Yang Tersisih

surrealism-10
arthit.ru

Oleh Reza A.A Wattimena

Di mata banyak orang, sekumpulan anak muda itu tampak mencurigakan. Mereka bertato. Telinga mereka ditindik. Gaya rambut mereka pun tidak umum.

Gaya berjalan mereka berbeda dengan kebanyakan orang. Gaya berbicara mereka pun lain. Dari sudut kategori moralitas umum, mereka berada di luar, atau bahkan melanggar. Dari kaca mata hukum, mereka pun tampak mencurigakan, mirip seperti pelaku kejahatan.

Yang Tersisih

Mereka adalah “yang tersisih”. Gaya hidup dan cara berpikir mereka tidak seperti orang pada umumnya. Ada yang takut pada mereka. Namun, tidak sedikit pula yang kagum pada keberanian dan, seringkali, kreativitas mereka.

Ada yang menyebut mereka berandalan. Ada yang menyebut mereka preman. Di beberapa tempat, mereka disebut anak punk. Sesungguhnya, mereka tidak punya nama apapun, karena mereka berada di luar kategori umum.

Kehadiran mereka ada di berbagai tempat, walaupun mereka selalu menjadi minoritas. Kita bisa melihatnya di bis umum, ketika mereka mengamen. Kita juga mudah melihat mereka, ketika mereka menjadi pedukung kesebelasan sepak bola tertentu. Pertunjukan musik biasanya menjadi tempat berkumpul mereka.

Di sisi lain, banyak pula orang yang berpikir berbeda dengan lingkungannya, walaupun penampilan mereka layaknya orang pada umumnya. Mereka bernalar dengan cara yang berbeda dari orang-orang sekitarnya. Seringkali, mereka dibenci, karena perbedaan tersebut. Namun, di banyak kesempatan, mereka justru menjadi sumber perubahan ke arah yang lebih baik.

Banyak dari mereka harus berkonflik dengan rekan kerja atau atasannya. Banyak pula yang akhirnya harus keluar kerja, hanya karena memiliki pandangan dunia yang berbeda dengan lingkungannya. Jika ini yang terjadi, kita justru kehilangan orang-orang yang mampu mendorong perubahan dunia. Kita justru kehilangan orang-orang kreatif yang memiliki kemungkinan untuk membuat terobosan baru di berbagai bidang.

Sikap Kita

Maka dari itu, masyarakat perlu belajar untuk membuka diri terhadap kaum “tersisih” ini. Masyarakat secara luas perlu untuk belajar memahami cara hidup dan cara berpikir mereka. Baru dengan begitu, konflik bisa dihindari, dan kerja sama yang baik bisa dilakukan untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Tanpa upaya untuk membuka diri dan memahami ini, masyarakat akan selalu terbelah antara “yang umum” dan “yang tersisih”.

Charles Taylor, filsuf Kanada, berpendapat, bahwa setiap masyarakat, sejatinya, adalah masyarakat multikultur, yakni masyarakat yang terdiri dari banyak kultur. Dalam arti ini, kultur adalah bentuk-bentuk kehidupan (forms of life) khusus yang ada di dalam masyarakat tersebut. Setiap kultur memiliki hak tidak hanya untuk ada, tetapi juga untuk berkembang sesuai dengan identitasnya.

Kaum “tersisih” juga adalah sebuah bentuk kehidupan khusus di dalam masyarakat. Mereka punya hak tidak hanya untuk hidup, tetapi juga untuk berkembang sejalan dengan jalan hidup mereka. Perbedaan cara hidup bukanlah dasar untuk mencap mereka sebagai kriminal, atau melarang kegiatan mereka. Tentu saja, seperti ditegaskan Jürgen Habermas, filsuf Jerman, batas-batasnya adalah hukum yang adil (gerechte Gesetze), yang dibuat melalui proses diskusi dengan semua pihak yang berkepentingan atas hukum tersebut.

Nancy Fraser, filsuf Amerika, juga berpendapat, bahwa di dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, banyak pandangan dunia yang hidup dan berkembang. Banyak kelompok yang memiliki beragam tata nilai yang berbeda. Semuanya tentu punya hak untuk hidup dan berkembang. Dalam hal ini, tugas terpenting negara adalah menjamin, supaya semua kelompok tersebut mampu terlibat secara aktif dan setara (participation parity) di dalam politik, misalnya dalam pembuatan kebijakan baru, atau dalam pendidikan masyarakat luas terkait dengan isu tertentu.

Baru dengan begitu, kaum “tersisih” ini bisa ikut serta membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera untuk semua. Keberadaan mereka tidak lagi ditakuti, tetapi justru diakui dengan bangga hati. Kita semua punya kepentingan akan hal ini. Karena jangan-jangan, kita sendiri, atau orang dekat dalam hidup kita, sebenarnya, adalah bagian dari kaum “tersisih” ini…

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

10 tanggapan untuk “Yang Tersisih”

  1. Hallo Pak Reza… 😀 Saya ingin bertanya mengenai orang-orang yang tersisih oleh pembahasan Bapak, sebelumnya saya minta maaf atas kelancangan saya. Saya sedikit bingung terhadap tulisan di atas, bahwasanya yang hanya dijelaskan adalah mereka yang dianggap sebagai orang tersisih, juga dijelaskan bahwa “Ada yang menyebut mereka berandalan. Ada yang menyebut mereka preman. Di beberapa tempat, mereka disebut anak punk. Sesungguhnya, mereka tidak punya nama apapun, karena mereka berada di luar kategori umum” lantas, bagaimana mereka yang menganggap diri sebagai mana yang di sebutkan di atas? ( Saya preman, saya anak Punk, dst) dan menjadikan hal tersebut menjadi gaya atau tren masa kini.
    banyak saya temui bahwa terkadang mereka menakutkan, apakah itu sebuah kreatifitas mereka, maksud saya membuat orang banyak menjadi takut terhadap mereka adalah permainan uji nyali? bagaimana pendapat Bapak?

    Suka

  2. Seperti biasa, selalu membuat saya mengangguk-angguk dan berkata ‘aahh, benar sekali”. . .

    Pak Reza selalu punya pandangan filsiuf sendiri untuk setiap isu terkini.

    Tapi ngomong-ngomong, kenapa tidak menulis sesuatu tentang LGBT? Saya ingin tahu pendapat bapak tentang itu. (Atau saya yang ada ketinggalan ngebaca postingannya? hmm)

    Suka

  3. halo Hagai.. kata punk dan preman itu ciptaan masyarakat. Karena anak2 yang berbeda itu tidak punya kata dari mereka sendiri, maka mereka mengikuti saja definisi masyarakat tersebut. Menakutkan itu karena tidak biasa. Itu mungkin karena ekspresi kreativitas mereka yang tidak biasa, sehingga terlihat asing buat kita.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.