Oleh Reza A.A Wattimena
“Akhirnya, terlihatnya sifatnya yang asli,” begitu kata seorang teman. “Dia marah, dan membanting barang, lalu memaki-maki saya! Dia tidak bisa lagi berpura-pura. Terlihat sudah karakternya yang asli.” Teman saya bercerita, bagaimana ia bertengkar hebat dengan mantan istrinya.
Saya mengerti, ia berada dalam keadaan marah. Emosinya mengaburkan kejernihan batin dan pikirannya. Saya hanya mendengar, sampai ia berhenti bercerita. Lalu, saya bertanya, “Kamu yakin, itu karakternya yang asli?”
Soal Keaslian
Mari kita bedah soal ini. Sesuatu yang asli adalah sesuatu yang nyata. Ia sungguh ada, dan tak bisa berubah. Pendek kata, sesuatu itu asli dan nyata, kalau ia abadi.
Sebaliknya, sesuatu itu tidak nyata, jika ia hanya sementara. Jika ia berubah, sesuai dengan perubahan keadaan, maka ia tidak bisa dibilang sesuatu yang asli. Ia tidak abadi. Ia tidak nyata, karena cirinya yang sementara.
Maka, ada yang salah dari cerita sahabat saya itu. Anda juga mungkin mengalaminya. Apa yang berubah dan sementara berarti tidak abadi. Maka, ia juga tidak asli, atau tidak nyata.
Soal Manusia
Manusia adalah tempatnya perubahan. Emosi datang dan pergi. Pagi marah, namun siang, perasaannya sudah bahagia. Sama seperti cuaca yang terus berubah, begitu pula, emosi manusia pun sementara.
Bagaimana dengan pikiran? Ini jelas sama. Ketika mendengar atau membaca sesuatu yang baru, pikiran kita berubah. Selera dan pola pikir kita berubah, sejalan dengan perubahan pengalaman maupun usia.
Kepribadian dan karakter pun serupa. Di alam semesta ini, segalanya sementara. Segalanya berubah. Maka, segalanya, apalagi kepribadian dan karakter kita, tidaklah nyata.
Menghakimi Orang
Maka, pandangan teman saya salah total. Mungkin juga, pandangan anda soal manusia juga salah. Jangan menghakimi orang, ketika ia sedang emosi tinggi, seperti marah, atau takut. Itu semua hanyalah keadaan yang sementara, dan sama sekali tidak nyata, apalagi asli.
Itu adalah sikap yang tak adil. Emosi dan pikiran itu bersifat sementara. Kepribadian dan karakter juga terus berubah. Semua tergantung pada kondisi-kondisi yang menjadi latar belakangnya. Semua tak asli, dan tak nyata.
Jika ingin menilai orang, atau menghakiminya, lihat keadaannya yang asli. Diri asli setiap orang berada sebelum pikiran dan emosi. Diri asli itu bisa juga disebut kesadaran murni, yakni kesadaran yang hanya sepenuhnya mengetahui, tanpa menilai, atau menganalisis. Di titik ini, diri asli setiap mahluk adalah satu dan sama.
Tak ada mahluk yang hidup yang jahat. Yang ada hanyalah kebodohan, karena kurangnya pemahaman soal dunia. Diri asli teman saya itu murni dan bersih, sama seperti diri asli mantan istrinya. Hanya emosi dan pikiran sesaat yang membuat dia tidak jernih, sehingga jatuh pada kemarahan dan kebencian.
Mari kita belajar untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya. Inilah kebijaksanaan yang tertinggi.
Sama dengan apa yang saya alami. Terimakasih mas Reza atas tulisannya yang mencerahkan.
SukaSuka
Pernyataan seperti ini membuat saya lebih mengenal manusia. Terimakasih bapak. Saya ingin berlangganan
SukaSuka
Terima kasih kembali
SukaSuka
Terima kasih kembali
SukaSuka