Filsafat dan Dunia yang tak Pernah Ada

ndr.de
ndr.de

Markus Gabriel dan Metafisika Dunia

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Saat ini, saya sedang membaca buku berjudul Warum es die Welt nicht gibt (mengapa dunia tidak ada), terbitan Ullstein Verlag 2009 lalu. Harga buku itu murah, sekitar 15 Euro, tergantung beli dimana, dan baru atau bekas. Penulisnya adalah Markus Gabriel, seorang Professor Filsafat di bidang Epistemologi dan Filsafat Modern di Universität Bonn. Di artikelnya di Der Spiegel yang berjudul Eine Reise durch das Unendliche, Romain Leick melakukan wawancara yang cukup mendalam dengan Gabriel terkait dengan bukunya tersebut.

Sejauh saya tangkap, tujuan buku itu adalah mengajukan satu argumen baru terkait dengan realisme, yakni bahwa dunia memiliki sifat tetap pada dirinya sendiri, lepas dari pikiran manusia. Pertanyaan penting disini adalah, bagaimana manusia bisa tahu dengan dunianya? Ini adalah pertanyaan dasar di dalam Filsafat Pengetahuan (Erkenntnistheorie), atau epistemologi. Pertanyaan ini sama mendasarnya dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis lainnya yang terus menggangu manusia sepanjang jaman, yakni dari mana kita berasal? Apa artinya hidup? Dan apa tujuan keberadaan kita di dunia ini? (Leick, 2013)

Gabriel juga menjelaskan, bahwa filsafat masih dapat memberikan sumbangan besar terkait dengan pertanyaan kosmologis, yakni apa artinya alam atau dunia tempat kita tinggal? Dalam arti ini, dunia bukanlah hanya dunia fisik material semata, tetapi juga dunia yang dihayati dan dihidupi oleh manusia. Fisika modern, beserta dengan ilmu-ilmu modern lainnya, seperti neurosains, sering melakukan penyempitan pemahaman atas dunia dengan melihatnya semata sebagai gejala material-fisik-biologis saja. Pola inilah yang kiranya ingin ditantang sekaligus dilampaui oleh Gabriel.

Di dalam bukunya, Gabriel juga menekankan, bahwa konsep alam semesta (Universum) pun lebih kecil daripada dunia (Welt) itu sendiri. Alam semesta hanyalah dunia fisik yang merupakan satu bagian kecil dari dunia sebagai keseluruhan itu sendiri. “Alam semesta”, demikian kata Gabriel, “hanyalah salah satu dari ruang-ruang objek, satu bagian dari keseluruhan, dan bukan keseluruhan itu sendiri.” (dalam Leick, 2013) Di sisi lain, dunia pada dirinya sendiri (die Welt an sich) itu tidak pernah ada, sehingga kita dapat mengatakan, bahwa setiap pandangan dunia yang merasa utuh, menyeluruh, dan benar itu tidaklah tepat, karena mengandaikan ada satu dunia utuh yang bisa diketahui oleh manusia.

Gabriel pada titik ini menerapkan cara pandang yang menjadi dasar dari fenomenologi, bahwa manusia selalu melihat dunia dan realitas dari satu titik tertentu yang tidak pernah mutlak. Cara pandang manusia selalu terikat pada tempat-tempat (Orten). Cara pandang yang melihat dunia dari sudut pandang keseluruhan tidaklah mungkin dilakukan. Ketika ilmu pengetahuan mengatakan, bahwa ia telah mencapai pengetahuan yang utuh dan benar tentang dunia, maka ia terjebak pada kesalahan cara berpikir.

“Kita”, demikian Gabriel, “melihat selalu bagian kecil dari sesuatu yang tak terbatas. Pandangan tentang keseluruhan dunia tidaklah mungkin, karena keseluruhan itu tidaklah ada.” Sebagai manusia, kita berpindah dari area kehidupan satu ke area kehidupan lainnya. Gabriel menyebutnya sebagai Sinnfeldern, atau lapangan-lapangan makna. Setiap area ini terhubung, namun berbeda satu sama lain. Tidak ada satu area, atau lapangan makna, yang melingkupi seluruhnya.

Dunia sebagai keseluruhan, menurut pandangan filsafat klasik, adalah bidang dari segala bidang-bidang lainnya. Ia adalah jaringan dari keseluruhan, namun manusia tidak akan pernah bisa memahami ini, karena pengetahuannya selalu terbatas. Terjangan filsafat posmodern telah membubarkan harapan manusia tentang filsafat yang bisa menjelaskan segalanya dalam satu gambaran dunia yang utuh dan koheren. Tidak ada lagi “Dunia” dengan D besar.

Akibatnya, banyak orang kini kehilangan pegangan, karena panduan dunia yang utuh dan menyeluruh telah menghilang. Keyakinan akan kebenaran mutlak dipertanyakan ulang. Sebaliknya, imajinasi dan kreativitas justru meningkat, guna mengisi kekosongan yang telah ditinggalkan. Rumah bagaikana tempat yang dingin (kalte Heimat) yang harus ditata dengan imajinasi dan daya cipta manusia. Tidak ada pilihan lain, kecuali manusia menjalani ini semua dengan penuh kesadaran dan kebebasan.

Pada titik ini, ilmu pengetahuan tidaklah cukup. Manusia membutuhkan seni, agama, budaya, dan filsafat untuk mengisi hidupnya. Tanpa itu semua, dunia bagaikan padang gurun yang kering dan tanpa makna. Jika sudah begitu, neraka tak perlu menunggu setelah kematian, melainkan sudah ada disini dan saat ini.

Peradaban adalah pertama dan terutama produk dari mental manusia. Institusi-institusi yang menopang kehidupan manusia, seperti negara, agama, dan masyarakat dibentuk melalui imajinasi dan pemikiran manusia. Penyempitan dunia manusia hanya pada dimensi material biologisnya mengabaikan seluruh proses mental ini, yang telah menghasilkan peradaban manusia. Sebagai suatu eksistensi, manusia adalah sekaligus kesatuan semua dimensinya, termasuk tubuh dan mentalnya.

Tanpa jiwa, dan pengakuan atasnya, hidup manusia jadi tak berarti. “Jiwa”, demikian kata Gabriel, “adalah administrator dari makna”. Tanpanya, hidup manusia jadi tak bermakna. Ilmuwan berlomba untuk memahami asal dan karakter jiwa manusia, namun selalu mentok oleh keterbatasan keadaan. Namun, satu hal yang, menurut Gabriel, tetap pasti, bahwa esensi dari proses berpikir manusia selalu bersifat imaterial, yakni melampaui struktur otak manusia itu sendiri.

“Proses-proses berpikir”, kata Gabriel, “dapat diamati melalui aktivitas otak dan kemudian dijabarkan, akan tetapi ini menjelaskan proses pikiran, dan bukan pikiran itu sendiri.” Pada titik ini, filsafat berperan sebagai alat untuk menyelidiki dimensi mental manusia melalui metode reflektif, yakni emosinya, perasaannya, yang kesemuanya tidak pernah dapat disempitkan pada gejala-gejala biologis material semata. Pikiran, dalam arti ini, dapat diartikan sebagai indra keenam dari manusia yang perannya amat penting, bahkan lebih penting dari kelima indra manusia lainnya.

Dunia manusia, dengan demikian, adalah dunia mental yang beragam, terhubung, namun tetap saling berbeda. Tidak ada dunia yang satu, utuh, menyeluruh dan benar secara mutlak. Hal ini berlaku tidak hanya di dalam ranah ilmu pengetahuan, tetapi juga agama. Manusia hanya mampu merumuskan gambarannya tentang Tuhan melalui pengalaman imannya, tetapi tidak pernah dapat sungguh memahami, apa itu Tuhan sejatinya.

Tidak adanya dunia yang satu, utuh, menyeluruh dan benar secara mutlak jangan diratapi sebagai musibah, tetapi justru sebagai pembebasan. Kita mencipta, sekaligus tak berharap apa-apa di depannya. Gabriel juga menegaskan, bahwa sumber utama penderitaan manusia adalah harapan yang tak terwujud, misalnya kebahagiaan sejati yang tak pernah tercapai, keabadian di surga yang tetap tak pasti, dan sebagainya. Ketika harapan itu dihilangkan, karena tidak masuk akal, dan manusia tak punya hak untuk berharap semacam itu, maka ia bisa fokus pada situasi disini dan saat ini (here and now), dan mulai mencipta dengan gembira, tanpa kekecewaan, tanpa depresi.

Manusia lalu hidup di dunia yang tak pernah ada, namun memiliki peluang dan kemungkinan yang tak terbatas untuk mencipta. Ia melintas berbagai area makna, lalu mencipta ulang hidupnya kembali. Tujuan akhir tak akan pernah tercapai, karena tujuan itu sendiri tak pernah ada. Makna yang tersangkut pada kebenaran mutlak memang menghilang, tetapi kita juga memiliki kebebasan untuk menciptakan makna-makna baru secara kreatif, dan tanpa batas.

Filsafat membantu kita untuk tetap sadar akan keterbatasan kita. Ia mengajak kita melampaui mimpi akan dunia yang serba pasti, dan memiliki makna mutlak. Ia mengajak kita menelusuri ruang-ruang terdalam jiwa kita, guna menemukan makna hidup yang mendorong kita untuk terus hidup. Filsafat mengajak kita melintas pelbagai area makna dengan berani, ..dan tulus.

Diinspirasikan dari

http://www.spiegel.de/spiegel/print/d-101368296.html

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Filsafat dan Dunia yang tak Pernah Ada”

  1. Ada realitas fisika – biologi – sosial – psikologis semuanya adalah material. Otak (tubuh) adalah administrator dari makna, pesepsi, kehendak dll.Jiwa adalah materi yg menubuh. Bagaimana menjelaskan adanya realitas imaterial yg disebut “jiwa”? Apakah itu Antimatter?

    Suka

  2. MAKASIH ATAS KIRIMAN TULISAN DAN INFORMASI LAINNYA. SAYA SENANTIASA BACA DAN BERUPAYA MEMAHAMINYA. SMOGA RUMAH FILSAFAT TETAP KUAT DAN JAYA DALAM BERBAGI. BASIR PALY. SALAM

    Suka

  3. itu pertanyaan mendasar. Jiwa itu lahir dari kompleksitas materi yang saling berinteraksi, sehingga menghasilkan sesuatu yang melampaui materi itu. Namanya kesadaran yang juga bisa dianggap sebagai jiwa. Ini konsep imaterial jadi tidak bisa diuji oleh sains-positivistik semata, tetapi hanya bisa oleh ilmu antar displin..

    Suka

  4. Di masa kini ke depan Sunda akan melahirkan Para Filsuf Handal yang siap menghancurkan kesalahan cara berpikir & manipulasi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Para Filsuf Dunia.
    MARI KITA MEMBUAT KARYA FILSAFAT AGAR KITA MENJADI SEORANG FILSUF, YANG BERTANGGUNG JAWAB MENGHADIRKAN KEMBALI KEBENARAN ILMU SANG MAHA PENCIPTA, sebagai mana yang dilakukan oleh Filsuf Sunda Mandalajati Niskala, yang sebagian hipotesisnya sbb:

    1) Menurut para akhli di seluruh Dunia bahwa GRAVITASI BUMI EFEK DARI ROTASI BUMI.
    Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala SALAH BESAR, bahwa Gravitasi Bumi TIDAK ADA KAITANNYA DENGAN ROTASI BUMI. Sekalipun bumi berhenti berputar Gravitasi Bumi tetap ada.

    2) Bahkan kesalahan lainnya yaitu semua akhli sepakat bahwa panas di bagian Inti Matahari mencapai 15 Juta Derajat Celcius.
    Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala panas Inti Matahari SEDINGIN AIR PEGUNUNGAN”.
    Beliau menambahkan:“KALAU TIDAK PERCAYA SILAKAN BUKTIKAN SENDIRI”.

    3) Filsuf Sunda Mandalajati Niskala sangat logis menjelaskan kepada banyak pihak bahwa MATAHARI ADALAH GUMPALAN BOLA AIR RAKSASA YANG BERADA PADA RUANG HAMPA BERTEKANAN MINUS, SEHINGGA DI BAGIAN SELURUH SISI BOLA AIR RAKSASA TERSEBUT IKATAN H2O PUTUS MENJADI GAS HIDROGEN DAN GAS OKSIGEN, YANG SERTA MERTA AKAN TERBAKAR DISAAT TERJADI PEMUTUSAN IKATAN TERSEBUT. Suhu kulit Matahari menjadi sangat panas karena Oksigen dan Hidrogen terbakar, tapi suhu Inti Matahari TETAP SEDINGIN AIR PEGUNUNGAN.

    4) Filsuf Sunda Mandalajati Niskala menegaskan: “CATAT YA SEMUA BINTANG TERBUAT DARI AIR DAN SUHU PANAS INTI BINTANG SEDINGIN AIR PEGUNUNGAN. TITIK”.

    5) Menurut para akhli diseluruh Dunia bahwa Gravitasi ditimbulkan oleh adanya massa pada suatu Zat.
    Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala: “GAYA GRAVITASI BUKAN DITIMBULKAN OLEH ADANYA MASSA PADA SEBUAH ZAT ATAU BENDA”.
    Mandalajati Niskala menambahkan: “Silahkan pada mikir & jangan terlalu doyan mengkonmsumsi buku2 Barat.

    6) Filsuf Sunda Mandalajati Niskala membuat pertanyaan di bawah ini yang cukup menantang bagi orang-orang yang mau berpikir:
    a) BAGAIMANA TERJADINYA GAYA GRAVITASI DI PLANET BUMI?
    b) BAGAIMANA MENGHILANGKAN GAYA GRAVITASI DI PLANET BUMI?
    c) BAGAIMANA MEMBUAT GAYA GRAVITASI DI PLANET LAIN YG TIDAK MEMILIKI GAYA GRAVITASI?

    7) Menurut para akhli diseluruh Dunia bahwa Matahari memiliki Gaya Gravitasi yang sangat besar.
    Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala Matahari tidak memiliki Gaya Gravitasi tapi memiliki GAYA ANTI GRAVITASI.

    8) Pernyataan yang paling menarik dari Filsuf Sunda Mandalajati Niskala yaitu:
    “SEMUA ORANG TERMASUK PARA AKHLI DI SELURUH DUNIA TIDAK ADA YANG TAHU JUMLAH BINTANG & JUMLAH GALAKSI DI JAGAT RAYA, MAKA AKU BERI TAHU, SBB:
    a) Jumlah Bintang di Alam Semesta adalah 1.000.000.000.000.000.000.000.000.000
    b) Jumlah Galaksi di Alam Semesta adalah 80.000.000.000.000
    c) Jumlah Bintang di setiap Galaksi adalah sekitar 13.000.000.000.000

    9) Dll produk Filsafat seluruh cabang ilmu dari Filsuf Sunda Mandalajati Niskala YANG SIAP MENCENGANGKAN DUNIA seperti Wahyu Cakra Ningrat, Trisula Weda, Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Diri, Sastra Jendra, Filsafat Ilmu Pengetahuan & Jagat Raya, dll.

    Selamat berfilsafat
    @Sandi Kaladia

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.