Jangan Takut Pada Awan

this is photo compilation
this is photo compilation

Oleh Reza A.A Wattimena

31 Desember 2022, jam 12 malam. Suara petasan melingkupi ruang dan waktu. Saya sedang berada di Ameth, Nusalaut. Pulau kecil di Ambon, sekitar 2,5 jam dengan Speedboat dari Kota Ambon, atau 6 jam dengan menggunakan kapal Feri.

Dada terasa sesak. Ada emosi kuat muncul di dada. Saya tak menamainya. Saya hanya menyadari dan mengamati emosi kuat tersebut.

Emosi adalah energi. Ia berubah, datang dan pergi. Tak perlu dinamai, atau diberi label. Tak perlu juga ia ditakuti, atau dicari tanpa henti.

Tentang Rasa

Bagaimana energi tersebut digunakan? Itulah pertanyaan yang harus dijawab. Apakah energi dalam rupa emosi itu digunakan untuk menyakiti mahluk lain? Atau ia digunakan untuk mencapai pencerahan, yakni menemukan inti dari energi emosional tersebut yang tak berbeda dengan diri kita yang sejati?

Emosi dan pikiran manusia itu sementara. Keduanya begitu cepat berganti. Keduanya seperti awan. Seolah, mereka terlihat konkret. Namun, tak ada yang dapat disentuh, ketika didekati.

Namun, ironisnya, banyak orang takut dengan perasaan mereka sendiri. Mereka juga takut dengan pikiran mereka. Akibatnya, mereka sibuk mencari pengalihan. Banyak cara ditempuh, mulai dari berwisata, belanja, seks diluar kewajaran sampai dengan narkoba.

Pengalihan hanya akan berbuah derita lebih besar di masa depan. Apapun yang kamu hindari, ia akan terus mengejarmu. Apapun yang kamu tekan, ia akan semakin kuat. Itulah dua paradoks besar di dalam hidup manusia.

Kekosongan yang Sadar

Maka, semua emosi hanya perlu dilihat dengan penuh kesadaran. Lihatlah dengan lembut semua pengalaman yang muncul. Sadari dengan lembut semua hal yang tampil ke dalam kesadaran. Akan muncul pemahaman dasar, bahwa semua itu sementara, dan amat rapuh.

Jangan takut dengan awan. Ia tidak ada isi, atau substansi yang kokoh. Begitu pula dengan emosi, perasaan ataupun pikiran manusia yang tak memiliki isi yang kokoh di dalamnya. Di dalam semua bentuk-bentuk pikiran maupun perasaan, ada kekosongan yang sadar (empty awareness).

Kekosongan yang sadar ini adalah inti dari semua perasaan dan pikiran yang dimiliki manusia. Tidak hanya itu, kekosongan yang sadar ini juga merupakan inti jati diri manusia yang sejati. Ia tak pernah lahir, dan tak akan pernah berakhir. Ia ada di dalam diri manusia, sekaligus melingkupi keseluruhan semesta.

Diri sejati manusia itu, di dalam Zen, berada sebelum pikiran muncul. Ia berada sebelum pikiran, sekaligus di dalam pikiran itu sendiri. Manusia hanya perlu menatap semua bentuk pikiran maupun perasaan yang ia muncul sampai ke dalam. Semua itu hanya perlu dialami, dan ditatap dalam-dalam.

Perasaan tak perlu dinamai. Ia juga tak perlu dihakimi, entah baik atau buruk. Semua hanya energi yang terus bergerak.  Tak ada yang perlu ditakuti dari pengalaman manusiawi, entah itu pikiran atau perasaan yang kuat.

Lebih dari itu, semua pengalaman manusiawi adalah ekspresi dari diri sejati manusia yang sadar sekaligus kosong itu. Semuanya, pada dasarnya, baik adanya. Tak perlu melarikan diri dari perasaan ataupun pikiran apapun. Kita lalu bisa beristirahat di dalam kesadaran yang kosong dan tanpa batas itu.

Sekitar jam 1 pagi, 1 Januari 2023, saya duduk di tengah keramaian desa Ameth, Nusalaut. Emosi kuat sudah pergi. Ia telah sepenuhnya disadari dan ditatap sampai ke dalam. Yang tersisa hanya kesadaran yang kosong dan meluas. Saya beristirahat di sana. Beristirahat di dalam kesadaran. Beristirahat di dalam Tuhan…

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

2 tanggapan untuk “Jangan Takut Pada Awan”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.