Ingatan Sosial, Trauma, dan “Maaf”: Sebuah Refleksi untuk Indonesia

Ingatan Sosial, Trauma, dan “Maaf”

Sebuah Refleksi untuk Indonesia

Reza A.A Wattimena[1]

“One may say that the individual remembers by placing himself in the perspective of the group, but one may also affirm that

the memory of the group realizes

and manifests itself in individual memories.”

Maurice Halbwachs

Abstract: In this paper, I will explore the concept of social memory through three perspectives, namely philosophy, history, and social psychology. Social memory is the accumulation of individual memory, and beyond. It means that, social memory have its ontological status which different compare to individual memory. Social memory contains both kind of memories, the memories of positive events in the past, and the memories traumatic negative events. In Indonesia, the memory of traumatic events buried deeply. This act will change the social memory concerning traumatic events to social trauma. This kind of trauma will create further crises in Indonesia, namely the identity crisis, nationalism crisis, and will create the culture of fear. In the end, the people of Indonesia will have to uplift and maintain its social memories, and forgive all the traumatic events that already happened in the past.

Kata-kata Kunci: Ingatan, Ingatan Sosial, Trauma Sosial, Identitas Sosial, Maaf.

Pendahuluan

Michel de Montaigne pernah menulis, “ingatan memberikan tahu kepada kita bukan apa yang kita pilih, tetapi apa yang menyenangkan kita.”[1] Sementara, kelupaan, sebagaimana ditulis oleh Plutarch, mengubah setiap peristiwa menjadi bukan-peristiwa (non-occurrence).[2] Kelupaan melenyapkan peristiwa. Tentu saja, pandangan Plutarch dan Montaigne tersebut masih mendasarkan dirinya pada pengandaian, bahwa ingatan adalah suatu organ yang berfungsi untuk melihat ke masa lalu, sama seperti mata adalah organ untuk melihat ke masa sekarang. Dalam arti ini, ingatan adalah suatu sumber pengetahuan, semacam mesin waktu yang memungkinkan kita bisa melihat kembali masa lalu.

Akan tetapi, ingatan bukanlah sebuah sumber pengetahuan yang memadai. Menjadikan ingatan sebagai sumber pengetahuan adalah suatu tindakan yang penuh dengan resiko. Ingatan selalu muncul di masa sekarang, dan keberadaannya selalu dipenuhi dengan ambiguitas. Ingatan tidaklah pernah sungguh akurat. Ingatan selalu bercampur dengan imajinasi dan spekulasi yang seringkali berbeda dengan fakta.

Dalam konteks hukum misalnya, kesaksian dari seorang korban ataupun saksi mata dapat dengan mudah menjadi tidak bisa diandalkan. Pengadilan hukum yang ideal sedapat mungkin menggabungkan berbagai saksi dari satu peristiwa yang sama untuk memperoleh gambaran yang lebih akurat. Memang, kesaksian dari orang kedua dapat sangat membantu, walaupun dua orang yang berbeda bisa menceritakan dua versi yang berbeda pula tentang satu peristiwa yang sama. Ingatan dapat berubah. Ingatan dapat menjadi semakin detil, atau justru semakin kabur. Ingatan juga terus mengalami distorsi dengan berlalunya waktu.

Akan tetapi, walaupun ingatan adalah suatu bentuk sumber pengetahuan yang amat meragukan, peran ingatan di dalam pembentukan intelektualitas maupun identitas seseorang amatlah besar. Intelektualitas seseorang sangatlah terkait dengan ingatan. Ketidakmampuan seseorang untuk mengakses informasi terkait dengan pengalaman masa lalunya dapat menghalangi perkembangan mentalnya. Hal yang sama kurang lebih berlaku di dalam proses pembentukan identitas. Ketika seseorang kehilangan ingatannya, maka ia sekaligus kehilangan jati dirinya. Apa yang membuat orang tetap sama seumur hidupnya adalah kumpulan ingatan yang ia bawa sepanjang hidupnya. Ketika ingatan ini hilang, ia bisa kehilangan individualitasnya, dan menjadi orang yang sama sekali berbeda.

Di sisi lain, orang yang memiliki terlalu banyak beban ingatan juga tidaklah menguntungkan. Di dalam cerita Funes and the Memorious, Jorge Luis Borges menggambarkan kegelisahan seseorang yang tidak dapat melupakan apapun. Orang tersebut tersiksa oleh beban ingatannya yang sangat akurat dan tajam. Sholem Asch, salah seorang korban holocaust di Jerman, pernah menulis, “bukan hanya kekuatan untuk mengingat, tetapi justru kebalikannya, eksistensi kita memerlukan juga kemampuan untuk melupakan.”[3] Kebenaran dari pernyataan ini pada akhirnya diakui juga oleh para korban holocaust lainnya. Kemampuan untuk melupakan merupakan kemampuan yang sangat penting demi terciptanya proses penyembuhan dari trauma sosial, yang diakibatkan oleh terjadinya peristiwa negatif traumatis di level sosial, seperti perang ataupun genosida.

Aeschylus menyebut ingatan sebagai “Ibu dari semua permenungan”.[4] Para pemikir Yunani sering menyebut permenungan dengan kata Mneiai, yang berarti kenangan. Dalam arti ini, ingatan tidaklah pernah merupakan kegiatan yang sungguh-sungguh personal. Ingatan adalah suatu tindakan sosial. Tanpa aspek sosial ini, kita tidak akan pernah menemukan tulisan-tulisan, musik, sejarah, ataupun ilmu pengetahuan, karena semua ini berpijak pada ingatan yang terkumpul, yakni perkembangan dari proses pembelajaran atas kesalahan-kesalahan sebelumnya. Ingatan sosial memiliki ontologi yang membedakannya secara tegas dari ingatan personal, walaupun ingatan sosial tersebut terbentuk dari kumulasi maupun distribusi dari ingatan personal.

Ingatan sosial yang dikubur akan menghasilkan trauma sosial. Trauma sosial ini akan mempengaruhi mentalitas kultural suatu bangsa, sekaligus menciptakan krisis identitas. Maka adalah merupakan suatu imperatif, bahwa trauma, baik pada level sosial maupun pada level personal, haruslah dilampaui. Pelampauan tersebut tentu saja membutuhkan waktu tersendiri yang tidak bisa ditentukan sebelumnya.

Lima puluh tahun setelah perang dunia kedua berakhir, semua fakta terkait dengan kekejaman NAZI di Jerman telah menjadi bagian dari pengetahuan publik. Banyak penelitian dilakukan oleh para ilmuwan untuk menjabarkan apa yang sesungguhnya terjadi pada masa-masa itu. Walaupun fakta dan data telah terkumpul, serta keabsahannya telah diakui, proses pencairan trauma sosial yang terjadi tetap membutuhkan usaha yang besar dan waktu yang panjang. Semakin banyak data terungkap, baik mengenai penderitaan orang-orang Yahudi, lokasi kamp-kamp konsentrasi, dan pembunuhan massal jutaan laki-laki, perempuan, orang tua, dan anak-anak yang mungkin masih terlalu kecil untuk berjalan, semakin besar pula kegelisahan moral yang terjadi. Semua upaya ini perlu dan harus untuk terus dilakukan. Ini adalah upaya pemulihan dan pelestarian ingatan sosial. Dari ingatan sosial ini, kita bisa belajar untuk memotong akar-akar dari rasisme, nasionalisme semu, dan fundamentalisme yang sampai sekarang masih terlihat di dalam konflik massal di beberapa belahan dunia, seperti Tibet, Rwanda, Indonesia, dan di Balkan.

Dengan cita-cita inilah berbagai gerakan yang mendukung penegakan hak-hak asasi manusia tumbuh dan berkembang. Dan juga dengan cita-cita inilah semua perjuangan untuk melestarikan ingatan sosial terus dilakukan untuk melawan semua bentuk kelupaan sejarah dan campur tangan politik di dalamnya. Inilah cita-cita kemanusiaan yang seutuhnya. Cita-cita yang juga menjadi bagian dari perjuangan pemulihan dan pelestarian ingatan sosial. Cita-cita yang harus terus diperjuangkan, sampai holocaust, dimanapun di dunia ini, tidak lagi mungkin untuk terjadi. [5]

Di dalam tulisan ini, saya akan mencoba memahami dinamika internal ingatan sosial suatu masyarakat, termasuk di dalamnya ada ciri-ciri dasar ingatan sosial, serta fungsinya. Lebih dari itu, saya akan mencoba menyoroti proses pembentukan dan pelestarian ingatan sosial di Indonesia. Argumen saya adalah, bahwa masyarakat Indonesia gagal memelihara ingatan sosialnya, dan ini mengakibatkan terjadi trauma sosial yang bermuara pada krisis identitas sosial, serta masalah-masalah sosial lainnya, seperti terciptanya kultur impunitas, krisis identitas sosial, krisis nasionalisme, dan kultur ketakutan. Ingatan sosial tidak hanya harus dipelihara, tetapi juga harus dibawa ke level hukum, dan pada proses akhir, semua trauma sosial akibat peristiwa negatif di masa lalu haruslah dimaafkan. Tindak memaafkan ini tidak hanya berhenti di level struktural-institusional, tetapi juga harus sampai pada level metafisis, yakni level terdalam kehidupan manusia. Dalam arti ini, kemampuan memaafkan haruslah sampai pada apa yang disebut Derrida sebagai, “memaafkan yang tak termaafkan”. Hanya dengan begitulah ingatan sosial bisa menjadi sumber daya positif bagi pembentukan identitas sosial manusia Indonesia, dan kemudian bisa berkontribusi menyelesaikan beragam masalah sosial-kultural yang muncul sekarang ini.

Saya banyak terinspirasi dari tulisan Halbwachs, Paez, Basabe, dan Luis Gonzalez.[6] Saya membagi tulisan ini ke dalam delapan bagian. Pada bagian berikutnya, saya akan menjabarkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ingatan sosial (1). Lalu, saya akan merumuskan beberapa argumen yang berkaitan dengan konsep trauma sosial (2). Pada bagian berikutnya, saya akan mencoba mengkaitkan konsep ingatan sosial dan identitas sosial (3). Saya akan memberikan beberapa kesimpulan sementara pada bagian berikutnya (4). Setelah itu, saya akan mencoba memaparkan konsep memaafkan (5) dan konsep ‘memaafkan yang tak termaafkan’ dalam konteks menghadapi berbagai trauma sosial (6). Pada bagian berikutnya, saya akan mencoba menyoroti situasi Indonesia dengan berdasarkan kerangka teori yang ada (7). Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan (8). Selamat membaca!

1. Ingatan Sosial

Menurut Halbwachs, ingatan sosial suatu kelompok dapat mendorong terciptanya kohesi sosial. Ingatan sosial juga menciptakan identitas sosial sekaligus memberikan alasan atas semua tindakan maupun kebutuhan sosial suatu kelompok. Semua itu hanya bisa terjadi, jika ingatan sosial berkembang menjadi ‘peringatan’ (commemoration) yang diulang terus menerus. Akan tetapi, hal ini hanya lazim untuk bentuk-bentuk ingatan sosial yang positif. Misalnya, setiap tahun kita merayakan hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Peristiwa-peristiwa sosial yang negatif-traumatis biasanya tidak menjadi bagian dari peringatan sosial (social commemoration). Inilah yang disebut Halbwachs sebagai ‘peristiwa politik traumatis’ (traumatic political event), atau apa yang saya sebut sebagai ‘trauma sosial’ (social trauma). Trauma sosial adalah ingatan sosial yang membisu, ditekan, dipaksa untuk dilupakan, dan pada akhirnya memecah belah suatu masyarakat.[7]

Di dalam penelitiannya, Paez, Basabe, dan Gonzalez berpendapat bahwa ada relasi yang sangat dekat antara ingatan sosial atas peristiwa-peristiwa negatif masa lalu di satu sisi, dan tindakan sosial negatif yang terjadi di masyarakat pada masa sekarang di sisi lain. Dalam konteks Indonesia misalnya, kultur impunitas terhadap para pelanggar hukum dan krisis nasionalisme tampaknya bisa disebabkan oleh ketidakmampuan bangsa ini untuk menghadapi masa lalunya sendiri, dan membentuk identitasnya melalui ingatan sosial. Inilah yang dsebut sebagai ‘konspirasi kebisuan’ (conspiracy of silence). Konspirasi kebisuan inilah yang memainkan peranan penting di dalam membentuk kultur masyarakat kita sekarang ini. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang punya tendensi untuk membisu ketika berbicara tentang masa lalunya, dan akibatnya identitasnya pun terbentuk di dalam kebisuan.

Di dalam tulisannya, Swindler dan Arditi berpendapat bahwa ingatan sosial pada dasarnya sama dengan ingatan kolektif.[8] Ingatan kolektif adalah konsep yang menggambarkan bagaimana suatu masyarakat dapat mengingat, melupakan, atau menempatkan kembali pengetahuan tentang masa lalu mereka. Jadi, ingatan kolektif adalah adalah ingatan masyarakat. Sementara, ingatan sosial dapat dipandang sebagai pengaruh dari faktor-faktor sosial di dalam pembentukan ingatan individual di dalam masyarakat. Ada tiga arah penelitian berkaitan dengan tema ingatan sosial dan ingatan kolektif.

Pertama, para sejarahwan dan para sosiolog berupaya menggambarkan bagaimana masa lalu suatu masyarakat dikonstruksi dan dipahami untuk bisa mengerti situasi sosial dan identitas sosial masyarakat tersebut.[9] Misalnya, orang-orang Israel melihat peristiwa pemberontakan bersenjata bangsa Yahudi melawan kekaisaran Romawi di Massada sebagai bagian dari proses pembentukan Tsahal, angkatan bersenjata Israel sekarang ini. Penafsiran ulang atas sejarah ini adalah salah satu bentuk untuk mempertegas identitas bangsa, sekaligus menjadi legitimasi bagi pendirian negara Israel dewasa ini.

Pendekatan kedua refleksi ingatan sosial dan ingatan kolektif hendak menganalisis faktor-faktor, yang memungkinkan peristiwa-peristiwa sosial tertentu diingat atau bahkan dilupakan dari ingatan sosial. Biasanya, suatu peristiwa sosial bisa menjadi bagian dari ingatan sosial, jika peringatan atas peristiwa tersebut rutin dilaksanakan. Lebih jauh dari itu, suatu peristiwa biasanya bisa menjadi bagian dari ingatan sosial, jika peristiwa tersebut dapat membawa perubahan pada aspek-aspek penting kehidupan bersama. Misalnya, sampai sekarang, rakyat Perancis masih merasakan dampak dari pembunuhan Raja Louis XVI pada masa Revolusi Perancis 1793. Masih banyak rakyat Perancis yang menyesali kejadian tersebut.

Pendekatan ketiga lebih tertarik untuk melakukan analisis mengenai faktor-faktor tertentu, yang membuat suatu peristiwa dicap sebagai peristiwa negatif, dan kemudian dilenyapkan dari ingatan sosial. Peristiwa tersebut tidak diperingati sebagai bagian dari ingatan sosial yang tetap harus dipelihara. Dengan kata lain, peristiwa itu tidaklah dianggap ‘penting’. Konflik di dalam masyarakat mengenai status dan makna dari peristiwa ‘terlarang’ di masa lalu ini dapat dengan mudah ditemukan di negara Chile, Argentina, Spanyol, dan, tentu saja, Indonesia. Pertanyaan dasanya tetap, apakah ‘konspirasi kebisuan’, seperti penyangkalan terhadap terjadinya pembantaian massal di Indonesia, sungguh mempengaruhi ingatan sosial, dan nantinya juga mempengaruhi persepsi individu tentang identitas sosialnya?

2. Trauma Sosial

Peristiwa-peristiwa negatif, yang sangat jarang terjadi di dalam ritme kehidupan normal, sering dikategorikan sebagai peristiwa-peristiwa traumatis. Peristiwa traumatis ini mempengaruhi secara mendalam masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok. Perang, tragedi politik, krisis ekonomi, depresi ekonomi, dan berbagai ‘situasi krisis’ lainnya adalah peristiwa-peristiwa yang turut membentuk identitas sosial, dan mempengaruhi proses reproduksi maupun rekonstruksi budaya di suatu masyarakat. Di negara-negara yang pernah mengalami masa-masa pemerintahan diktatorial, kultur ketakutan (culture of fear) dan penyangkalan terhadap semua bentuk kejahatan banyak ditemukan. Di dalam masyarakat tersebut, konspirasi kebisuan terjadi secara massal. Berbagai peristiwa traumatis, seperti terjadinya penculikan, penyiksaan, dan kekerasan massal, tidak lagi diingat. Peristiwa kekerasan yang berulang menciptakan kultur ketakutan, yang pada akhirnya memangkas kemampuan masyarakat tersebut untuk melakukan komunikasi yang sehat satu sama lain. Tidak hanya itu, gejala atomisasi individu di dalam masyarakat modern, gejala terjadinya isolasi sosial maupun prasangka antar kelompok juga secara langsung diakibatkan oleh kultur ketakutan tersebut. Misalnya, pada 1939-1975, Spanyol berada di dalam pemerintahan diktatorial. Pada masa-massa itu, banyak terjadi peristwa politik yang traumatis. Pada 1936, populasi penduduk Spanyol adalah 30 juta orang. Satu juta orang diantaranya meninggal antara 1939 sampai 1939. Itu adalah masa-masa perang saudara. Setelah perang berakhir, 200.000 tahanan politis dibunuh, dan sekitar 700.000 orang diasingkan dari Spanyol. Pada masa pemerintahan diktator di Chile, yakni pada 1873-1989, populasi Chile mencapai 10 juta orang. Sekitar 1,6 juta orang dipaksa untuk mengasingkan diri. 50.000 orang ditahan sebagai tahanan politik. Dan, 3000 orang dibunuh, atau ‘dihilangkan’.

Biasanya, setelah periode kebisuan pasca pemerintahan teror, banyak orang mulai mencari keadilan dengan pertama-tama mengartikulasikan penghinaan dan penderitaan yang mereka alami. Pada titik ini, problemnya tidak lagi terletak pada ingatan personal para korban, tetapi pada ingatan kolektif suatu bangsa yang mengalami teror tersebut. Menurut Halbwachs, ingatan sosial, atau yang disebutnya juga sebagai ingatan kolektif, adalah ingatan yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok, kelas, ataupun suatu bangsa. Konsep ingatan sosial ini mengacu pada ingatan di tingkat masyarakat, terutama atas kejadian-kejadian yang membawa perubahan besar di dalam masyarakat tersebut. Ingatan sosial mengacu pada peristiwa-peristiwa yang memiliki dampak besar pada masyarakat, dan memaksa masyarakat tersebut mengubah institusi-institusi sosial, kepercayaan-kepercayaan (beliefs), dan nilai-nilainya. Penelitian yang dilakukan Pennebaker menunjukkan, bahwa peristiwa-peristiwa besar yang membawa perubahan besar lebih mudah menjadi bagian dari ingatan sosial, daripada peristiwa-peristiwa sehari-hari.[10] Dasar dari ingatan sosial ini adalah cerita-cerita yang dituturkan secara lisan, rumor-rumor, dan sikap sosial masyarakat yang biasanya luput dari penulisan sejarah sistematis. Ingatan sosial ini juga berbentuk pengetahuan maupun gambaran-gambaran mengenai kejadian di masa lalu yang dialami secara bersama, serta memiliki fungsi sosial.[11]

Seringkali, apa yang kita sebut sebagai ingatan sosial ini tidak pernah dialami secara individual. Data-data empiris menunjukkan bahwa selama 40 tahun terakhir, 66% mahasiswa di Chile dan Spanyol menjawab bahwa peristiwa-peristiwa politik traumatis dialami secara langsung oleh generasi kakek nenek mereka (8%), generasi orang tua mereka (44%), dan kelompok masyarakat secara umum (13%). Hanya 34% yang mengaku mengalami langsung peristiwa-peristiwa politik traumatis di masa lalu tersebut.[12]

Sebuah penelitian terhadap ingatan sebagai fenomena sosial juga didasarkan pada proses-proses distribusi sosial suatu masyarakat di dalam mengingat suatu peristiwa. Memang, ingatan adalah suatu gejala individual. Hanya individulah yang bisa mengingat. Akan tetapi, proses distribusi dari ingatan tersebut memiliki fungsi-fungsi dan akibat yang bersifat sosial. Ingatan sosial tentang suatu katastrofi politik adalah suatu ingatan yang didistribusikan secara sosial. Peristiwa-peristiwa ini memang tidak selalu diingat di dalam suatu seremoni historis tertentu. Bahkan, dalam beberapa kasus, ingatan tentang katastrofi politik ini justru ditekan. Akan tetapi, dengan ditekan, ingatan tersebut tidak otomatis hilang. Ingatan sosial yang ditekan tersebut tetap bertahan dan kemudian berubah menjadi legenda, tradisi, dan mengental menjadi kultur.

Beberapa ahli psikologi sosial berpendapat bahwa ingatan sosial adalah semacam proses-proses psikologis yang bergerak melampaui proses psikologis individual di dalam masyarakat. Proses-proses psikologis ini memang bersandar pada aktivitas individu, tetapi proses ini memiliki otonominya sendiri. Menurut Garzón dan Rodriguez, proses psikologis ini dapat juga disebut sebagai proses kolektif dari ingatan (collective process of memory).[13] Hal ini menjadi salah satu tema refleksi di dalam psikologi sosial. Pendekatan ini mau menyatakan bahwa proses-proses kognitif seseorang tidak hanya merupakan suatu tindakan personal, tetapi juga memiliki aspek sosial. “Ingatan dan pikiran”, demikian tulis Levine, Ressnick, dan Higgins, “dipandang sebagai suatu interaksi sosial, dan fokus analisisnya adalah unit sosial.”[14] Bukti-bukti empiris juga menunjukkan lebih jauh, bahwa kelompok mengingat jauh lebih baik daripada individu.

Buku Halbwachs yang berjudul On Collective Memory sangat menekankan bahwa aspek sosial selalu mewarnai hakekat dari ingatan manusia. Dengan kata lain, proses-proses sosial adalah sesuatu yang esensial bagi ingatan. Ada dua hal yang menjadi argumentasinya. Pertama, bahwa ingatan merupakan sesuatu yang bersifat sosial, terutama karena isi dari ingatan tersebut, yakni bahwa orang selalu mengingat tentang sebuah dunia, di mana orang lainnya juga hidup di dunia tersebut. Ingatan tentang masa lalu juga sudah selalu merupakan ingatan yang bersifat intersubyektif, yakni tentang masa lalu yang dihidupi dalam relasinya dengan orang lain. Ingatan yang sungguh bersifat individual sangatlah jarang ditemukan. Jadi, adalah benar jika dikatakan, bahwa aspek sosial di dalam ingatan itu selalu lebih besar. Kedua, ingatan juga bersifat sosial, karena orang selalu menggunakan medium-medium sosial untuk mengingat, seperti medium ritual, upacara-upacara, dan praktek-praktek sosial lainnya yang ditujukan untuk mengingat suatu peristiwa di masa lalu. Inilah yang disebut sebagai titik-titik referensial (referential points). Kelompok sosial yang berbeda menggunakan titik referensial yang juga berbeda.

Halbwachs lebih jauh melanjutkan, bahwa ingatan pada hakekatnya memiliki aspek sosial dan bersifat intersubyektif, karena ingatan didasarkan pada bahasa, serta pada semua bentuk komunikasi linguistik dengan orang lain. Ingatan juga merupakan suatu bentuk pengulangan yang memiliki fungsi-fungsi sosial, terutama di dalam level simbolik. Proses interaksi antara manusia memberikan pengaruh besar di dalam proses pembentukan dan pelestarian ingatan mengenai peristiwa negatif yang terjadi di masa lalu ini. Pada titik ini, peristiwa negatif di masa lalu dipandang sebagai pengalaman-pengalaman yang memiliki dampak sosial yang berkepanjangan. Ingatan akan pengalaman ini kemudian didistribusikan ke dalam kehidupan bersama, dan kemudian menjadi ingatan sosial. Inilah yang disebut sebagai proses pembagian sosial (social sharing). Menurut Paez, Basabe, dan Gonzales, proses pembagian sosial yang dilakukan secara terus menerus adalah merupakan sebuah cara yang paling efektif untuk berhadapan dengan ingatan tentang masa lalu yang menyakitkan. Proses pembagian sosial yang repetitif ini disebut juga sebagai proses perenungan (rumination).

Dengan melakukan proses perenungan, masyarakat bisa memandang masa lalu mereka yang menyakitkan dengan cara yang lebih positif. Dengan berbicara dan merenungkan semua bentuk peristiwa negatif traumatis di masa lalu, orang dapat menyatukan pengalaman emosional mereka, dan kemudian memberikannya makna secara positif. Jika setiap orang bisa melakukan ini, maka masyarakat akan bisa menatap masa lalunya secara konstruktif. Komunikasi dan pembagian sosial juga bisa berjalan lancar.

Di dalam penelitiannya, Tait dan Silver berpendapat bahwa proses pembagian sosial mengenai ingatan tentang masa lalu yang menyakitkan justru bisa membawa perpecahan emosional di dalam masyarakat.[15] Akibatnya, masyarakat justru membentuk identitasnya secara negatif. Proses perenungan atas ingatan masa lalu yang negatif bisa menciptakan polarisasi baru di dalam masyarakat, yang nantinya justru bisa merusak kohesi sosial. Dalam arti ini, proses perenungan dimengerti sebagai suatu bentuk kesadaran yang ditujukan langsung pada suatu peristiwa ataupun suatu periode waktu tertentu. Proses ini bisa bersifat otomatis, sekaligus disengaja. Proses perenungan dapat juga dilihat sebagai “pikiran-pikiran yang tidak disengaja dan bersifat obsesif yang terkait dengan suatu peristiwa.”[16] Proses ini terkait erat dengan depresi psikologis, dan justru bisa memperbesar reaksi-reaksi emosional negatif di dalam masyarakat.

Akan tetapi, proses perenungan juga bisa dilakukan secara sengaja. Suatu peristiwa negatif yang pernah terjadi di masa lalu bisa dilihat dengan cara yang positif, jika proses perenungan mengarah pada pemahaman, penjelasan, dan penghargaan pada peristiwa tersebut. Hal ini mungkin dilakukan. Para veteran perang dunia kedua mampu beradaptasi dengan kehidupan bermasyarakat setelah begitu banyak peristiwa traumatis di dalam perang yang mereka hadapi. Mereka berhasil mengatasi ingatan tentang peristiwa traumatis yang mereka alami. Tentu saja, apa yang mereka lakukan masihlah berada di level individual. Akan tetapi, pendekatan dengan menggunakan kerangka teori mengenai ingatan sosial hendak berfokus pada peristiwa-peristiwa di masa lalu yang mungkin sekali tidak pernah dialami oleh individu secara personal. Jadi, apakah ada kesamaan pola antara kemampuan individu melampaui ingatan tentang peristiwa traumatis di satu sisi, dan kemampuan kelompok untuk melakukan hal yang sama? Halbwachs berpendapat, bahwa keduanya selalu berkaitan dengan proses pembentukan identitas.

3. Ingatan Sosial dan Identitas Sosial

Menurut Halbwachs, ingatan itu bersifat sosial, karena ingatan memiliki fungsi-fungsi sosial. Dengan menjadi bagian dari suatu kelompok, berarti kita juga mengasumsikan dan menginternalisasikan tradisi dan kepercayaan yang ada di dalam kelompok itu. Dengan kata lain, kita berbagi ingatan sosial kelompok. Ingatan sosial tersebut memungkinkan kita untuk memperoleh identitas, baik di level individual maupun di level sosial.[17]

Halbwachs lebih jauh menambahkan, bahwa ingatan sosial memiliki fungsi-fungsi yang bersifat global (global function). Fungsi global itu adalah fungsi nostalgik (nostalgic function). Di dalam fungsi nostalgik, masa lalu dari suatu masyarakat dianggap sebagai suatu masa keemasan, di mana segala sesuatu berjalan stabil dan positif. PBG memberi contoh. Pada masa lalu, keluarga dianggap sebagai bagian dari kehidupan sosial. Keluarga memberikan dasar yang kuat bagi kehidupan sosial. Yang menarik adalah, bahwa hal ini seringkali tidak didasarkan pada data-data yang memadai. Penelitian sejarah lebih jauh menunjukkan, bahwa walaupun di masa sekarang kekerasan di dalam keluarga jauh lebih kecil daripada dulu, tetapi masyarakat tetap saja beranggapan, bahwa di masa lalu, keluarga merupakan sesuatu yang lebih baik dan harmonis daripada keluarga di masa sekarang. Schuman dan Scott pernah membuat penelitian yang menunjukkan bahwa orang-orang yang ikut berperang pada perang Vietnam merasa bahwa perang dunia kedua merupakan perang yang jauh lebih “heroik” dan indah. Perasaan itu bahkan lebih besar daripada yang dialami oleh para veteran perang dunia kedua itu sendiri.[18] Inilah yang disebut sebagai fungsi nostalgik dari ingatan sosial. Orang-orang yang hidup pada dekade 1960-an selalu mengidealkan masa lalu yang tidak pernah mereka ketahui sungguh-sungguh. Kenangan akan masa lalu yang indah tersebut dikontraskan dengan masa sekarang yang mereka hadapi, yang menurut mereka penuh dengan krisis dan ketidaktulusan.[19]

Fungsi sosial dari ingatan sosial kedua berkaitan dengan tujuan dasar dan kebutuhan dari kelompok. Ingatan selalu sudah berjangkar di dalam tujuan maupun kebutuhan aktual dari suatu kelompok. Menurut Halbwachs, ingatan sosial secara esensial adalah rekonstruksi tentang kejadian di masa lalu yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan di masa sekarang. Apa yang terjadi di masa lalu selalu ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan yang ada di masa sekarang, lepas daripada apakah tafsiran tersebut selalu akurat atau tidak. Biasanya, untuk kepentingan pembentukan identitas, apa yang terjadi di masa lalu selalu berusaha untuk ditafsirkan secara positif. Apa yang saya tulis tentang bagaimana Israel menafsirkan masa lalu mereka sebagai pembenaran bagi pembentukan angkatan bersenjata adalah contoh konkret, di mana ingatan akan masa lalu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekarang.

4. Mengatasi Trauma Sosial: Kesimpulan Sementara

Apa yang disebut sebagai trauma sosial seringkali tidak dialami langsung oleh sebuah masyarakat. Peristiwa traumatis tersebut terjadi di masa lalu, dan dialami secara langsung oleh generasi sebelumnya. Akan tetapi, jejak dari peristiwa negatif tersebut tidaklah hilang, melainkan mengalir diam-diam di dalam struktur masyarakat yang sekarang. Akibatnya masihlah terasa, yakni terciptanya kultur ketakutan, kultur impunitas, dan krisis identitas sosial.

Trauma sosial juga terkait erat dengan konsep ingatan sosial. Tepatnya, trauma sosial adalah ingatan sosial tentang suatu peristiwa negatif yang proses peringatannya tidak dilakukan secara sistematis, melainkan secara terselubung di dalam struktur. Halbwachs lebih jauh menekankan, bahwa ingatan tentang masa lalu adalah suatu proses sosial, karena pada dasarnya, orang selalu mengingat dan mendistribusikan ingatan tersebut secara bersama-sama. Idealnya, proses mengingat dilakukan secara bersama-sama di dalam sebuah komunitas. Hal ini sangatlah penting, terutama supaya orang-orang yang mengalami peristiwa traumatis di masa lalu merasa memiliki komunitasnya sendiri yang mempunyai kesamaan nasib. Hal ini juga menandakan, bahwa pada hakekatnya, penghayatan internal seseorang selalu terhubung dengan penghayatan antar personal yang terbangun di antara individu. Menurut Halbwachs, penghayatan yang dibangun di dalam relasi dengan orang lainlah yang memiliki peran lebih besar.

Pada level sosial, terutama jika kita memperhatikan kasus-kasus di Chile dan Catalunya, kita akan menemukan bahwa masyarakat yang memiliki sejarah peristiwa traumatis dan tingkat konflik yang lebih tinggi justru menunjukkan tingkat pembagian sosial, pengakuan, dan permenungan yang juga tinggi. Hasil ini, menurut PSB, tentunya semakin meyakinkan kita, bahwa setelah masa traumatis dan represi sosial, masyarakat akan mulai menuntut pengakuan akan adanya kejahatan-kejahatan, kepedihan-kepedihan, dan penderitaan yang terjadi di masa lalu mereka. Setelah periode represi sosial usai, masyarakat akan mulai menuntut keadilan.

Halbwachs lebih jauh berpendapat, bahwa ingatan sudah secara sosial mengacu pada kebutuhan dan tujuan-tujuan suatu kelompok. Tidak ada ingatan yang bersifat netral. Ingatan sosial sudah selalu terkait dengan identitas sosial. Jika kita menjadi bagian dari suatu kelompok, maka kita sekaligus menginternalisasi tradisi dan ingatan yang dimiliki kelompok tersebut.

Secara esensial, ingatan sosial juga merupakan suatu bentuk rekonstruksi ingatan tentang masa lalu. Proses rekonstruksi tersebut hendak menafsirkan fakta dan data yang terjadi di masa lalu, dan kemudian menggunakannya untuk kepentingan di masa sekarang. Ingatan akan masa lalu tentang peristiwa-peristiwa sosial traumatik dapat secara langsung mempengaruhi mentalitas masyarakat di masa sekarang.

Ingatan sosial juga seringkali dipahami sebagai sesuatu yang normatif. Artinya, ingatan itu tidak selalu menggambarkan fakta, tetapi lebih merupakan sesuatu yang ‘seharusnya’ terjadi. Ingatan bukan sekedar menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih merupakan suatu harapan tentang apa yang pernah terjadi.[20] Oleh karena itu, jika ada ingatan dalam jumlah besar tentang peristiwa traumatis yang pernah terjadi di masa lalu, maka akan semakin banyak orang yang mempersepsi masyarakatnya sendiri secara negatif. Ini juga merupakan alasan, mengapa pihak yang berkuasa seringkali mencoba menghapus ingatan tentang suatu peristiwa negatif di masa lalu.

Pada level individual, ingatan akan peristiwa traumatis seringkali bisa ditanggung secara personal. Tuntutan akan keadilan, atau yang banyak juga disebut sebagai aktivitas konfrontatif (confrontation activities), akan terjadi, jika ingatan traumatis tersebut dikomunikasikan di level antar individual. Akan tetapi, ingatan traumatis tetap merupakan sesuatu yang menyakitkan untuk dikonfrontasi. Maka, ingatan traumatis lalu sering dilupakan, walaupun tidak pernah bisa sungguh dilupakan. Proses penglupaan dilakukan dengan dalih untuk penciptaan stabilitas sosial. Inilah yang disebut sebagai konspirasi kebisuan. Walaupun bisu, tetapi resonansi dari konspirasi ini berbunyi lebih keras daripada kata-kata. Konspirasi kebisuan juga memiliki fungsi ideologis, yakni sebagai legitimasi bagi pemerintahan yang sedang berlangsung di masa sekarang. Jika konspirasi kebisuan ini diangkat ke publik, maka hampir pasti masyarakat akan terpecah. Masyarakat akan terpolarisasi di dalam kubu-kubu yang saling berbeda pendapat mengenai peristiwa traumatis yang mereka alami di masa lalu. Akan tetapi, polarisasi ini sifatnya hanya sementara. Dalam jangka panjang, semua bentuk konfrontasi terhadap masa lalu yang traumatis akan memberi dampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan.

5. Tentang Memaafkan

Suatu sikap berhadapan dengan peristiwa masa lalu yang traumatis pada titik akhir selalu bermuara pada ajakan untuk memaafkan. Dalam arti ini, maaf diberikan hanya setelah proses peradilan telah dilaksanakan semaksimal mungkin. Proses peradilan disini setidaknya dapat dilakukan dalam dua bentuk, yakni pertama adalah proses pengakuan para pelaku atas apa yang terjadi di masa lalu, dan kedua proses hukum yang melibatkan para pelaku tersebut sesuai dengan tingkat perbuatannya. Namun, pada akhirnya, proses memaafkan di tingkat sosialah yang akan menentukan segalanya.

Apa yang dimaksud dengan memaafkan? Dalam kosa kata bahasa Inggris, kata yang biasa digunakan adalah apology, yang secara literer berarti permintaan maaf. Menurut Aaron Lazare, permintaan maaf mengacu pada pertemuan dua pihak, di mana pihak pertama, yakni sang pelaku kesalahan, mengakui dan bertanggungjawab pada semua tindakan yang ia lakukan, serta mengekspresikan penyesalan kepada pihak kedua, yakni sang korban.[21] Pihak yang saya maksud disini bukanlah hanya sekedar pihak individual, tetapi juga bisa mencakup kelompok yang lebih besar, seperti keluarga, kelompok etnis, kelompok bisnis, suku, dan bangsa.

Biasanya, tindak meminta maaf harus memenuhi beberapa kriteria mendasar, seperti penjelasan tentang tindak salah yang telah dilakukan, ekspresi dari perasaan malu atas perbuatan itu, intensi untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang sama di masa datang, dan tindak perbaikan semua luka yang telah disebabkan oleh kesalahan yang telah dilakukan. Akan tetapi, menurut Lazare, permintaan maaf menuntut lebih dari sekedar sikap penyerahan diri dari pelaku kesalahan. Permintaan maaf menuntut sebuah dialog antara dua pihak terkait.

Di dalam bahasa Inggris, kata apology memiliki akar katanya pada bahasa Yunani, yakni apologia yang berarti pembenaran, penjelasan, argumentasi, ataupun alasan. Suatu argumentasi yang ditujukan untuk mempertahankan pendapat disebut juga sebagai apologia, dan orang yang melakukannya disebut juga sebagai apologet. Dalam arti ini, apology bukanlah suatu tindak mengakui kesalahan di masa lalu. Oleh karena itu, kita tidak perlu menjabarkannya lebih jauh.

Di dalam kehidupan sehari-hari, orang cenderung menyamakan ekspresi “saya menyesal” dengan tidak meminta maaf. Seringkali, alasannya tidaklah begitu jelas. Jika saya mengatakan “saya menyesal mendengar kabar bahwa ibumu telah meninggal”, atau “saya menyesal bahwa sakitmu begitu parah”, maka saya sebenarnya tidaklah sedang meminta maaf. Sikap ini lebih tepat disebut sebagai sikap empati. Pernyataan “saya menyesal” seringkali tidak mengandung suatu bentuk pengakuan atas kesalahan di masa lalu. Pernyataan ini juga seringkali tidak mengandung keinginan untuk bertanggungjawab, atau tanda penyesalan dalam arti sesungguhnya.

Jika saya secara tak sengaja menghilangkan barang yang dipinjamkan kepada saya, maka saya akan berkata, “saya menyesal telah menghilangkannya. Saya merasa tidak enak. Seharusnya, saya lebih berhati-hati. Saya akan menggantinya.” Kata “menyesal” disini merupakan bagian dari tindak meminta maaf, karena saya mengakui adanya kesalahan. Kemudian, saya hendak bertanggungjawab atas kesalahan yang telah saya buat, serta menawarkan ganti rugi. Kebingungan biasanya muncul, ketika saya berkata bahwa saya menyesal. Kata menyesal disini memang bisa diartikan dua hal, yakni sebagai tindak meminta maaf, atau sebagai suatu bentuk bela sungkawa.

Lazare berpendapat, bahwa walaupun tindak meminta maaf memiliki kesamaan pola, tetapi pada hakekatnya, setiap tindak meminta maaf bersifat unik. Keunikan tersebut disebabkan oleh banyak faktor yang bersilang yang mempengaruhi tindak meminta maaf itu. Misalnya, salah satu aspek penting yang mendahului tindak meminta maaf adalah sikap berduka. Sikap berduka ini bisa disebabkan oleh suatu kejadian negatif, baik yang berskala personal ataupun yang sosial. Jadi, setiap bentuk duka itu bisa mengambil bentuk personal, ataupun bentuk yang impersonal. Sikap berduka bisa muncul dari suatu tindak kekejaman yang dilakukan oleh kelompok yang satu kepada kelompok yang lain, ataupun oleh satu individu kepada individu lain. Intensitas dari rasa duka itu sangatlah berbeda, tergantung pada konteks, di mana kejadian negatif tersebut berlangsung. Lebih jauh lagi, tingkat kerusakan yang dialami oleh korban kejadian negatif sangat variatif dan situasional.[22] Semua ini nantinya mempengaruhi, apakah korban tersebut akan menerima permintaan maaf dari pelaku, atau tidak.

Jadi, sikap meminta maaf memiliki variasi yang luar biasa banyak. Tindak meminta maaf yang dilakukan oleh pelaku peristiwa negatif juga beragam, mulai dari yang non-verbal, sampai penyampaian maaf verbal yang disertai alasan jelas, deskripsi, dan argumentasi yang lugas. Ekspresi dari penyesalan juga beragam, mulai dari penyesalan yang artifisial, sampai dengan penyesalan yang sungguh-sungguh tulus. Lazare sendiri sampai pada kesimpulan, bahwa suatu permintaan maaf yang berhasil merupakan hasil dari interaksi dan negosiasi antara pihak yang melakukan kesalahan dan korbannya.[23]

Menurut Lazare, tindak meminta maaf itu pada dasarnya bersifat paradoksal. “Saya percaya”, demikian tulisnya, “bahwa permintaan maaf, seperti juga manusia, adalah sekaligus sederhana dan kompleks, secara mendasar sama, tetapi secara individual bersifat unik.”[24] Di dalam tindak meminta maaf terdapat paradoks kesederhanaan di satu sisi, dan kompleksitas di sisi lain. Di dalam tindak meminta maaf juga terdapat paradoks kesamaan di satu sisi, dan keunikan di sisi lain. Inilah hakekat rumit dari salah satu tindak paling mulia yang mungkin dilakukan manusia, yakni meminta maaf.

6. Memaafkan yang Tak Termaafkan

Tindak meminta maaf memang mengandung paradoks yang mendalam di baliknya. Di balik tindak memaafkan, ada motivasi mulia yang bergandengan dengan kesulitan kata-kata. Tindak memaafkan sekaligus sederhana dan sekaligus rumit, hampir pada waktu bersamaan. Situasi paradoksal ini tidak hanya ada di dalam hakekat tindak memaafkan itu sendiri, tetapi di dalam diri orang yang hendak meminta maaf. Ia bisa sekaligus memaafkan, dan tetap membenci di dalam hatinya. Dua hal yang kontradiktif ini bisa dialami, baik oleh pelaku maupun oleh korban. Samuel Rachmat, di dalam tulisannya tentang Derrida, menyebut ini sebagai ‘rahasia hati yang tak terbahasakan’.[25] Pengalaman memaafkan dan meminta maaf adalah pengalaman personal yang tidak terukur oleh kriteria apapun.

Hal ini membuat sikap memaafkan dan tindak meminta maaf tidak pernah bisa direduksikan ke dalam bentuk kekuatan hukum ataupun politik semata. Di dalam hukum dan politik, kekuatan maaf menjadi bersyarat, teratur, dan terbatas, sehingga kehilangan kemurniannya. Di dalam hukum, tindak memaafkan menjadi tereduksi. Relasi memaafkan haruslah melampaui batasan-batas formal yang dianggap sah begitu saja di dalam hukum. Hanya dengan begitulah tindak memaafkan yang sejati baru dapat dirasakan dampaknya.

Menurut Rachmat, setiap pihak yang terlibat di dalam tindak memaafkan haruslah mempertimbangkan dan menghargai ‘rahasia hati yang tak terbahasakan’ dari setiap orang yang terlibat. Pendapat Rachmat sendiri rupanya searah dengan pendapat Jacques Derrida. Derrida berpendapat bahwa kebutuhan akan pertimbangan ‘rahasia hati’ ini adalah sebuah kewajiban, terutama untuk menghindari kesalahpahaman yang seringkali muncul akibat campur tangan pihak ketiga. Dengan semua bentuk sandiwara politik, hukum, ekonomi, dan bahkan militer, pihak ketiga ini hendak mempertahankan kekuasaan mereka. Inilah yang disebut sebagai hegemoni. Hegemoni inilah yang menodai kemurnian tindak meminta maaf dan memaafkan. Itulah sebabnya, mengapa Derrida sangat menekankan bahwa tindak memaafkan haruslah didasarkan pada ketakterbatasan, ketakterukuran, dan tanpa syarat, sehingga tindak memaafkan dan meminta maaf tidak lagi dinodai oleh kepentingan-kepentingan politik ataupun ekonomi yang ada di luarnya.

Tindak memaafkan sendiri, menurutnya, berakar pada pengandaian bahwa ada orang yang berbuat salah. Jadi, memaafkan ada, karena ada orang yang bersalah. Tanpa keberadaan orang yang bersalah, tindak memaafkan menjadi tidak masuk akal. Lebih dari itu, tindak memaafkan baru dapat menjadi sungguh bermakna justru karena adanya “yang tak termaafkan”. Tindak memaafkan yang sejati adalah tindak memaafkan ‘yang tak termaafkan’. Di dalam karakter mustahil dari tindakan inilah tindak memaafkan yang murni justru menjadi nyata. Inilah yang disebut sisi paradoks dari tindak memaafkan. “Jika seseorang hanya siap memaafkan apa yang kelihatan termaafkan”, demikian Derrida, “…maka ide asli dari tindak memaafkan akan sirna… Tindak memaafkan harus mengumandangkan dirinya sendiri sebagai kemustahilan itu sendiri. Ia hanya bisa menjadi niscaya ketika melakukan yang mustahil.”[26]

Tindak memaafkan yang otentik hanya dapat terjadi, jika tindak tersebut mampu melampaui semua batasan-batasan, baik batasan norma maupun batasan hukum. Tindak memaafkan menjadi bermakna, jika tindakan itu tidak lagi terkurung dalam kewajiban legalistik semata, tetapi mewujud menjadi suatu penyerahan batin. Hal ini memang terdengar mustahil, tetapi justru di dalam kemustahilannyalah tindak memaafkan menjadi sungguh bermakna. Sifat dari tindak memaafkan semacam ini sangatlah personal dan singular. Tendensi universalisasi atasnya hanya pada akhirnya akan merusak sisi otentisitasnya.

7. Konteks Indonesia

Ingatan sosial adalah salah satu konsep utama yang perlu direfleksikan terlebih dahulu, jika kita hendak merumuskan suatu bentuk identitas sosial dari sebuah bangsa. Di dalam tulisan ini, saya sendiri mencoba mengajukan argumentasi, bahwa identitas sosial yang sehat hanya dapat terbentuk, jika ingatan sosial akan berbagai peristiwa negatif di masa lalu dapat dimaafkan. Kata memaafkan disini memiliki makna mutlak. Tentu saja, yang saya maksud bukanlah impunitas, tetapi kesadaran eksistensial seseorang untuk memaafkan yang tak termaafkan. Kesadaran ini melampaui batas-batas hukum, politik, maupun ekonomi. Hukum tetap harus diperlakukan, tetapi itu semua akan sia-sia, jika tidak ada kesadaran akan maaf dibaliknya.

Kata ingatan sosial sendiri, menurut Haryatmoko, lebih tepat digunakan daripada kata ingatan kolektif. Ingatan sosial memiliki sifat yang abadi, dan keberadaanya melampaui sejarah. Mengapai konsep ini begitu penting di bahas dalam konteks Indonesia? Pada hemat saya, hal ini sangatlah penting, terutama karena banyak konflik sosial maupun kekerasan massal yang terjadi dewasa ini memiliki pola yang kurang lebih sama dengan apa yang pernah terjadi di masa lalu. Dengan kata lain, rantai kekerasan sosial di Indonesia selalu berulang. Rantai kekerasan tersebut jarang sekali ditanggapi dengan ketegasan hukum dan komitmen moral yang jelas. Pada hemat Haryatmoko, banyak orang mulai curiga, bahwa absennya proses hukum terhadap semua bentuk kekerasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi adalah suatu upaya yang dengan sengaja dilakukan untuk mengubur ingatan sosial sedalam mungkin.[27]

Di Indonesia, jarang sekali pelaku kekerasan massal tertangkap dan diminta bertanggungjawab. Tidak berhenti disitu, korban yang mengalami tindak kekerasan justru terus mengalami penghinaan. Dengan kata lain, korban mengalami viktimisasi kedua. Dalam proses ini, masyarakat dihalangi untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Proses mengingat dan belajar dari kesalahan masa lalu pun tidak terjadi. Semua fakta sejarah dikaburkan, supaya masyarakat lupa. Ingatan sosial dipenuhi oleh distorsi dan kebohongan. Haryatmoko menulis lebih jauh, bahwa upaya mengaburkan ingatan sosial adalah suatu upaya kompromi dengan kekerasan dan kejahatan. Semua ini memperbesar potensi untuk terulangnya lagi kekerasan massal di masa depan.[28]

Ingatan bukanlah merupakan gambaran akurat tentang masa lalu, melainkan bagian dari masa lalu yang terus hidup di dalam diri seseorang ataupun masyarakat tertentu, serta berada di dalam representasi maupun penghayatan yang ada di masa sekarang. Dalam arti ini, tindak mengingat berarti juga adalah tindak untuk mencari makna. Tindak mengingat juga melibatkan suatu proses negosiasi dan debat publik yang kritis tentang status kesaksian maupun dokumen, yang merupakan sumber utama untuk mengetahui masa lalu. Proses negosiasi dan debat publik kritis ini dapat dianggap sebagai proses pemurnian ingatan. Dengan berupaya menghidupkan lagi ingatan sosial, suatu masyarakat sedang mewujudkan suatu proses menuju perdamaian yang sesungguhnya. Dengan berupaya menghidupkan ingatan sosial, suatu masyarakat juga menyatakan bahwa mereka hendak belajar dari masa lalu, dan berniat untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama.

Pada dasarnya, ingatan diharapkan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Hal ini setidaknya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kredibilitas dua hal, yakni kredibilitas kesaksian dan dokumen.[29] Dengan kedua hal tersebut, orang memasuki sejarah. Menurut Haryatmoko, dokumen mempertegas kesaksian. Dokumen sekaligus memperpanjang kehadiran kesaksian. Dalam konteks ingatan sosial, kesaksian dan dokumen terbuka terhadap konfrontasi dari kesaksian maupun dokumen yang lain. Ingatan sosial adalah suatu “rekonstruksi kritis yang dibahas sebagai obyek pengetahuan.”[30]

Di dalam ilmu sejarah, diskusi mengenai ingatan tidak akan pernah terlepas dari eksistensi dokumen. Jika sudah menyentuh dokumen, orang sudah melampaui ingatan personalnya sendiri, dan memasuki wilayah ingatan sosial. Hal ini sangatlah masuk akal, terutama jika kita mengingat bahwa ketika orang menggunakan bahasa, orang tersebut berpartisipasi di dalam dunia sosial. Melalui bahasa, ingatan individual beririsan dengan ingatan sosial.

Akan tetapi, ingatan sosial tidaklah identik dengan sejarah. Sejarah berupaya memperluas tema-tema yang ada di dalam ingatan sosial. Sejarah bersifat deskriptif. Sedangkan, ingatan sosial tidak hanya menghadirkan kembali peristiwa yang tengah lalu, tetapi juga menghadirkan peristiwa menyedihkan yang telah terjadi, dan melakukan tuntutan etis atasnya. Menurut Taufik Abdullah, ingatan sosial Indonesia masih banyak memendam dendam. Masyarakat, menurutnya, masih menuntut pertanggungjawaban atas semua peristiwa tragis yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru.[31]

Selain melalui kesaksian dan dokumen, ingatan sosial juga bisa dihidupkan kembali melalui karya seni dan karya sastra. Pengetahuan dan kenangan manusia jauh lebih mudah disampaikan dengan melalui karya seni. Ingatan tentang pembantaian orang-orang Yahudi disampaikan dengan lebih detil di dalam tulisan-tulisan Primo Levi. Melalui karya seni, ingatan tentang peristiwa-peristiwa menyedihkan disampaikan dengan cara yang lebih hidup, menyentuh, dan memberi makna bagi generasi berikutnya. Ingatan tersebut bisa menjadi bahan refleksi sekaligus pelajaran bagi semua orang untuk tidak mengulanginya kembali di masa depan.

Tujuan dari ingatan sosial bukanlah untuk menyakiti hati sebuah masyarakat, melainkan lebih untuk membangun harapan. Ingatan sosial selalu berisi tentang harapan. Harapan bahwa masa depan selalu lebih baik daripada masa lalu, dan bahwa semua bentuk kejahatan serta kekejian yang pernah terjadi tidak akan terjadi lagi. Kewajiban dari setiap bangsa bukanlah untuk mengubur dalam-dalam sejarah gelap bangsa mereka, tetapi untuk mengangkatnya menjadi bagian dari ingatan sosial. Dalam arti ini, tindak melupakan sejarah adalah suatu tindak kejahatan.

Seseorang maupun sebuah bangsa didefinisikan oleh ingatannya. Individu oleh ingatan personal, dan bangsa oleh ingatan sosial. Artinya, identitas, baik personal maupun sosial, selalu terkait dengan ingatan. Jika ingatan sengaja untuk dilupakan, maka manusia akan kehilangan identitasnya. Jika bangsa Indonesia sengaja untuk melupakan ingatannya tentang berbagai peristiwa yang pernah terjadi, maka pasti pula bahwa bangsa Indonesia akan kehilangan identitasnya. Jika kepastian identitas tidak lagi dipunyai, keberadaan Indonesia sebagai bangsa pun sebenarnya tidak lagi berarti.

Di Indonesia, ingatan sosial tentang peristiwa negatif yang pernah terjadi di masa lalu hendak dikubur dalam-dalam. Selama bertahun-tahun, bangsa Indonesia telah menutup fakta, bahwa telah terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap sejumlah kelompok. Selama bertahun-tahun pula, kita disuapi argumen bahwa semua itu dilakukan demi mencapai kesejahteraan bersama maupun stabilitas nasional. Jadi, tindak pembunuhan besar-besaran tersebut adalah sesuatu yang seolah harus dan perlu untuk dilakukan.

Memang, banyak orang yang menyaksikan langsung kejadian tersebut sudah meninggal. Bersama dengan meninggalnya mereka, ingatan personal tentang kejadian tersebut pun juga hilang. Akan tetapi, ingatan sosial tetaplah ada. Ingatan sosial akan terus hidup, walaupun individu-individu personal yang mengalaminya sudah meninggal. Haryatmoko menyebut goresan ingatan sosial ini sebagai inskripsi sosial tindakan.[32] Di dalam inskripsi sosial tindakan ini, para pelaku, korban, dan peristiwa traumatis terkait akan meninggalkan bekasnya di dalam sejarah. Semua bentuk upaya memutarbalikan, memanipulasi, ataupun melenyapkan inskripsi sosial tidaklah dapat dibenarkan.

Dalam konteks Indonesia, menurut Haryatmoko, konsep ingatan sosial haruslah mengambil bentuk di dalam kebijakan-kebijakan politik maupun hukum yang konkret.[33] Semua peristiwa traumatis yang pernah terjadi di masa lalu haruslah diangkat ke level kesadaran, dan menjadi bagian utuh dari ingatan sosial bangsa. Hukum dan masyarakat sekarang ini haruslah mengakui, bahwa ada pelaku dan korban kekerasan akibat kejahatan masa lalu. Keadilan terhadap kedua pihak yang haruslah ditegakkan dalam bentuk sanksi hukum kepada para pelaku, dan rehabilitasi kepada para korban. Hanya dengan begitulah “maaf” di level politis dapat diberikan. Jadi, maaf sama sekali tidak boleh mengaburkan kepastian hukum dan prinsip keadilan.

Dengan menempuh proses ini, bangsa Indonesia akan mencoba membangun ingatan sosial tentang masa lalu mereka yang kelam. Artinya, bangsa Indonesia akan mulai merangkai harapan untuk masa depan yang lebih baik, di mana semua bentuk kekejaman, kejahatan, dan ketidakadilan tidak akan terulang lagi. Semua bentuk pengaburan sejarah dan penguburan ingatan sosial haruslah dihentikan. Hanya dengan beginilah penegakan keadilan dan kepastian hukum yang sesungguhnya dapat dilaksanakan.

Untuk catatan terakhir, kiranya perlu diperhatikan apa yang pernah ditulis oleh Haryatmoko,

“…ingatan sosial menuntut usaha untuk memberi makna, memverifikasi hipotesa pengingat, membangun kembali makna dengan melihat masa lalu. Menghidupkan ingatan sosial berarti membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha untuk tidak mengulangi kekeliruan masa lampau yang tragis, yang menghantui dan melukai ingatan sosial. Bangsa tanpa ingatan sosial adalah bangsa tanpa masa depan…”[34]

8. Kesimpulan

Ingatan adalah sesuatu yang empiris sekaligus metafisis. Ingatan sekaligus melampaui fakta dan peristiwa, serta sekaligus peristiwa itu sendiri. Ingatan juga sekaligus melampaui batas-batas individual, dan menjangkau ke level sosial. Pada level sosial, ingatan memiliki status yang berbeda dengan ingatan individual. Ingatan sosial merupakan suatu proses dan distribusi yang dilakukan oleh suatu kelompok, masyarakat, ataupun bangsa untuk memahami masa lalu mereka. Seringkali, ingatan sosial tersebut terkait erat dengan peristiwa sosial yang menyakitkan, seperti perang, bencana alam, ataupun genosida. Oleh karena itu, ingatan sosial seringkali dikubur dalam-dalam. Ingatan sosial yang terkubur ini berubah menjadi trauma sosial. Trauma sosial mendistorsi mentalitas dan kultur suatu bangsa, sehingga terciptalah kultur impunitas, kultur ketakutan, dan krisis identitas sosial. Hal inilah yang sekarang terjadi di Indonesia. Bangsa kita memendam dalam-dalam ingatan sosialnya, dan kini ingatan sosial tersebut telah menjadi trauma sosial.

Pada titik ini, proses-proses hukum yang terkait dengan keadilan mutlak harus dilaksanakan. Melampaui semua proses tersebut, bangsa kita haruslah belajar untuk memaafkan. Tindak memaafkan itu sendiri adalah suatu tindak dialog dan negosiasi, dan harus bergerak dari tahap legal-institusional sampai ke tahap metafisis-eksistensial dalam bentuk kemampuan untuk ‘memaafkan yang tak termaafkan’. Itulah tindak memaafkan yang sungguh bermakna. Tindak memaafkan bukanlah sebuah impunitas, melainkan terletak pada level yang lebih dalam daripada itu. Pada titik ini, keadilan menjangkau dari level hukum, politik, maupun ekonomi, sampai ke level personal, eksistensial, dan metafisis. Pada titik ini pula, bangsa Indonesia harus berani mengungkap dan melestarikan ingatan sosialnya, sehingga jati diri kita sebagai bangsa, dan trauma sosial yang kita alami bisa secara perlahan dikupas dan disembuhkan. Salah satu tolok ukur kebesaran suatu bangsa adalah, seberapa jauh mereka mampu menghadapi masa lalu mereka, dan bersikap adil atasnya. Tuntutan keadilan itu tidak akan pernah hilang, walaupun ia dibungkam. Melalui ingatan sosial, tuntutan keadilan akan bergaung keras di dalam sejarah, dan akan terus mengetuk rasa kemanusiaan kita, sampai kita mau dan mampu untuk mendengarkannya.***

Daftar Pustaka

Graylings, A.C, The Meaning of Things, Great Britain, Phoenix Paperback, 2001

Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta, Kompas, 2003

Lazare, Aaron, On Apology, New York, Oxford University Press, 2004

Morrow & Nolen-Hoeksoma, “Effects of Reponses to Depression on the Remediation of Depressive Affect”, dalam Journal of Personality and Social Psychology, 58, 1990, hal. 519-527.

Paez, Nekane Basabe, Jose Luis Gonzalez, “Social Process and Collective Memory: A Cross-Cultural Approach to Remembering Political Events”, dalam Collective Memory of Political Events. Social Psychology Perspectives, New Jersey, Lawrence Erlbaum, 1997,

Pennebaker, Opening Up: The Healing Power of Confiding in others, New York: Morro, 1990

Rachmat, Samuel, “Rekonsiliasi: Mengampuni yang tak Terampuni”, Basis: Edisi Khusus Derrida, No. 11-12, tahun ke-54, November-Desember 2005

Schuman & Scott, 1989, “Generations and Collective Memory”, American Sociological Review, 54, hal. 359-381.

Tait dan Silver, “Coming to terms with Major Negative Life Events”, dalam J.S Uleman & J Bargh (eds), Unitended Thought, New York, Guilford, 1989,


[1] Reza A.A Wattimena adalah Staff Pengajar di Fakultas Psikologi dan Fakultas Teknik Industri Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.


[1] Dikutip dari A.C Graylings, The Meaning of Things, Great Britain, Phoenix Paperback, 2001, hal. 182. Pada bagian pendahuluan ini, saya banyak terinspirasi dari tulisan Graylings ini.

[2] Lihat, ibid.

[3] Dikutip Graylings, ibid, hal. 183.

[4] Ibid.

[5] Lihat, ibid, hal. 185.

[6] Lihat, Dari Paez, Nekane Basabe, Jose Luis Gonzalez, “Social Process and Collective Memory: A Cross-Cultural Approach to Remembering Political Events”, dalam Collective Memory of Political Events. Social Psychology Perspectives, New Jersey, Lawrence Erlbaum, 1997, hal. 147.

[7] Ibid.

[8] Dikutip Paez, Basabe, dan Gonzalez (selanjutnya PBG) dari Swindler. A dan Arditi. J, “The New Sociology of Knowledge”, dalam Annual Review of Sociology, 20, hal. 305-329.

[9] Ibid.

[10] Lihat, Pennebaker, Opening Up: The Healing Power of Confiding in others, New York: Morro, 1990.

[11] Lihat Schuman & Scott, 1989, “Generations and Collective Memory”, American Sociological Review, 54, hal. 359-381.

[12] Data diambil dari PBG, 1997, hal. 150.

[13] Dikutip dari ibid, hal. 151.

[14] Lihat, Levine, Ressnick, dan Higgins, Social Foundations of Cognition, Annual Review of Psychology, 44, 1993, hal, 585-612. sebagaimana dikutip dari ibid.

[15] Lihat, Tait dan Silver, “Coming to terms with Major Negative Life Events”, dalam J.S Uleman & J Bargh (eds), Unitended Thought, New York, Guilford, 1989, hal. 351-382.

[16] Morrow & Nolen-Hoeksoma, “Effects of Reponses to Depression on the Remediation of Depressive Affect”, dalam Journal of Personality and Social Psychology, 58, 1990, hal. 519-527.

[17] Lihat, PBG, 1997, hal. 157. Untuk pembahasan mengenai Halbwachs, saya menggunakan sumber dari PBG, 1997.

[18] Lihat Schuman dan Scott, “Generations and Collective Memory”, American Sociological Review, 54, 1989, hal. 359-381.

[19] Ibid.

[20] Lihat, PSB, 1997, hal. 170.

[21] Lihat, Aaron Lazare, On Apology, New York, Oxford University Press, 2004, hal. 23.

[22] Lihat, ibid, hal. 42.

[23] Lihat, ibid, hal. 43.

[24] Ibid.

[25] Lihat, Samuel Rachmat. “Rekonsiliasi: Mengampuni yang tak Terampuni”, Basis: Edisi Khusus Derrida, No. 11-12, tahun ke-54, November-Desember 2005, hal. 33.

[26] Jacques Derrida. On Cosmopolitanism and Forgiveness. Routledge Press, seperti dikutip Samuel Rachmat, 2005, hal. 35.

[27] Lihat Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta, Kompas, 2003, hal. 172. Seluruh bagian ini terinspirasi dari tulisan Haryatmoko tentang Ingatan Sosial di dalam buku ini.

[28] Lihat, ibid, hal. 173.

[29] Lihat, ibid.

[30] Ibid, hal. 174.

[31] Lihat, Kompas, 3 Oktober, 2000, dalam Ibid, hal. 175.

[32] Lihat, ibid, hal. 179.

[33] Lihat, ibid, hal. 183.

[34] Ibid.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.