
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Kita hidup di era informasi. Begitu banyak informasi kita terima setiap harinya. Televisi, koran, internet bahkan tembok WC umum menawarkan informasi kepada kita. Apa yang terjadi di ujung dunia sebelah selatan bisa langsung kita ketahui melalui telepon selular yang kita gunakan setiap harinya.
Namun, tidak semua informasi itu benar dan layak disimak. Banyak yang hanya merupakan gosip. Banyak juga yang merupakan fitnah untuk memenuhi kepentingan politis tertentu, terutama pada waktu pemilihan umum politik, seperti Indonesia di 2014. Sebagian lainnya hanya informasi tak penting yang tak perlu disimak, seperti kisah hidup para artis.
Seringkali, kita bingung, karena banjir informasi semacam ini. Yang mana yang benar, dan yang mana yang salah? Apa yang harus dilakukan dengan semua informasi ini? Banyak juga informasi yang justru menyulut konflik, karena seringkali berpijak pada fitnah, atau fakta yang salah.
Parmenides, salah satu filsuf Yunani Kuno, mencoba untuk menjawab pertanyaan ini. Pendapatnya berbeda dengan pendapat Herakleitos, juga filsuf Yunani Kuno lainnya. Herakleitos berpendapat, bahwa kenyataan hidup manusia adalah perubahan dan pertentangan. Segalanya berubah, dan lahir dari gesekan dari hal-hal yang bertentangan dan berbeda.
Herakleitos mendapatkan kritik dari Parmenides. Tema debat mereka sama, yakni tentang hakekat dari alam. Hidup sekitar 540 sampai dengan 470 tahun sebelum Masehi, Parmenides menulis sebuah karya. Namun, sekarang ini, hanya dua belas halaman yang bisa dibaca. Sisanya menghilang, entah kemana.
Berbeda dengan Herakleitos, Parmenides juga bertanya, apa hakekat dari pikiran manusia. Pikiran adalah alat utama yang digunakan oleh manusia, guna memahami alam. Namun, apa itu pikiran sendiri? Pertanyaan ini belum dijawab secara langsung oleh Herakleitos.
Walaupun abstrak, Parmenides tidak menulis dengan gaya yang sama dengan Herakleitos. Di dalam karya-karyanya tersebut, ia berusaha untuk merumuskan satu metode baru di dalam berpikir. Langkah pertama yang ia lakukan adalah membuat pembedaan yang tegas antara kebenaran (Wahrheit) dan pendapat (Meinung). Kebenaran itu tetap dan berlaku untuk siapapun, kapanpun dan dimanapun. Sementara, pendapat itu berubah-ubah, dan hanya seperti penampakan yang labil.
Pendapat dapat dengan mudah ditemukan di pengalaman sehari-hari. Ia berubah. Hari ini, orang bilang A. Besok, mereka akan bilang B. Pendapat itu stabil, dan jauh dari kebenaran.
Sementara, kebenaran itu abstrak. Ia ada dalam bentuk pikiran dan konsep murni. Ia tak berubah dan stabil. Ia adalah “ada” (das Sein).
“Ada” adalah kebenaran itu sendiri. Ia abstrak dan bersifat formal. Artinya, ia menjadi dasar bagi segala sesuatu yang ada, sekaligus berbeda dengan hal-hal lainnya di kenyataan. Dengan kata lain, ia adalah keadaan yang memungkinkan kenyataan (die Bedingung der Möglichkeit für die Wirklichkeit).
“Ada” tidak dapat dihindari. Ia selalu menempel di setiap benda di kenyataan. Ia juga selalu menempel di dalam bahasa dan pikiran manusia. Namun, ia juga berbeda dari benda, pikiran dan bahasa manusia. “Ada” (das Seiende) berbeda dengan “ada-ada” (das Seiendes).
“Ada”, yang juga merupakan kebenaran itu sendiri, adalah tema utama dari filsafat Parmenides. Para filsuf setelahnya akan juga bertanya dan berdiskusi tentang tema ini. Bisa juga dibilang, “Ada” adalah tema terpenting di dalam filsafat yang menjadi dasar dari tema-tema lainnya. Satu hal yang pasti, “Ada” tidak bisa disamakan dengan hal-hal yang ada di kenyataan, karena ia, menurut Parmenides, adalah dasar dari kenyataan itu, sekaligus berbeda dari kenyataan yang ada.
“Ada” juga utuh dan satu. Ia tidak memiliki awal dan tidak memiliki akhir. Parmenides menyamakan ada seperti sebuah bola yang bulat, utuh, satu, namun abadi dan tak berubah. Di dalam kenyataan, ada adalah pikiran itu sendiri. Ia menulis, “Manusia yang mengetahui adalah sama dengan pengetahuan itu sendiri, yang adalah Ada itu sendiri.”
Parmenides juga yakin, bahwa “Ada” itu memiliki dimensi mistik. “Ada” adalah kebenaran para dewa, begitu katanya. Namun, manusia sulit untuk mengenali “Ada”, karena tindak berpikir reflektif, yang diperlukan untuk memahami “Ada”, adalah sesuatu yang amat sulit dilakukan oleh manusia. Maka, ia lebih memilih melihat pendapat dan penampakan yang berubah-ubah.
Akibatnya, manusia terjebak dalam berbagai versi “kebenaran”. Ia menjadi bingung. Kebingungan dan keadaan terjebak ini mendorong konflik antar manusia, karena mereka merasa benar, dan mulai untuk menyerang orang lain yang dianggapnya salah. Dunia menjadi terbelah, karena manusia terjebak pada pendapat dan penampakan, serta kemudian berperang satu sama lain.
Di masanya, Parmenides melakukan kritik terhadap mitologi Yunani Kuno yang menjelaskan proses penciptaan alam. Menurutnya, penjelasan itu hanya terjebak pada pendapat dan penampakan, serta jauh dari kebenaran. Itulah kebiasaan manusia, yakni terjebak pada apa yang tampak dan berubah-ubah, serta lupa pada apa yang sungguh nyata dan benar, begitu kata Parmenides. Tugas filsafat adalah membantu manusia untuk melampaui kelemahan ini, sehingga ia tidak terjebak pada penampakan-penampakan (Erscheinungen) yang dangkal dan berubah, serta mulai tergerak untuk mencari “Ada”, yakni kebenaran itu sendiri.

Parmenides mengajarkan kita untuk berpikir kritis terhadap beragam pendapat yang tersebar di dalam hidup kita. Pendapat itu bisa dalam bentuk tradisi yang telah diturunkan dari berbagai generasi sebelumnya, atau juga “kata orang”. Ini, menurut Parmenides, adalah bagian dari dunia penampakan dan pengalaman yang jauh dari kebenaran. Melalui filsafat sebagai pemikiran reflektif dan kritis, ia mengajak kita untuk melampaui pendapat-pendapat ini, dan mencoba untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi di baliknya.
Kita juga diajak oleh Parmenides untuk mempertanyakan semua informasi yang kita terima setiap harinya. Begitu banyak informasi menghujam pikiran kita setiap harinya melalui berbagai media, mulai dari koran sampai dengan papan iklan pinggir jalan. Semua informasi ini bersifat relatif, tidak mencerminkan kebenaran. Jika orang mengikutinya, maka mereka akan terjebak pada penampakan dan pendapat saja, lalu menjadi bingung. Kebingungan bisa menjadi akar beragam konflik yang terjadi sekarang ini, karena orang lalu menjadi bingung, siapa yang benar, dan siapa yang salah.
Tidak hanya kritis dan berani mempertanyakan, Parmenides juga mengajak kita untuk menembus semua informasi dan pendapat yang ada, lalu mencari apa yang sungguh nyata, yakni “Ada” itu sendiri. Pada akhirnya, menurut Parmenides, kebenaran yang sesungguhnya melampaui segala yang ada di dalam kenyataan. Kebenaran bukanlah “tuhan”, terutama konsep “tuhan” yang digunakan oleh agama untuk mengumpulkan dan menggerakan massa demi satu tujuan politik tertentu. Pada akhirnya, kebenaran juga melampaui bahasa itu sendiri: ia adalah “Ada” itu sendiri yang utuh, tunggal dan abadi. Das Seiende.
“Pendapat dapat dengan mudah ditemukan di pengalaman sehari-hari. Ia berubah. Hari ini, orang bilang A. Besok, mereka akan bilang B. Pendapat itu stabil, dan jauh dari kebenaran.”
sepertinya ada yg salah ketik, Pak 🙂
SukaSuka
hehehe.. pendapat itu labil maksudnya
SukaSuka
Pak, saya ada pertanyaan ni pak:
– Setelah membaca tulisan bapak, saya menyimpulkan bahwa kebenaran itu stabil, tidak berubah. Ia menjadi dasar bagi segala sesuatu lalu bagaimana dengan teori-teori jaman dahulu yang (dipercaya) merupakan kebenaran? Contoh: Dulu orang berpikir bahwa bumi datar namun sekarang berubah, bumi berbentuk bulat. Apakah itu kebenaran atau pendapat atau pendapat yang hampir mendekati kebenaran?
SukaSuka
itu pendapat Parmenides. Kebenaran, bagi saya, tidak bisa dilukiskan. Ia ada. Titik. Teori2 sains dan filsafat tidak pernah sampai pada kebenaran. Ia selalu berubah dan hanya bisa menangkap sebagian sisi dari kebenaran.
SukaSuka
Hallo pak reza, saya Vicky. Saya juga sangat berminat untuk masuk dan melihat lebih dalam tentang hal-hal yang ada di balik pengalaman empiris. Tentang hal di atas, saya pernah baca dan mengerti bahwa pendapat (doxa) bersumber dari appearance, sementara kebenaran bersumber dari reality dan menghasilkan episteme. Bumi itu bulat atau datar bukanlah hal yang bertentangan kalau kita mau melihat gambaran luasnya. Datarnya bumi ada di dalam bulatnya bumi. Saya juga setuju dengan Descartes bahwa rasionalitas kita menjamin bahwa ilmu yang kita miliki saat ini bukan hasil “tipu daya setan”. Kalau pun belum sempurna, itu terjadi karena kita masih tertutup matanya, seperti 3 orang buta yang berusaha mendefinisikan gajah dengan meraba-raba tetapi masing-masing meraba tempat yang berbeda, sehingga hasilnya berbeda, tetapi sebenarnya berasal dari gajah yang sama.
SukaSuka
ya. saya setuju denganmu. Yang penting: kita tidak boleh melihat pendapat kita sebagai kebenaran mutlak. Itulah sikap non-dogmatis. Salam kenal ya
SukaSuka