Oleh Reza A.A Wattimena
Pada 1273, setelah menjalani ibadah, Thomas Aquinas terdiam. Inilah sosok filsuf Eropa terbesar abad pertengahan. Pengaruhnya masih terasa di masa kini, terutama di bidang teologi, filsafat Ketuhanan, Logika, Metafisika dan filsafat politik. Pagi itu, Thomas terdiam membisu.
Ia berhenti menulis. Ia tidak berkata apapun. Padahal, ia sedang menulis karya besarnya yang belum selesai, yakni Summa Theologica. Di dalamnya, berbagai tema di dalam filsafat dan teologi dibahas dalam dialog dengan filsafat Yunani Kuno, terutama karya Aristoteles.
Reginald, temannya, pun bertanya. “Bagaimana mungkin kamu melepaskan karya sepenting ini?” Thomas menjawab, “Saya tidak lagi dapat menulis.” Reginald mengira, temannya ini mengalami gangguan mental. Di masa sekarang, kita mungkin mengira, bahwa Thomas mengalami depresi.
Tak lama kemudian, Thomas kembali berkata. “Reginald, saya tidak lagi dapat menulis. Setelah yang saya alami, semua yang saya tulis kini terasa percuma dan tak bermakna.” Reginald kaget mendengar ini.
Setelah percakapan itu, Thomas tak pernah menulis lagi. Ia hidup dalam hening. Setahun kemudian, yakni 1274, ia pun meninggal dunia. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Lebih dari Kata
Hidup lebih dari sekedar kata dan konsep. Thomas ingin memahami segalanya, termasuk Tuhan. Ia menggunakan kata dan konsep. Ia menuliskan banyak sekali permikirannya yang brilian.
Namun, itu tak akan pernah cukup. Kenyataan dan kehidupan jauh lebih besar dari pikiran manusia. Keduanya jauh lebih kaya daripada kata dan konsep hasil ciptaan manusia. Tak hanya itu, kata dan konsep justru bisa membuat kita tersesat, serta tercabut dari kekayaan kenyataan maupun kehidupan itu sendiri.
Kata dan konsep bisa membuat kita menjadi fanatik. Kita mengorbankan manusia lain demi kata dan konsep yang kita percaya. Kita menjadi buta. Inilah yang kiranya terjadi pada banyak orang beragama sekarang ini. Mereka terjebak pada kata dan konsep dari ribuan tahun silam yang sudah membeku dan membusuk.
Spiritualitas Sejati
Di dalam tradisi Zen, ini sudah lama disadari. Begitu kamu berbicara, itu sudah salah. Begitu kita menuliskannya, kebenaran sudah jauh lepas dari genggaman. Keheningan mutlak, sebelum pikiran muncul, adalah kebenaran yang tertinggi.
Di dalam tradisi Yoga, segalanya adalah getaran. Segalanya adalah energi yang saling terhubung dalam getaran tak berhingga. Pikiran manusia menancapkan kata dan konsep pada getaran itu, serta terjebak di dalamnya. Ia pun mengalami delusi, yakni mengira kata dan konsep buatannya sebagai yang nyata.
Gautama pernah berkhotbah di hadapan ribuan muridnya. Ia tidak berkata apapun. Ia hanya mengangkat setangkai bunga. Itu sudah cukup menggambarkan kebenaran tertinggi sebagaimana adanya.
Hening
Sebelum kata, siapa kamu? Sebelum pikiran muncul, siapa kamu? Begitu pertanyaan yang diajukan pada Zen Master brilian di masa Dinasti Tang Cina. Ia mengantarkan kita pada titik hening, dimana segalanya berasal.
Pemahaman ini mengeluarkan kita dari formalisme agama dan sikap dogmatik. Kita tidak lagi percaya buta pada apapun. Kita tidak lagi sibuk dengan penampilan luar yang serba menipu. Saat ke saat, kita hidup dalam kejernihan dan kesadaran murni.
Sesungguhnya, tulisan ini adalah sebuah kesalahan besar. Batin saya sebenarnya sudah hendak berhenti menulis. Namun, kebodohan saya masih terlalu besar. Ah, entah sampai kapan…