
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala, Surabaya
Di tengah berbagai kasus korupsi yang menyerbu Indonesia, ada setitik harapan yang masih bisa dipegang, yakni harapan ke arah perubahan yang lebih baik, guna memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Harapan itu adalah pendidikan. Reformasi paradigma dan institusional di dalam pendidikan Indonesia akan membawa perubahan amat besar bagi bangsa ini.
Tentu saja, reformasi pendidikan (paradigma sekaligus institusi) adalah sebuah langkah besar. Kita perlu untuk membuat langkah kecil yang nyata, guna memulai proyek raksasa yang amat penting ini. Salah satunya, sebagaimana ditawarkan oleh Lydon (2013) di konteks Irlandia dalam artikelnya yang berjudul It’s time to start teaching philosophy as a formal subject in our secondary schools, adalah mencoba mengajarkan filsafat kritis formal sebagai salah satu mata pelajaran wajib untuk sekolah dasar. Ia yakin, dan saya sependapat dengannya, bahwa langkah ini akan secara langsung meningkatkan kualitas pemikiran anak-anak muda.
Lydon memberikan contoh yang menarik. Belajar berpikir tanpa belajar filsafat sama seperti belajar bahasa. Setiap orang akan melakukannya (berpikir dan juga berbahasa), tapi mereka akan melakukannya secara buruk. Filsafat dalam hal ini mendorong orang untuk secara sadar mengembangkan kemampuan manusia untuk bernalar jernih, guna membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup sehari-hari. Saya rasa, nalar argumen yang sama juga pas untuk situasi Indonesia.
Hal ini menjadi semakin penting, terutama jika kita melihat, bagaimana petinggi politik di berbagai negara, juga di Indonesia, membuat keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat luas. Hal-hal mendasar untuk manusia, seperti pendidikan dan kesehatan yang layak, tidak dipikirkan secara mendalam. Pola pikir jangka pendek, yang berfokus untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek, mengakar di dalam pola pikir para pembuat kebijakan politik di negeri kita. Akibatnya jelas: krisis di berbagai bidang.
Di samping itu, filsafat juga mengajak orang untuk merambah ke area-area pemikiran baru. Artinya, filsafat mendorong kreativitas berpikir. Jelas, ilmuwan dan para pembuat kebijakan politik membutuhkan kreativitas berpikir, supaya bisa menyelesaikan masalah-masalah kehidupan dengan cara-cara yang brilian. Lebih dari itu, filsafat juga menyuntikan kesadaran etis, sehingga orang mampu menimbangkan apa yang baik dan apa yang buruk secara seimbang dengan akal sehatnya, sebelum mengambil keputusan.
Filsafat, sebagaimana dinyatakan oleh Lydon, “mengajarkan siswa untuk mengajukan pemikiran mereka dengan cara-cara yang bisa diterima secara umum, inilah dasar untuk ruang publik yang sehat.” Pola semacam ini dengan mudah ditemukan di Jerman, Prancis, dan Inggris, dimana filsafat adalah bagian penting dari sistem pendidikan yang ada. Di Indonesia, filsafat itu benda asing yang dianggap jahat, karena dianggap bertentangan dengan agama. Tidak ada pandangan yang lebih dangkal dan merusak dari pemahaman, bahwa filsafat itu merusak.
Orang Indonesia tergila-gila dengan agama. Akibatnya, akal sehat mereka tidak lagi dipakai, dan menyerahkan diri dan hidupnya semata pada ajaran agama. Padahal, ajaran agama itu dibuat di masa lalu, dan seringkali tidak lagi cocok tafsirannya dengan situasi hidup manusia yang semakin rumit. Pola pikir dangkal dan jangka pendek juga meracuni kehidupan beragama bangsa kita, sehingga menghasilkan mentalitas tidak toleran, fanatik, dan mengemis yang seringkali diberi pembenaran dengan alasan-alasan religius.
Orang Indonesia juga latah dengan ilmu pengetahuan. Kita ingin seperti bangsa-bangsa Eropa dan Amerika, yang melakukan pendidikan ilmu pengetahuan (sains) dengan intensif. Namun, sains tanpa filsafat itu bagaikan nasi tanpa garam, tidak punya daya gigit dan daya kritis untuk mengolah diri, guna menemukan terobosan-terobosan baru yang bermakna dan berguna. Jelas, menurut saya, filsafat (filsafat kritis- bukan filsafat agama tertentu) harus menjadi bagian penting dari sistem pendidikan kita sedini mungkin.
Filsafat mendorong orang untuk melihat krisis sebagai kemungkinan untuk perubahan besar. Sebagai langkah awal yang nyata, menyuntikan filsafat kritis sebagai bagian formal dari sekolah dasar memberi keuntungan kultural yang besar bagi bangsa Indonesia. Anak-anak di usia dini mereka akan berjumpa sekaligus terinspirasi dari pemikiran-pemikiran terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Harapannya, mereka juga akan membentuk pemikiran-pemikiran besar yang baru, supaya bisa menjadikan dunia tempat yang lebih baik bagi semua orang.
Anak-anak pada dasarnya punya kemungkinan besar untuk menghasilkan ide-ide baru, karena pikiran mereka belum dipenuhi dengan trauma dan kekecewaan yang mengaburkan kejernihan bernalar. Pendidikan yang bermutu (yang kritis, etis, dan kreatif) untuk mereka pada usia sedini mungkin adalah kunci kemajuan bangsa kita. Dalam arti ini, pendidikan mengajarkan orang untuk berpikir mandiri dengan akal sehat mereka, tanpa dijajah oleh apa kata orang di luar dirinya (tradisi, budaya, agama). Filsafat kritis sebagai bagian dari mata pelajaran adalah langkah awal untuk mewujudkan itu.
Jelas, Fakultas Filsafat (Kritis) harus diperbanyak jumlah di Indonesia, guna mengembangkan cara berpikir filsafat sekaligus menghasilkan tenaga-tenaga pengajar untuk langkah ini. Fakultas Filsafat yang ada perlu didukung, supaya bisa berkembang lebih jauh. Ibaratnya, filsafat adalah tanah subur tempat lahirnya kreativitas dan kesadaran etis kita sebagai manusia yang dewasa dan mampu bernalar dengan akal sehat. Tak ada investasi ke masa depan yang lebih penting, daripada mendukung langkah ini, bukan?
tapi apa mungkin anak sd bisa berfilsafat
SukaSuka
Mohon ijin brur untuk mencetak tulisan ini buat dibagikan ke teman-teman guru di tempat gua ngajar termasuk Bung Nango. Thank you.
SukaSuka
Pertanyaan refleksinya satu saja pak, sebenarnya bangsa ini mau mencetak generasi muda yang bagaimana? tidak jelaskan pak? sekolah-sekolah sekarang itu kayak pabrik mencetak mesin kerja. Murid dituntut sempurna seperti dosen, menjadi seperti apa kata dosen,. standardnya ikut siapa? ikut standard luar negeri, negara lain pastinya. kenapa tidak menciptakan standard sendiri ya? jadi tidak bisa berpikir kritis lagi pak, kalau sampe dari SD ada pelajaran filsafat, saya sangat setuju!
SukaSuka
kenapa tidak? mereka filsuf alamiah.
SukaSuka
silahkan.. semoga membantu bro.. jangan lupa proyek kita. ok
SukaSuka
setuju sekali. Filsafat juga bisa dengan mudah berubah menjadi dogma, kalau tidak hati-hati. Makanya, disini saya tulis filsafat kritis…
SukaSuka
sedari dini pribadi seorang manusia (anak) untuk menjadi pribadi yang utuh memang harus diarahkan untuk kritis dalam artian dapat mengungkapkan idenya dengan analisa yang masuk akal/logika seiring dengan perkembangan daya nalarnya.
namun ditengah kondisi bangsa kita, yang sebagian besar anak-anaknya hidup di daerah (terpencil/terabaikan) yang masih dipusingkan dengan masalah perut, dan ketidaktersediaan tenaga pembimbing/pendidik didaerahnya…ditambah kepentingan politik para pemimpin di dunia pendidikan,,,
hal ini seperti tidak mungkin terjadi di Indonesia, teori…teori…teori…semua jadi abstrud di dunia nyata
jauh api dari panggang bung…
saya bukan pesimis hanya berusaha mengungkapkan penalaran saya… terimakasih
salam pendidikan!
SukaSuka
teori penting untuk memahami masalah lalu cari solusi. Yang ada di INdonesia teori yang jelek, maka praksisnya juga jelek. Slaam juga
SukaSuka
Orang Indonesia tergila-gila dengan filsafat. Akibatnya, akal sehat mereka tidak lagi dipakai, dan menyerahkan diri dan hidupnya semata pada ajaran filsafat. Padahal, ajaran filsafat itu dibuat di masa purbakala, dan seringkali tidak lagi cocok tafsirannya dengan situasi hidup manusia yang semakin rumit.
SukaSuka
hehehe.. orang Indonesia malah ga suka filsafat. takut. Memang, filsafat secara teknis jadi bikin akal sehat mati. Tapi filsafat sebagai metode hidup itu yang berguna sekali untuk kita di Indonesia. Memang ajaran2 lama perlu dibaca, lalu ditafsirkan untuk jaman sekarang…
SukaSuka
Saya sering membaca beberapa artikel dari Nyong Ambon ini sebagai berkah pencerahan pikiran kita yang awam akan filsafat agar lebih kritis dalam wawasan dan mampu mengkritisinya. Filsafat sendiri pada dasarnya adalah permainan bahasa saja. Dari Bahasa itu kita temukan ada tiga unsur penting yakni: expresi (pembicara), bujukan (pendengar) dan objek (kognisi) untuk berkomunikasi. Ide cemerlang dari Lydon sebenarnya sudah dilaksanakan di Indonesia dengan metode CBSA = cara belajar siswa aktif, dalam hal ini siswa dirangsang berpikir dan berpikir terus untuk mengajukan pertanyaan metode ini kadang juga membuat siswa seperti sebuah mesin robot yang dipaksakan untuk bergerak terus. Satu hal yang mendukung agar para siswa semakin berpikir terus adalah penopang dalam pikirannya adalah banyak membaca, bahwa budaya membaca sangat rendah. Filsafat sendiri bukan monopoli para filsuf tapi sejak lahir kita semua adalah filsuf nature.
SukaSuka
Filsafat adalah pikiran yang jernih dan kritis di dalam memahami dunia. Bukan hanya permainan bahasa. Orang perlu belajar filsafat, walaupun orang adalah filsuf alamiah, sama seperti orang perlu belajar bahasa, walaupun setiap orang punya kemampuan bahasa alamiah…
SukaSuka
maksud berubah jadi dogma itu artinya menjadi ketergabtungan yg buruk begitu pak ?
SukaSuka
Dogma itu adalah kepastian yang mutlak atas sesuatu, sehingga tak boleh dipertanyakan. Ini halangan terbesar di dalam mencapai kebenaran.
SukaSuka
Kalo untuk anak-anak berfilsafat harus dengan bimbingan yaa?
SukaSuka
Bimbingan halus. Pembimbing tidak boleh terlalu dominan. Coba baca artikel di atas.
SukaSuka
Sekarang ini belum ada mata pelajaran filsafat di SD-SMA. Akan sangat menarik karena para siswa akan sangat kritis dan bijaksana. Cuma persoalannya sekarang apakah pemerintah bersedia untuk mengadakan mata pelajaran filfasat paling tidak untuk sekolah menengah mengingat filsafat cukup sulit untuk diajarkan di tingkat SD.
SukaSuka
Itu ide yang sangat bagus. Namun, melihat mutu para pejabat pendidikan dan politik kita saat ini, ide tersebut jauh dari kenyataan.
SukaSuka