Mendidik Ulang Kewargaan

Oleh B Herry Priyono

http://www.callcentrehelper.com

Selamat datang di negeri yang berlagak demokrasi. Sebagaimana lagak itu ibarat topeng yang mengimpit wajah, begitu pula lagak demokrasi adalah topeng kebebasan yang memangsa isi demokrasi.

Jutaan kata telah dikerahkan untuk menjelaskan kemajuan dan kemacetan proses demokrasi: dari telaah ciri agonistik dan antagonistik sampai prasyarat deliberatif bagi kemungkinannya di Indonesia. Namun, kedegilan peristiwa tetap saja keras kepala. Deretan bom, teror, dan tersingkapnya jaringan ambisi Negara Islam Indonesia belakangan ini mengisyaratkan, perkaranya barangkali lebih sederhana daripada urusan agonistik, antagonistik, ataupun deliberatif demokrasi. Mungkin perkaranya adalah rasa-merasa kewargaan yang digusur dari kehidupan bersama dan bernegara. Bagaimana memahami pokok sederhana ini?

Prioritas kewargaan

Mulailah dari pertanyaan sederhana: apa prasyarat paling dasar demokrasi modern? Jawabannya adalah kewargaan (citizenship). Kewargaan menunjuk pada keanggotaan setara dalam tatanan politik negara-bangsa dengan kesetaraan hak dan kewajiban. Lain dengan dasar moral kemanusiaan, afiliasi agama atau etnis, kewargaan adalah landasan solidaritas horizontal dalam kerangka tatanan hidup bernegara-bangsa.

Tentu orang bukan hanya sosok warga negara. Umumnya ia juga pemeluk agama tertentu, bagian kelompok etnis, atau mungkin anggota kelompok kebatinan tertentu. Namun, semua identitas lain itu bukan prasyarat paling mendasar demokrasi. Sebaik dan sesaleh apa pun agama dan ajarannya, keyakinan dan pemelukan agama bukan prasyarat dasar demokrasi. Kita tentu berharap keyakinan agama dan keanggotaan dalam kelompok etnis atau klenik mendukung rasa-merasa sebagai warga negara. Namun, tak ada jaminan apa pun identitas-identitas lain itu mendukung rasa-merasa dan etos kewargaan.

Barangkali pokok ini terdengar terlalu keras, tetapi kesan keras itu bukan disebabkan oleh sesat cara bernalar di atas, melainkan lebih mungkin karena kebiasaan rasa-merasa kita yang belakangan ini sudah jauh tersesat. Sekali lagi, apabila soalnya menyangkut hidup bersama sebagai bangsa, landasan terpenting adalah rasa-merasa dan jalinan kewargaan, bukan afiliasi agama, ras, etnis, atau keanggotaan profesional dan minat.

Dalam bahasa lugas, silakan menghafal semua ayat kitab suci agama yang Anda peluk dan yakini. Namun, kitab suci kehidupan bersama sebagai bangsa/bernegara adalah undang-undang dasar (konstitusi), bukan ayat kitab suci agama mana pun. Selain itu, masing-masing kita tentu juga konsumen (consumer) dalam transaksi pasar dan konsumen adalah pemburu harga termurah. Namun, seperti halnya afiliasi agama, identitas konsumen dan soal kaya-miskin juga bukan prasyarat bagi kehidupan bernegara.

Apa kaitan semua itu dengan kekusutan kita hari-hari ini? Silakan membau suasana yang melingkupi kita, yang tecermin dalam relasi-relasi sosial, acara di ruang-ruang publik, seperti layar televisi, radio, bahkan pidato-pidato resmi para pejabat. Kalau mau terdengar ilmiah, silakan simak juga berbagai survei publik tentang persoalan toleransi dan hidup beragama. Semakin hari suasana kultural kita ditandai dengan kecenderungan ganjil, yaitu dominasi suasana rasa-merasa ”Aku pertama-tama adalah orang beragama” atau ”Aku pertama-tama adalah konsumen”. Suasana yang pertama dibentuk oleh keganasan fundamentalisme agama, sedangkan yang kedua oleh wabah fundamentalisme pasar.

Apa masalahnya dengan cuaca kultural itu? Soalnya adalah suasana ”Aku pertama-tama sebagai warga negara” sedang diremuk oleh suasana rasa-merasa ”Aku pertama-tama insan beragama” atau ”Aku pertama-tama konsumen pasar”. Implikasinya sangat jauh. Kalau dalam hidup bersama dan ruang-ruang publik, suasana rasa-merasa ”Aku pertama-tama seorang warga negara” digusur oleh prioritas afiliasi agama dan identitas konsumen, maka cuaca hidup bersama sebagai bangsa juga dengan cepat akan digerakkan terutama oleh prinsip keyakinan/afiliasi agama atau identitas konsumen. Saya kira itulah yang menjelaskan mengapa cuaca hidup bersama di Indonesia dewasa ini ganas diracuni keserentakan gelombang fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Silakan simak layar televisi kita, bising dengan acara-acara keagamaan atau para calo yang berjualan apa saja.

Seperti bisa diduga, gelombang fundamentalisme agama dalam kehidupan bersama mudah memperanakkan ekstremisme agama. Begitu pula fundamentalisme pasar mudah membiakkan ekstremisme pasar. Dengan itu, rasa-merasa kewargaan sebagai prasyarat konstitutif demokrasi dan hidup bernegara juga tersingkir. Atau, paling jauh hanya jadi lampiran kecil dalam bunyi lagu-lagu gagah pada peringatan hari kemerdekaan. Selamat datang di negeri yang penuh lagak demokrasi. Karena menyingkirkan pembentukan rasa-merasa kewargaan, ia justru sedang membunuh syarat mutlak demokrasi itu sendiri.

Apakah acara keagamaan boleh menjadi bagian suasana ruang-ruang publik? Silakan saja, tetapi satu hal perlu dicamkan: acara keagamaan apa pun bukan untuk menggusur prioritas rasa-merasa kewargaan sebagai prinsip dasar kehidupan bernegara. Sekali lagi, sebaik dan sesaleh apa pun keyakinan agama atau acara keagamaan, semua itu bukanlah prasyarat terpenting hidup bersama sebagai bangsa. Di benak kaum fundamentalis, pokok ini biasanya diseret ke pertanyaan ekstrem: bukankah perintah Tuhan mengatasi aturan manusia?

Pertanyaan itu langsung patah oleh jawaban sederhana: kalau Tuhan memang benar daya kehidupan, keyakinan dan pemelukan agama yang menghancurkan kehidupan bersama pastilah bukan perintah Tuhan. Nalar paling sederhana pun sudah cukup untuk menyimpulkan itu dan tidak perlu bersaleh-saleh mengutip ayat kitab suci. Almarhum Gus Dur akan bilang: ”Gitu saja kok repot!”

Itu juga menunjukkan ”yang buruk dan keji” bisa berkedok agama, bertopeng kesalehan, atau berlagak suci ”perintah Tuhan”. Maka, tidak setiap tampilan saleh datang dari kebaikan dan mendatangkan kebaikan sebab lagak saleh mudah menyembunyikan kebengisan paling brutal dan daya rusak bagi kehidupan bersama. Keyakinan beragama yang menghancurkan hidup bersama tidak layak dihidupi, baik di surga maupun di bumi.

Habitus kewargaan

Lalu, apakah keyakinan beragama dapat berperan dalam kehidupan bernegara? Tentu dengan mudah dapat diterima. Dan, kaum beragama bahkan dituntut melaksanakan tugas kritis-kenabian terhadap berbagai kebijakan serta praktik kenegaraan yang sering penuh ketidakadilan dan membawa kultur kematian. Tugas itu merupakan panggilan luhur yang berakar dari pesan ”kehidupan” yang dibawa oleh agama-agama sejati. Namun, dengan itu juga dapat disimpulkan, keyakinan beragama yang menuntut pemeluknya merusak atau membunuh hidup ibarat topeng kesalehan yang membungkus kebengisan.

Ringkasnya, keyakinan agama tak perlu disingkirkan dari kehidupan publik, tetapi keyakinan beragama yang merusak dan menghancurkan kehidupan bersama tidak layak diberi ruang satu jengkal pun dalam kehidupan bernegara. Orang yang saleh menurut kriteria agama begitu sering bukan warga negara yang baik.

Maka, sampailah kita pada kekusutan hari-hari ini. Kalau suasana hidup bernegara kita sedang diremuk oleh fanatisme agama dan orgi pasar, itu bukan lantaran keyakinan agama dan pencarian laba itu buruk. Bukan itu! Tetapi karena fanatisme agama dan orgi pasar telah menghancurkan prinsip dan etos kewargaan sebagai satu-satunya dasar hidup bernegara dan berbangsa.

Celakanya, tidak seperti keyakinan beragama dan naluri mencari laba yang mudah diajarkan oleh keluarga atau orang dekat, etos dan prinsip kewargaan adalah wilayah kompetensi pemerintahan suatu negara. Celakalah apabila yang diajarkan pemerintah justru keyakinan agama serta naluri mencari laba dan bukan rasa-merasa serta prinsip kewargaan yang menjadi prasyarat mutlak hidup bernegara.

Itulah yang mungkin sedang terjadi di negeri ini. Terhadap persoalan itu, hari-hari ini kita sering mendengar dua dalih. Pertama, bukankah kita juga melaksanakan pendidikan karakter? Mungkin saya kelewat naif, tetapi saya tak mengerti apa maksudnya. Karakter apa yang mau dididikkan? Apa isinya? Istilah itu hanya akan kembali terperosok menjadi proses pendidikan yang dijejali oleh doktrin agama atau nilai orgi pasar.

Kedua, bukankah kita sudah punya Pendidikan Kewarganegaraan? Pokok ini lebih masuk akal, tetapi orang yang mengerti pendidikan sedikit saja akan tertawa. Apa yang patut ditertawakan tidak hanya menyangkut isinya, tetapi terutama menyangkut pedagogi. Pendidikan kewargaan pertama-tama bukan soal pengetahuan analitis, melainkan pengetahuan praktis. Kalau perbedaan keduanya belum jelas, bolehlah diambil contoh begini. Berapa hasil {5 x 97} + {65 : 3}? Itu soal analitis untuk dijawab dengan pengetahuan analitis. Namun, bagaimana mengemudikan mobil? Itu pertanyaan praktis yang hanya bisa dijawab dengan pengetahuan praktis.

Pertama kali belajar mengemudikan mobil, posisi duduk kita pun serba kikuk. Kita bingung harus melihat ke depan atau ke gir mobil di samping kiri. Hanya melalui latihan, akhirnya kita terampil menyetir mobil tanpa harus melihat lagi gir (plus kopling) atau gas mobil. Rasa-merasa kewargaan lebih mirip pengetahuan praktis mengemudi itu. Khotbah luhur dan kuliah ilmiah setinggi langit tak akan menciptakan rasa-merasa kewargaan, kecuali ia menjadi pengetahuan habitual yang mendarah daging.

Kepintaran analitis tentu berguna, tetapi etos kewargaan adalah habitus yang hanya dapat dibentuk melalui latihan praktis dan pembiasaan. Kebiasaan tidak akan terbentuk jika pengetahuan tetap tinggal di tingkat analitis dan tak menjelma menjadi keterampilan praktis yang mendarah daging.

Ada satu rahasia lain yang jarang diungkap. Komoditas ekonomi akan berkurang ketika dipakai, tetapi etos dan rasa-merasa kewargaan justru akan hilang ketika tak dipakai. Bensin yang kita beli akan habis dengan dipakai, tetapi etos publik dan toleransi hidup beragama justru hilang apabila tak dipakai/diterapkan. Sama seperti kompetensi bermain musik akan pudar tanpa sering dipraktikkan. Ketersediaan etos kewargaan persis berbanding terbalik dengan ciri komoditas ekonomi. Sekali lagi itu membuktikan rasa-merasa dan perilaku kewargaan, seperti toleransi atau hormat pada keragaman, hanya bisa terbentuk melalui pendidikan habitual yang panjang.

Apabila pemerintah ingin merancang ulang pendidikan kewargaan, silakan bertanya kepada para pendidik dan pedagog, bukan kepada para politisi, tukang pemasaran, dan demagog. Isi pendidikan kewargaan juga sudah disediakan oleh dasar negara Indonesia, Pancasila. Dalam hal ini hadirnya buku Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (2011), merupakan penjernih melegakan. Kalau rumusan resmi Pancasila yang dihafal anak-anak terasa membosankan, bolehlah ia disederhanakan lebih lugas: keterbukaan kepada yang transenden, kemanusiaan yang beradab, bersatu dalam keragaman, musyawarah, dan keadilan dalam hidup bersama.

Kalau berbagai pokok sederhana di atas tidak juga dipahami, mungkin kita memang belum bisa berharap banyak dari evolusi hidup bernegara yang penuh lagak demokrasi. Yang menjadi masalah bukan karena demokrasi kita sekadar lagak sebab setiap pemula tentu hanya mulai dengan berlagak. Namun, soalnya kita melupakan rasa-merasa dan prinsip kewargaan yang bahkan menjadi prasyarat agar kita sanggup berlagak demokrasi.

B Herry Priyono Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

2 tanggapan untuk “Mendidik Ulang Kewargaan”

  1. Ping-balik: Bani Madrowi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.