Lomba

198801069_c2363d909a Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Kita senang sekali dengan lomba. Sedikit-sedikit kita ikut lomba. Sedikit-sedikit kita mengadakan lomba. Seolah kita tidak bisa hidup tanpa lomba.

Katanya dengan lomba kita bisa tahu, siapa yang lebih baik di antara kita. Dengan lomba kita bisa kenal orang-orang baru. Dengan lomba kita bisa belajar dari orang lain. Dan dengan menang lomba, kita bisa meningkatkan reputasi kita.

Apakah benar begitu?

Saya yakin di balik lomba, ada keinginan untuk berkuasa. Saya juga yakin di balik lomba, ada keinginan untuk menghancurkan lawan. Ini semua jauh lebih dominan, daripada keinginan untuk belajar bersama, apalagi belajar dari orang lain.

Maka itu saya tidak setuju dengan lomba, apapun bentuknya.

Kompetisi Versus Kolaborasi

Dunia tidak lagi perlu kompetisi. Hampir setiap hari kita berkompetisi. Beberapa orang berkompetisi dengan cara yang sehat. Beberapa tidak.

Yang kita butuhkan sekarang ini adalah kerja sama, atau kolaborasi. Kita perlu bekerja sama untuk suatu tujuan luhur. Kita tidak perlu berkompetisi, karena kompetisi itu lebih memecah, daripada menyatukan. Kita perlu menghabiskan energi kita untuk bekerja sama mewujudkan hidup yang lebih baik, dan bukan saling berlomba untuk mencapai kemenangan semu.

Di Indonesia banyak sekali lomba. Setiap sekolah mengadakan lomba. Setiap universitas mengadakan lomba, dan aktif ikut lomba. Mereka lupa bahwa paradigma kompetisi bercokol begitu dalam pada lomba. Mereka lupa bahwa dengan berlomba, keinginan untuk mengalahkan jauh lebih besar, daripada keinginan untuk bekerja sama.

Bangsa kita lupa bagaimana caranya bekerja sama. Itu semua terjadi karena kita terlalu banyak lomba. Akibatnya kita tidak lagi berpikir untuk kepentingan bersama, tetapi semata untuk kemenangan kelompok kita yang amat kecil jumlahnya. Kita lupa bahwa yang terpenting bukan cuma kita, atau kemenangan kita, tetapi juga kebaikan orang lain, yang mungkin merupakan musuh kita dalam lomba.

Menaklukan

Di dalam lomba kita diajarkan untuk bersikap sportif. Namun nasehat itu lenyap, ketika kita sendiri yang hendak berlomba. Nasehat-nasehat luhur lenyap ditelan keinginan untuk berkuasa. Nilai belajar dan kerja sama hilang digilas oleh kehendak untuk membuktikan diri semata.

Para murid kita kasihan. Mereka diminta membuktikan diri dengan lomba. Padahal ketika berlomba mereka seperti dilempar ke dalam kandang untuk bertarung. Mereka tidak diajarkan untuk berkolaborasi dengan orang lain. Mereka justru diajarkan untuk lebih baik dari yang lain dengan mengalahkan mereka dalam lomba yang sifatnya semu semata.

Uni Eropa dibentuk untuk berkolaborasi. Mereka merasa tidak perlu berkompetisi satu sama lain. Mereka merasa lebih kuat, bila berada bersama. Bangsa kita perlu belajar untuk berkolaborasi, bekerja sama, dan bukan berlomba. Kita perlu mengirimkan pesan ini ke seluruh anak didik kita.

Pesan bahwa kolaborasi jauh lebih bermakna daripada kompetisi. Pesan bahwa dunia tidak butuh lagi kompetisi. Pesan bahwa kerja sama jauh lebih bermakna untuk kehidupan, daripada berlomba. Inilah yang harusnya menjadi nilai-nilai pendidikan kita.

Terlibat

Komunikasi amat penting dalam hidup manusia. Puncak komunikasi adalah mengajak orang untuk terlibat, dan kemudian bekerja sama mewujudkan suatu nilai tertentu ke dalam dunia. Dengan berlomba orang tidak bisa diajak untuk bekerja sama. Sebaliknya dengan berlomba orang diajarkan untuk terkurung dalam pandangannya masing-masing.

Yang terjadi di dalam lomba bukanlah dialog, melainkan dua-log. (GM, 2009) Inilah pendapat Goenawan Mohamad di dalam salah satu artikelnya di Catatan Pinggir Tempo. Ibaratnya dua TV yang dihadapkan, orang saling berlomba, tanpa berusaha mencari titik temu untuk bekerja sama. Berlomba membunuh keterlibatan.

Inilah yang terjadi di Indonesia. Kita dibelah oleh lomba. Akibatnya orang merasa tidak perlu terlibat. Banyak masalah tidak selesai, karena kita sibuk berlomba, dan energi kita habis, tanpa pernah kita terlibat menghadapi masalah-masalah bersama.

Sebagai bangsa kita terpecah, akibat terlalu banyak berlomba.

Lupa

Setiap orang membawa misi dalam hidupnya. Begitu pula organisasi. Setiap organisasi mengemban visi dan misi tertentu, guna diwujudkan ke dalam dunia. Visi dan misi itu diwujudkan di dalam tindakan keseharian. Tujuannya tetap sama yakni menciptakan dunia yang lebih baik.

Namun karena sibuk berlomba satu sama lain, kita jadi lupa akan cita-cita bersama itu. Visi dan misi terabaikan, karena kita sibuk mengikuti dan mengadakan lomba, serta terbuai dalam kemenangan semu semata. Ya.. kita menjadi lupa akan apa yang sungguh penting.

Itulah yang terjadi di Indonesia. Dunia pendidikan kita sibuk berlomba, mulai dari lomba mendapatkan hibah, sampai kompetisi-kompetisi kecil yang menyita waktu dan tenaga. Akibatnya kita lupa apa yang sungguh penting. Kita lupa akan visi dan misi pendidikan yang mesti kita bawa ke dunia.

Sibuk berlomba membuat kita lupa. Sibuk berlomba membuat kita mengabaikan apa yang sungguh penting. Sibuk berlomba memecah perhatian kita untuk apa yang sungguh berharga. Itulah yang mesti kita pikirkan bersama.

Dunia pendidikan kita semakin terpuruk. Civitas akademika menghabiskan energi untuk hal-hal yang jauh dari visi bersama. Pendidikan tak ubahnya seperti perdagangan. Padahal pedagang sejati justru amat memperhatikan nilai-nilai luhur yang membuat hidup ini bermakna. Sesuatu yang tak dipunyai dunia pendidikan kita sekarang.

Ilusi

Berlomba menciptakan ilusi bahwa setelah kita menang, kita menjadi yang nomor satu. Seolah tujuan lomba adalah kemenangan. Memang nasihat luhur bahwa lomba adalah sarana untuk belajar diucapkan. Namun itu tidak cukup, karena ilusi kemenangan-nomor satu telah begitu dalam tertanam.

Inilah yang terjadi di Indonesia. Dunia pendidikan mengajarkan ilusi kemenangan. Akibatnya orang terjebak dalam ilusi, dan lupa untuk melihat apa yang ada dibaliknya. Dunia pendidikan kita mengajarkan ilusi menang kalah, justru ketika dunia melihat perlu lebih banyak kerja sama, daripada saling berlomba untuk kemenangan semu yang tak bermakna.

Alternatif

Alternatif dari lomba adalah kerja sama. Alternatif dari kompetisi adalah kolaborasi. Lawan bukanlah sesuatu yang perlu dikalahkan, tetapi untuk diajak terlibat, guna bekerja sama mewujudkan suatu nilai yang baik bagi kehidupan bersama. Lawan perlu dijadikan kawan. Itulah inti kolaborasi dan kerja sama.

Kesadaran itu masih jauh dari bangsa kita. Sementara berbagai bangsa mulai terlibat untuk bekerja sama, dan menghindari kompetisi yang menajamkan ketegangan. Paradigma pendidikan kita pun harus berubah dari paradigma kompetisi-lomba menjadi paradigma kolaborasi-kerja sama.

Dunia masa depan adalah dunia kolaborasi.

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

2 tanggapan untuk “Lomba”

  1. Nah, ini satu hal dimana saya bisa dengan tegas menyatakan tidak sepakat hahahaha 🙂

    “Saya yakin di balik lomba, ada keinginan untuk berkuasa. Saya juga yakin di balik lomba, ada keinginan untuk menghancurkan lawan. Ini semua jauh lebih dominan, daripada keinginan untuk belajar bersama, apalagi belajar dari orang lain.”

    Pada bagian ini saya pikir asumsi yang digunakan harus ditinjau ulang. Setidaknya ada tiga alasan.

    Pertama, sebagai orang yang melalui dan mengalami beragam pengalaman kompetisi, saya paham betul bahwa lomba dan kompetisi tidak demikian. Saya bertemu dengan banyak orang yang memaknai lomba sebagai upaya menakklukan diri sendiri, terutama kesombongan dan keangkuhan, dengan melihat bahwa orang lain bisa lebih unggul. Mengakui kelebihan orang lain inilah permulaan dari kerendahan hati untuk belajar dari orang lain. Saya pribadi merasakan betapa perlombaan/pertandingan/kompetisi membentuk karakter saya untuk memahami kelebihan orang lain.

    Kedua, perlombaan sejatinya memiliki sejarah panajng dalam membangun persahabatan. Kompetisi olahraga misalnya. Banyak contoh bahwa persahabatan antar atlet tercipta melalui pertandingan-pertandingan. Saya pribadi tahu betul hal ini karena melaluinya beberapa tahun. Apabila seseorang merasakan pengalaman perlombaan, maka kekalahan bukanlah penghinaan, dan kemenangan tak pernah kekal. Karena itu, yang terbentuk adalah sportifitas, kerendahan hati, dan keuletan mengasah diri menuju ke arah yang lebih baik.

    Ketiga, saya rasa yang ingin diangkat oleh tulisan ini justru bukan perlombaan, tapi perebutan reward dan kekuasaan secara membuta yang menghalalkan segala cara. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak lomba yang bukan lomba, karena sudah diatur di bawah meja atau mempersilahkan kemenangan dengan segala cara. Saya pikir ini bukan lomba/pertandingan/kompetisi sejati, melainkan perang tanpa nilai. Bahkan dalam peperangan pun sebenarnya ada tata cara dan etika bertempur (rules of engagement). Bahkan di beberapa budaya, perang pun harus punya tata krama (martial courtesy).

    Oleh karena itu, saya tidak setuju apabila kita menegasi dan mereduksi makna lomba/pertandingan/kompetisi dengan menyamakannya dengan perang yang tanpa nilai. Kita tidak bisa memungkiri bahwa kompetisi dalam sejarah telah memberikan kita hasil-hasil positif dalam peradaban dunia. Kompetisi sistem pemikiran telah membuat peradaban menjadi maju. Kompetisi olahraga membuat kita punya kultur olahraga dan sportifitas. Kompetisi antar laki dan perempuan membuat dunia lebih terbuka tentang kesetaraan jender. Ada banyak nilai dan sikap mulia terlahir dari kompetisi.

    Perusakan nilai utama lomba/kompetisi/pertandingan yang direduksi menjadi semata kemenanganlah yang harus kita tentang habis-habisan. Dan, saya pikir perusakan esensi ini tidak hanya terjadi pada institusi lomba, tapi juga dalam banyak aspek kehidupan.

    Suka

  2. Thx atas reply dan ketidaksetujuannya James.

    Sewaktu menulis ini saya sudah mempertimbangkan semua yang kamu tulis. Dan itu benar. Namun tetap saja saya melihat, kecenderungan lomba untuk menjadi amat destruktif untuk cara berpikir jauh lebih besar, daripada kegunaannya untuk mempersatukan. Maka itu saya menawarkan paradigma kolaborasi-kerja sama, daripada paradigma kompetisi-lomba.

    Saya setuju denganmu. Namun saya merasa bahwa itu semua hanya permukaan, jika dibandingkan antagonisme destruktif yang terkandung di dalam lomba itu sendiri. Mungkin saya terlalu romantis dalam hal ini. 🙂

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.