Oleh Dhimas Anugrah, Ketua Circles Indonesia (Komunitas Pembelajar Budaya, Filsafat, dan Sains)
Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno penah mengatakan, bangsa Indonesia setiap hari digembleng oleh keadaan. “Digembleng, hampir hancur lebur, bangun kembali. Digembleng, hampir hancur lebur, bangun kembali,” ujarnya dengan lantang. Seperti pidato di atas, di tahun 2022 ini kita mungkin juga sudah babak belur dihantam krisis. Anda dan saya bisa saja hampir hancur lebur. Tapi, kini saatnya kita bangkit.
Tidak sedikit sahabat saya berkeluh kesah karena merasa penat menjalani 2022 yang berselimut tantangan. Dalam beberapa momen di tahun ini, kita seperti digembleng dalam cobaan yang tidak dapat dipastikan kapan berakhir. Namun, mengacu pada pidato Bung Karno tadi, kita disadarkan untuk menjadi individu yang tidak boleh kalah oleh keadaan di luar kendali kita. Situasi yang sulit itu justru menjadi kesempatan bagi Anda untuk bangkit. Sebab menurut Sang Penyambung Lidah Rakyat, hanya dengan jalan demikianlah kita bisa menjadi manusia yang benar-benar “berotot kawat balung wesi” (tulang besi).
Filosofi Praktis dalam Realitas Tak Ideal
Slogan Hari Ulang Tahun ke-77 Republik Indonesia “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat” masih sesekali kita dengar dalam ragam kesempatan di akhir tahun ini. Kalimat ini bagus. Tepat jika kita menggunakannya untuk menyemangati diri sendiri dan orang lain. Di tengah banyaknya orang yang merasa pandemi adalah akhir segalanya, beberapa orang tanpa sadar pesimis memandang kehidupan. Mungkin sikap ini timbul karena melihat kehidupan melulu sebagai penderitaan, sehingga memilih pasif, undur diri, atau tidak peduli pada lingkungan sekitar, seperti yang pernah dilakukan filsuf Arthur Schopenhauer. Ini bukan respons yang perlu ditiru.
Cara mengatasi krisis dengan bersikap pesimis dan tidak peduli justru menunjukkan egoisme, karena di dalamnya terdapat rasa enggan untuk ikut mengupayakan kesejahteraan bersama. Dalam sengatan krisis ini justru seharusnya jiwa kita dibangunkan, lalu bergegas berhenti merasa lelah dan putus asa, meski realitas hidup tak seideal yang kita rindukan.
Jatuh dan terpuruk bisa dialami oleh siapa saja, filsuf mana saja, dan tokoh sehebat apa pun di dunia. Namun, kejatuhan tidak boleh membuat seseorang berlama-lama di tempatnya terpuruk, apa lagi terus menerus berhasrat agar orang lain mengasihani dirinya. Pertolongan orang lain terbatas. Maka, agar bisa “pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat” kita perlu mengakui keadaan jiwa kita yang sedang lemah dan tertekan.
Hantaman krisis akibat pandemi sangat mungkin membuat banyak di antara kita depresi secara batin dan “hancur” dalam banyak aspek lainnya. Hal ini membuat jiwa kita “tergeletak tak berdaya.” Mari akui “kejatuhan” ini. Tidak masalah. Karena kita memang manusia yang rapuh. Tanpa menyadari keadaan seperti ini, kita tidak mungkin bisa “pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat.” Tetapi, dengan menyadari hal itu tidak lantas kita boleh mengasihani diri sendiri (self pity). Ini menjadi titik awas, karena sikap mengasihani diri sendiri cenderung dilakukan ketika seseorang sedang berada di titik terendah.
Dengan terjebak mengasihani diri sendiri, kita hanya akan semakin egois dan menjadi “sibuk” dengan diri sendiri. Sikap seperti ini tidak akan membuat Anda bisa bangkit, malah akan semakin terpuruk. Lagi pula, dalam pergumulan ini kita toch tidak sampai mencucurkan darah, seperti ujar penulis surat di abad pertama Masehi. Kita diundang mengobarkan semangat dalam jiwa kita yang gundah gulana.
Mengamalkan Pemikiran Filosofis yang Sederhana
Menjadi pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat merupakan keniscayaan. Itu mungkin. Kita tanpa sadar menerima dorongan motivasi secara gratis melalui slogan ini, bahwa pemulihan dan kebangkitan itu sangat bisa kita raih. Syaratnya mudah, cukup berikhtiar mengaplikasikan pemikiran filosofis yang sederhana. Yang pertama tadi, mengakui keadaan jiwa kita yang sedang lemah dan tertekan. Kedua, berbicara pada jiwa kita sendiri. Ini serius, bukan bercanda. Seni berbicara pada diri sendiri adalah sebuah laku serius, sikap yang lazim dipraktikkan oleh komunitas Monoteistis di masa lampau. Ini bukan tindakan irasional.
Berbicara pada jiwa kita sendiri (self talk) merupakan tindakan spiritual yang sudah lama hilang dalam tradisi berpikir filsafat teologi. Meski tampak remeh, tapi laku ini berhasil diterapkan oleh banyak orang. Yang menemukan teknik ini bukan para motivator modern. Di Tanah Palestina sejak 10 abad sebelum Masehi praktik ini sudah dilakukan. Misalnya di saat jiwa seseorang lelah, ia bisa berkata, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Sang Khalik. Bersyukurlah kepada-Nya, Penolongku dan Junjunganku.”
Jika jiwa adalah entitas hidup yang integral dengan raga, maka niscaya ia bisa mendengar. Tradisi self talk sudah jarang dilakukan hari-hari ini. Berbeda dengan kebanyakan seni memotivasi zaman modern yang bertumpu pada kekuatan diri sendiri (antroposentris), di dalam tradisi komunitas Semit ribuan tahun lalu misalnya, seni berbicara pada diri sendiri dilandaskan pada afeksi dan pengharapan kepada Sang Pencipta.
Ketika mengatakan pada diri sendiri, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku?” hal itu karena kita berharap kepada Sang Khalik, bukan pada kemampuan diri sendiri. Ketika Anda berbicara pada diri sendiri, di situ ada penilaian yang jujur tentang situasi Anda saat ini dan bagaimana perasaan Anda mengenainya. Alih-alih berkata hal yang negatif, seperti “saya gagal,” “tidak ada harapan,” atau “saya pecundang,” kita didorong untuk mengubah paradigma tentang diri sendiri, dan mengatakan hal-hal positif yang membangkitkan jiwa.
Kita diajak fokus pada Sang Khalik, dan tidak membiarkan jiwa kita “terjun bebas” dan mengais belas kasihan orang lain (self pity). Tahun 2022 banyak orang memang diuji. Anda dan saya merasakan sengatan ujian itu. Kita digembleng oleh situasi yang tidak mengenakkan. Namun, di tahun 2023 kita akan bangkit lebih kuat! Seperti kata Bung Karno, meski kita “digembleng, hampir hancur lebur,” kita akan “bangkit kembali.” Anda adalah makhluk rasional yang selayaknya tidak mudah kalah oleh keadaan. Situasi sulit yang kita alami adalah momentum prima atau kesempatan untuk bangkit. Itu bisa dimulai dengan mengakui kelemahan Anda dan mengatakan pada diri Anda sendiri, bahwa Anda bisa “pulih lebih cepat, dan bangkit lebih kuat.” Dengan rahmat Sang Mahakuasa itu semua niscaya.