Oleh Reza A.A Wattimena
Pertengahan 2020, dunia terasa mencekam. Pandemi COVID 19 menerkam dunia. Banyak orang kehilangan nyawa. Di Indonesia, tak sedikit yang terjerumus ke dalam kemiskinan, karena kesalahan kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah.
Seorang kawan tinggal di apartemen bersama keluarganya di Jakarta Selatan. Ia harus bekerja di rumah. Jakarta sedang mengalami PSBB pada masa itu. Semua orang diminta untuk tetap di rumah, supaya bisa menekan penyebaran virus COVID 19.
Namun, ia sangat terganggu oleh suara rumah ibadah di dekat tempat tinggalnya. Suaranya begitu keras, dan terjadi sering sekali, dari mulai pagi hari sampai malam hari. Padahal, kawan saya tersebut adalah seorang yang sangat religius. Ia sempat lama mengenyam pendidikan di salah satu Pesantren di Jawa Tengah.
Ia mencoba berbicara dengan pengelola rumah ibadah. Katanya, hal ini akan diubah. Namun, polusi suara tetap terjadi. Suara rumah ibadah bersaing dengan suara tukang tahu goreng dan ondel-odel Jakarta. Polusi suara yang merusak gendang telinga.
Ia mengadu pada pemerintah Jakarta. Surat menyurat sudah dilayangkan dengan pengurus rumah ibadah. Tetap, tak ada perubahan. “Inilah beribadah secara tak beradab, dan merusak tata hidup bersama,” begitu kata kawan saya ini. Pemerintah Jakarta kalah oleh preman berbaju religi. Kini, dengan sangat terpaksa, ia memutuskan untuk pindah rumah.
Hutan Rimba Kendaraan
Sudah tak terhitung lagi berapa banyaknya saya terjebak macet di Jakarta. Motor dan mobil begitu banyak. Jalanan penuh. Polusi udara mencekam paru-paru, dan membuat nafas terasa berat.
Di saat itu, motor berani naik ke trotoar. Pejalan kaki tak punya kesempatan melawan. Semua saling sikut dan saling salip. Ketika ada yang tabrakan, makian dan ancaman kekerasan diumbar ke udara.
Suara knalpot juga memecah telinga. Suaranya bersaing dengan suara rumah ibadah yang menciptakan polusi suara. Betapa kacaunya Jakarta di abad 21 ini. Ini ditambah dengan bencana banjir yang tak kunjung bisa diselesaikan.
Tak ada penegak hukum terlihat. Berbagai hukum dan aturan dilanggar. Para pelanggar tidak mendapatkan hukuman apapun. Pembiaran semacam ini membuat ruang publik Jakarta semakin rusak.
Politisi Tak Tahu Malu
Saya juga lelah melihat sepak terjang politisi Indonesia di ruang publik. Ketua partai membuat manuver yang merusak tata politik Indonesia. Calon presiden yang bermain mata dengan kelompok radikal, bermain uang, atau semata berpijak pada keturunan mama serta papa (Anda tahu kan?). Sikap tak tahu malu mereka membuat saya muak.
Politik Indonesia mirip dengan dagelan. Tak ada keutamaan yang ditunjukkan. Tak ada nilai yang diajarkan ke masyarakat. Padahal, politisi adalah pemimpin masyarakat yang harus memberikan teladan hidup luhur ke seluruh masyarakat luas.
Ini ditambah dengan kontroversi yang terus dilakukan oleh para pasukan berseragam yang seharusnya melindungi rakyat. Mereka kerap bersikap arogan dan agresif terhadap rakyat. Ini sudah cerita lama. Di dalam masyarakat demokratis, salah satu tugas tersulit adalah menempatkan para pasukan berseragam ini ke dalam kontrol demokratis masyarakat sipil.
Darurat Keadaban Publik
Indonesia memang sedang mengalami darurat keadaban publik. Sikap merusak ditunjukkan dari mulai cara beribadah, perilaku berkendara sampai dengan sikap partai politik. Ini tentu tak bisa dibiarkan. Ada enam hal yang perlu kita pikirkan bersama.
Pertama, keadaban publik adalah pola bertindak pantas di ruang hidup bersama. Orang mematuhi nilai-nilai moral di dalam masyarakat, ketika ia memasuki ruang publik. Orang mematuhi hukum yang telah ditetapkan, tentu dengan sikap kritis dan kontekstual. Keadaban publik adalah ciri dari negara yang beradab.
Dua, keadaban publik mengandaikan kemampuan orang untuk membedakan antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah ruang hidup bersama. Orang dengan berbagai latar belakang identitas dan kepentingan hidup bersama, seperti di jalan raya, di dalam politik, ekonomi dan seni. Sementara, ruang privat adalah ruang keluarga, dimana orang menatanya dengan mengacu pada nilai-nilai yang diyakini secara pribadi.
Di Indonesia, orang sulit membuat pembedaan ini. Di ruang publik, mereka bertindak semaunya, seperti beribadah dengan menganggu orang lain. Mereka memaksakan tata nilai mereka untuk dipatuhi orang lain. Habermas, pemikir Jerman, menyebut ini sebagai kolonisasi, atau penjajahan, ruang publik.
Tiga, keadaban publik membutuhkan empati. Dalam arti ini, empati adalah kemampuan melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Artinya, kita mempertimbangkan kepentingan orang lain di dalam semua perilaku kita.
Empat, empati juga harus dibarengi oleh kesadaran hukum. Ini artinya, kita mematuhi hukum, karena kita sadar, bahwa itu baik untuk semua pihak. Di dalam masyarakat demokratis, hukum memang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama. Ia tidak sempurna, namun cukup dapat memberikan keteraturan di dalam tata hidup bersama.
Lima, kesadaran hukum harus juga dibarengi dengan kepastian hukum. Ini berarti, orang yang melanggar hukum akan ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku. Betapa jauhnya ini dari keadaan nyata di Indonesia. Keadaan menjadi amat rumit, ketika para penegak hukum justru menjadi pelanggar hukum yang utama.
Enam, semua ini yang membedakan antara negara maju dan negara terbelakang. Negara maju berisi warga yang paham perbedaan ruang publik dan ruang privat. Mereka pun bertindak beradab di ruang publik yang ada. Mereka paham empati, sadar hukum dan memiliki institusi penegak hukum yang relatif bersih.
Keadaban publik adalah cerminan dari mentalitas bangsa. Kemajuan sebuah bangsa tidak diukur dari ekonomi ataupun perkembangan teknologi. Ia diukur dari pola pikir dan perilaku keseharian warganya yang nantinya berbuah pada perkembangan ekonomi, sains dan teknologi. Pertanyaan kecil pun menggantung: Apakah kita negara maju, atau terbelakang?
Silahkan anda menjawab…