
Oleh Reza A.A Wattimena
Tampaknya, kita hidup di abad pengemis. Jutaan, bahkan milyaran orang, hidup sebagai pengemis di berbagai belahan dunia. Jangan salah. Mereka bukanlah pengemis uang, melainkan pengemis pengakuan dan kebahagiaan.
Seorang pengemis pengakuan selalu haus akan pengakuan. Mereka ingin diakui dan dikenal luas sebagai orang yang hebat dan berhasil, terutama dari keluarga dan orang sekitarnya. Mereka akan bersedih dan patah hati, bahkan bunuh diri, jika gagal mendapatkan pengakuan. Penolakan itu sama beracunnya seperti sianida.
Gejala ini dengan mudah dilihat di beragam sosial media yang ada. Lahirlah lalu sekelompok masyarakat yang dikenal sebagai banci sosial media. Mereka selalu menampilkan hal-hal yang mengundang perhatian di akun mereka, supaya mendapatkan perhatian maupun pengakuan di dunia maya. Jika gagal, sakit hati dan penderitaan adalah buahnya.
Bagi para banci sosmed, yang sekaligus pengemis pengakuan, penolakan itu bagaikan tamparan keras di pipi. Rasanya menyakitkan, tidak hanya secara fisik, tetapi pada batin. Penolakan menimbulkan rasa malu yang luar biasa. Pengakuan bagaikan udara: mereka tidak bisa hidup tanpanya.
Ada juga tipe pengemis lainnya, yakni pengemis kebahagiaan. Orang-orang ini selalu mencari cara untuk mendapatkan kebahagiaan, semahal apapun dan sekecil apapun yang bisa didapatkan. Mereka meminta pasangan mereka untuk membahagiakan mereka. Mereka meminta negara dan pasar untuk membahagiakan mereka dengan barang-barang ataupun penghargaan yang semu.
Para pengemis ini rela berbuat apapun, demi mendapatkan tujuannya. Mereka rela korupsi, menipu dan bahkan membunuh untuk memperoleh pengakuan dan kebahagiaan. Semua cara diperbolehkan, asal tujuannya didapat. Para pengemis pengakuan dan kebahagiaan ini, sesungguhnya, adalah sekumpulan orang-orang licik dan tak bahagia.
Padahal, hidup itu tidak perlu pengakuan ataupun kebahagiaan. Hidup itu sendiri, jika dipahami secara tepat, adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Pengakuan sosial itu sifatnya semu dan sementara, bahkan beracun, karena menciptakan ketergantungan. Pengemis pengakuan dan pengemis kebahagiaan adalah orang-orang yang tidak paham akan hakekat kehidupan yang sesungguhnya.
Seorang sahabat pernah bertanya kepada saya, apakah tujuan dan makna hidup ini? Jawaban saya singkat: untuk HIDUP! Artinya, tujuan kita hidup adalah untuk hidup sepenuhnya dengan segala tantangan dan kenikmatan yang ada. Di dalam diri kita, ada energi semesta yang abadi. Tubuh dan pikiran hanyalah sampah dari luar yang dikumpulkan dari perjalanan hidup kita.
Ada jenis pengemis lainnya yang biasa ditemukan di jalan-jalan raya, yakni pengemis uang. Saya menduga, mereka hanya mengemis uang. Pengakuan dan kebahagiaan sudah mereka dapatkan dari hidup yang mereka jalani. Mungkin lebih baik menjadi pengemis uang, daripada menjadi pengemis pengakuan dan kebahagiaan.
Mungkin…
Beneer…semoga aku bukan trmasuk di dlmnya…
SukaDisukai oleh 1 orang
hahaha..sy juga dulu pernah berpikir saya tidak perlu pengakuan…tapi apa sy gagal, hidup saya penuh dengan keterikatan, sy takut apa kata orang.
Kira2 apa bagaiaman ya caranya melepaskan keterikatan tersebut..apa kita tidak anti sosial kalau melepas keterikatan tersebut?
Lalu bagaimana dengan Teori hierarki kebutuhan Maslow. Karena menurut sy teori tersebut sangat relevan kalau tidak ingin disebut sangat benar. Tanpa kita sadari segala sesuatu yang kita lakukan ada motivasi terselubung kalau tidak ingin disebut vulgar.
lalu apa sebenarnya tujuan kita untuk bersekolah sampai s1 s2 sampai s3, membeli barang wah, dan mandi gosok gigi dan menggunakan parfum jika bukan untuk pengakuan?
Mapukah kita melawan framing? mereka menyewa idola kita untuk endorse produk2 mereka. seolah jika tidak punya gadget ini kita jadi rendah secara sosial.
Semua orang mengejar status social. Maka bersiaplah dicap anti sosial, aneh dan sebutan lainnya jika kita tidak melakukannya.
Jika sudah siap mungkin disana kita akan menemukan arti sebenarnya hidup ini.
SukaDisukai oleh 1 orang
Salam Pak,, yang manakah energi semesta abadi itu yang ada didalam diri kita.
bagai manusia bisa mencapai hal tersebut ?
SukaDisukai oleh 1 orang
Saya ga bosan2 membaca tulisan bapak, berulang-ulang saya baca. Tulisan2 bapak seperti terapi buat sy betul2 memperbaiki pola pikir saya yg salah selama ini. Salam kenal pak.
SukaDisukai oleh 1 orang
Koruptor pengemis Kebahagiaan
SukaDisukai oleh 1 orang
amin.. salam…
SukaSuka
Halo. Salam.
1. Sadari, bahwa kebutuhan akan pengakuan adalah hasil cuci otak masyarakat atas diri kita.
2. Teori Maslow dibuat untuk menjelaskan gejala orang yang haus pengakuan, hasil bentukan sosial. Jika anda bisa melepaskan kehausan akan pengakuan ini, teori Maslow menjadi tak relevan.
3. Sekolah bukan untuk pengakuan, tetapi untuk belajar menjadi lebih tahu dan lebih bijak. Mandi untuk kebersihan. Gosok gigi untuk kesehatan.
4. Framing tidak bisa dilawan, namun bisa disadari. Ketika disadari, ia berubah menjadi pilihan, dan bukan lagi paksaan.
5. Sebutan aneh dan tidak aneh itu ciptaan masyarakat saja. Tidak nyata. Tak usah dipikirkan.
Semoga membantu
SukaDisukai oleh 1 orang
Energi itu abadi. Ia berubah, namun kekal. Semua yang ada di alam semesta itu adalah energi. Ini fakta. Tidak perlu dicapai. Cukup disadari saja. Apa yang menyusun badan dan pikiran kita sama dengan apa yang menyusun bintang-bintang di langit.
SukaSuka
salam kenal Bung. Senang bisa membantu
SukaSuka
pengemis kebahagiaan sekaligus perampok uang rakyat…
SukaSuka
Pak, kalau begitu, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa orang yang berpaham kapitalis adalah pengemis?
SukaDisukai oleh 1 orang
Apakah itu artinya orang-orang yang berpaham kapitalis adalah pengemis? Apakah para artis adalah pengemis? Apakah para politikus yang rajin muncul di tv adalah pengemis?
SukaDisukai oleh 1 orang
Begitulah. Kapitalis sejati adalah pengemis sejati.
SukaDisukai oleh 1 orang
Jika politikus yang hobinya mencari suara rakyat dengan menipu dan korupsi, jelas mereka adalah pengemis. Politikus yang bersih dan mengabdi untuk sepenuhnya kepentingan rakyat bukanlah pengemis.
SukaDisukai oleh 1 orang
Pengemis yg berkamuflase
SukaSuka
Hampir semua hal di Indonesia adalah kamuflase..
SukaSuka
sedih rasanya menjadi salah satu dari mereka, namun sulit untuk merubah kebiasaan 😦
SukaSuka
Kebiasaan bisa diubah. Asal terus sadar.
SukaSuka
sulit bukanlah tidak mungkin 🙂
SukaSuka
benar sekali
SukaSuka