa waktu lalu, konflik horisontal antar masyarakat harus dilihat sebagai pelanggaran hukum, maka harus ditindak tegas dan adil dengan hukum yang ada, serta tidak melulu dilihat sebagai soal perkelahian antar ras ataupun agama. Kerumitan analisis tentang sejarah ras dan agama di Indonesia terkadang mengaburkan kita dari isu pokok sebenarnya.
Semua situasi ini tentu melahirkan rasa pesimis dan tak berdaya. Tak heran, banyak anak muda kita cenderung apolitis, dan sibuk meniti karir, atau memenuhi kepentingan mikronya semata. Tanpa partisipasi politik yang kuat, masyarakat demokratis tidak akan bisa berjalan, dan proses-proses demokratis untuk mencapai keadilan serta kemakmuran bagi semua pun akan terhambat.
Rasa pesimis atau ketiadaan harapan ini juga mendorong terciptanya kecemasan kolektif. Di dalam masyarakat yang menderita kecemasan kolektif, orang hidup terus dalam rasa takut. Hubungan-hubungan sosial yang membentuk sebuah masyarakat yang sehat pun retak oleh rasa curiga dan prasangka. Di dalam masyarakat semacam itu, kita hidup bagaikan di neraka.
Melampaui Pesimisme
Jelaslah, bahwa langkah-langkah untuk melampaui pesimisme harus segera dilakukan. Saya menawarkan setidaknya tiga hal. Pertama, kita jelas perlu untuk secara kritis menerima dan mengolah berita yang disebarkan oleh media massa. Kita tidak oleh tertipu dan terperdaya oleh gegap gempita media yang seringkali memelintir kebenaran demi membenarkan kepentingan-kepentingan politik ataupun ekonomi tertentu, yang seringkali tidak luhur.
Yang kedua, kita perlu untuk bersama bergerak memperbaiki kinerja institusi-institui publik di masyarakat kita, mulai dari tingkat RT, kantor-kantor swasta, sampai dengan kementrian yang ada. Caranya cukup sederhana. Cobalah untuk berhenti melakukan korupsi dengan menawarkan uang suap, guna melancarkan prosedur resmi yang ada. Dan jika kebetulan anda adalah salah seorang pejabat atau pekerja di salah satu institusi tersebut, maka mulailah bekerja dengan memegang visi dan misi pelayanan yang optimal dan bersih bagi semua pelanggan (rakyat).
Yang ketiga, kita harus mulai belajar berpikir tepat sasaran. Suatu masalah tidak melulu harus dianalisis secara berlebihan. Ketika sebuah tindakan secara jelas melukai orang atau kelompok tertentu, maka proses yang adil harus segera dilaksanakan, tak perlu menelusuri permasalahan-permasalah historis ataupun filosofis yang seringkali justru membuat kita bingung. Berpikir tepat sasaran adalah tindakan yang terdengar mudah, akan tetapi amat sulit untuk dilakukan.
Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia, pernah berkata, bahwa negara kesatuan Indonesia adalah jembatan emas untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur untuk semua, tanpa terkecuali. Maka dari itu, sudah sejak awal, kita memilih bentuk negara republik demokratis, dan bukan negara agama yang secara langsung bersikap diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Akan tetapi, untuk memastikan, bahwa proses-proses demokratis sungguh berlangsung dengan tepat, kita perlu dukungan dari seluruh rakyat Indonesia, yang tak terjebak oleh aroma pesimisme ataupun kecemasan kolektif. Mengutip syair lagu yang pernah dinyanyikan oleh Sheila on 7, salah satu grup band ternama di Indonesia, kita tidak boleh “berhenti berharap”.
Reblogged this on awayfarday.
SukaSuka
Saya setuju PESIMISME .. optimisme cuma buang ‘energi’ .. tidak ada ‘institusi’ yang bebas KKN .. jadi,,pandai-pandailah ber’adaptasi’ di ke’ragam’an dunia manapun .. segala sesuatu ada ‘masa’nya ..
SukaSuka
salam kenal..
SukaSuka
pragmatisme yang terlalu radikal menurut saya..
SukaSuka
Reblogged this on ahmattafsir.
SukaSuka
Indonesia mengalami dehumanisasi,agama menjadi formal belaka,tradisi menjadi aturan baku,kebendaan menjadi berhala baru..salam kenal .
SukaSuka
ya.. itu memang gejala yang empiris, yang tidak hanya terjadi indo, tetapi di seluruh dunia
SukaSuka