Masyarakat Sertifikat dan Asumsi Kita

                      http://cheeringhouse.com

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman

Kita hidup dalam sebuah mesin raksasa yang bernama birokrasi. Di dalamnya, setiap orang adalah bagian dari roda sistem yang bergerak secara otomatis dan gigantis. Setiap orang tak hanya tubuh, darah, dan pikiran, melainkan juga nomor. Di dalam hirupan nafas dan detak jantung kita, kertas dan angka selalu siap melukiskan apa yang terjadi.

Ketika pertama kali melihat dunia, kita dicatat di dalam selembar kertas, yang bernama akte kelahiran. Hembusan nafas kita ditandai dengan nomor urut. Tangisan pertama kita ditandai dengan guratan kata di atas kertas bernama sertifikat. Tatapan perdana kita atas dunia juga berbarengan dengan terjunnya kita ke dalam sistem birokrasi raksasa yang bernama; masyarakat.

Tak lama, waktu berselang. Ketika mendapatkan suntikan pertama dalam hidup kita, kita diberi nomor, dan sertifikat. Hal yang sama berlangsung selama beberapa tahun, sampai kita mendapat sertifikat berikutnya, yang menandakan, bahwa kita sehat. Masuk taman kanak-kanak selama kurang lebih dua tahun, selesai, dan kita mendapat sertifikat.

Lulus ujian yang dilalui seringkali dengan tangis air mata juga ditandai dengan sertifikat. Menempuh pendidikan di luar sekolah diakhiri juga dengan sertifikat. Menikah, punya anak, bekerja, laporan setiap tahun, semuanya selalu dikepung oleh benda yang bernama sertifikat. Hembusan nafas terakhir kita di dunia pun, selain diikuti oleh tangis keluarga dan sahabat, juga ditandai dengan satu simbol yang terus menghantui kita sepanjang hidup; sertifikat.

Ada apa dengan sertifikat? Apa arti sertifikat? Mengapa kita hidup dalam bayangannya terus menerus? Apakah sertifikat harus terus menghantui hidup kita?

Sertifikat dan Asumsi Kita

Sertifikat adalah suatu simbol yang menandakan, bahwa kita telah melewati satu tahap tertentu dalam hidup kita, dan berhak untuk melakukan serta mendapatkan sesuatu dengan berpijak pada tahap yang telah kita lewati tersebut. Ada satu asumsi yang bersembunyi di balik selembar kertas yang bernama sertifikat, yakni kemampuan. Orang yang telah memiliki sertifikat dianggap memiliki kemampuan tertentu, sesuai dengan sertifikat yang ia pegang. Pertanyaan kritisnya adalah, apakah asumsi ini benar?

Sebuah sertifikat dikeluarkan oleh sebuah sistem tertentu. Rumah sakit (sistem kesehatan masyarakat) mengeluarkan sertifikat sehat. Sekolah (sistem pendidikan) mengeluarkan sertifikat pendidikan, yang menandakan kemampuan seseorang. Sistem-sistem lainnya mengeluarkan bukti serupa, yakni sertifikat, untuk menandakan, bahwa seseorang berhak untuk melakukan atau mendapatkan hak-hak tertentu.

Kekuatan sertifikat terletak pada kekuatan dari sistem yang mengeluarkannya. Artinya, jika sistem kesehatan sebuah masyarakat bobrok, maka sertifikat kesehatan yang dikeluarkan oleh sistem kesehatan tersebut tak ada artinya. Jika sistem pendidikan sebuah masyarakat bobrok, maka sertifikat pendidikan yang dikeluarkan pun tak ada artinya lagi. Logika sederhana ini bisa kita tarik lebih jauh ke dalam sistem-sistem lainnya.

Sistem Kita

Pertanyaan kritis disini adalah, apa artinya, jika kita mengatakan, bahwa sebuah sistem itu bobrok? Sistem yang bobrok, pada hemat saya, adalah sistem yang memiliki jurang yang menganga antara kata dan kenyataan. Jurang tersebut adalah simbol kebohongan. Apa yang tertulis di dalam sertifikat sama sekali berbeda dari apa yang ada di dalam kenyataan.

Jika jurang ini menganga besar, maka asumsi yang mendasari seluruh konsep sertifikat pun juga gagal. Sebaliknya, sistem yang sehat selalu berusaha menjembatani kata dan kenyataan. Kedua konsep itu, yakni kata dan kenyataan, tak pernah sungguh sama, namun jaraknya bisa diperkecil. Di dalam sistem yang sehat, jurang yang ada amat sempit, nyaris tak terlihat, sehingga apa yang tertulis di sertifikat bisa sungguh dipertanggungjawabkan.

Roda dekonstruksi, yakni kemampuan untuk menunda dan memecah kepastian hidup, harus bergulir untuk memecah asumsi sertifikat di masyarakat kita. Asumsi harus digoyang dan dipertanyakan. Namun, asumsi harus disadari terlebih dahulu, sebelum diolah. Kesadaran akan asumsi yang bergerak di balik kesadaran masyarakat kita inilah yang, menurut saya, amat kurang di Indonesia.

Membangun Kesadaran

Jurang menganga yang tertulis di dalam sertifikat antara kata dan kenyataan sebenarnya berakar pada masalah filosofis yang lebih mendalam, yakni masalah bahasa. Bahasa tak pernah sungguh dapat mewakili realitas, baik realitas di dalam diri maupun di luar diri kita. Bahasa adalah rumusan, dan selalu ada jarak yang cukup jauh dan mendalam antara rumusan dengan kenyataan.

Ini terlihat sederhana, namun dampaknya amat luas di dalam hidup sehari-hari kita, mulai dari salah paham di antara teman yang melahirkan konflik, ataupun salah paham antara para pemimpin negara yang membawa perang dan penderitaan. Kesadaran akan “apa yang tak dapat ditangkap dalam bahasa” ini tidak boleh menjadi alasan untuk kebohongan, tetapi perlu digunakan secara bijak untuk memahami kelemahan manusia di dalam memahami dunianya.

Di dalam masyarakat modern yang amat rumit, kehadiran sertifikat tak bisa dihilangkan. Sertifikat adalah simbol hak dan kemampuan seseorang. Yang perlu terus disadari adalah kekuatan dan kredibilitas dari sistem yang melahirkan sertifkat tersebut, dan kelemahan bahasa manusia yang tak mampu melukiskan kenyataan dan perasaan secara sempurna dalam kata-kata yang tertulis di atas sertifikat. Hanya dengan begitu, sertifikat tidak lagi menjadi simbol kebohongan, melainkan simbol kepercayaan.

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

8 tanggapan untuk “Masyarakat Sertifikat dan Asumsi Kita”

  1. Ini mengingatkanku pada tulisan lamaku yang sudah lebih dari setahun :-), Lost in Indicators http://jwsasongko.com/2010/10/22/lost-in-indicators/
    Kita diskusi menarik juga di situ Za, dan tampaknya masyarakat kita tetap terjebak dalam masalah esensi yang sama, yaitu mendewakan indikator dari substansi, bukan substansi itu sendiri.
    Sertifikat adalah salah satu indikator yang tak lagi akurat, tapi diimani. Tidak akurat, karena integritas sebuah indikator (termasuk dalam hal ini sertifikat) tergantung dari tujuan indikator itu dibuat. Integritasnya tinggi bila memang berfokus untuk mengapresiasi pencapaian dan kemampuan yang riil. Tapi yang terjadi di masyarakat kita, sertifikat adalah ‘kertas untuk menjustifikasi hak meminta uang lebih’, terlepas dari apakah itu merepresentasikan kemampuan yang riil.
    Menyedihkan.

    Suka

  2. setuju! saya jadi ingat, dulu saya pernah melamar pekerjaan di sebuah perusahaan di surabaya, tidak diterima hanya karena ijazah saya dari Universitas yang tidak terkenal dan kredibilitasnya kurang bagus, tanpa memberi kesempatan kepada saya untuk membuktikan kemampuan saya, pimpinan tersebut langsung berkata: sayang kamu bukan dari Universitas ……(dia menyebutkan 3 Universitas yang terkenal di surabaya). saya langsung kaget dan ketawa. padahal setelah saya terjun sekolah di salah satu Universitas yang disebutkan orang tadi, Oh Tuhan! parahnya minta ampun. nggak jauh beda dengan Universitas saya yang dulu.
    Sekalipun dari Universitas yang tidak terkenal tapi kalau orang tersebut mampu, kenapa tidak?? Sertifikat buat saya cuma kertas dan angka saja pak, untuk saya pakai sebagai syarat mendirikan organisasi atau lembaga pendidikan tertentu. Selebihnya kembali kepada diri kita sendiri untuk membuktikan kemampuan kita.

    Suka

  3. Sebagai masukan: Dari pengalaman saya mengajar di lembaga sertifikasi (sementara saya tidak memeiliki sertifikasinya), terasa sekali betapa peserta hanya mengejar sertifikat dan pembuat sertifikat terpaksa memberikan kemudahan supaya bisnis tetap jalan atau dijalankan oleh yang lebih buruk. Entah itu karena kondisi lingkungan kita ataukah memang di seluruh dunia demikian? Say mencoba mengajarkan sebaik mungkin apapun niat meraka. Tantangan pengajar adalah menanamkan sesuatu meskipun “belum” diminati. Ya toh? Maaf sekali lagi maaf, mudah-mudahan saya salah, mereka yang bersertifikat belum tentu lebih baik da riyang tidak bersertifikat, karena itu saya laku mengajari mereka. He he he…. I don’t belive in papaer because I belive in God.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.