
Oleh Reza A.A Wattimena
Ada dua pandangan tentang kaitan antara agama dan kemunafikan. Di satu sisi, orang bodoh dan munafik memeluk agama tertentu, sehingga agama tersebut membenarkan kemunafikan dan kebodohannya. Inilah cikal bakal segala bentuk kemunafikan dan kebodohan atas nama agama yang banyak kita lihat sehari-hari, mulai dari pembenaran atas kekerasan, nafsu birahi, sampai dengan kerakusan atas harta dan kuasa yang dibalut dengan ayat-ayat suci.
Di sisi lain, agama itu sendiri sudah selalu mengandung kemunafikan di dalamnya. Dengan kata lain, jauh di jantung agama-agama, ada hal yang membuat orang biasa menjadi munafik dan bodoh. Pandangan kontroversial inilah yang hendak saya gali lebih dalam.
Ketidakmungkinan
Agama adalah lembaga yang dibangun berdasarkan pada seperangkat nilai dan prinsip tertentu yang, menurut keyakinan mereka, berasal dari Tuhan, atau entitas transenden lainnya. Agama menawarkan arah kehidupan yang ideal pada pemeluknya. Arah kehidupan tersebut, juga menurut keyakinan mereka, akan menuntun orang ke Surga, atau tempat indah lainnya di dalam bayangan mereka. Jika melanggar atau melawan ajarannnya, maka neraka, atau tempat terkutuk lainnya, sudah siap menanti.
Masalahnya, prinsip dan nilai yang diajarkan agama tersebut tidak akan pernah terwujud di dalam kehidupan. Bahkan, para pemuka agama tersebut pun yang, seringkali secara tersembunyi, melanggarnya. Ketidakmungkinan dari prinsip dan nilai tersebut membuat banyak orang frustasi. Mereka selalu merasa kurang, berdosa dan tak berdaya.
Ada orang yang memilih untuk tetap merasa berdosa, dan kemudian menjadi semakin saleh menekuni agamanya. Orang-orang semacam ini mudah sekali diperalat oleh para pemuka agama untuk menjadi robot-robot patuh yang siap dihisap uangnya, atau diminta menggendong bom bunuh diri, demi harapan surga setelah mati.
Ada orang yang kemudian menyerah, dan kemudian memilih untuk menggunakan ajaran dan prinsip moral agamis untuk membenarkan hal-hal bejat di hati dan perbuatannya. Inilah orang-orang munafik yang berjubah dan fasih mengutip ayat suci, tetapi penuh cela di hati dan kehidupan sehari-harinya. Kita banyak melihat orang semacam ini di Indonesia.
Di hadapan keluruhan prinsip dan ajaran agamis, yang tak akan pernah mungkin menjadi kenyataan, orang jatuh ke dalam perasaan tak berdaya dan kemunafikan. Keduanya adalah penderitaan, baik bagi orang yang mengalaminya, maupun orang-orang sekitarnya. Ini tentu bukan merupakan keniscayaan. Ada jalan lain yang tentu bisa ditempuh.
Tegangan Kreatif
Akar kemunafikan adalah perbedaan yang begitu tajam antara kata dan tindakan. Perbedaan ini tentu tidak selalu bermuara pada kemunafikan. Ia bisa menjadi tegangan kreatif untuk mendorong orang untuk menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya. Ia juga bisa membawa orang untuk berkembang keluar dari kesempitan pikiran dan pertimbangannya.
Bagaimana menumbuhkan tegangan kreatif ini, dan menjauhkan orang dari kemunafikan? Caranya adalah dengan menumbuhkan sikap kritis di dalam hidup beragama. Orang terbiasa untuk berpikir, bertanya dan menganalisis sebelum menerima ajaran apapun, termasuk ajaran agama. Orang menggunakan nalar dan akal sehatnya untuk mempertimbangkan, ajaran apa yang akan dipeluknya.
Sayangnya, sikap kritis pun juga kerap kali dianggap berbahaya oleh para pemuka agama. Banyak agama hidup dan berkembang dari kebodohan dan kemunafikan pemeluknya. Lembaga agama memperoleh banyak uang dan pengaruh politik, persis karena pemeluknya takut berpikir mandiri dan kritis. Yang dilestarikan kemudian adalah sikap patuh yang berdasarkan pada kepercayaan buta belaka.
Alhasil, orang dicabut dari keunikannya, dan dipaksa untuk menyatu dengan kerumunan. Orang menjadi gerombolan yang bisa disetir untuk kepentingan politik, mengeruk uang atau bahkan mengobarkan perang. Pola semacam ini jamak ditemukan di dalam sejarah agama-agama besar dunia. Di dalam agama semacam ini, kemunafikan dan kekerasan adalah makanan sehari-hari.
Ajaran indah agama hanya menjadi buih moral yang jauh dari tindakan nyata. Para pemuka agama dan orang-orang yang mengaku saleh berkhotbah tentang pentingnya nilai-nilai luhur. Walaupun, seringkali merekalah yang menjadi pelanggar utama dari nilai-nilai yang dikoarkannya sendiri. Kemunafikan bagaikan polusi yang tersebar di udara, walaupun orang kerap kali takut mengungkapkannya.
Sikap kritis terhadap ajaran agama akan menuntun orang ke dalam spiritualitas, yakni cara hidup spiritual yang tulus terungkap dari penghayatan batin, dan bukan dari kepercayaan buta terhadap sekelompok orang berjubah. Spiritualitas selalu bersifat revolusioner. Ia mengubah orang dari dalam. Ia mencela kemunafikan, sekaligus, pada saat yang sama, bersikap lembut dan penuh cinta pada orang-orang munafik.
Artinya sikap kritis pd ajaran agama, memahami bahwa agama itu bersifat dinamis. Bisa ditafsir terus-menerus agar membebaskan. Hal ini telah terjadi ber-kali2 dlm sejarah. Jika ditelusuri lebih dalam, penafsiran kembali ajaran agama seperti sebuah proses evolusi, bukankah begitu pak Reza? Warm regards.
SukaSuka
tepat!
SukaSuka
Terima kasih pak Reza atas tanggapannya. Pak bolehkah saya berdiskusi, namun konteksnya diluar artikel ‘Agama dan Kemunafikan’. Bila diperkenankan, dalam uraian ringkas ini, saya memerlukan penjelasan dari Pak Reza:
Akhir2 ini saya menikmati membaca Seneca maupun filsuf Stoics yg lain. Sy menemui kata2 dari Stoics, kadang bisa ‘interchangeable’ dg Taoist kuno seperti Lao Tzu, Zen seperti DT Suzuki dan bahkan barat modern seperti Alan Watts. Pd hal antara Stoics dan Taoist jelas tidak pernah bertemu satu sama lain.
Jd perihal diatas, tampak ada semacam tumpang-tindih diantara teori2 tsb, atau similarity atau seperti about as good of a Western complement to Zen? Apakah saya salah memahami Stoics, Taoist maupun Zen (Alan Watts, DT Suzuki)? Di titik inilah membutuhkan second opinion. Salam hangat.
SukaSuka
akar peradaban kita sama. Apa yang dikatakan orang Yunani sejalan dengan apa yang dikatakan dengan orang India dan Cina. Perjumpaan antar peradaban sudah berlangsung ribuan tahun. Kesamaan ide tak dapat dihindarkan. Semua adalah telunjuk yang berbeda yang mengarah ke bulan. Yang penting adalah bulannya. Lupakan telunjuknya.
SukaDisukai oleh 1 orang
Apa pendapat anda mengenai agnostik theist (bertuhan tapi ngga beragama)?
SukaSuka
sah sah saja.. selama hidupnya bahagia dan berguna untuk kebaikan kehidupan…
SukaDisukai oleh 1 orang
Pak Reza thank’s untuk ‘Lupakan Telunjuknya’. Sangat setuju! Btw untuk pertanyaan bertuhan tanpa agama, jadi teringat dg kumpulan esainya Bertrand Russel yg kemudian dibukukan dalam ‘Russel on Religion’, jika tidak salah buku tsb telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Gramedia. Opini saya pd Russel, lebih suka menyebutnya sebagai freethinkers dan humanist dari pd memberi label sebagai agnostic theist.
SukaSuka
oh iya kak aku minta kamu nilai artikel opini aku dong di link ini https://muhammadarkhan.wordpress.com/2016/08/20/wacana-naiknya-harga-rokok-momentum-bagus/
SukaSuka
terima kasih dan saya baca dulu ya…
SukaDisukai oleh 1 orang
terima kasih. Saya tidak suka pada label. Itu lebih banyak menipu daripada mengungkap kebenaran..
SukaSuka
Apakah ketika seseorang menggunakan atribut suatu agama atau kelompok tertentu yang menjurus ke agama untuk menegakkan kebenaran adalah termasuk dalam kategori munafik? mohon penjelasannya Pak, terima kasih.
SukaSuka
apa itu kebenaran?
SukaSuka
Keselarasan antara realita dan keyakinan.
SukaSuka
bagaimana mencapai itu?
SukaSuka
Mungkin bapak lebih paham, saya hanya seorang pemula Pak.
SukaSuka
pikiran pemula adalah pikiran kreatif yang penuh kemungkinan.. teruslah menjadi seorang pemula di dalam segala sesuatu…
SukaSuka
Luar biasa pemikiran Anda..
akan tetapi saya ingin bertanya ..
jika agama saja bisa berkabung dengan kemunafikan .
dan saya ingin agar anda dalam mengutip pandangan agama jangan setegah-setengah.
islam misal nya anda hanya mengutip kekerasan . pencucian otak bom bunuh diri yang di iming-imingi surga..
walaupun anda tidak menyebutkan islam di sini tapi saya tahu maksud anda adalah islam.
saya mohon lihatlah islam bukan dari penganutnya tapi lihatlah dari ajaran dan aturan yang telah ditetapkan tuhan dan nabinya..
saya tidak tahu apakah agama anda..
bukankah anda ciptaan tuhan .
seandainya agama adalah kemunafikan bukankah anda orang yang beragama alhasil anda juga bagian dari kemunafikan itu ..
SukaSuka
kemunafikan adalah penyakit manusia. Semua agama jatuh ke dalamnya. Adalah tugas kita untuk belajar bersikap kritis dan mengubah diri, sehingga kemunafikan bisa dikurangi, walaupun tak bisa dilampaui sepenuhnya.
SukaSuka
ketika kita tertarik untuk percaya terhadap ajaran agama dengan otomatis wajib kiranya kita untuk mempelajari ajarannya terlebih dahulu, agar nantinya tidak serta merta percaya. dalam proses belajarnya tentunya kita juga butuh akan guru atau orang yang mengajari guna untuk memperkecil kesalahan pemahaman tentang ajaran agama. dengan gambaran oknum-oknum agama yang munafik yang anda gambarkan yang dalam hal ini di indonesia sangat banyak sekali, kemudian apa kriteria-kriteria untuk memilih seorang guru yang baik guna mendapat pemahaman yang benar dan memperkecil fenomena kemunafikan yang sedang terjadi ?
SukaSuka
Saya setuju dengan anda. Carilah guru yang mengajarkan kebahagiaan dan perdamaian universal untuk semua mahluk, serta ia menjadi wujud nyata dari kedua hal tersebut. Artinya, ia hidup juga dengan kedamaian dan kebahagiaan universal yang melibatkan semua mahluk hidup. Inilah guru sejati.
SukaSuka
Kesesuaian antara pemikiran,perkataan,perbuatan dan hati merupakan kebenaran
SukaSuka
ya… tapi itu juga tak akan pernah bisa 100 persen sesuai…
SukaSuka
Yang anda yakini adalah keraguan
SukaSuka
pernyataan menarik. Bisa dijelaskan lebih jauh?
SukaSuka
“Ia mengubah orang dari dalam. Ia mencela kemunafikan, sekaligus, pada saat yang sama, bersikap lembut dan penuh cinta pada orang-orang munafik.”
Ini indah sekali….. saya kenal dengan orang-orang seperti ini dalam hidup saya. saya bersyukur.
SukaSuka
anda kenal dimana?
SukaSuka
Izin copy pak .
SukaSuka
Tulisan bapak mewakili hati nurani saya
SukaSuka
silahkan mas…
SukaSuka
terima kasih.. semoga terbantu
SukaSuka
keren pak artikel nya.
mohon respon nya pak, saya mau minta pendapat bapak tentang formalisme agama?
terimakasih
SukaSuka
sudah saya balas ya.. coba cek link posting terbaru.. salam
SukaSuka