Oleh Reza A.A Wattimena
Jika kasus Sambo (Sambogate) terjadi di masa Orde Baru, tidak akan ada yang mendengarnya. Sambo akan lolos dari jeratan hukuman. Keluarga Yosua Hutabarat akan dipaksa menelan ketidakadilan. Kita tidak akan menyaksikan salah satu kebiadaban dan penyalahgunaan kekuasaan polisi terbesar di sejarah Indonesia.
Begitu pula juga kekerasan brutal yang dilakukan oleh Mario Dandy kepada David Ozora. Di masa pra digital, kita tidak akan pernah mendengarnya sedetil sekarang. Tuntutan akan keadilan juga tidak akan sekuat sekarang. Ia akan menjadi salah satu kasus kriminal di pojokan surat kabar.
Kita hidup di bawah pola pemerintahan viralkrasi. Apa pun yang menjadi viral, atau tersebar luar di media sosial, akan memiliki daya tekan, baik kepada pemerintah, pebisnis ataupun masyarakat luas. Kekuatan politik yang sesungguhnya terletak pada segala yang viral.
Ini semua menjadi mungkin, karena perkembangan dunia digital yang begitu pesat. Inilah dunia yang bersanding dengan dunia fisik, dan bahkan ikut menentukan bentuk dunia fisik sehari-hari. Kita semua pun menjadi cyborg dengan selalu menempel pada suatu gawai tertentu, entah ponsel cerdas, ataupun komputer.
Tentang ini, kiranya ada dua hal yang perlu direfleksikan. Pertama, viralkasi merupakan tanda kebobrokan sistem dan birokrasi yang telah ada sekarang ini. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang kini bisa terbuka secara publik. Apa yang dulu membusuk dan ditutupi kini berpeluang untuk menjadi perhatian masyarakat luas demi kepentingan keadilan.
Penguasa politik dan ekonomi tidak bisa lagi seenaknya menindas. Pelanggaran hukum juga tidak bisa lagi dilakukan seeenaknya. Kontrol masyarakat terhadap pemerintah menjadi semakin kuat. Viralkrasi, kiranya, memperkuat demokrasi dalam artinya yang paling hakiki, yakni kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dua, bersama dengan viralkrasi, sampah pun ikut tersebar. Fitnah dan kebohongan tersebar di dunia digital. Manusia-manusia dungu mempercayainya, dan menggunakannya untuk menghakimi orang lain. Pengalaman pilpres di 2019 lalu, dimana perpecahan begitu terasa di Indonesia, kiranya mempertegas hal ini.
Bersamaan dengan fitnah, ajaran sesat pun juga tersebar. Inilah ajaran sesat yang mengaku sebagai agama. Ia menindas perempuan dari ujung kepala sampai ujung kaki, menghancurkan budaya lokal, penuh dengan larangan-larangan yang tak masuk akal serta beribadah dengan menciptakan polusi suara yang merusak ketenangan hidup bersama. Ajaran ini tersebar luar di media sosial, dan merusak keluhuran budaya nusantara. Ia juga merusakan atmosfer demokrasi di Indonesia dengan pandangan-pandangan yang sempit dan penuh kekerasan.
Viralkrasi juga kiranya sejalan dengan pernyataan Francis Bacon, seorang pemikir Prancis. “Knowledge is power”, begitu ungkapnya. Media sosial dan dunia digital menyediakan informasi dan pengetahuan yang nyaris tanpa batas. Digunakan secara tepat, semua itu adalah kekuatan politik dan ekonomi yang luar biasa besar.
Namun, peringatan Slavoj Zizek, seorang pemikir Slovenia, kiranya perlu didengar. Banjir informasi dan pengetahuan akan membuat informasi keduanya menjadi tak berharga. Kita tak lagi memahami, bagaimana menggunakan informasi dan pengetahuan untuk mengembangkan kehidupan. Ramalan Jan Assmann, seorang pemikir Jerman, tentu bisa terjadi, bahwa orang-orang akan semakin bodoh dan berpikiran sempit justru di tengah jaman bebas informasi sekarang ini.
Ironis…
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/