
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di München, Jerman
Kita hidup dalam dunia yang selalu tidak cukup. Banyak hal muncul dalam bentuk yang kurang, dari yang kita harapkan. Gaji yang tak pernah cukup mencukupi kebutuhan hidup. Waktu yang selalu tidak cukup untuk keluarga, atau orang-orang yang kita cintai.
Jacques Lacan, filsuf dan psikoanalis asal Prancis, pernah mengisi sebuah acara TV di Prancis. Ia bilang, “kata orang, kita harus berbicara benar. Atau, kita harus mengatakan kebenaran. Akan tetapi, itu tidak mungkin. Bahasa kita tidak cukup untuk mengatakan kebenaran. Bahasa kita terlalu miskin untuk menyatakan kebenaran.”
Lacan punya pendapat yang sangat kuat tentang ini. Ketika kita berkata, bahasa langsung mengurung maksud kita ke dalam kata dan grammar. Ada jarak yang cukup besar antara kata yang terucap dan maksud di dalam hati. Kata-kata dan bahasa kita tidak cukup untuk mengungkapkan apa yang ingin kita ungkapkan.
Di dalam bukunya yang berjudul Der Ego-Tunnel, Thomas Metzinger, filsuf dan ilmuwan neurosains asal Jerman, menulis, bahwa apa yang kita tangkap dengan pikiran kita hanyalah sebagian kecil dari kekayaan realitas yang ada. Dengan kata lain, pikiran kita tidak cukup untuk menangkap keluasan kenyataan yang ada. Kenyataan atau realitas yang sesungguhnya jauh lebih kaya daripada apa yang bisa kita tangkap dan pahami dengan pikiran kita.
Kita bertindak berdasarkan maksud, berdasarkan harapan. Akan tetapi, tindakan kita tidak pernah cukup mewujudkan harapan kita. Seorang ayah amat mencintai anaknya. Namun, tindakannya tidak akan pernah cukup menggambarkan cintanya pada anaknya. Ada jarak antara apa yang kita rasakan sesungguhnya, dan tindakan yang kita lakukan untuk menampilkan perasaan tersebut.
Slavoj Zizek, filsuf asal Slovenia, pernah menjadi salah satu pembicara seminar di AS. Setelah dibacakan riwayat hidupnya yang panjang dan penuh dengan karya-karya besar, ia berkata, “Siapa itu? Saya tidak kenal orang itu.” Ia menegaskan, bahwa riwayat hidup seseorang tidak pernah cukup untuk menggambarkan jati diri seseorang. Identitas, apalagi identitas legal formal, tidak pernah cukup menggambarkan kekayaan sekaligus keunikan diri seseorang.
Ketika kita berusaha memahami sesuatu, kita menggunakan konsep. Kita menggunakan konsep, tidak hanya di dalam ilmu pengetahuan atau filsafat, tetapi juga di dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun, setiap konsep atau teori tidak akan pernah bisa menangkap kekayaan kenyataan yang ada. Konsep atau teori (rumusan ilmiah) tidak pernah cukup untuk menangkap apa yang sesungguhnya terjadi.
Misalnya, banyak indikator perkembangan statistik Indonesia menunjukkan, bahwa ekonomi kita berkembang. Namun, statistik dan indikator tersebut hanyalah rumusan yang tentu saja tidak akan pernah mampu menangkap kenyataan yang ada, yang sebenarnya penuh dengan kemiskinan, penderitaan, dan kesenjangan sosial yang amat besar antara si kaya dan si miskin di Indonesia. Sekali lagi, rumusan, konsep, teori, dan data tidak akan pernah cukup menggambarkan kenyataan yang ada.
Seorang siswa mendapatkan nilai rendah dalam ujiannya. Padahal, ia telah belajar dengan keras. Nilai-nilai sebelumnya juga baik. Hanya saja, ketika ujian akhir datang, ia merasa gugup, dan tak mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan dengan tenang. Akhirnya, nilainya rendah. Ia pun gagal dalam ujian akhirnya.
Hasil ujian tidak pernah bisa menangkap usaha belajar seseorang. Nilai tidak pernah cukup menandakan kerja keras seorang murid. Inilah yang harus disadari oleh semua pendidik di Indonesia. Proses belajar, yang merupakan proses yang berkelanjutan dan dinamis, tidak akan pernah bisa dipahami hanya dengan melihat nilai.
Kenyataan hidup juga tidak akan pernah cukup untuk mewujudkan seluruh harapan kita. Harapan adalah gambaran ideal tentang kenyataan. Walaupun pikiran dan bahasa kita tidak akan pernah bisa menangkap kekayaan kenyataan yang ada, kenyataan itu sendiri pun masih terlalu sempit untuk harapan manusiawi kita. Harapan selalu lebih luas dari kenyataan.
Setiap hari, kita membuat janji. Kita, tentu, berusaha menepatinya. Namun, tidak pernah kita 100 persen bisa menepati janji kita. Tindakan menepati janji selalu tidak cukup untuk mewujudkan janji itu sendiri, walaupun segala upaya telah dilakukan.
Pada akhirnya, kita harus belajar untuk memahami “apa yang tidak cukup” dalam hidup kita. Kita harus mengembangkan di dalam diri kita “kesadaran akan ketidakcukupan”. Di dalam hidup yang begitu kaya dan dinamis ini, “kesadaran akan ketidakcukupan” adalah suatu bentuk kebijaksanaan. Hidup memang selalu kurang. Namun, mungkin saja bukan hidup yang kurang, melainkan diri kita sendiri, sebagai manusia, yang juga kurang.
setuju! Nilai A, B, C atau D sekalipun tidak akan pernah mewakili usaha keras siswa di dalam belajar atau mewakili pencapaian pemahaman dia akan pelajaran. terima kasih pak, tulisan bapak selalu membuat saya semangat untuk berpikir kritis dan memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. manusia pada dasarnya memang tidak pernah memiliki rasa cukup.
SukaSuka
Tidakah kebutuhan ekonomi sehari-hari dapat menjadi kenyataan dan kebenaran objektif ? Bukankah dengan bahasa yg sederhana saja kebutuhan ekonomi dapat dipahami? Kenaikan UMP dengan marigin penjualan yg semakin turun, jaminan kesehatan dll.
Mengapa “kesadaran akan Ketidakcukupan” menjadi landasannya? Bukan dari kenyataan objektif sehari-hari yg bisa diubah?
Salam Jo
SukaSuka
Terima kasih banyak Nyong, Beta sangat dicerahkan tentang hidup ini. Kadang manusia furtrasi dengan keadaan dan realitas yang ada.Tiap hari televisi, koran atau berita yang dilihat hanyalah penderitaan dan ketidak adilan.Lewat tulisan ini kita dingatkan bahwa ada juga realitas yang lain.Atau dengan kata lain itu semua bukan realitas tapi sebagian kecil dari realitas. Kalau boleh diteruskan lagi dengan tulisan sejenis untuk lebih menguatkan perjalanan hidup…….selamat berkarya.
SukaSuka
Setiap baca tulisan Bapak, saya langsung dapat ide membuat tulisan lagi. Thanks 😀
SukaSuka
Kurang dan cukup adalah parameter yang diciptakn pikiran untuk menyatakan bahwa ada peluang untuk berubah, dalam hal ini adalah berubah menjadi ‘lebih’ dari yang diyakini ada pada saat ini. Sebuah rekayasa psikologis pikiran kita untuk menstimulasi prosesnya sendiri sebenarnya.
SukaSuka
ya.. kita harus hati-hati, ketika mencoba mengukur sesuatu… sikap kritis adalah salah satu instrumen penting dalam hidup manusia
SukaSuka
Indikator memang tak bisa sepenuhnya menangkap apa yang terjadi. Kita harus kritis dengan indikator, dan jangan melihatnya sebagai sesuatu yang mutlak. Itu saja pesan tulisan ini..
SukaSuka
ya.. realitas yang lain, yang tak kita sadari… terima kasih.. salam hangat..
SukaSuka
Tulisn donk… lalu nanti bisa diskusi..
SukaSuka
apakah cuma rekayasa psikologis? Atau sungguh realitas itu sendiri memang bergerak, dan segala usaha kita untuk menangkap realitas ke dalam indikator tidak akan pernah cukup?
SukaSuka
Hehehe….rasanya realitas pun buah rekayasa psikologis Za 🙂 Makanya ada yang riil buat si A tapi tak riil buat si B 🙂
SukaSuka
Kalau pertanyaannya mengapa manusia ada di bumi? Memang jawabannya akan tidak mutlak. Seperti teori evolusi yg menurut saya adalah metafisika(sebagian besar). Tapi manusia ada di bumi dan hidup bersama manusia lain (relitas sosial) adalah realitas yang sesungguhnya (mutlak). Kebutuhan dasar makan, minum oksigen adalah mutlak. Jadi bukankah kesadaran akan adanya yg mutlak seharusnya menjadi indikator yg mutlak untuk merubah kondisi sosial (kemiskinan, penderitaan, dan kesenjangan sosial) dan psikologis (siswa yg gugup menghadapi ujian)..?
Salam Jo
SukaSuka
Tidakkah ini menandakan bahwa “manusia” itu sebenarnya sangat terbatas? :p *masih belajar*
SukaSuka
hehehe… iya… tapi sayangnya orang lupa pandangan ini, dan merasa, bahwa situasi tak bisa diubah… jika realitas adalah rekayasa psikologis, maka kita bisa mengubah realitas sesuai dengan situasi psikologis kita.. ini dasar dari kemampuan mencipta manusia…
SukaSuka
ya.. saya paham pendapat ini. Mungkin kita harus jelas dan tegas membedakan, tentang apa yang mutlak dan apa yang tidak di dalam hidup manusia.. namun, satu yang tetap sama, semuanya selalu tidak akan cukup…. bahkan makan, minum dan oksigen yang walaupun dipenuhi, tetap akan tidak pernah cukup untuk manusia..
SukaSuka
paradoksnya.. manusia itu mahluk terbatas yang punya keinginan untuk menjadi dan menggapai yang tak terbatas.. ini seperti paradoks eksistensial yang dirumuskan Kierkegaard..
SukaSuka
Betul 🙂
SukaSuka
Dialektika antara pikiran dan kenyataan, itulah yang memang menciptakan dunia… 🙂
SukaSuka
Ini seperti yang dibahas dalam kitab omong kosongnya Seno Aji Darma.
SukaSuka
Bisa dijelaskan?
SukaSuka