Oleh Johannes Supriyono, Antropolog
Suami isteri yang saya kenal dengan sangat baik itu berjuang untuk menyingkirkan segala bentuk penderitaan dari jalan hidup anaknya. Secara verbatim suami berkata kepada saya suatu pagi, ketika anaknya masih kelas 2 SD, “Cukup kami orangtuanya yang kerja keras banting tulang ke kebun. Biar kami saja yang kehujanan kepanasan. Anak-anakku tidak perlu. Pokoknya cukup belajar yang rajin. Kalau sekolahnya pintar, kelak dia akan jadi ‘orang’.”
Mereka bertani. Di samping rumah ada 3 ekor sapi yang harus dikasih makan. Ada ayam bangkok dan ayam kampung di kandang berbanjar. Pagi dan sore harus dikasih makan. Ada kolam ikan gurame dan nila—ikan-ikannya harus dikasih makan. Untuk menjaga kebun dari orang jahil, delapan ekor anjing dilepaskan. Semuanya mesti dikasih makan dua kali sehari.
Lalu, di bidang tanah yang terletak 50 meter agak jauh dari rumah, mereka memelihara ayam pedaging. Pagi dan sore ia harus meluangkan banyak waktu di sana. Ia harus memastikan air minum dan makanan cukup. Tidak ada ayam yang mati. Dan, kalau ada yang mati, ia harus lekas mengeluarkan dari kandang.
Masih di area yang sama, pada petak yang lain seluas 0,5 hektar ia menanam pepaya kalifornia. Ia dan isterinya secara berkala menyiangi rumput. Dan, pada saatnya ia harus rajin memetik pepaya yang sudah mengkal. Mengumpulkan ke teras rumahnya dengan gerobak roda satu. Kemudian harus menyusun agar bisa dibawa ke pasar esok paginya ketika matahari masih tidur.
Tidak itu saja. Mereka menyewa kebun karet yang cukup luas dari satu keluarga yang sedang kesulitan uang. Harga sewanya di bawah harga normal. Lalu, suami isteri yang kukenal meminjam uang agar bisa menyewa kebun karet yang sudah produktif itu. Dalam lima tahun, hasilnya akan berlipat ganda daripada investasi yang mereka keluarkan. Setidaknya begitulah yang ada dalam benak mereka.
“Semuanya harus menghasilkan. Biaya sekolah anak tidak murah. Pokoknya semua harus bisa jadi uang,” kata si isteri dengan nada yang tidak tenang.
“Repot sekali, ya Bu. Sampai-sampai saya nggak pernah lihat bapak dan ibu bisa istirahat,” kataku.
Selama beberapa hari saya di sana, tidak sekalipun saya melihat kedua anak laki-lakinya diajak membantu. Mereka asyik di rumah, di kamar lebih tepatnya, dengan pintu tertutup. “Tembak! Tembak! Ke kiriiii. Itu.. itu. Tembakkkkkk!” Suara-suara itu kerap terdengar dari kamar mereka.
Menjelang tengah hari, si ibu pulang ke rumah untuk menyiapkan sayur dan lauk makan siang. Barangkali masih ada yang belum beres di kebun, si ibu memasak dengan tergesa. Bunyi kelontang-kelonteng bersaing dengan teriakan-teriakan dua bocah laki-laki dari kamar.
“Buuu, makan!” kata anaknya yang bungsu.
Tidak lama ibunya mengambil piring, menyendok nasi hangat, menambahkan telur ayam goreng, dan tumis kangkung. Sedikit sambal ia sisipkan di tepinya. Dibawanya sajian itu ke depan kamar anaknya. Si bungsu membuka sebagian pintu dan mengambil makan siangnya.
Setelah makan, piring itu ia biarkan saja di kamarnya. Ibunya akan datang membereskan kamarnya, termasuk membawa baju-baju kotor yang harus ia cuci dan setelah kering ia seterika. Ibu itu akan menyapu dan mengepel kamar anaknya. Juga lantai seluruh rumahnya.
Suatu hari mendung menggantung dan hujan lebat. Kakak beradik tetap tenang di kamar; asyik dengan diri mereka. Di samping kamar jemuran yang hampir kering tidak selamat. Apakah mereka ditegur? Tidak.
Entah darimana suami isteri itu memandang pekerjaan sebagai derita bagi anak-anaknya. Orang yang bekerja seperti mereka itu menderita. Memberi makan ternak, menanam, memanen, menyadap karet adalah penderitaan—dalam pandangan keduanya. Dan, mereka menanggung penderitaan itu dari waktu ke waktu sampai-sampai mereka merasa bersalah kalau ada pekerjaan yang belum diselesaikan. Tapi, mereka pun merasa harus memangkas waktu tidurnya.
Saya barangkali keliru. Tapi, tampak di mata saya mereka menganggap pekerjaan-pekerjaan tangan itu tidak bernilai. Bersentuhan dengan tanah, tahi ayam, tahi sapi, dll barangkali terasa hina. Tidak bergengsi. Tidak membanggakan. Tidak layak untuk dipamerkan. Tidak membawa keharuman bagi keluarga.
Maka, anak-anaknya demi kehormatan keluarga pada suatu saat harus menjadi “orang”. Biarlah orangtua mereka menjadi ‘sederhana’ atau ‘tidak berpangkat’, bergaul dengan tanah, ikan, pepohonan, sapi, ayam asalkan anaknya membawa kehormatan dan pangkat.
“Pokoknya mereka sekolah yang baik. Sekolah yang tinggi. Setelah itu terserah mereka. Yang penting jangan jadi seperti kami. Cukup kami saja yang menderita begini! Ya, beginilah nasib kami. Siapa tahu nanti anak-anak nasibnya lebih baik,” kata si isteri sambil menyiapkan tas dan bekal sekolah anaknya suatu pagi.
Tiga hari bersama dengan mereka saya tidak pernah melihat dan mendengar mereka tertawa. Saya tidak pernah melihat mereka bergembira. Kehidupan berjalan dengan penuh ketergesaan. Tidak ada moment yang sungguh-sungguh dinikmati sepenuh hati.
Ketika azan subuh terdengar dari surau yang berjarak 50 meter di belakang rumah keluarga itu, mereka beranjak bangun dengan rasa kalah untuk menanggung kutukan hidup. Begitu setiap pagi. Entah sampai kapan.
“Nanti kalau sudah dipanggil sama Yang Kuasa ya tidak akan menderita begini lagi,” kata si suami.
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/
komentar saya : justru cara/arah org tua tsb mendidik anak , membuat akibat yg berlawanan dgn tujuan.
kasar nya, org tua membawa anak ke neraka.
org tua “menyandarkan” hidup ke “institusi luar”, bukannya bertindak dengan pikiran sehat.
saya hanya teringat pengalaman di masa muda, di mana derita, masalah, hinaan, dsb dsb justru kesempatan utk “maju”(???) dan “kuat batin”.
dgn tiap kl “derita” yg teratas i, kita selalu “tambah kuat/ tabah / pintar”, dalam arti positiv dan membangun/menolong/ membimbing dsb dsb….semua berjalan dgn hukum alam !!
surga dan neraka berada dalam saat ini, dari saat ke saat.
itu pengalaman hidup saya, tidak perlu menempuh perguruan tinggi….haha..
salam hangat dan salam kenal utk dik johannes !!
tetap samangat walau kadang2 hati resah/ galau !
SukaSuka
saya sepakat. Terima kasih.
SukaSuka