Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Penulis dan Doktor dari Universitas Filsafat Muenchen, Jerman
Sulit menemukan akal sehat, ketika kita terjebak macet total di tengah teriknya matahari ibu kota. Semua pengendara tenggelam dalam emosi dan nestapa, siap untuk menghajar siapapun yang memotong jalannya. Jalan sepanjang 3 km harus ditempuh dalam waktu satu jam, karena irasionalitas pembangunan kota yang tak punya visi. Orang bisa berubah kepribadiannya, setelah melalui pengalaman tersebut.
Kota, Uang dan Agama
Kelembutan diganti keberingasan. Motor dan mobil saling menghajar. Ketika tersenggol, makian dan bahkan pukulan sudah menanti di depan mata. Homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi sesamanya, begitu kata diktum Latin klasik tentang keadaan alamiah (Naturzustand) manusia yang saling berperang satu sama lain.
Peraturan lalu lintas hanya menjadi hiasan semata. Ketika ada kesempatan, orang pun tak ragu untuk melanggar. Tancap gas sekencangnya untuk melanggar lampu merah, sehingga polisi dengan motor besar pun tak mampu mengejarnya. Jiwa pencuri bercokol di dalam diri orang-orang ini.
Di sisi lain, orang-orang kaya memilih berlindung di balik dinginnya mobil-mobil mewah. Mereka tak peduli, bahwa dunia di sekitar mereka sudah kacau oleh keberingasan dan kebiadaban. Di tengah jalan yang macet total, mereka memilih duduk nyaman sendiri di dalam mobil raksasa, kadang ditemani supir. Kebutaan dan kedunguan adalah buah dari kekayaan mereka.
Yang ada di otaknya hanya satu, yakni menumpuk uang sebanyak-banyaknya. Jika perlu, cara curang dan biadab digunakan, guna meraih uang lebih banyak lagi. Hidup manusia yang luas dan kaya dipersempit semata ke unsur ekonominya, yakni pencarian dan penumpukan harta tanpa batas. Segala nilai lain, yang membuat hidup manusia mendalam, kaya dan bermakna, dianggap tiada.
Agama juga menjadi pelestari kebusukan ini. Nilai-nilai luhur agama dipelintir untuk membenarkan kerakusan dan pemenuhan kepentingan dangkal semata. Agama tidak lagi menjadi pencerah, tetapi justru menenggelamkan masyarakat ke dalam kemunafikan akut. Tandanya adalah kehidupan yang agamis, namun dibarengi dengan korupsi, penipuan, penindasan, dan kerakusan yang tanpa batas.
Mengapa?
Ketika sistem tidak memiliki kekokohan dan kepastian, orang akan gelisah. Itulah yang terjadi di Indonesia. Sistem raksasa dibangun, baik di bidang kesehatan, politik, pendidikan sampai dengan lalu lintas. Namun, kadar kepastiannya rendah, sehingga keadaan tetap kacau dan orang tetap gelisah, walaupun sistem sudah ada.
Ketidakpastian sistem ini terjadi, karena para pelaksananya hidup dalam kekacauan berpikir. Para pemimpin negara, mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat, birokrat-birokrat institusi milik negara, para menteri sampai dengan presiden, tidak bisa memberi teladan kepada rakyatnya. Rakyat Indonesia, banyak yang masih hidup dalam kemiskinan dan kebodohan, pun bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Mereka tidak memiliki teladan yang baik untuk diikuti.
Ketika segalanya menjadi amat tidak pasti, ketakutan pun muncul. Ketakutan adalah ibu dari semua bentuk kekerasan. Ketika orang takut, mereka akan menyerang dan menghancurkan. Akal sehat dan sikap beradab lenyap digantikan keberingasan dan kebiadaban.
Manusia pun lalu menjadi serigala bagi sesamanya. Ibu kota melahirkan sikap biadab yang tak pas untuk tata hidup bersama. Hanya ada dua hal yang bisa memperbaikinya. Perubahan kesadaran pribadi lalu saling mengorganisir diri untuk mendorong perubahan bersama. Tidak ada jalan lain. Tunggu apa lagi?
apakah bisa dikatakan ini bisa menjadi mental indonesia beberapa tahun ke depan lagi, karena Jakarta adalah barometer dari Indonesia?
SukaSuka
Salam Mas Reza, sebagai seorang manusia yg baru ingin (karena penasaran) berkenalan dengan filsafat, kira kira saya harus mulai dari mana ya, dari sejarahnya kah? seorang teman menganjurkan saya untuk membaca “Dunia Sophie” sebagai bentuk perkenalan dengan filsafat, apa anda sependapat dengan teman saya itu? Atau mau kah kiranya Mas Reza berbaik hati merekomendasikan beberapa judul yang perlu saya baca dan pahami sebagai bentuk perkenalan dengan dunia filsafat, jujur selain karena penasaran dengan filsafat, saya juga merasa dan berfirasat bahwa mungkin dengan filsafat kesulitan dan kekusahan hidup saya dapat terurai satu persatu. Salam Hangat
SukaSuka
Dunia sophie bagus kok… versi ebook buku ini juga ok https://rezaantonius.files.wordpress.com/2016/02/ebook_tentang_manusia_reza_aa_wattimena.pdf
SukaSuka
saya rasa ini khas kesesatan berpikir orang Jakarta, dan beberapa kota besar lainnya… jadi tidak umum untuk Indonesia…. banyak pemimpin daerah yang cukup tercerahkan, dan tidak mau daerahnya menjadi seperti Jakarta….
SukaSuka
Pak, saya ingin bertanya tapi tidak terkait mengenai tulisan Bapak. Menurut Pak Reza, bagaimanakah filsafat menjawab mengenai persoalan “menikmati hidup”?. Apakah kita (manusia) melalui filsafat bisa menyentuh hakekat “menikmati hidup”?. Menggunakkan metode seperti apakah filsafat dalam merumuskan pertanyaan dan menjawab tentang “menikmati hidup”?.
SukaSuka
menikmati hidup berarti menciptakan ketagihan akan kenikmatan. Ketika kenikmatan itu hilang, dan pasti akan hilang, kita akan jatuh dalam nestapa. Jangan mencari kenikmatan. Hidup dari saat ke saat dengan kejernihan
SukaSuka
Bagaimana mungkin “kejernihan” itu bisa ada jika “keruh” itu tidak ada, Pak Reza?
SukaSuka
memang, sekana ilusi memperbaki alam pikir dan laku hidup, tetapi itu harus dilakukan untk perbaikan bersama. salam.
SukaSuka
maksudnya? Maaf, saya tidak mengerti
SukaSuka
Jangan buat jernih dan jangan buat keruh. Lakukan saja dari saat ke saat… apa hubungannya dengan tulisan ini ya?
SukaSuka
Maksudnya bkn sekadar ilusi, tp bgmna sikap pikir dan laku ditempatkan tuk perbaikan bersama dlm beribteraksi di kehidupan.
SukaSuka
kehidupan itu pun sejatinya ilusi. Ia adalah kumpulan gambar yang lahir dari perpaduan cahaya dan bayangan. Tapi memang benar, yang penting adalah, bagaimana semua ilusi itu dijalankan sesuai dengan fungsi-fungsinya.
SukaDisukai oleh 1 orang