“Tuhan dan Uang?”

wordpress.com

Etos Protestantisme dan Lahirnya Kapitalisme Modern

serta Relevansinya untuk Indonesia Abad ke-21

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

In this paper, I want to understand the internal relation between the urge to expand economic capital in contemporary era and the faith in God as it grow in contemporary religion. To achieve this, I will read and interpret the analysis of Max Weber concerning the Protestant ethic and the phenomenon of modern capitalism, give critical remarks to it, and try to understand its relevance for contemporary Indonesian society. As a conclusion, I will argue that to create an economic prosperity, we not only need government policies and incentives, but also an enlightened way of living and understanding our own religion. I will explain further this argument, and how it can be operational in our society.

Kata Kunci: Kapitalisme Modern, Protestantisme, Agama, Asketisme.

            Siang hari di salah satu ruangan di mall di bilangan Jakarta Barat, cuaca panas. Hari itu hari Minggu. Orang berkumpul untuk mendengarkan khotbah dari pendeta ternama. Sesosok pria tampil di depan panggung. Dialah sang pendeta yang telah dinanti. Ia berkata, “Ambil amplop dari laci anda. Angkatlah ke atas. Dan isilah dengan benda yang paling berharga maupun uang yang anda miliki! Tuhan menginginkannya!” Spontan orang-orang itu mengambil dompet dan merogoh kantong mereka, lalu memasukan isinya ke dalam amplop. Mereka melihat tindak memberi uang sebagai salah satu bentuk ekspresi iman yang sejati. Pertanyaan kritisnya adalah apakah Tuhan yang menginginkan uang, atau pendetanya?

            Seorang pemilik pabrik dan perusahaan besar terkenal pelit. Demi mencapai keuntungan jangka pendek, ia mengorbankan kepentingan karyawannya. Fasilitas kerja dibuat seminimal mungkin, sehingga keuntungan sesaat bisa diperoleh. Padahal tanpa pengiritan semacam itu, keuntungannya sudah besar. Ia tetap bisa hidup mewah. Uang adalah tuhan di dalam hidupnya. Demi memperolehnya ia bersedia melakukan apapun, termasuk membuat pegawainya yang paling setia pun hidup dalam kemiskinan. Apa yang terjadi?

            Untuk gejala yang pertama, saya menyebutnya sebagai kecenderungan masyarakat kita untuk “menguangkan Tuhan”. Untuk gejala yang kedua, saya menyebutnya sebagai kecenderungan masyarakat untuk “menuhankan uang”. Inilah gejala masyarakat Indonesia abad ke-21 sekarang ini. Agama dan iman kepada Tuhan diperjualbelikan layaknya dagangan di pasar. Sementara uang dituhankan sebagai entitas tertinggi, bahkan lebih tinggi dari Tuhan yang sesungguhnya. Apa sebenarnya hubungan antara Tuhan dan uang ini? Bagaimana menjelaskan hubungan internal antara nafsu mencari uang di satu sisi, dan keyakinan iman seseorang akan Tuhan dalam agamanya di sisi lain?

            Di dalam tulisan ini, saya akan mengajak anda memikirkan ulang hubungan itu. Sebagai dasar teoritis saya mengacu pada penelitian Max Weber tentang kaitan internal antara etos Protestantisme dan kapitalisme modern, serta menarik relevansinya untuk memahami situasi Indonesia di abad ke 21. Untuk tujuan itu saya akan membagi tulisan ini ke dalam empat bagian. Awalnya saya akan memperkenalkan sosok Max Weber, filsuf dan sosiolog ternama Jerman di abad ke 18. Untuk bagian ini saya banyak terbantu dari Stanford Encyclopedia of Philosophy. (1) Berikutnya saya akan menjabarkan latar belakang pemikiran Weber tentang hubungan antara Protestantisme dan kapitalisme. Untuk ini saya mengacu pada tulisan Anthony Giddens. (2) Lalu saya akan membahas hubungan antara kapitalisme dan etos Protestantisme di dalam tulisan Weber yang berjudul The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism. Pada bagian ini saya banyak terbantu oleh tulisan Kieran Allen tentang Max Weber, dan tulisan Anthony Giddens. (3) Tulisan ini akan ditutup dengan beberapa catatan kritis saya terhadap pemikiran Weber, sekaligus relevansi pemikiran Weber untuk situasi Indonesia di abad 21. (4)

1. Max Weber

            Nama lengkapnya adalah Karl Emil Maximilian Weber. Ia lahir pada 1864, dan meninggal pada 1920.[1] Ia lahir di Erfurt, Thuringia, Jerman, dan bertumbuh di keluarga pedagang dan industrialis di bidang tekstil. Tidak hanya itu keluarganya juga memiliki pengaruh besar di bidang politik maupun akademik pada masa itu. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa Weber lahir dan bertumbuh di keluarga yang amat makmur, dan memiliki pengaruh politik maupun budaya (akademik) yang amat besar di Jerman. Ia pun harus memilih, apakah akan menjadi seorang politikus yang gemerlap dengan kekuasaan, ataukah menjadi seorang ilmuwan yang hidup dalam kesunyian, guna mengembangkan pengetahuan?

            Weber melanjutkan studi di kota Heidelberg dan Berlin. Ia menekuni bidang hukum, dan mengembangkan penelitian di bidang Hukum Romawi serta sejarah agraria.[2] Setelah itu ia bekerja sebagai praktisi hukum dan pengawai negeri, walaupun hanya sebentar. Pada saat yang sama, ia memperoleh tugas untuk melakukan penelitian soal penindasan para pemilik modal Polandia terhadap petani Jerman. Hasil penelitiannya menimbulkan gejolak politik, sekaligus pujian dari berbagai kalangan. Ia pun diangkat sebagai salah satu profesor di Universitas Freiburg. Tak lama setelah itu, ia mendapatkan kedudukan tetap sebagai profesor di bidang ekonomi politik di Universitas Heidelberg.

            Istri dari Weber bernama Marianne. Ia sendiri adalah seorang intelelektual aktivis, terutama soal pembelaan hak-hak kaum perempuan.[3] Bersama Weber ia mendirikan “Lingkaran Weber” yang menarik banyak kaum intelektual pada masa itu untuk bergabung. Diantaranya adalah Georg Jellinek, Ernst Troeltsch, Werner Sombart, Marc Bloch, Robert Michels, dan György Lukács. Pengaruh publik maupun politis Weber semakin besar. Ia semakin dikenal sebagai seorang analis politik ekonomi yang brilian, sekaligus seorang intelektual publik. Semua gelar terhormat ini dibarengi dengan reputasinya sebagai seorang intelektual yang tempramen dan tak dapat ditebak.

            Pada suatu hari di 1896, Weber bertengkar keras dengan ayahnya. Tak lama kemudian ayahnya meninggal. Kematiannya begitu mendadak. Ini amat mempengaruhi Weber. Ia pun jatuh sakit. Semua kegiatannya sebagai dosen dan peneliti terhenti. Bahkan ia tidak lagi mengajar pada 1903, dan baru kembali pulih pada 1919. Krisis besar dalam hidupnya ini mengubah arah maupun minat penelitiannya.[4] Ia pun berpaling untuk mempelajari filsafat dan agama. Salah satu karya terbesarnya setelah ini adalah The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism yang akan saya bahas secara detil di dalam tulisan ini.  Pada masa yang kurang lebih sama, ia menjadi kepala penyunting Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, dan berhasil membawanya menjadi jurnal ilmiah yang memiliki pengaruh akademik luas.

            Pengaruh politik Weber pun meningkat, terutama setelah Jerman kalah pada perang dunia pertama. Ia diminta pendapat untuk berbagai keputusan politik, dan bahkan diminta untuk menduduki beberapa jabatan publik. Namun ia tak bahagia. Ia pun kembali ke dunia akademik, dan melakukan penelitian besar di tiga bidang, yakni sejarah ekonomi, ilmu politik, metodologi penelitian sosial, dan sosiologi agama. Tema terakhir ini membawa nama Weber sebagai salah seorang pemikir besar di dalam sejarah filsafat maupun sosiologi. Semua ini berakhir pada 1920, ketika Weber meninggal di usianya yang kelima puluh enam tahun, karena pneumonia.[5]

2. Epistemologi dan Metodologi Pemikiran Weber

            Max Weber hidup di Jerman pada akhir abad ke-19. Pada waktu itu sebagaimana diamati oleh Anthony Giddens,[6] situasi ilmu pengetahuan amat berbeda dengan sekarang. Kajian-kajian yang dilakukan di bidang politik, ekonomi, sosiologi, maupun filsafat memiliki ciri yang amat khas, jauh berbeda dari situasi ilmu pengetahuan di Jerman abad ke-21. Pada masa itu di Inggris, paradigma yang banyak berkembang adalah utilitarisme yang dirumuskan oleh J.S Mill.[7] Marxisme dan idealisme dari baru berkembang di Inggris di awal abad ke 20. Seperti ditegaskan oleh Giddens, utilitarisme yang dirumuskan Mill memiliki roh positivisme yang amat kuat. Bahkan Giddens menulis begini, “Mill adalah seorang murid terbaik dari positivisme Comtian di Inggris.”[8]

            Sementara bagi Giddens positivisme, sebagaimana dipahami oleh Comte sebagai paham yang berpendapat, bahwa pengetahuan manusia harus selalu berpijak pada fakta positif yang dapat diindera, tidak pernah mendapatkan tempat yang cukup kuat di Jerman.[9] Pengaruh Wilhelm Dilthey dengan Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu manusia, ilmu-ilmu moral yang bersifat humanistik)-nya jauh lebih besar di Jerman.[10] Dilthey melihat pembedaan tegas antara ilmu-ilmu alam yang menggunakan pendekatan menghitung untuk kontrol, dan ilmu-ilmu moral ataupun sosial yang menggunakan pendekatan untuk memahami realitas sosial.[11] Giddens berpendapat bahwa ilmu-ilmu manusia (moral dan sosial) di Jerman berakar pada tradisi hermeneutika yang memang amat dekat dengan tradisi idealisme Jerman. Diantaranya adalah pemikiran Kant, Hegel, Fichte, Schelling, dan bahkan Marx.[12]

            Apa ciri dari tradisi hermeneutika ini? Bagi Giddens ada satu ciri yang amat mendasar, yakni pembedaan tegas antara ilmu pengetahuan alam yang mempelajari alam natural, dan ilmu-ilmu sosial maupun moral yang ingin memahami manusia. “Sementara kita bisa menjelaskan peristiwa-peristiwa alam dengan hukum sebab akibat,” demikian tulisnya, “perilaku manusia secara intrinsik bermakna, dan harus ditafsirkan atau dipahami dengan cara yang berbeda dari peristiwa-peristiwa alam.”[13] Setiap perilaku manusia selalu didasarkan pada konteks sejarah. Tidak hanya itu pengaruh kultural pun selalu tertanam di dalam lintasan sejarah tersebut. Maka ada dua panggung yang perlu diperhatikan, ketika kita ingin memahami perilaku manusia; yakni panggung konteks sejarah dan konteks kultural yang menjadi latar belakangnya. Makna dari tindakan ataupun perilaku manusia lahir dari dua konteks tersebut.[14]

            Weber setuju dengan hal ini. Baginya sejarah adalah sesuatu yang amat penitng di dalam ilmu-ilmu sosial. Sejarah menjadi panggung yang membuat semua perilaku manusia bermakna. Ia juga setuju bahwa fokus dari ilmu-ilmu manusia (moral dan sosial) bukanlah menghitung dan mengontrol manusia, melainkan mendekati untuk memahami realitas dirinya. Di dalam proses ini, searah dengan Dilthey, Weber yakin, bahwa peran intuisi dan empati amatlah penting. Inilah yang dimaksud dengan metode hermeneutik-interpretatif di dalam ilmu-ilmu sosial untuk memahami manusia.  Perilaku manusia tidak bisa dipahami dengan menggunakan model pendekatan sebab akibat yang umum digunakan di dalam ilmu-ilmu alam. Seluruh epistemologi (dasar pengetahuan) dan metodologi (cara mendekati realitas untuk memperoleh pengetahuan) Weber, menurut Giddens, dapat dilihat dalam satu kalimat berikut; sebuah usaha untuk menyediakan konteks sejarah bagi setiap penelitian tentang manusia, yang digabungkan dengan kepekaan pada konteks kultural yang beragam, dan dengan penekanan pada faktor-faktor material yang ada di masyarakat.[15]

            Dengan latar belakang seperti itulah Weber kemudian mendalami Marxisme dan filsafat pada jamannya. Bahkan seperti dikatakan oleh Giddens, Weber terlibat dengan kelompok pemikiran Marxis progresif pada jamannya, yang berusaha menerapkan ide-ide Marx dalam konteks politik yang lebih praktis.[16] Fokus kajiannya lebih pada fenomena kapitalisme, terutama kapitalisme Eropa pada masa itu, dan logika yang bergerak di belakangnya.[17] Dalam konteks inilah sebagaimana dilihat Giddens, Weber melakukan kritik pada Marx; bahwa fenomena kapitalisme bukanlah fenomena universal umat manusia, melainkan fenomena yang sudah selalu tertanam pada satu konteks kultural tertentu.[18] Dengan titik tolak semacam ini, ia memasuki analisis tentang etos, semangat, dan bahkan roh yang mendorong lahirnya kapitalisme Barat di Eropa.

3. Etos Protestantisme dan Semangat Kapitalisme

            Menurut Allen buku Weber yang menjadi kajian utama tulisan ini, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, adalah karya terbaiknya.[19] Pertanyaan mendasar yang ingin dijawab di dalam buku ini adalah, mengapa kapitalisme lahir di Eropa, dan bukan di Asia, atau belahan dunia lainnya? Jawaban Weber cukup jelas, karena adanya agama yang khas Eropa, tepatnya agama Kristen Protestan. Seperti ditegaskan oleh Allen, dengan bukunya tersebut, Max Weber mengubah fokus analisis teori-teori sosial dari pendekatan evolusionis (melihat tingkat perkembangan masyarakat yang bersifat universal dengan Eropa sebagai acuannya) menuju pendekatan perbandingan (comparative approach).[20]

            Sebelum Weber ada seorang filsuf bernama Auguste Comte yang mengajukan argumen berikut; bahwa setiap masyarakat memiliki pola perkembangan yang universal, mulai dari tahap teologis (dengan ajaran agama sebagai prinsip utama), lalu tahap metafisika (dengan filsafat dan ajaran tentang hak-hak asasi manusia sebagai prinsip utama), dan mencapai puncak pada tahap positif (dengan para ilmuwan sosial yang memahami gerak masyarakat sebagai penentu utama).[21] Weber tidak setuju dengan ini. Baginya tidak ada hukum universal yang menjadi pola gerak masyarakat dunia. Yang ada hanyalah pola-pola unik yang hanya dapat ditemukan di dalam konteks masyarakat tertentu. Dan inilah yang hendak dipahami olehnya.

            Bagi Weber –sebagaimana dibaca oleh Allen- yang sungguh perlu diperhatikan adalah faktor-faktor kultural yang mendorong gerak suatu masyarakat. Kemajuan suatu masyarakat amat ditentukan oleh sistem nilai yang berlaku di masyarakat tersebut. Di dalam sistem nilai terkandung nilai-nilai budaya sekaligus agama yang dominan di dalamnya. Suatu negara bisa terbelakang, baik secara politik, ekonomi, maupun pendidikan, karena sistem nilai kulturalnya tidak memungkinkan adanya kemajuan. Sebaliknya menurut Weber –sebagaimana dibaca oleh Allen- negara-negara industri yang telah maju bisa mencapai level seperti itu, karena sistem kultural yang ada di dalamnya memungkinkan terciptanya banyak penemu dan pengusaha mandiri.

            Buku Protestan Ethic.. terbit pada 1904. Namun pada masa itu, sebagaimana dicatat oleh Allen, sudah ada perdebatan tentang asal mula sistem kapitalisme di Eropa. Ini semua terjadi di Jerman, karena dalam konteks untuk berubah menjadi masyarakat kapitalis, Jerman jauh tertinggal dari Inggris dan Perancis.[22] Untuk mengejar ketertinggalan maka dibuatlah wacana publik tentang kapitalisme, serta sistem nilai ataupun semangat apa yang ada di belakangnya. Seorang pemikir pada masa itu, Werner Sombart, mengajukan tesis menarik. Baginya kapitalisme bisa tercipta, karena besarnya populasi Yahudi di Eropa pada masa itu.[23] Weber mempertimbangkan pendapat itu, dan memilih untuk melihat ke arah lain.

            Berdasarkan pengalaman pribadinya Weber mengambil kesimpulan, bahwa yang melahirkan kapitalisme bukanlah populasi Yahudi, melainkan etos spiritualitas Protestantisme. Memang sedari kecil ia dididik dalam etos Protestan yang ketat. Bahkan menurut catatan Allen, Weber sempat mendukung kebijakan Otto Von Bismarck yang bersifat anti Katolik, dan ingin mengubah Jerman menjadi negara Protestan. Menurut catatan istrinya, Marianne Weber, ia pernah berkunjung ke komunitas Protestan di Amerika Serikat, dan merasa amat terkesan dengan sikap mereka yang amat egaliter dan manusiawi. Dari pengalaman inilah nantinya Weber menulis buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.[24]

            Salah satu pertanyaan mendasar yang ada di dalam buku itu adalah, mengapa hanya masyarakat Barat yang menjadi begitu dominan di dunia pada era lahirnya kapitalisme? Menurut Allen –sebagaimana ia memahami Weber- jawabannya jelas, bahwa peradaban lainnya tidak memiliki ilmu pengetahuan, tidak memiliki teologi yang rasional dan sistematik, tidak memiliki astronomi yang cukup didasarkan para perhitungan matematis yang akurat, bahkan peradaban lain tidak memiliki musik yang serumit dan seharmonis peradaban Eropa. Inilah yang kiranya menjadi pandangan Weber pada waktu itu. Apakah ia jatuh pada eropasentrisme, yakni paham yang berpendapat, bahwa peradaban Eropa adalah pusat dunia, dan memiliki status lebih tinggi daripada peradaban-peradaban lainnya? Ia tidak bermaksud begitu, sebagaimana dinyatakan oleh Allen. Yang menjadi penekanan Weber adalah, bahwa kebudayaan Eropa adalah sesuatu yang unik, tidak dapat disamakan dengan kebudayaan lainnya, sehingga akhirnya bisa melahirkan kapitalisme modern.[25]

            Berkaitan dengan kapitalisme ada pandangan klasik yang mengatakan, bahwa kapitalisme merupakan perwujudan konkret dari dorongan manusia untuk memiliki barang, uang, dalam jumlah yang tanpa batas. Namun bagi Weber semua ini tidak ada kaitannya dengan kapitalisme modern, karena semua karakter di atas sudah ada sepanjang sejarah manusia, jauh sebelum kapitalisme modern lahir. Berkaitan dengan ini ia menegaskan, bahwa kapitalisme harus dilihat pada dirinya sendiri sebagai sesuatu yang unik, yakni sebagai kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan secara berkelanjutan dan rasional. Dengan kata lain kapitalisme “adalah suatu kondisi di mana harapan akan keuntungan melalui penggunaan kesempatan perdagangan, yakni melalui kemungkinan untuk mendapatkan untung secara damai.”[26]

            Seluruh kinerja kapitalisme modern, menurut Weber, terletak pada empat fondasi. Fondasi pertama adalah kaum pekerja yang bebas, bagaikan barang yang dijual bebas di pasar tenaga kerja. Fondasi kedua adalah adanya tata hukum yang stabil, yang memastikan proses penumpukan modal secara damai tetap dapat berjalan. Fondasi ketiga adalah tata adminstrasi yang terdiri dari orang-orang yang terlatih dan profesional. Dan fondasi keempat adalah teknologi, bukan hanya teknologi mesin, tetapi juga kemampuan untuk mencatat pemasukan serta pengeluaran, dan beragam kemampuan lainnya yang mendukung kerja di alam kapitalisme. Semua ini menurut Allen, sebagaimana ia menafsirkan Weber, adalah tanda terjadinya pergeseran nilai di masyarakat, dari masyarakat spiritual-metafisik menuju ke masyarakat rasional-ekonomis. Pengejaran keuntungan adalah sesuatu yang rasional, maka perlu dan baik untuk dilakukan, begitulah kiranya diktum kapitalisme modern. [27] Namun apa kaitan semua ini dengan etos Protestantisme?

            Seperti sudah ditegaskan sebelumnya, Weber melihat hubungan yang amat erat antara agama Kristen Protestan dan lahirnya kapitalisme modern. Misalnya –sebagaimana dinyatakan oleh Allen- mayoritas pemilik dan pemimpin bisnis di Jerman memeluk Kristen Protestan. Daerah dengan perkembangan ekonomi terbesar mayoritas dihuni oleh orang-orang Kristen Protestan. Dalam soal pendidikan pun sama. Sebagaimana dicatat oleh Allen, orang-orang Protestan lebih memilih untuk mempelajari bidang-bidang teknik dan ilmu pengetahuan murni. Sementara orang-orang Katolik lebih banyak belajar ilmu-ilmu humaniora.[28]

            Dari data tersebut kita bisa melihat, ada keterkaitan antara etos Protestantisme dan semangat kapitalisme. Keterkaitan itu bisa kita lihat di dalam ucapan Benjamin Franklin berikut ini, “Waktu adalah uang. Orang harus membayar hutang pada waktunya. Orang juga tidak boleh terlalu banyak berhutang. Setiap orang memiliki tugas pribadi untuk meningkatkan modal yang ia punya, dan ini harus dilihat sebagai tujuan pada dirinya sendiri.”[29] Pada hemat Weber kutipan ini menggambarkan dengan jelas etos hidup orang-orang Protestan yang amat sesuai untuk mengembangkan atmosfer kapitalisme modern.

Menurut Allen sebagaimana ia menafsirkan Weber, esensi dari semangat kapitalisme adalah dorongan untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin yang digabungkan dengan penolakan terhadap kenikmatan-kenikmatan hidup sesaat. Pemahaman semacam ini mendorong terciptanya kelas sosial yang produktif di dalam berbisnis. Merekalah yang nanitnya menjadi kelas pekerja modern yang bisa hidup makmur. Kapitalisme hanya dapat lahir dan bertahan, jika produktivitas terus meningkat. Sementara produktivitas bisa meningkat, jika orang bekerja dengan sumber daya minimal untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam arti ini kerja haruslah dipahami sebagai tujuan pada dirinya sendiri; sesuatu yang pada dirinya sendiri berharga dan luhur. [30]

Sebagaimana dicatat oleh Allen, motif pencarian uang dan pengembangan modal tanpa batas itu adalah sesuatu yang cukup baru di dalam agama Kristen. Salah satu filsuf Katolik terbesar abad pertengahan, Thomas Aquinas, pernah berpendapat, bahwa penumpukan uang adalah suatu dosa yang amat kotor. Bahkan di abad pertengahan, seringkali uang disamakan dengan feses (kotoran manusia). Namun anggapan semacam itu hilang di masa modern. Dugaan Allen adalah karena hubungan yang berkelanjutan dengan para pedagang dari tanah asing, yang memang berniat untuk melipatgandakan keuntungan. Semua itu berpuncak sampai terjadinya perubahan kultur secara besar-besaran di Eropa, yakni terjadinya reformasi. Nilai-nilai lama dilawan dan diubah, termasuk rasa jijik terhadap uang yang diubah total menjadi kecintaan untuk mengumpulkan uang tanpa batas. “Dampak psikologis dari reformasi,” demikian Allen, ketika menafsirkan Weber, “memungkinkan orang-orang Protestan untuk mengadopsi mental kewirausahaan, memiliki semangat rasional untuk bekerja, dan melihatnya sebagai kewajiban.”[31]

Seperti sudah dinyatakan oleh Allen, lahirnya kapitalisme modern tidak dapat dilepas dari reformasi Gereja Kristen yang terjadi di Eropa. Gereja Katolik Roma sebelumnya memberi pembedaan tegas antara moralitas yang mesti dipatuhi oleh orang-orang awam, dan moralitas yang mesti dijalankan oleh orang-orang religius (biarawan, rahib, pastur).[32] Kaum religius diminta untuk mematuhi sumpah kepatuhan, kemiskinan, dan kemurnian. Untuk menjalankan semua ini, mereka menarik diri dari dunia, dan menjalani hidup pertapaan. Luther –yang memulai reformasi Protestan- tidak setuju dengan ini. Baginya tindak semacam itu adalah tindakan pengecut yang melarikan diri dari masalah dunia. Kesucian yang sejati –bagi Luther- adalah menjalankan tugas-tugas kehidupan rutin sehari-hari untuk memuliakan Tuhan. Cara pandang ini memberi kehormatan dan semangat bagi para pekerja untuk bekerja lebih giat, sehingga mereka bisa memuliakan Tuhan, tanpa perlu merasa bersalah, karena dituduh menumpuk uang.[33]

Posisi Luther tersebut dibuat lebih radikal oleh Kalvin, pendiri Kalvinisme yang juga menolak ajaran tradisional Gereja Katolik Roma pada 1534. Ia pertama-tama mengajukan pertanyaan tajam, jika Tuhan memang amat berkuasa, maka masihkan manusia bisa bebas di hadapan-Nya? Jelas jawabannya adalah tidak. Ia pun mengajukan sebuah pandangan yang disebut sebagai predestinasi. Artinya setiap orang sudah ditentukan jalan hidupnya oleh Tuhan, dan juga apakah ia akan masuk ke neraka, atau surga, semuanya telah ditentukan oleh Tuhan. Maka ada orang-orang yang memang terpilih, dan orang-orang yang tidak.

Karena ajaran ini banyak orang merasa cemas dan kesepian dalam hidupnya, khawatir kalau mereka tidak terpilih. Dari sini lahirnya perlombaan untuk menjadi orang-orang yang terpilih, yang akan hidup bahagia dan masuk surga. Salah satu bentuk perlombaannya adalah dengan bekerja dan sibuk dalam urusan-urusan dunia. Dengan hidup sukses orang bisa membuktikan, bahwa ia adalah orang yang terpilih oleh Tuhan. “Kalvinisme”, demikian tulis Allen, ketika menafsirkan pemikiran Weber, “dengan demikian membawa orang untuk menjadi amat individualistik di dalam mencapai prestasi untuk melawan kegelisahan yang sifatnya religius.”[34] Orang menjadi penyendiri di dalam meniti sukses karirnya di dunia, supaya ia layak menjadi orang yang terpilih oleh Tuhan untuk memasuki surga. Pola berpikir religius semacam ini mempengaruhi etos kerja dan gaya hidup seseorang, yang nantinya mendorong lahirnya kapitalisme modern.

Saya ingin kembali ke pemikiran Weber. Seperti sudah kita lihat sebelumnya, orang-orang Protestan pengikut Luther dan orang-orang Kalvinis amat menekankan pentingnya asketisme duniawi (mati raga duniawi). Di dalam ajaran Protestan klasik, setiap orang diajak untuk mengatur dirinya secara ketat. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk berkonsultasi dengan pendeta untuk melepaskan kecemasan hidup mereka, seperti yang masih terjadi di Gereja Katolik Roma sampai sekarang. Satu-satunya tempat mereka menemukan kedamaian adalah di dalam bekerja dengan rajin di dalam hidup. Maka dari itu sikap malas dan membuang-buang waktu adalah suatu dosa yang amat besar. Semua upaya harus diarahkan untuk mencapai keberhasilan duniawi.

Dalam arti ini menurut Allen, dapatlah dikatakan, bahwa asketisme yang ditunjukkan para rahib Katolik di biara-biara berubah menjadi asketisme duniawi di dalam berbisnis di pasar. Kesucian bukanlah melulu soal surga dan neraka, tetapi juga keberhasilan di dalam dunia ini. Jika uang anda banyak, maka anda juga memuliakan Tuhan di dunia ini melalui kerja dan usaha yang anda lakukan. Orang tidak boleh hidup dengan berfoya-foya menikmati barang-barang duniawi. Namun tetap saja seperti dikatakan Allen di dalam tafsirannya atas tulisan Weber, banyaknya harta menunjukkan banyaknya berkat yang diberikan Tuhan kepada orang tersebut. Orang boleh memiliki banyak harta, tetapi tidak boleh menikmatinya tanpa kontrol.

Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa kapitalisme adalah akibat tidak langsung dari Reformasi Protestan. Sebaliknya juga dapat dikatakan, bahwa tidak ada orang yang memeluk Protestantisme untuk menjadi seorang kapitalis. Namun seperti ditekankan oleh Allen, di dalam tafsirannya terhadap pemikiran Weber, dampak tidak langsung dari etos Protestantisme adalah suatu sikap hidup yang amat sesuai untuk berkembangnya kapitalisme modern.[35] Dalam tulisannya ia menyatakan begini, “Protestantisme membawa orang pada pengumpulan modal melalui dorongan asketik untuk menyimpan uang.”[36] Asketisme (sikap mati raga) yang diajarkan oleh Protestantisme justru menciptakan pribadi yang amat rajin, teliti, hemat, dan sadar di dalam bekerja, sekaligus taat beragama pada waktu yang sama. Bahkan sikap kontrol diri yang amat ketat di dalam Protestantisme juga melahirkan tata kelola organisasi yang amat rasional, efisien, baik dalam konteks pengelolaan modal, maupun pengaturan tenaga kerja.

Etos kerja yang melahirkan kapitalisme adalah sikap hemat, pantang menyerah, teliti, dan rajin. Semua ini lahir menurut Weber dari etos Protestantisme yang meminta orang untuk bermati raga di dalam hidup ini, tidak di dalam biara, tetapi di dalam aktivitas duniawi sehari-hari, seperti bekerja, berdagang, belajar, dan sebagainya. Naluri di belakang lahirnya kapitalisme modern adalah sesuatu yang sebenarnya amat suci, yakni hidup dengan moralitas asketik demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar. Kapitalisme adalah suatu paham yang berpijak pada dasar-dasar moral Protestantisme. Bahkan para kapitalis awal menganggap, bahwa keanggotaan orang pada Gereja Protestan mencerminkan tingkat moralitasnya yang sudah tinggi. Maka orang tidak perlu ragu untuk berbisnis dengannya, memberikannya pekerjaan, atau meminjamkannya uang.[37]

Namun penting untuk dicatat, bahwa bagi Weber, kapitalisme modern tidak secara langsung terhubung dengan Protestantisme, walaupun awalnya, kapitalisme modern berhutang pada etos Protestantisme. Ketika kapitalisme sudah lahir, maka ia membentuk logika berpikirnya sendiri, yakni penumpukan modal tanpa batas, lepas dari etos Protestantisme yang “melahirkannya”. Sebaliknya bagi Weber –sebagaimana dibaca oleh Allen- agama-agama di Asia, terutama di India dan China yang menjadi fokus penelitian Weber, tidak mendukung perkembangan ekonomi. Itulah sebabnya mengapa kapitalisme lahir di Eropa, dan bukan di Asia.

Buku The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, menurut Allen, memiliki dua tujuan. Yang pertama adalah untuk menjelaskan lahirnya kelas borjuasi yang memiliki nilai-nilai moral tertentu yang khas. Yang kedua buku ini ingin memberikan penjelasan alternatif terhadap gerak sejarah manusia yang berbeda dari ajaran Marx tentang materialisme historis (sejarah manusia bergerak, karena ditentukan oleh aspek-aspek material masyarakat).[38] Bagi Weber argumen Marx yang menyatakan, bahwa sejarah manusia ditentukan oleh aspek ekonomi amatlah naif. Sebaliknya gerak sejarah manusia ditentukan oleh nilai-nilai yang sifatnya lebih spiritual, seperti etos kerja maupun gaya hidup yang amat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya maupun religius yang ada. Bahkan perilaku ekonomi suatu masyarakat tidak pernah dapat dilepaskan dari nilai-nilai kultural maupun religius yang ada di masyarakat tersebut.

Weber adalah seorang pemikir yang amat terpengaruh oleh tradisi Idealisme Jerman. Di dalam tradisi ini, gerak sejarah dipengaruhi oleh roh jaman, dan bukan aspek materialnya semata. Kalvinisme dan Protestantisme adalah roh jaman yang melahirkan kapitalisme modern yang kemudian mandiri, dan memiliki logikanya sendiri. Roh jaman itu lahir sebagai pemberontakan terhadap Gereja Katolik yang pada masa itu ama terkait dengan feodalisme serta aristokrasi yang sudah berjalan berabad-abad di Eropa.

Pemberontakan itu kemudian disambut baik oleh para pangeran-pangeran Jerman yang membenci monarki, petani-petani, dan terutama para pedagang yang memiliki modal secara ekonomi, tetapi tak memperoleh penghormatan politis yang secukupnya. Reformasi Protestan, Kalvinisme, lahirnya kapitalisme modern dapat dilihat sebagai antitesis, sekaligus roh pemberontakan, dari tata feodal monarki Eropa Katolik pada masa itu.[39] Pada hemat saya Weber, dengan analisisnya, berhasil memperlihatkan benang tipis hubungan antara perilaku ekonomi masyarakat di satu sisi, dan kehidupan religius masyarakat itu di sisi lain.

Namun menurut Allen analisis Weber itu juga tidak sepenuhnya bebas kepentingan. Ada dugaan mendasar bahwa ia ingin memberikan pendasaran moral terhadap kapitalisme modern, bahwa kapitalisme modern memiliki akar religius yang luhur. Saya rasa dugaan ini cukup sah, asal tidak digunakan untuk sepenuhnya mendiskreditkan pemikiran Weber. Juga sebagaimana dicatat oleh Allen, Weber ingin mematahkan argumen Marx yang menyatakan, bahwa ekonomi adalah penggerak masyarakat dan sejarah manusia itu sendiri. Namun disini juga kelemahannya muncul; ia melupakan aspek-aspek material yang kiranya memungkinkan lahirnya kapitalisme modern.[40]

Weber juga melihat bahwa walaupun ada berbagai versi Protestantisme, namun ada beberapa nilai yang mendasarinya, dan kemudian mendorong lahirnya kapitalisme modern. Nilai teologis Protestantisme ini merasuk begitu dalam ke hati orang-orang Eropa pada masa itu (abad 17-18), dan menjadi dasar spiritual, moral, sekaligus rasional bagi kapitalisme modern. “Tuhan” (nilai-nilai Protestan) dan uang (kapitalisme modern) terkait erat, tanpa bisa terpisahkan.

Seperti sudah sedikit dijelaskan sebelumnya, kapitalisme sendiri bukanlah hal baru di dalam sejarah.[41] Isi dari paham kapitalisme adalah pengembangan modal pada dirinya sendiri, sehingga pemiliknya bisa semakin makmur. Dalam arti ini kapitalisme bisa dipahami sebagai “orientasi regular untuk pengembangan keuntungan melalui pertukaran ekonomis yang damai.”[42] Praktek semacam ini sudah ada selama berabad-abad, mulai dari peradaban Babilonia, Mesir kuno, China, India, dan bahkan Eropa pra-Kristiani. Sementara kapitalisme modern sendiri memiliki ciri khas, yakni penerapan pembagian kerja rasional yang terukur, rutin, dan terorganisir dengan detil di dalam sebuah perusahaan (kelompok) yang berkelanjutan.

Setiap perusahan di dalam kapitalisme modern menerapkan model-model manajerial semacam ini; tenaga kerja yang profesional dan disiplin, serta pengembangan modal melalui investasi yang berkelanjutan. Inilah  menurut Weber –sebagaimana dibaca oleh Giddens- yang tidak ada di dalam aktivitas ekonomi tradisional. Di dalam praktek ekonomi tradisional, keuntungan yang diperoleh dari usaha digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sementara di dalam praktek kapitalisme modern, keuntungan ditanamkan ke bidang-bidang lainnya yang bisa menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Yang terjadi adalah pengumpulan kekayaan demi kekayaan itu sendiri. “Manusia didominasi oleh nafsu untuk mencari uang, sebagai tujuan tertinggi dalam hidupnya.”[43] Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa tujuan hidup manusia bukan lagi kepuasan material melalui barang-barang, tetapi justru di dalam pengembangan modal tanpa batas yang ia punya; modal dikejar dan dikembangkan demi dirinya sendiri. Inilah yang menjadi esensi dari semangat kapitalisme modern.

Proses pengembangan modal demi dirinya sendiri tanpa batas membutuhkan disiplin diri tertentu. Disiplin hidup semacam ini nantinya berkembang menjadi gaya hidup baru yang tidak pernah ada sebelumnya di dalam sejarah. Gaya hidup baru itu disebutnya sebagai asketisme duniawi puritanistik. Inti dasarnya begini. Setiap orang di dunia ini memiliki kewajiban tertinggi yang harus dipenuhi, yakni mengerjakan sebaik-baiknya urusan-urusan sehari-harinya di dalam dunia. Bagi Weber ini tentu saja bertentangan dengan ajaran Katolik yang melihat tugas manusia untuk mencapai kesucian di dalam biara. Tujuan hidup manusia di dalam ajaran Katolik adalah melampaui diri duniawinya sendiri, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Oleh karena itu kapitalisme modern lahir di dalam etos Protestantisme, dan bukan di dalam etos Katolik.[44]

Seperti dijelaskan sebelumnya Weber juga menganalisis kaitan antara Kalvinisme dengan lahirnya semangat kapitalisme. Konsep utama yang menjadi bahan analisisnya adalah konsep predestinasi. Isinya adalah bahwa ada beberapa manusia yang telah dipilih Tuhan untuk diselamatkan. Ajaran ini nantinya ditafsirkan sebagai pernyataan, bahwa setiap orang perlu untuk membuat dirinya layaknya dipilih oleh Tuhan. Jika ia tidak berusaha, maka itu merupakan tanda, bahwa imannya lemah. Caranya berusaha adalah dengan menjadi orang yang berhasil di dalam kehidupan dunia sehari-hari. Maka sukses dalam pekerjaan dapat menjadi tanda, bahwa orang terpilih oleh Tuhan untuk diselamatkan. Orang boleh mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyak nya, sejauh ia tetap hidup sederhana, tidak bermewah-mewah, serta tidak mengumbar hasrat kenikmatannya.[45]

Inilah yang menjadi daya dorong dibalik kapitalisme modern. Pengaruhnya amat luas mulai dari kelompok menengah atas, sampai kelompok ekonomi rendah. Pengaruhnya juga memasuki berbagai profesi di masyarakat, seperti pegawai negeri, penjaga kasir, pekerja administratif, tukang bangunan, guru, dan beragam profesi lainnya. Dapatlah disimpulkan bahwa dasar dari kapitalisme modern adalah spiritualitas Protestantisme yang amat menekankan pengendalian diri, kesederhanaan, keberhasilan dalam kerja, serta keinginan untuk menjadi suci di dalam kehidupan sehari-hari. Spiritualitas semacam ini menyebar ke berbagai kelas sosial masyarakat di Eropa, dan menjadi bahan bakar yang amat efektif bagi lahir dan berkembangnya kapitalisme modern, bahkan sampai sekarang ini.

4. Tanggapan dan Relevansi

            Di dalam bukunya yang berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber, pada hemat saya, mengajukan dua tesis utama. Yang pertama adalah bahwa setiap kebudayaan yang ada di dunia memiliki pola perkembangannya masing-masing yang unik. Maka tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi daripada yang lainnya. Inilah yang disebut sebagai tesis inkomensurabilitas, yakni “tak terbandingkan”. Kapitalisme lahir di Eropa, karena Eropa memiliki kebudayaan yang unik, yang amat dipengaruhi oleh Protestantisme, dan tidak lahir di tempat lain.         

            Saya ingin langsung menanggapi tesis ini. Jika semua kebudayaan itu tidak bisa dibandingkan pola perkembangannya, maka yang tercipta kemudian adalah relativisme. Ada dua kelemahan mendasar relativisme yang sangat berbahaya, baik secara epistemologis maupun secara etis. Secara epistemologis relativisme tidaklah koheren, karena jika pernyataan segala sesuatu itu relatif benar, maka pernyataan itu sendiri menjadi relatif. Artinya pernyataan itu salah. Tidak mungkin orang bisa keluar dari kecenderungan untuk menarik kesimpulan umum dari suatu argumentasi, ataupun klaim pengetahuan.

            Secara etis relativisme juga berbahaya. Relativisme mengosongkan semua nilai dari kebenaran yang sejati, sehingga orang, ataupun suatu masyarakat, tidak memiliki orientasi untuk maju ke depan. Relativisme meninggalkan kita ke dalam nihilisme yang tanpa arah dan tanpa makna. Juga relativisme menutup kemungkinan intervensi atas nama moral, terutama ketika terjadi kejahatan besar di suatu tempat. Orang tak punya dasar moral untuk melakukan intervensi ke daerah lain yang sedang terjadi tragedi kemanusiaan ataupun konflik sosial yang berat. Tesis Weber tentang inkomensurabilitas memiliki dampak-dampak yang amat berbahaya, jika diterapkan tanpa sikap kritis.

            Tesis kedua Weber adalah bahwa sistem nilai Protestantisme mendorong lahirnya kapitalisme modern di Eropa. Adapun sistem nilai Protestantisme adalah kecenderungan untuk hidup hemat, teliti dalam pekerjaan, apapun bentuknya, bekerja dengan total untuk mencapai kesuksesan di dunia, karena dengan menjadi sukses, orang dianggap suci dan terpilih oleh Tuhan. Kesuksesan di dunia adalah tanda, bahwa orang itu suci, dan terpilih oleh Tuhan. Sementara etos kapitalisme modern adalah pengumpulan serta pengembangan modal tanpa batas (demi modal itu sendiri) dengan cara yang damai, efisien, efektif, dan berkelanjutan. Weber melihat ada keterkaitan langsung antara sistem nilai Protestantisme dengan etos kapitalisme modern.

            Jika orang mampu hidup hemat, maka modal yang ia punya akan tetap bertahan, tanpa terbuang sia-sia. Jika orang teliti dalam bekerja, maka proses kerjanya akan berjalan efektif dan efisien. Hasilnya pun pasti baik. Jika ia bekerja dengan total, maka proses kerjanya pun juga akan berhasil. Jika orang diyakinkan bahwa dengan sukses, maka Tuhan memilihnya, ia pasti akan bekerja sepenuhnya untuk mencapai sukses. Dan dengan keyakinan serta pola kerja semacam ini, sukes dunia pun akan dapat digenggam oleh tangan. Inilah keterkaitan internal antara cara berpikir Protestantisme dan etos kapitalisme modern.

            Pertanyaan kritis saya untuk tesis ini adalah, apakah sistem nilai Protestantisme yang sungguh melahirkan kapitalisme modern, ataukah kapitalisme modern hanya mencari pembenaran saja dengan mengaitkan dirinya dengan sistem nilai Protestantisme? Saya menduga inilah yang terjadi, bahwa Weber mengaitkan kapitalisme modern dengan etos Protestantisme, dan dengan demikian memberi legitimasi religius bagi praktek kapitalisme modern yang memang seringkali bersifat destruktif bagi masyarakat. Kita harus amat kritis tentang titik ini.

            Weber melihat dengan amat jeli, walaupun masih mengundang banyak perdebatan dan catatan kritis, bagaimana nilai-nilai agama bisa mendorong orang untuk bekerja secara profesional, dan mencapai kemakmuran bersama. Saya rasa inilah relevansi pemikiran Weber untuk situasi Indonesia pada abad ke-21. Untuk memperbaiki ekonomi Indonesia tidak cukup hanya dengan kebijakan-kebijakan ekonomi dari pemerintah saja. Yang juga juga dibutuhkan adalah pencerahan di dalam hidup beragama.

            Perilaku kehidupan beragama yang boros harus dilenyapkan. Syukuran atas suatu peristiwa bisa dilakukan, jika ada sumber daya yang bisa dipakai. Jika tidak maka syukuran bisa ditunda, atau tidak perlu dilakukan sama sekali. Hanya dengan begitu orang bisa tetap menjaga ikatan sosial dengan masyarakat sekitar, tanpa menjadi bangkrut secara ekonomi. Sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain juga perlu dilenyapkan. Selain melanggar hak-hak asasi manusia, sikap tersebut juga membuat masyarakat miskin secara ekonomis. Pasar peredaran barang dan jasa maupun jaringan kerja sama menjadi sempit. Kemakmuran yang ingin dicapai pun semakin jauh dari genggaman.

            Sikap agresif terhadap perbedaan, yang seringkali muncul di dalam agama ataupun antar agama, juga perlu dihilangkan. Sama seperti sebelumnya sikap itu membuat stabilitas sosial yang menjadi dasar dari aktivitas ekonomi terhambat. Akibatnya proses pertukaran barang dan jasa terhenti. Bisnis secara khusus dan ekonomi secara umum pun merugi. Sikap agresif terhadap perbedaan adalah karakter dari agama yang memiskinkan, dalam arti memiskinkan secara moral, maupun finansial.

            Di Indonesia kita sering menemukan orang-orang malas bekerja dengan menggunakan alasan agama. Tanggung jawab profesional terbengkalai, lalu agama dijadikan alasan ataupun pembenaran untuk kelalaian semacam itu. Inilah ciri dari agama yang memiskinkan, yakni agama yang membuat penganutnya tidak menjalani panggilan hidup mereka secara kompeten dan total. Yang kita perlukan adalah agama yang mengajarkan penganutnya untuk semakin tulus di dalam panggilan hidup, maupun profesinya. Agama yang mendorong orang untuk menjadi semakin aktif di dalam memperbaiki diri maupun masyarakatnya. Inilah relevansi analisis Weber untuk Indonesia abad ke-21.

            Di Indonesia kita juga sering menemukan, orang lari dari kesulitan ke dalam agama. Agama menjadi tempat pelarian dan pemujaan semu, sementara masalah sebenarnya tetap tidak diatasi. Inilah agama yang memiskinkan bangsa. Ketika kemiskinan dan korupsi merajalela, orang malah sibuk berdoa. Para pemimpin bangsa mengadakan doa bersama secara massal. Sementara langkah strategis praktis untuk membongkar kemiskinan dan korupsi tidak berjalan. Agama menjadi pelarian dan hiburan sementara yang tak ada artinya. Perilaku dan mentalitas beragama semacam ini haruslah diubah, jika Indonesia ingin menciptakan kemakmuran dan keadilan untuk semua.

            Belajar dari Weber dan karya-karyanya, kita bisa mengajukan satu tesis sederhana, bahwa agama adalah elemen penting untuk menciptakan kemakmuran spiritual maupun material penganutnya. Agama dengan sistem nilai yang dimilikinya bisa membentuk perilaku tertentu yang mengarahkan pada tercipta kemakmuran ekonomi. Agama dengan ajarannya juga bisa membawa orang pada kebahagiaan spiritual yang sejati. Agama yang memperkaya hidup manusia secara utuh; itulah yang kita butuhkan di Indonesia sekarang ini.

            Keyakinan pada Tuhan bukanlah suatu komoditi untuk mencari uang (menguangkan tuhan). Sebaliknya dengan menarik relevansi dari pemikiran Weber, keyakinan pada Tuhan justru harus menjadi mendorong manusia untuk mencapai kemakmuran spiritual maupun material di dunia ini, dan bukan untuk sapi perah pengumpul uang. Dan sebaliknya orang tetap tidak boleh menjadikan uang sebagai tujuan utama di dalam hidup (menuhankan uang). Uang adalah dasar material untuk mencapai kesucian hidup, yakni hidup yang berkeutamaan, dan bukan tujuan utama. Inilah yang bisa kita pelajari dari analisis Weber tentang kaitan antara Protestantisme dan kapitalisme modern. Melihat situasi di Indonesia, kita perlu amat jeli dan kritis untuk memahami pokok gagasan ini. ***


[1] Untuk bagian ini saya mengacu pada http://plato.stanford.edu/entries/weber/#LifCar diakses pada Jumat 24 Juni 2011.

[2]Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Tulisan ini mengikuti alur tuturan Giddens di dalam pendahuluan buku Weber, Max, (2005) (asli 1920), The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, London: Routledge, hal. vii-xxiv.

[7] Lihat kajian yang amat menarik dari Crisp, Roger, (1997), Mill on Utilitarianism, London: Routledge.

[8] Giddens, Anthony, (intro), Weber, Max, The Protestant Ethic…, hal. ix.

[9] Untuk memahami arti positivisme sebagaimana dirumuskan oleh Comte, anda bisa melihat buku Gane, Mike, (2006), Auguste Comte, London,:Routledge.

[10] Lihat sekelumit tentang hermeneutika Wilhelm Dilthey di dalam Prasetyono, Emanuel, (2010), “Manusia sebagai Peziarah Makna”, dalam Wattimena, Reza A.A., Membongkar Rahasia Manusia, Yogyakarta: Kanisius, hal. 21-29.

[11] Lihat pemaparan tentang sisi positif maupun negatif positivisme di dalam Budi Hardiman, F., (2003), Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius,

[12] Pemaparan saya tentang Immanuel Kant yang juga dikenal sebagai “bapak” Idealisme Jerman dapat dilihat di Wattimena, Reza A.A., (2010), Filsafat Kritis Immanuel Kant, Jakarta: Evolitera. Anda juga bisa melihat pemaparan tentang Idealisme Jerman dalam konteks situasi kontemporer di Hammer, Espen (ed), (2007), German Idealism, Routledge: London.

[13] Giddens, Anthony, (intro), Weber, Max, The Protestant Ethic…, hal. ix.

[14] Pemaparan saya tentang keterkaitan antara jati diri dan kultur dapat dilihat di Wattimena, Reza A.A., (2010), “Menebar Garam di Atas Pelangi; Self, Kultur, dan Multikulturalisme”, Evangelisasi; Menebar Garam di Atas Pelangi, Madiun: WINA Press, hal. 93-116.

[15] Giddens, Anthony, (intro), Weber, Max, The Protestant Ethic…, hal. ix.

[16] Lihat uraian tentang pemikiran Marx dalam Magnis-Suseno, Franz, (1999), Pemikiran Karl Marx, Jakarta: Gramedia.

[17] Lihat pemaparan mendasar soal kapitalisme dalam Thrift, Nigel, (2005), Knowing Capitalism, London: Sage.

[18] Giddens, Anthony, (intro), Weber, Max, The Protestant Ethic…, hal. x.

[19] Untuk selanjutnya saya mengikuti uraian Allen, Kieran, (2004), Max Weber: A Critical Introduction, London: Pluto Press, hal. 32.

[20] Ibid.

[21] Lihat Gane, 2006.

[22] Allen, Kieran, Max Weber:…, hal. 32.

[23] Ibid, hal. 33.

[24] Ibid.

[25] Ibid.

[26] Ibid, hal. 34.

[27] Ibid, hal. 35.

[28] Ibid.

[29] Ibid, hal. 36.

[30] Ibid.

[31] Ibid.

[32] Ibid.

[33] Ibid.

[34] Ibid, hal. 37.

[35] Ibid, hal. 38.

[36] Ibid.

[37] Ibid, hal. 39.

[38] Untuk ini silahkan lihat buku Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx.

[39] Ibid, hal. 39.

[40] Ibid, hal. 41.

[41] Untuk bagian ini saya mengacu pada uraian Giddens, Anthony, The Protestant Ethic…., hal. xi-xiii.

[42] Ibid. hal. xi

[43] Weber, Max, Protestan Ethic…., hal. 18, sebagaimana dikutip Giddens dalam bagian pendahuluan hal. xi.

[44] Giddens, Anthony, The Protestant Ethic…., hal. xi.

[45] Ibid, hal. xii

 

Daftar Rujukan

Allen, Kieran, (2004), Max Weber: A Critical Introduction, London: Pluto Press.

Budi Hardiman, F., (2003), Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius.

Crisp, Roger, (1997), Mill on Utilitarianism, London: Routledge.

Gane, Mike, (2006), Auguste Comte, London: Routledge.

Hammer, Espen (ed), (2007), German Idealism, London: Routledge.

Magnis-Suseno, Franz, (1999), Pemikiran Karl Marx, Jakarta: Gramedia.

Prasetyono, Emanuel, (2010), “Manusia sebagai Peziarah Makna”, dalam Membongkar

Rahasia Manusia, Yogyakarta: Kanisius, hal. 21-29.

Thrift, Nigel, (2005), Knowing Capitalism, London: Sage.

Wattimena, Reza A.A., (2010), Filsafat Kritis Immanuel Kant, Jakarta: Evolitera.

Wattimena, Reza A.A., (2010), “Menebar Garam di Atas Pelangi; Self, Kultur, dan

Multikulturalisme”, Evangelisasi; Menebar Garam di Atas Pelangi, Madiun: WINA

Press, hal. 93-116.

Weber, Max, (2005) (asli 1920), The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, London:

Routledge.

http://plato.stanford.edu/entries/weber/#LifCar diakses pada Jumat 24 Juni 2011.

 
 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.