Hasrat Akan Pengakuan: Dukkha

3685179-HSC00002-6

Oleh Johanes Supriyono, Antropolog

Suatu ketika, saya berjumpa seorang teman yang libido sekolahnya tinggi. Di ruang kerjanya ia setengah pamer tentang rencana sekolahnya. “Saya selesai S2 tepat waktu. Nilai saya A semua. Saya lulusan terbaik. Tesis saya sangat layak dibukukan. Kamu tertarik untuk membacanya? Ada banyak referensi yang saya rujuk untuk membahas topik penelitian saya.” Kemudian bla bla bla bla bla…. Sangat panjang. Aura bangga menguar dari mulut; mengiringi setiap kata.

“Saya sedang menyiapkan proposal penelitian S3 saya. Ke luar negeri,” katanya lagi. Lagi-lagi ia menggarisbawahi alasan bahwa ia sangat spesial dan penting untuk masuk ke pergaulan internasional. Ia merasa dirinya selayaknya menjadi bagian dari komunitas ilmuwan trans-nasional. Ia suka mengutip kalimat-kalimat dari buku yang ia pernah baca. Juga ia suka mengubah kalimatnya ke dalam bahasa Inggris yang terdengar sangat fasih. Sekurang-kurangnya di telinga saya.

Sebetulnya saya tidak merasa senang dengan pembicaraan seperti itu. Karena alasan sopan-santun pertemanan, saya bertahan di ruang kerjanya sambil menunggu hujan reda supaya saya bisa berjalan ke luar untuk menghentikan angkot yang akan membawa saya ke terminal bus. Tampaknya ia juga memerlukan seseorang atau beberapa orang yang bisa dipameri kesuksesannya. Dan, kemudian memberikan pengakuan kepadanya.

Ketika topik pembicaraan ia arahkan kepada saya, perasaan muak saya merayap seperti asam lambung yang berontak. “Sepertinya tulisan-tulisanmu kurang banyak yang baca ya. Kalimat-kalimatmu juga menurutku kurang style. Satu lagi, kadang argumentasimu kurang disusun dengan logika yang kuat. Jarang juga kamu kutip pandangan siapa yang dikritik siapa,” katanya. Kalimat berikutnya masih panjang. Tapi saya lupa. Intinya, ya itu-itu saja, bahwa tulisan saya tidak sebaik tulisannya. Atau, kalau ditarik lebih luas: dirinya mengatasi diri saya.

Menurutku ia tidak memerlukan tanggapan atau pembelaan dari saya yang berapi-api. Dan, meskipun saya tidak mengharapkan omongan-omongan seperti itu, kata-katanya tidak membuat saya terpuruk.

“Bro, kalau saya menulis, setiap tulisan yang saya hasilkan itu menemui nasibnya masing-masing. Tulisan itu akan disidang oleh pembacanya. Barangkali akan dieksekusi mati. Atau, kalau mujur, ya masuk museum! Hahahaaa.. Museum itu perpustakaan dengan buku yang bertumpuk-tumpuk. Tenggelam di antara banyak buku di dalam belantara kata-kata. Mungkin karya itu akan meringkuk kesepian di salah satu rak. Tidak ada yang menyentuh. Tidak ada yang membaca. Nasibnya memang begitu barangkali. Saya berhasrat agar karya saya itu dibaca. Itu sudah pasti,” kataku.

Di luar hujan masih belum mau mereda. Dan, senja sudah akan menjelang. Lalu, ia menghidangkan dua cangkir the panas. “Terima kasih,” kataku. Ia menyilakan saya untuk menakar gula sesuka saya. Saya memilih tidak menambahkannya.

Sambil menyeruput teh, ia melanjutkan yang hatinya masih suka, yaitu capaian-capaian akademisnya yang menonjol.

Predikat “with disctintion” memang layaknya untuknya—sekurang-kurangnya menurut dirinya sendiri. Dan, sejauh saya tahu, beberapa temanku pun mengakui bahwa “yang bersangkutan” memang cemerlang. Konon, pertemuan-pertemuan yang ia hadiri menjadi kesempatan baginya untuk mempertunjukkan dirinya atau lebih persisnya kebintangannya. Maka, ia suka berdrama di depan umum. Seperti seorang pemain sepakbola yang diving di dalam kotak penalti untuk menarik perhatian wasit dan diberi keuntungan.

Terselip kalimatnya, “Beberapa tahun ke depan, kamu akan menemuiku sebagai seorang doktor.” Ia mengucapkan ramalan itu sambil senyum. Apa di sebalik senyum itu ia yang tahu persis. Saya mengaminkan. Dan, sepenuh hati saya yakin ia sangat mampu menempuh perjalanan akademis menjadi seorang doktor. Bahkan, jabatan guru besar atau professor bukanlah suatu kemustahilan untuknya. Dan, ia memang merindukannya. Amat merindukannya.

Ketika hujan menjadi rintik, azan maghrib dari kejauhan bergema. Saya pamit setelah menghabiskan teh yang sudah tidak lagi hangat. Ojek online yang kupesan menunggu di depan pos petugas pengamanan. Saya putuskan tidak jadi naik angkot supaya masih bisa mengejar buskota yang mulai jarang.

Di belakang pengojek yang berasal dari salah satu kota di Jawa Tengah, saya mengingat-ingat satu judul besar di Majalan BASIS sekitar 15 tahun yang lampau. Vanitas vanitatum mundi! Di dalamnya adalah kisah Marlyn Monroe stress karena tekanan industri hiburan yang memaksanya menjadi bintang yang terus bersinar. Tekanan itu demikian besar sampai ia kehilangan dirinya sendiri. Dalam kebintangannya ia justru mendapati kesia-siaan: kehampaan yang paling mengiris.

Tapi, kadang-kadang orang memang berhasrat untuk menjadi bintang atau bahkan matahari yang mendapatkan pengakuan dari seluruh jagat raya. Dengan kekayaan, dengan kedermawanan, dengan kepandaian, tetapi juga dengan tipu muslihat!

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

10 tanggapan untuk “Hasrat Akan Pengakuan: Dukkha”

  1. saya benar2 menikmati karya diatas, se olah2 ikut dalam percakapan.
    pertama2 anda merasa muak mendengar nya, tetapi kalau anda benar2 cermat mendengar , hanya mendengar, hanya lihat , tanpa nilai apapun, bahkan komentar anda seperlu nya apa yg dia harap kan.
    saya yakin, anda benar2 menikmati “sandiwara”, di mana anda dlm hati tersenyum, tertawa terbahak2, anda benar2 menikmati waktu bersama dia dengan sudut pandangan lain. cara bergaul teman tsb. hanya lah cermin , betapa haus nya dia dgn segala macam pujian dll.
    kita alam i typus manusia tsb sehari2, hanya dgn nama panggilan yg berlainan.
    justru typus2 tsb sebetul nya adalah “guru dan pengasuh” kita utk melihat /mengkontroll jati hati dan nurani kita sendiri.
    kedengaran nya absurd, paradox, justru itu yg saya jalan i tiap2 hari.
    dengan senyum saya merayakan hari natal, karneval dan ulang tahun setiap hari, bahkan setiap saat !
    anjuran saya , utk bisa menikmati nya, kita harus “investasi dengan pengorbanan tinggi”.
    terima kasih atas karya diatas !

    Suka

  2. Membaca artikel ini saya jadi teringat Kurt Vonnegut yang dengan canda menyindir, ” Saya di sini di bumi untuk kentut, dan jangan biarkan orang lain memberi tahu Anda berbeda.Mereka yang memberi tahu anda berbeda adalah mereka yang takut akan perubahan. Mereka hidup dengan gaya hidup yang berdasarkan rasa takut. Mereka tidak memiliki selera humor, dan karenanya menolak kerentanan, cinta, dan keberanian. Mungkin temannya mas supriyono ini hidupnya berdasar pada rasa takut

    Suka

  3. tulisan ini amat sangat menarik, dikemas dengan selipan sajak yang sangat renyah, namun tulisan ini menyisahkan tanda tanya dengan pesan yang di sampaikan?,,atau memang ini seperti puzel, dimana pembaca anda di harapkan mencari jawaban lewat sudut pandangnya sendiri?,,,terjelas seperti kata nietzche bahwa sejatinya manusia adalah mahluk yang berkehendak berkuasa. bukankah pengakuan itu keniscayaan itu sendiri, karena setiap dari kita tentunya ingin diakui?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.