Beriman secara Ilmiah, Mungkinkah?

3.bp.blogspot.com

Akan Dipresentasikan di Paroki Santo Yakobus Citra Raya Surabaya pada tanggal 29 Mei 2011.

Oleh Reza A.A Wattimena

            Apa artinya menjadi orang yang beriman? Beriman berarti meyakini seperangkat ajaran tertentu, sekaligus nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Beriman berarti percaya bahwa seperangkat ajaran tertentu bisa membawa hidup manusia ke arah yang lebih baik. Ini berlaku untuk semua agama, ataupun ideologi yang ada di dunia.

            Beriman tidak hanya memahami ajaran, tetapi juga menghayati nilai yang terkandung di dalam ajaran itu. Misalnya di dalam agama Katolik diajarkan, bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia. Di balik ajaran itu terkandung nilai, bahwa manusia haruslah rendah hati, karena Tuhan saja bersikap rendah hati dengan bersedia menjadi manusia. Tuhan saja rela berkorban untuk manusia. Masa kita tidak mau berkorban untuk orang-orang sekitar?

            Orang tidak boleh hanya beriman, atau memahami nilai-nilai hidup dari imannya. Orang juga mesti menerapkan secara konsisten nilai-nilai itu di dalam hidup kesehariannya. Jika tidak diterapkan maka iman dan penghayatan nilai hanya menjadi sesuatu yang sia-sia. Dengan kata lain harus ada kesesuaian antara keimanan yang diyakini, nilai-nilai hidup yang diperoleh, dan perilaku keseharian.

            Itulah artinya menjadi orang beriman sekarang ini. Lanjutkan membaca Beriman secara Ilmiah, Mungkinkah?

Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!

2.bp.blogspot.com

Oleh: Yudhistira ANM Massardi

Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai—katakanlah hingga dua dekade ke depan—yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur.

Sekarang saja ada sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur. Jumlah penganggur itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun. Dalam ”kalimat lain”, ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan layanan pendidikan di jenjangnya. Lanjutkan membaca Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!

Inspirasi dari Harian Kompas: Pedagogik Kritis

3.bp.blogspot.com

Oleh: Mochtar Buchori

Beberapa waktu lalu, empat teman datang ke rumah. Mereka membawa manuskrip berjudul ”Pedagogik Kritis”.

Teman-teman ini ingin tahu pendapat saya dan sekaligus meminta saya menulis kata sambutan untuk penerbitan buku itu. Ini berarti mereka berasumsi bahwa saya akan setuju dengan isi manuskrip tersebut. Sebuah fait accompli yang halus!

Manuskrip terdiri dua bagian: sejarah perkembangan pedagogik kritis dan beberapa karangan tentang pendidikan di Indonesia yang berciri pedagogik kritis.

Menurut pendapat saya, kata kritis sebagai adjektiva kata pedagogik agak berlebihan (redundant). Pedagogi (teori tentang membimbing anak menuju kedewasaan) dan pedagogik (praksis membimbing anak menuju kedewasaan) lahir dan berkembang karena adanya pemikiran kritis mengenai gagasan-gagasan dan praksis pendidikan yang berlaku selama suatu kurun waktu. Lanjutkan membaca Inspirasi dari Harian Kompas: Pedagogik Kritis

Lomba

198801069_c2363d909a Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Kita senang sekali dengan lomba. Sedikit-sedikit kita ikut lomba. Sedikit-sedikit kita mengadakan lomba. Seolah kita tidak bisa hidup tanpa lomba.

Katanya dengan lomba kita bisa tahu, siapa yang lebih baik di antara kita. Dengan lomba kita bisa kenal orang-orang baru. Dengan lomba kita bisa belajar dari orang lain. Dan dengan menang lomba, kita bisa meningkatkan reputasi kita.

Apakah benar begitu?

Saya yakin di balik lomba, ada keinginan untuk berkuasa. Saya juga yakin di balik lomba, ada keinginan untuk menghancurkan lawan. Ini semua jauh lebih dominan, daripada keinginan untuk belajar bersama, apalagi belajar dari orang lain.

Maka itu saya tidak setuju dengan lomba, apapun bentuknya.

Lanjutkan membaca Lomba

Esensi Pendidikan

Technorati Tags: pendidikan,filsafat,pendidikan karakter,pendidikan moral,otonomi moral,kebijaksanaan

education-cartoonAnalisis terhadap Gangguan-gangguan serta Taktik Strategis dalam UpayaMenciptakan Pendidikan yang Sejati di Indonesia[1]

Reza A.AWattimena,[2]

Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Abstrak

Wacana tentang pendidikan karakter sebenarnya bukanlah wacana baru, karena pada esensinya, pendidikan adalah suatu proses pembentukan karakter di satu sisi, dan pembentukan kerangka berpikir di dalam melihat dunia di sisi lain. Inilah esensi pendidikan yang sejati, atau apa yang saya sebut sebagai, meminjam konsep Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan. Yang kita perlukan sekarang ini adalah pengetahuan mendalam soal apa esensi pendidikan sejati itu sebenarnya, sambil secara bertahap memahami dan mengurangi faktor-faktor yang menghambat terciptanya pendidikan yang sejati tersebut. Berpijak pada itu maka tulisan ini ingin menjawab tiga pertanyaan berikut, (1) apakah esensi pendidikan itu sebenarnya, terutama dalam konteks wacana pendidikan karakter?(2) Faktor-faktor apa yang menghambat terciptanya pendidikan semacam itu? Dan (3) apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi faktor-faktor penghambat tersebut, sambil menyadari kembali arti pendidikan yang sesungguhnya, serta menerapkannya di dalam praksis? Di dalam tulisan ini, saya akan mengajukan argumen, bahwa pendidikan pada esensinya adalah soal pembentukan karakter dan kerangka berpikir di dalam melihat dunia. Kesadaran semacam ini menghilang, karena pendidikan telah bercampur dengan kepentingan-kepentingan eksternal di luar pendidikan tersebut, seperti kepentingan politik dan ekonomi-bisnis, yang tidak selalu sejalan dengan visi pendidikan yang sejati. Oleh karena itu kita memerlukan pemahaman filosofis serta taktik strategis, guna mengembalikan pendidikan ke esensinya yang sejati tersebut. Dalam konteks inilah tulisan ini diajukan.

Kata Kunci: Pendidikan yang sejati, Filsafat, reifikasi, hegemoni, kepentingan politik, kepentingan ekonomi.

Pendahuluan

Indonesia secara khusus dan dunia secara umum sedang mengalami kelupaan tentang arti pendidikan yang sejati. Berbagai kepentingan ideologis politik, ekonomi, bisnis, dan militer kini campur tangan menentukan arah dan isi pendidikan, dan sambil itu, dunia pendidikan pun seolah terkapar tanpa daya. Para praktisi pendidikan dan masyarakat umum lupa, bahwa pendidikan tidak hanya ada untuk mengabdi pada kepentingan ideologis politik, ekonomi, bisnis, ataupun militer semata, tetapi juga untuk membuat manusia semakin utuh dan bermartabat. Keutuhan dan martabat tersebut tampak dalam kemampuannya untuk memahami dunia dengan kerangka berpikir yang rasional, bermoral, terbuka, kritis, dan sistematis. Namun ini semua tinggal kenangan, digantikan oleh pendidikan yang melulu menjadi pelayan kepentingan-kepentingan eksternal yang seringkali justru bisa merendahkan martabat manusia itu sendiri.

Tulisan ini lahir dari kegelisahan pribadi saya, ketika melihat begitu banyaknya praktisi pendidikan yang tidak memahami esensi pendidikan yang sebenarnya, dan membiarkan anak didik kita tercinta ditawan oleh kepentingan politik, bisnis, atau militer yang tidak jarang justru menindas martabat mereka. Kreativitas dibungkam atas nama koherensi ideologi politik ataupun agama. Eksplorasi ide dibungkam atas nama aturan baku dan standar ilmiah yang mencekik. Inovasi dibungkam atas nama kepatuhan pada atasan manajerial di dalam bisnis. Tidak bisa dipungkiri lagi, dunia pendidikan kita kehilangan arah, dan semakin jauh dari visi misinya untuk mengembangkan martabat manusia.

Apa akibat dari kelupaan akan esensi pendidikan ini? Pertama, manusia yang keluar dari sistem pendidikan yang lupa akan dirinya sendiri ini jelaslah bukan manusia yang bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik di masyarakat. Bahkan dapat dikatakan dengan lugas, lemahnya moral bangsa ini jelas merupakan kegagalan sistem pendidikan yang selama ini ada, yakni pendidikan yang kehilangan esensinya sendiri. Dua, pendidikan yang kehilangan esensinya, dan semata memfokuskan dirinya untuk mengabdi pada kepentingan-kepentingan eksternal, yang seringkali tidak sesuai dengan visi pendidikan itu sendiri, akan membuat pendidikan menjadi penyiksaan. Pendidikan menjadi keterpaksaan yang dijalani oleh para siswa dengan murung dan gelisah.

Di dalam tulisan ini, seperti yang sudah saya ajukan pada abstrak, pendidikan perlu untuk kembali menyadari esensinya sendiri, lalu melenyapkan ganguan-gangguan yang membuat pendidikan tersebut kehilangan esensinya sejak awal. Hanya dengan begitu bangsa Indonesia bisa mulai mengarah ke arah peningkatan sumber daya manusia secara seimbang. Untuk menjelaskan argumen itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam empat bagian. Awalnya saya akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan esensi pendidikan dengan berpijak pada argumentasi para pemikir besar di dalam sejarah (1). Lalu saya akan menjabarkan dua musuh utama bagi terciptanya pendidikan yang sesuai dengan esensinya tersebut, yakni fundamentalisme ekonomi-bisnis dan fundamentalisme religius (2). Pada bagian berikutnya saya akan mencoba mengajukan beberapa prinsip dan taktik strategis, guna menanggulangi musuh-musuh pendidikan tersebut (3). Tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan dan problematik lebih jauh (4).

1.Esensi Pendidikan[3]

Pada hemat saya kita tidak lagi memerlukan teori baru tentang pendidikan. Yang kita perlukan adalah mengingat apa arti sesungguhnya dari pendidikan. Inilah yang kita lupa, sehingga pendidikan menjadi semata alat untuk kepentingan bisnis, politik, ataupun religius sektarian tertentu. Sudah lebih dari dua ribu tahun yang lalu, Buddha mengajukan sebuah konsepsi sederhana tentang apa itu pendidikan. Pendidikan demikian katanya adalah perkembangan manusia, sehingga ia bisa mengaktualisasikan dirinya dalam hidup. Untuk itu setiap orang perlu mengikuti dan menghayati delapan jalan agung dalam hidup. [Wren, 2008]

Delapan Jalan Agung [Diolah dari Wren, 2008]:

  1. Cara pandang yang tepat (Semua penderitaan lahir dari keinginan, maka keinginan haruslah dilampaui, dan bukan dipuaskan.)
  2. Nilai-nilai yang tepat (Orang harus hidup dan bertumbuh secara sabar dan perlahan – moderation).
  3. Berbicara secara tepat (Orang perlu berkata –dan juga isi perkataannya- dengan cara yang lembut dan tidak menyakitkan)
  4. Tindakan yang tepat (Orang tidak pernah boleh menyakiti orang lain)
  5. Hidup yang tepat (Bekerja dengan tidak menyakiti diri sendiri atau orang lain, baik secara langsung ataupun tidak)
  6. Usaha yang tepat (Selalu berusaha untuk mengembangkan diri)
  7. Berpikir secara tepat (Melihat segala sesuatu secara tepat dengan kesadaran yang jernih)
  8. Meditasi yang tepat (Mencapai pencerahan dengan melenyapkan ego)

Buddhisme menolak segala ide tentang diri manusia. Manusia itu tidak memiliki diri. Hanya dengan menyadari ini, ia bisa membebaskan diri dari keinginan yang membelenggu. Manusia bisa mencapai pencerahan dengan melepaskan ide, bahwa ia memiliki diri yang utuh dan berkehendak. [Wattimena, 2010] Inilah pola pendidikan yang diterapkan oleh Buddhisme selama berabad-abad. Delapan jalan inilah yang merupakan esensi dari pendidikan yang sejati.

Ajaran Buddhisme tersebut kiranya dapat dilengkapi oleh pemikiran Aristoteles soal karakter dan pendidikan. Ia adalah filsuf Yunani Kuno yang hidup lebih dari 2000 tahun yang lalu. Baginya setiap orang hidup selalu mengarah pada satu tujuan tertentu. Di dalam proses mencapai tujuan itu, orang perlu menggunakan dan mengembangkan akal budinya. Akal budi diperlukan supaya orang tidak hanya hidup menyesuaikan diri secara buta dengan norma-norma sosial yang ada, tetapi memikirkan sendiri apa yang sungguh baik dan patut untuk dilakukannya. Maka ada perbedaan yang cukup fundamental antara konformisme moral dengan masyarakat luas di satu sisi, dan penggunaan akal budi untuk menemukan apa yang baik, dan kemudian bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut di sisi lain. [Wren, 2008]

Aristoteles juga berpendapat bahwa esensi dari setiap bentuk pendidikan adalah pendidikan karakter. Dalam arti ini karakter dapat dibentuk melalui proses habituasi, atau pembiasaan. Orang bisa bertindak jujur, karena ia terbiasa bertindak jujur, dan bukan karena ia tahu, apa yang dimaksud dengan jujur. Dua konsep ini yakni akal budi sebagai pengarah tindakan moral dan proses habituasi sebagai pola pendidikan karakter yang tepat adalah inti dari teori Aristoteles soal pendidikan. [Aristotle, 2004]

Pada hemat saya ajaran Buddhisme dan Aristoteles soal hidup dan pendidikan menggambarkan esensi sejati dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak hanya soal ketrampilan teknis untuk bekerja mencari makan (“pragmatisme” pendidikan), tetapi juga membawa manusia menuju kebahagiaan sejati dengan menempuh langkah-langkah hidup yang tepat (jalan Buddhisme), dan membantu manusia mengasah akal budi, sehingga orang bisa bersikap rasional dan bebas di hadapan nilai-nilai masyarakatnya, serta tidak jatuh pada sikap konformisme buta (Aristoteles). Aristoteles juga menegaskan bahwa keutamaan moral yang sejati hanya bisa diperoleh, jika keutamaan moral itu dikondisikan serta dibiasakan di dalam hidup sehari-hari, dan bukan hanya diajarkan secara intelektual semata melalui sekolah atau kuliah.

2. Tantangan Pendidikan

Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat, bagaimana dua filsuf besar, Buddha (Timur) dan Aristoteles (Barat-Yunani Kuno) merumuskan apa itu esensi pendidikan. Dua model pendidikan yang mereka tawarkan kini ditantang oleh berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Dua kepentingan yang saya lihat sangat berpengaruh besar adalah fundamentalisme pasar, yang menjadikan kepentingan bisnis sebagai dimensi utamanya, dan fundamentalisme religius, yang menjadikan kepentingan agama tertentu sebagai acuan utamanya.

Perkembangan bisnis, sains, dan teknologi membuat pendidikan pun tidak bisa lepas dari ketiganya. Mata kuliah dan mata pelajaran sains dan bisnis menjadi dominan di berbagai institusi pendidikan. Tujuannya satu yakni memenuhi permintaan tenaga kerja yang melek sains dan teknologi. Pada titik ini ada dua persoalan yang timbul. Yang pertama adalah lenyapnya dimensi humaniora dari pendidikan.[4]

Jean-Francis Lyotard telah melihat perubahan tolok ukur status ilmu ini. Menurut Lyotard efisiensi dan efektivitas telah menjadiroh bagi masyarakat yang berteknologi maju. Dalam masyarakat post industri, kriteria untuk menilai keberhasilan sebuah lembaga adalah kinerjanya. Kinerja berarti maksimilisasi masukan dari pengeluaran. Pendidikan pun mau tak mau terpengaruh dengan perubahan cara pandang ini. Pendidikan dengan demikian didesak untuk memenuhi kebutuhan akan individu-individu yangmenomorsatukan efektivitas dan efisiensidiatas segalanya. Jika kinerja pendidikan dinilai dengan tolok ukur seperti itu, yakni sekedar mempersiapkan tenaga kerja untuk memuaskan dahaga kepentingan pasar, makadegradasi kemanusiaanlah yang akan kita tuai.

Ada ketegangan antara pendidikan yang memusatkan diri pada humaniora, dan pelatihan untuk memuaskan ekonomi pasar. Ada ketimpangan antara hasil lulusan dari sekolah atau perguruan tinggi dengan tuntutan ekonomi pasar. Dunia kerja membutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan teknis, supaya roda industri mereka tetap berjalan. Dunia industri, perusahaan jasa, dan lain-lain akan macet, jika tidak ada tenaga-tenaga profesional ditengah mereka. Lalu dari mana mereka memperoleh tenaga kerja profesional ini? Tidak lain tidak bukan adalah dari lembaga pendidikan yang ada. Karena itu dunia kerja, dalam arti ini, baik industri maupun jasa, harus memiliki kaitan erat dengan lembaga pendidikan, jika mau tetap eksis. Dunia industri memperoleh teknisi-teknisi handal dari lembaga pendidikan. Karena itu sekali lagi, hubungan antara dunia industri dengan dunia pendidikan adalah mutlak.

Sebaliknya kita perlu bertanya, apakah tujuan pendidikan hanyalah demi memuaskan keinginan pasar? Dalam kerangka tertentu dunia pendidikan memiliki tujuan yang lebih luas dari sekedar memuaskan keinginan pasar. Seperti yang ditegaskan Sidharta Gautama (Buddha) dan Aristoteles, pendidikan hendak membentuk keutamaan melalui pembiasaan, menciptakan kemandirian individu, dan membentuk hidup sempurna yang bahagia. Di sisi lain keinginan mencari ilmu adalah tanda kesempurnaan dan keluhuran manusia. Kesempurnaan dan keluhuran itu adalah realisasi dari akal budi manusia. Rupanya pemahaman inilah yang hilang dari mata kita dewasa ini, karena tuntutan bisnis dan industri yang tidak selalu sejalan dengan visi pendidikan yang sejati. [Koesoma, 2004]

Kepentingan yang cukup kuat mempengaruhi dunia pendidikan di Indonesia adalah kepentingan religius. Pendidikan diubah semata-mata menjadi pendidikan agama tertentu. Moralitas yang seharusnya memberi peluang untuk diskusi kritis nilai-nilai moral diubah menjadi indoktrinasi moral agama tertentu yang tidak boleh pertanyakan, apalagi diperdebatkan. Alih-alih memberikan kerangka berpikir yang tepat untuk menyingkapi kehidupan yang semakin majemuk dan rumit ini, anak didik diberikan kerangka kaca mata kuda yang melihat realitas melulu dengan satu sudut pandang, yakni sudut pandang agamanya.

Dalam arti ini pendidikan menjadi selubung bagi propaganda dan indoktrinasi agama. Pendidikan tidak hadir untuk melahirkan kebahagiaan yang sejati, tetapi kepatuhan buta pada seperangkat aturan yang diklaim sebagai kebenaran universal. Akibatnya peserta didik menjadi tertekan, karena mereka tidak lagi bisa mengekspresikan diri mereka secara otentik. Pendidikan juga tidak hadir untuk membangun moralitas yang otonom, melainkan moralitas yang heteronom, yang tertanam di dalam agama tertentu, di mana orang melulu menyandarkan dirinya pada moralitas kelompok. Akibatnya banyak peserta didik menjadi manusia yang konformistik, yakni suka ikut-ikutan dalam melakukan sesuatu, tanpa memiliki pertimbangan yang mandiri. Peserta didik menjadi manusia-manusia yang tidak toleran terhadap perbedaan pandangan hidup, karena mereka hanya dididik dengan satu sistem nilai yang mengklaim kebenaran mutlak.

Apakah pendidikan bertujuan semata untuk mengajarkan nilai-nilai moral agama tertentu? Apakah tepat jika pendidikan menjadi hanya menjadi sarana propaganda dan indoktrinasi ajaran agama tertentu? Jawabannya jelas tidak. Pendidikan membuat manusia bahagia dengan menempuh jalan-jalan yang didasarkan pada pola berpikir tertentu. Pendidikan juga bertujuan untuk membangun kemandirian moral, sehingga orang bisa secara rasional berpikir dan mempertimbangkan, apa yang baik dan tidak baik untuk dilakukan. Inilah esensi pendidikan yang sudah selalu sejalan dengan pendidikan karakter. Artinya seperti sudah ditegaskan di atas, pada hakekatnya, pendidikan sudah selalu merupakan pendidikan karakter. Dan itu hanya dapat dijalankan melalui proses habituasi, atau pembiasaaan di dalam hidup sehari-hari.[5]

3. Taktik Strategis

Jelaslah dunia pendidikan di Indonesia setidaknya memiliki dua tantangan dasar, yakni fundamentalisme pasar dalam bentuk dominasi pendidikan bisnis dan sains di dalam pendidikan, dan fundamentalisme religius dalam bentuk dominasi ajaran-ajaran agama tertentu di dalam proses pendidikan, sehingga mengabaikan sistem nilai lainnya yang juga ada di masyarakat. Dua situasi ini mengancam dunia pendidikan Indonesia, dan menjauhkannya dari esensi pendidikan sejati yang sebenarnya. Bagaimana cara menyingkapi fenomena krisis pendidikan ini?

Saya melihat setidaknya ada empat langkah strategis yang bisa diambil. Pertama, para praktisi pendidikan, sekaligus para pejabat pendidikan nasional, perlu untuk memahami dan menyadari esensi pendidikan yang sejati, sebagaimana telah saya ajukan dengan berbekal pemikiran Buddhisme dan Aristoteles. Esensi pendidikan itu adalah kemampuan untuk mencapai kebahagiaan dengan jalan-jalan yang tepat, dan hidup berpijak pada otonomi moral, yakni kemampuan untuk secara mandiri menentukan apa yang baik untuk dilakukan, serta membentuk keutamaan moral tersebut melalui pembiasaan yang intensif. Pemahaman inilah yang harus dipegang erat-erat, dan disebarluaskan ke masyarakat Indonesia.

Dua, pemahaman akan esensi pendidikan yang sejati itu haruslah disebarluaskan ke seluruh Indonesia. Iklan layanan masyarakat dibuat. Buku-buku dengan pesan yang sama diterbitkan lalu diluncurkan di dalam ruang publik. Acara TV, diskusi publik, sampai dengan propaganda partai politik haruslah mengambil bentuk sosialisasi agresif ide-ide tentang esensi pendidikan yang sejati tersebut. Diperlukan kekuatan lobi yang sangat besar dari pihak-pihak yang merasa perlu untuk keluar dari situasi krisis pendidikan Indonesia dewasa ini.

Tiga, para praktisi dan pejabat pendidikan di level nasional perlu merombak kurikulum pendidikan nasional secara radikal. Kurikulum pendidikan tersebut perlu untuk menyesuaikan dengan paradigma esensi pendidikan yang telah dijabarkan sebelumnya. Pendidikan ketrampilan industri dan agama tertentu perlu tetap ada, namun dalam jumlah proporsional di samping pendidikan sejati yang berbasis pada pengembangan karakter yang otonom dan berfokus pada kebijaksanaan. Jika diprosentase pada hemat saya, yang muncul adalah 60 % pendidikan yang berpijak pada paradigma yang saya tawarkan di atas, 20 % pendidikan yang bertujuan untuk mengabdi pada dunia bisnis maupun industri, dan 20 % pendidikan yang terkait dengan ajaran agama tertentu.[6]

Empat, sebelum semua itu terwujud, maka para pejabat pendidikan di level nasional dan regional haruslah ditempati oleh orang-orang yang memiliki perspektif pendidikan yang sejati, dan bukan sembarangan birokrat yang hanya bisa berpikir teknis, seperti layaknya tukang. Para pejabat institusi pendidikan adalah orang-orang yang sungguh memahami filsafat pendidikan, walaupun displin ilmu mereka beragam. Maka dari itu perlu dilakukan sosialisasi makna pendidikan sejati yang berpijak pada dimensi filosofis yang mendalam ke seluruh pejabat pendidikan di Indonesia. Pemerintah perlu mendorong gerak perubahan ini, jika ingin membenahi dunia pendidikan karakter Indonesia yang kini kian terpuruk.

4. Kesimpulan

Pada esensinya setiap pendidikan adalah pendidikan karakter. Berbekal pemahaman Buddhisme klasik, pendidikan adalah upaya untuk membentuk manusia yang bahagia dan bijaksana seturut dengan prinsip-prinsip yang tepat. Dan berbekal pada ajaran Aristoteles, dasar dari karakter adalah kemampuan diri orang untuk secara mandiri dan rasional menentukan apa yang baik dan benar untuk dilakukan, dan bukan sekedar menyesuaikan diri dengan apa kata kelompok secara buta. Pemahaman pendidikan semacam ini kini lenyap digantikan oleh pendidikan yang mengabdi pada kepentingan bisnis dan industri, dan kepentingan agama tertentu yang diselubungkan dengan pendidikan moral. Melalui tulisan ini saya mengajak kita semua untuk melakukan gerak balik ke esensi pendidikan yang sejati, yakni pendidikan karakter itu sendiri, dan mencoba menjaga jarak dari pendidikan berparadigma bisnis-industri serta moralitas agama tertentu. Diperlukan kehendak politik yang kuat sekaligus taktik infiltrasi yang jitu ke lembaga-lembaga pendidikan tingkat nasional maupun regional untuk mewujudkan cita-cita tersebut menjadi kenyataan.

Daftar Pustaka

Aristotle, Nicomachean Ethics, Cambridge University Press, Cambridge, 2004.

Lyotard, Jean-Francis, The Post-Modern Condition: A Report on Knowledge, University of

Minnesota Press, Minneapolis, 1979.

Koesoma, Doni, “Pendidikan Manusia versus Kebutuhan Pasar”,dalamPendidikan

Manusia Indonesia, Kompas, Jakarta, 2004.

Wattimena, Reza A.A., Meratapi Matinya Pendidikan,http://www.dapunta.com/meratapi-matinya-pendidikan.html diunduh pada Kamis 11 November 2011, Pk. 13.50.

——————————, Membongkar Rahasia Manusia, Telaah Lintas Peradaban

Filsafat Timur dan Filsafat Barat, Kanisius, Yogyakarta, 2010.

Wren, Thomas, “Philosophical Moorings”, dalam Handbook of Moral and Character

Education, Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez (eds), Routledge, New York, 2008

hal. 11-29


[1] Diajukan sebagai makalah National Seminar on Soft Skil and Character Building di Universitas Muhammadiyah Surabaya, 19 Januari 2011.

[2] Reza Alexander Antonius Wattimena lahir 22 Juli 1983 adalah alumnus program Sarjana dan Magister Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Kini bekerja menjadi dosen dan Sekretaris Fakultas di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya.

[3] Pada bagian ini saya mengacu pada Wren, Thomas, “Philosophical Moorings”, dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez (eds), hal. 11-29.

[4] Pada bagian ini saya mengacu pada Koesoma, Doni, “Pendidikan Manusia versus Kebutuhan Pasar”,dalamPendidikan Manusia Indonesia, Kompas, 2004

[5] Lihat Wattimena, Reza A.A., Meratapi Matinya Pendidikan,http://www.dapunta.com/meratapi-matinya-pendidikan.html diunduh pada Kamis 11 November 2011, Pk. 13.50.

[6] Prosentase ini didasarkan pada argumen berikut, bahwa karakter menentukan segalanya di dalam pekerjaan. Ketrampilan teknis yang dibutuhkan industri dapat diperoleh dengan mudah dengan memberikan pelatihan, jika karakter yang positif telah terlebih dahulu terbentuk.

Gambar diambil darihttp://educationfourall.files.wordpress.com/2011/01/education-cartoon.jpg

Teknologi yang Membebaskan Manusia?

CB058871 Menyoroti Pengaruh Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada Kualitas Pembelajaran Perguruan Tinggi di Indonesia (Edisi Revisi)

Reza A.A Wattimena

Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Peran Pendidikan Sains dan Teknologi sebagai Wahana Penguatan Modal Sosial di Era Global 14 Juli 2010 Institut Teknologi Surabaya, Surabaya

Abstrak

Seperti semua hal di muka bumi ini, kehadiran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di dalam dunia pendidikan mengundang pro dan kontra dari berbagai perspektif. Beberapa dampak positifnya adalah TIK dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang efektif dan efisien, TIK sebagai pemberdaya dosen dan siswa, dan TIK sebagai pengembang metode serta diseminasi hasil penelitian. Dampak positif tersebut rupanya tidak tanpa kritik. Beberapa kritik yang diajukan adalah semakin dangkalnya pemikiran dosen dan mahasiswa, akibat kemudahan akses yang mematahkan kerja keras dan ketekunan, beredarnya informasi berkualitas rendah yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas penelitian maupun produksi pengetahuan yang ada, dan kecenderungan guru dan siswa untuk menjadi konsumen informasi semata, tanpa ada keinginan ataupun kemampuan untuk mulai menjadi produsen informasi yang bermutu. Bagaimana pro dan kontra tersebut dapat disingkapi secara bijaksana? Di dalam tulisan ini, saya ingin menyoroti secara mendalam berbagai perdebatan yang ada, serta mencoba mengajukan pandangan saya sendiri, bahwa teknologi informasi dan komunikasi, maupun semua bentuk teknologi lainnya, harus menempatkan manusia sebagai subyek. Hanya dengan begitu teknologi bisa membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, dan tidak menjadikan manusia sebagai obyek eksploitasi, seperti yang banyak terjadi sekarang ini. Untuk memberi pendasaran pada argumen itu, saya mengacu pada penelitian R. Eko Indrajit, Andrew Feenberg, dan Herbert Marcuse.

Kata Kunci: Teknologi Informasi dan Komunikasi, Pendidikan, Subyektivitas, Emansipasi.

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (selanjutnya TIK) adalah sesuatu yang menggembirakan. Namun perkembangan ini rupanya tidak lepas dari cacat yang melekat pada manusia, dan pada segala sesuatu yang keluar dari buah tangannya, terutama dalam soal pendidikan di perguruan tinggi. Cacat tersebut membuat saya tertarik untuk merefleksikan dampak multidimensional dari penggunaan TIK yang canggih di dalam proses pembelajaran maupun penelitian di perguruan tinggi. Pertanyaan yang akan coba dijawab di dalam makalah singkat ini adalah, bagaimana bentuk teknologi, dalam hal ini TIK, yang baik, yang mampu membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, serta sungguh efektif memberdayakan bangsa di dalam proses pendidikan, terutama pendidikan di perguruan tinggi?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian. Awalnya saya akan menyoroti berbagai dampak yang muncul di dalam penerapan TIK di dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Uraian pada bagian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh R. Eko Indrajit (1). Berikutnya saya akan coba mengajukan cara pandang yang berbeda terhadap esensi dari TIK, dan teknologi pada umumnya, yakni teknologi yang membebaskan manusia, atau teknologi yang menempatkan manusia sebagai subyek. Uraian di dalam bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap pemikiran Andrew Feenberg dan Herbert Marcuse (2). Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan, refleksi kritis, dan upaya untuk membuka beberapa tema persoalan yang masih harus dipikirkan lebih jauh (3).

Universitas = “Pabrik Manusia”

Universitas = “Pabrik Manusia”

Tampaknya, dunia pendidikan kita masih saja dijajah oleh cara berpikir kuno. Suatu bentuk cara berpikir yang sesering apapun dikritik, tetapi selalu dapat lolos, dan kemudian menyelinap kembali ke tempatnya semula, yakni pikiran kita.

 

Contoh paling sederhana adalah ketika sedang dilakukannya rapat evaluasi akhir semester. Ketika berbicara mengenai tingkat kelulusan, para dosen mulai berbicara tentang jumlah mahasiswa/i yang lulus atau akan lulus tahun ajaran ini. Ketika berbicara mengenai kompetensi, para dosen mulai berbicara tentang mata kuliah A yang menghasilkan kualitas A pada diri mahasiswa/i, sementara mata kuliah B menghasilkan kualitas B juga pada diri mahasiswa/i.

 

Hal ini memang terjadi hampir di semua level pendidikan di negeri kita, mulai dari TK sampai jenjang pendidikan doktoral. Ketika melihat kualitas dan kompetensi fakultas, yang langsung dilihat adalah jumlah kelulusan, dan berapa banyak mahasiswa yang diterima. 

 

Sejak kapan kita, para dosen dan masyarakat pada umumnya, melihat tingkat kelulusan suatu fakultas akademik semata-mata pada angka dan jumlah, dan lupa pada kualitas individual unik yang justru harus dikembangkan potensinya semaksimal mungkin? Sejak kapan kampus jadi pabrik penghasil manusia yang harus sesuai dengan selera pasar, seperti layaknya pabrik makanan, ataupun pabrik kaleng?

 

Sejak kapan kita punya anggapan naif, bahwa mahasiswa/i adalah kebo dicucuk idung yang bisa diajarkan macam-macam, dan kemudian secara otomatis jadi seperti apa yang kita ajarkan? Sejak kapan, kita kembali pada anggapan naif, bahwa anak didik kita adalah tabula rasa yang putih tanpa warna, dan pada akhirnya kita bisa warnai sesuka hati kita?

 

Jelas, walaupun dampak destruktifnya sudah terasa, makanan yang rusak ataupun tidak layak konsumsi dapat ditarik kembali dari pasaran, untuk kemudian diolah kembali. Tapi, kita tidak akan pernah bisa menarik kembali manusia dari pasaran, jika manusia tersebut ternyata juga kita anggap sebagai produk gagal dari suatu “pabrik manusia” yang sering juga kita sebut sebagai kampus atau sekolah!

 

Alasannya jelas, manusia bukanlah barang! Manusia bukanlah angka! Sikap mereduksi manusia, demi keterukuran pengamatan, melulu pada angka ataupun prosentase adalah suatu sikap naif yang sebenarnya menunjukkan tidak lain daripada kemalasan berpikir, dan kegagapan dalam menghayati kedalaman hakekat manusia itu sendiri.

 

Rasionalitas instrumental-strategis

 

Cara berpikir ini disebut juga cara berpikir rasional-instrumental-strategis. Artinya, kita melulu melihat sebagai fenomena di depan mata kita sebagai sesuatu yang bisa dikalkulasi, dimanipulasi, dan kemudian digunakan seperlunya untuk kepentingan penguasaan kita atas fenomena tersebut.

 

Cara berpikir semacam ini memang kental di dalam ilmu-ilmu alam, karena memang kita memiliki kepentingan terhadap benda-benda alam. Kita perlu mengkalkulasi kadar zat di dalam minyak bumi, sehingga minyak itu bisa dimanipulasi, dan kemudian digunakan untuk memenuhi kepentingan kita.  

 

Akan tetapi, sikap seperti itu tidaklah dapat kita terapkan pada manusia. Manusia tidak boleh, dan memang tidak bisa, dikalkulasi melulu dengan menggunakan angka-angka ataupun metode positivistik lainnya.

 

Manusia, dengan darah, daging, tulang, jiwa, serta pikirannya, adalah suatu entitas yang kompleks, yang baru bisa sungguh dihargai, jika kita pertama-tama mengakui kompleksitas tersebut. Sikap menolak mengakui kompleksitas itu untuk mencapai pengukuran yang stabil dan pasti adalah suatu sikap positivistik yang akan meracuni seluruh cara pandang kita terhadap apa itu manusia sesungguhnya!

 

Jika diteruskan, kita akan melihat mahasiswa/i pada khususnya, dan manusia pada umumnya, tak lebih sebagai barang atau komoditi, yang bisa diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Disinilah akar dari semua bentuk dehumanisasi sepanjang sejarah manusia, mulai dari perbudakan sampai pembantaian massal di kamp-kamp konsentrasi.  

 

Harus bagaimana?

 

Jelas, kita harus segera meninggalkan pandangan lama yang melihat bahwa kampus ataupun sekolah itu adalah „pabrik manusia“, di mana kita bisa mencetak pikiran-pikiran anak didik seturut dengan tujuan kita sambil tanpa sadar, atau justru disadari?, melupakan bahwa mereka sudah memiliki potensi yang perlu untuk dikembangkan sebelum kita menuangkan materi ke kepala mereka.  

 

Kita juga perlu segera menyadari, bahwa fokus pendidikan kita bukanlah menghasilkan jumlah kelulusan sebesar-besarnya, tetapi menghasilkan manusia-manusia yang bisa berpikir sendiri, kritis, punya kemampuan khusus, dan yang lebih dasar lagi, menghasilkan manusia yang memiliki keterbukaan dan rasa kemanusiaan tinggi. Jika jumlahnya sedikit, itulah yang harus difokuskan.

 

Institusi pendidikan jangan mengorbankan kualitas mahasiswa/i dan visi utama pendidikan mereka hanya untuk mendapatkan citra baik ataupun akreditasi yang tinggi! Di tengah badai pragmatisme, kita perlu sikap reflektif dan tenang untuk menyingkapi apa yang tengah terjadi, termasuk apa yang terjadi di dalam kepala kita***