
OLEH INDRA TRANGGONO
Kecuali sibuk menjadi panitia pasar bebas, para penyelenggara negara saat ini bergerak nyaris tanpa gagasan dan praksis ideologis yang berbasis pada kultur kebangsaan.
Antara struktur dan kultur terbentang lubang besar; dalam dan gelap. Di situ terjadi praktik berbagai anomali nilai, antara lain, dalam politik dan ekonomi. Anomali politik tampak pada crime democracy, demokrasi curang, yang menjadikan politik tak lebih siasat jahat untuk menggenggam kekuasaan. Politik dipisahkan dari keagungannya: martabat. Politik takluk pada berhala uang.
Anomali ekonomi melahirkan hegemoni kelas berkuasa yang berujung pada penumpukan modal, aset negara, dan pemusatan akses ekonomis. Akibatnya, keadilan dan kesejahteraan tak terdistribusi optimal. Peternakan kemiskinan (masyarakat miskin) dan perluasan lapangan pengangguran jadi kenyataan yang menikam hati nurani bangsa.
Dua anomali tersebut membuyarkan cita-cita besar membangun negara kesejahteraan.
Hedonisme
Liputan Kompas (6/5) tentang penghapusan pendidikan Pancasila kian menegaskan ketakhadiran negara dalam praksis ideologis. Pelenyapan nilai-nilai Pancasila (musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama) dari praksis pendidikan telah menghadirkan horor kebudayaan dalam rumah kebangsaan. Kengerian dan ketakutan itu terkait dengan penguatan masyarakat mesin, yang oleh Erich Fromm (1968) digambarkan sebagai masyarakat yang diberi makanan dan hiburan cukup tetapi pasif, tidak hidup, dan nyaris tanpa perasaan.
Masyarakat mesin hanya berkutat pada dua kutub: produksi dan konsumsi yang melebur mereka menjadi eksemplar-eksemplar makhluk tanpa identitas kultural dan karakter. Konsumtivisme dan hedonisme jadi berhala gaya hidup. Egoisme jadi pedoman jiwa dan ruh kepribadian. Pragmatisme disunggi sebagai ideologi. Kebuasan ala serigala menjadi semangat persaingan. Kecerdasan diartikan kelicikan. Kejujuran dianggap kebodohan. Idealisme dan kritisisme jadi bahan olok-olokan.
Penguatan masyarakat mesin di satu sisi melahirkan masyarakat hedonistik, di sisi lain memunculkan masyarakat fundamentalistik. Masyarakat hedonistik terbentuk dalam masyarakat sekuler, masyarakat fundamentalistik terbentuk dalam yang taat beragama. Dua kecenderungan itu antara lain terbaca dalam penelitian sebuah lembaga survei di Yogyakarta terhadap kecenderungan gaya hidup anak muda masa kini. Dua fenomena itu juga semakin kita rasakan akhir-akhir ini. Anak-anak muda (dan masyarakat umum) yang kritis, idealis, dan nasionalis cenderung menjadi minoritas.
Kebangsaan
Penguatan hedonisme dan penguatan agama sebagai ideologi (baca: tandingan Pancasila) menunjukkan kegagalan negara di dalam membangun kebangsaan. Kebangsaan hanya dihadirkan melalui simbol dan wacana, tidak dalam kerja ideologis dan konstitusional negara. Ironisnya, negara justru menyuburkan hedonisme dengan merestui praktik-praktik kuasa kapital. Berbagai instrumen kapitalisme menancap di setiap jengkal ruang sosial republik. Mereka hadir jadi mesin pengisap keuntungan finansial, sekaligus mesin pelumat identitas dan karakter bangsa.
Negara yang hadir melalui rezim berkuasa justru mengeksploitasi konsumtivisme dan hedonisme itu jadi alat penumpulan kritisisme publik atas berbagai perilaku aktor kekuasaan yang menyimpang. Represi ekonomis, yang sangat terasa dalam kehidupan berbiaya tinggi, terbukti ampuh menjadikan masyarakat tak berdaya. Akhirnya semua orang cenderung menyerah, melakukan berbagai kompromi demi bisa bertahan hidup.
Ironi lain adalah politik ”pembiaran” negara atas fundamentalisme agama yang potensial mengancam kemajemukan, kerukunan, dan toleransi sosial. Fundamentalisme agama bahkan sering dieksploitasi jadi komoditas politik untuk mengubah fokus perhatian publik atas kasus-kasus besar dan genting seputar korupsi. Negara menganggap maraknya pemberitaan isu agama bisa jadi ”hiburan” publik di tengah berbagai kepahitan hidup. Krisis ideologis yang diidap negara telah melahirkan horor kebudayaan di masyarakat: menguatnya masyarakat mesin, terancamnya nilai-nilai kemajemukan, kerukunan, musyawarah, gotong royong, dan toleransi berbudaya/beragama. Dampak lain adalah kian merosotnya etika dan etos bangsa.
Rezim berkuasa dan penyelenggara negara lainnya (legislatif, yudikatif) akan kehilangan legitimasi politiknya jika membiarkan krisis itu terus berlangsung. Rakyat sudah bosan melihat dan mendengar para penyelenggara negara sibuk berebut dan bertengkar soal kekuasaan dan uang. Rakyat menunggu munculnya para ksatria politik yang mampu dan berani mengatasi horor kebudayaan akibat krisis ideologis itu.
INDRA TRANGGONO Pemerhati Kebudayaan
Kompas 13 Mei 2011