Politik Jeroan

ambonekspres.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman

Ada ungkapan unik untuk menggambarkan hasil kerja orang-orang Jerman. Mereka memang bukan produsen utama Apple Computer yang desainnya indah dan mesinnya kuat. Mereka juga tidak ikut pada perlombaan produksi Smartphone, bersama Korea, Taiwan, dan Amerika Serikat, yang saat ini sedang gencar terjadi di dunia. Mereka jauh dari glamor dunia.

Memang, mereka punya BMW, VW, dan Mercedes. Namun, jika dibanding General Motors miliki Amerika, yang memproduksi Chevrolet, Buick, Cadillac, dan beberapa merk lainnya, perusahaan-perusahaan mobil Jerman termasuk relatif kecil. Namun, ada satu kelebihan mereka, yakni mereka memproduksi komponen-komponen utama setiap mesin yang membuat mobil-mobil tersebut.

Dengan kata lain, mereka tidak memproduksi tampilan luar dari suatu produk, melainkan jeroannya, yakni komponen-komponen dalam dan amat penting, yang membuat semua mesin itu bisa memproduksi barang-barang canggih. “Orang-orang Jerman membuat benda-benda yang ada di dalam mesin yang menghasilkan benda-benda lainnya, dan juga benda-benda yang ada di dalam benda-benda itu.” Apa yang bisa kita pelajari dari cara berpikir semacam ini?

Situasi Kita

Saat ini, di Indonesia, kita amat memperhatikan reputasi. Yang penting adalah apa yang tampak, apa yang dicitrakan ke masyarakat. Yang penting adalah kesannya, bukan isinya. Isi soal belakangan, bahkan seringkali tak jadi soal sama sekali.

Banyak orang sudah melakukan kritik pada pola semacam ini. Namun, pola ini tetap ada, tetap bersikukuh, seolah membandel, tak mau lepas. “Penyakit” pencitraan ini melanda berbagai segi kehidupan di Indonesia, terutama politik, budaya, dan bahkan juga pendidikan.

Yang kemudian terjadi adalah pencitraan tanpa isi. Gelar akademik berderet tanpa kemampuan nyata. Jas necis dan rapih tanpa kekuatan karakter. Tampilan klimis dan rambut licin, tanpa jati diri yang kokoh.

Yang terjadi kemudian adalah sebaliknya. Gelar akademik yang justru menandakan ketidakmampuan, yakni sikap patuh, tak kreatif, dan suka menipu. Jas necis dan rapih yang justru menandakan sikap licik dan korup. Mana ada koruptor yang bajunya berantakan? Mana ada koruptor kakap yang tidak mengenyam pendidikan tinggi? Semakin rapih bajunya, semakin wangi baunya, semakin berderet gelarnya, biasanya justru menandakan kesempatan korup yang juga semakin tinggi. Ironis.

Di dalam dunia pendidikan, penyakit pencitraan ini juga semakin kronis. Orang hanya mengejar ijazah, seringkali tanpa kemampuan yang nyata. Orang sekedar mengejar belajar di universitas atau sekolah beken, walaupun tempat itu korup, tak mutu, dan hanya tinggal nama besar saja.

Politik Jeroan

Sudah saatnya, kita mulai berpikir tentang “jeroan” di dalam hidup bersama kita. Saya menyebutnya sebagai politik jeroan. Seperti sudah kita tahu, jeroan adalah isi perut dari binatang yang sudah dijagal. Isi perut itu amat penting, supaya sistem-sistem biologis binatang tersebut bisa berfungsi normal. Tanpa isi perut itu, binatang tidak bisa melakukan apa-apa.

Politik Jeroan mengajak kita berpikir tentang apa yang ada di dalam, dan tidak sekedar memperhatikan pencitraan, atau sekedar apa yang tampak. Jeroan di dalam politik adalah kepemimpinan yang berpijak pada pengembangan martabat semua manusia dari semua latar belakang. Ketika jeroan ini rusak, maka pencitraan pun hanyalah sekedar penipuan.

Di dalam pendidikan, politik jeroan juga perlu untuk diciptakan. Dalam konteks ini, jeroan, atau isi perut, dari pendidikan adalah keutamaan dan ketrampilan diri manusia. Keutamaan berurusan dengan karakter dan jati diri. Sementara, ketrampilan terkait dengan sumbangan teknis manusia itu kepada masyarakatnya. Ketika politik jeroan di dalam pendidikan ini terlupakan, yang tercipta kemudian adalah orang-orang bergelar dan berijazah, namun korup, licik, penipu, opurtunis, dan tak bisa memberikan sumbangan yang baik untuk masyarakatnya.

Saya yakin, politik jeroan akan menghasilkan paradoks yang baik. Ketika orang berfokus pada apa yang ada di dalam, yakni jeroannya, atau politik jeroan, maka apa yang tampak pun akan koheren dengan apa yang ada di dalam. Artinya, fokuslah pada “jeroan-jeroan” di dalam hidupmu, maka pencitraan dan penampilan yang baik pun akan tercipta dengan sendirinya. Inilah paradoks politik jeroan.

Para penganut politik jeroan mungkin tidak wangi, tidak necis, tidak parlente. Akan tetapi, orang-orang sekitarnya tahu, bahwa ia orang yang trampil dan berkarakter kuat, lepas dari penampilannya yang sederhana. Orang-orang semacam inilah yang menghasilkan “komponen-komponen” utama yang membuat suatu masyarakat menjadi besar. Saya harap, suatu saat nanti, kita bisa menjadi bangsa yang “membuat orang-orang yang mampu mendorong orang-orang lainnya untuk menjadi orang-orang besar.” Inilah politik jeroan.***

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

19 tanggapan untuk “Politik Jeroan”

  1. menjadi orang yang berkarakter memang tidak gampang.patut disyukuri masih ada orang yang masih punya hati dan pikiran untuk memperhatikan dan mensoalisasi hal sperti ini

    Suka

  2. Hehehehehe…..politik jeroan……pas sekali ketika aku publish politik gaji, yang pada dasarnay mengangkat tentang bagaimana pencitraan, atau jeroan, tergantung yang memilih, mempengaruhi nilai ekonomis peran seseorang dalam bisnis.

    Memang yang suka politik kulit alias pencitraan pasti akan selalu ada, dan sebenarnya akan selalu menjadi mayoritas. Itu pendapatku. Namun yang kamu garis bawahi disini adalah bahwa di sektor atau aspek yang penting/strategis/mendasar pun, banyak yang sudah lupa jeroan itu 🙂

    Tapi ini menarik karena ironisnya adalah bahwa kulit kan selalu lebih dianggap indah daripada jeroan 😉

    Suka

  3. hehehe… kulit itu indah, jika itu mencerminkan jeroannya. Jika kulit itu semu, alias berseberangan dengan jeroannya, itulah penipuan paling tua sepanjang sejarah manusia.. hehehe

    Suka

  4. maf sebelumnya. apakah saya harus menyapa pastor/pater atau mas aja nihhhhh. aku ingin membeli buku-buku yang pernah di tulis oleh pastor, tapi aku masih akan kesulitan untuk mendapatkannya. selama ii aku cari-cari di gramedia tapi…..

    Suka

  5. kenapa ketika kita berusaha berpikir lebih dalam, justru kita menentang norma, aturan dan nilai2 yang sudah ada di dalam masyarakat?

    Suka

  6. Karena aturan dan norma masyarakat, terutama di indonesia, belum banyak berkembang dari masa orde baru dan penjajahan dulu, sementara pribadi-pribadinya sudah banyak yang jauh berkembang.. jadi, ada kontradiksi yang menyakitkan. Ini memang salah satu masalah terbesar di Indonesia…

    Suka

  7. Aku menyebutnya gengsi (ikuti apa kata mayoritas) , hal yang tak perlu dibicarakan lebih dalam apakah ia berisi dan punya argumen/ide, karena akan dianggap aneh. Cukup lihat apa gelarnya dan dari universitas mana ia lulus? dan sering sekali pula mengikut arus ketika sudah terlibat dalam diskusi dengan tetangga – tetangga. Misalnya menyebut si tokoh “A” di pintar, kuliah dari universitas ternama maka layak untuk mendapat pengakuan di mata masyarakat. Tanpa mendiskusikan apakah ia punya kompeten untuk melaksanakan atau bahkan mengerti tujuannya (misalnya kepala desa, dprd/dpr, bupati, dll).
    Tapi sulit memang bagi masyarakat luas untuk sedikit saja mendiskusikan hal itu, sebab tembok yang dibangun sistem sangat kokoh untuk mempertahankan hal ini. Dan akan terus dipertahankan bagi mereka ingin yang meraup untung segudang.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.