Pandangan Sadhguru dan Dzongsar Rinpoche tentang Yoga dari Kematian
Oleh Reza A.A Wattimena
Yoga adalah kesatuan (union). Ia adalah sekumpulan pengetahuan dan laku untuk membawa manusia menyadari dirinya yang asli. Diri asli tersebut selalu terhubung dengan segala yang ada. Di dalam Weda (Veda), Kitab Suci Hindu, segala yang ada berada di dalam pelukan Brahman, yakni kesadaran semesta. Brahman tak bisa dipisahkan dari segala yang ada, termasuk diri manusia.[1] Yoga adalah cara untuk mencapai pemahaman tertinggi ini, dan bukan gerak lekuk tubuh berlebihan, seperti dipahami banyak orang sekarang ini.
Bagaimana tradisi Yoga yang berakar pada Weda ini memandang kematian? Pertanyaan inilah yang ingin dijawab di dalam tulisan ini. Kematian adalah berakhirnya seorang pribadi, termasuk tubuh dan keberadannya di dunia. Sosok pribadi pun hanya tinggal ingatan di dalam batin keluarga dan kerabat. Namun, di mata tradisi Yoga, ini adalah kesalahpahaman.
Sebagai Brahman, atau kesadaran seluas semesta, manusia tak pernah mati. Ia berubah dari satu bentuk kehidupan ke bentuk kehidupan lainnya. Kematian adalah ilusi. Ia adalah tanda dari kesalahpahaman tentang kehidupan sebagaimana adanya. Kesalahpahaman itulah yang harus digempur dari berbagai arah sekarang ini.
Tema ini menjadi penting, karena kematian menyentuh semua kehidupan. Manusia lahir tanpa membawa apapun. Ketika mati, ia juga dipaksa untuk melepas semuanya. Tanpa pemahaman yang tepat, kematian bisa menjadi proses yang amat menyakitkan. Ini terjadi, murni karena kesalahpahaman.
Tema kematian juga ditabukan di banyak peradaban. Pembicaraan tentangnya diselimuti ketakutan. Tak heran, banyak kesalahpahaman timbul, dan melahirkan kebingungan. Kebingungan ini justru semakin mengembangkan rasa takut yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini, tradisi Yoga kiranya bisa memberikan pencerahan.
Pencerahan, di dalam tradisi Yoga, datang dari kebijaksanaan. Di dalam tradisi Asia, kebijaksanaan adalah pemahaman tentang dunia sebagaimana adanya.[2] Tidak ada spekulasi teoritik yang memecah kepala. Kebijaksanaan lahir dari pengalaman spiritual yang dibalut dengan pengetahuan.[3] Yoga dianggap sebagai jalan paling sistematik untuk mencapai kebijaksanaan semacam ini.
Tulisan ini diawali dengan pemahaman tentang kematian dari sudut pandang Yoga. Beberapa refleksi akan diberikan di akhir tulisan. Tulisan ini mengacu pada pemikiran Sadhguru. Ia dianggap sebagai Yogi kontemporer abad 21 yang terlibat di berbagai kegiatan politik maupun kemanusiaan. Sosoknya, menurut saya, menjadi figur teladan seorang Yogi yang hidup di abad 21 yang penuh kompleksitas.
Sadhguru lahir pada 3 September 1957. Ia lahir dengan nama Jagadish Vasudev. Ia mendirikan Yayasan Isha di Coimbatore, India. Yayasan tersebut menyediakan pendidikan Yoga dalam bentuk pengajaran filsafat dan laku tapa. Ia menulis beberapa buku yang tercantum sebagai New York Time Bestseller. Di samping pengajaran Yoga, Sadhguru terlibat aktif dalam pelestarian lingkungan, dan memperoleh banyak penghargaan atasnya.
Yoga dari Kematian Menurut Sadhguru
Weda, yang dianggap sebagai Kitab Suci Hindu, adalah kumpulan pengetahuan tertua. Weda sendiri diambil dari kata Veda yang berarti pengetahuan. Tidak ada yang tahu pasti, berapa umurnya. Yoga, dalam arti ini, adalah laku, atau penerapan, dari pengetahuan yang terdapat di dalam Weda. Weda dan Yoga adalah dua sisi dari koin yang sama.
Yoga berisi pengetahuan dari Weda. Tidak hanya itu, Yoga adalah ekspresi dari pengetahuan yang terdapat di dalam Weda. Weda sendiri adalah pengetahuan tertinggi tentang entitas tertinggi dan abadi, yakni kesadaran semesta yang disebut sebagai Brahman. Kesadaran semesta ini tertanam di dalam semua kehidupan, termasuk di dalam diri manusia. Yoga adalah kumpulan laku yang membawa orang pada pemahaman ini.
Dalam arti ini, Yoga adalah kesatuan.[4] Kita menyadari hakekat diri kita yang tak pernah terpisahkan dengan segala yang ada. Diri kita adalah kesadaran semesta itu sendiri. Di dalam konteks ini, kematian pun memiliki arti yang baru. Ia adalah bagian dari tarian kesadaran semesta (Brahman) yang tak ada asal, dan tak ada akhir.
Tak banyak yang bisa dipastikan dalam hidup. Namun, satu hal kiranya tak terbantahkan. Manusia akan mati. Namun, sebagian besar orang mengabaikannya. Mereka hidup dalam kebodohan tanpa batas, sehingga hidupnya yang hanya sebentar ini menjadi sia-sia.[5]
Banyak juga cerita tentang apa yang terjadi kematian. Biasanya, agama-agama besar di dunia yang menciptakannya. Dengan kepastian buta, mereka menyebarkannya. Ini menciptakan kebingungan dan kebodohan. Kematian pun semakin jauh dari pemahaman.
Sejatinya, kita semua sedang menuju kematian. Seperti anak panah, dengan sangat cepat, kita bergerak menuju kematian. Namun, kita kerap lupa akan hal ini. Tanpa sadar, kita mengira, kematian selalu terjadi pada orang lain, dan bukan diri kita sendiri. Padahal, setiap harinya, ada sekitar 160.000 orang meninggal di seluruh dunia.[6]
Mereka hidup di satu hari. Lalu, di hari kemudian, mereka sudah meninggal. Ini berarti, setiap satu detik, sekitar 2 orang meninggal di seluruh dunia. Ini sebenarnya hanya menunggu giliran saja. Suatu hari, kematian akan juga menjemput kita.
Tubuh kita paham akan hal ini. Setiap detik, ia menua, dan mendekati kematian. Pengetahuan tentang kematian adalah sesuatu yang sudah tertanam di dalam unsur biologis manusia. Namun, pikiran kita kerap berkata berbeda. Kita mengira, kematian adalah sesuatu yang amat jauh dari hidup yang kita jalani.
Di dalam epos Mahabharata, hal serupa dirumuskan dengan amat jelas. Yudhistira, yang tertua dan pemimpin para Pandawa, pernah berkata. Hal yang paling menakjubkan di dunia adalah, bahwa ratusan ribu mahluk meninggal setiap detiknya. Namun, para manusia bodoh berpikir, bahwa mereka abadi. Mereka bahkan diam-diam merasa, bahwa mereka akan hidup selamanya.
Dengan demikian, kematian itu sedekat napas kita sendiri. Ia bukanlah sekedar angka statistik yang terjadi pada orang lain. Sel-sel kita mati setiap detiknya. Tentu saja, ada sel-sel baru yang ikut lahir sejalan dengan matinya sel-sel yang lama. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa kita sudah menjalani proses kematian, sejak kita dilahirkan.[7]
Di dalam tradisi Yoga, kematian dan kehidupan adalah dua hal yang berjalan berbarengan. Keduanya tak terpisahkan, dan amat dekat terhubung dengan proses bernapas. Setiap tarikan napas, kita akan berjumpa dengan kehidupan. Setiap hembusan napas, kita akan menyentuh kematian. Ketika bayi lahir, tindakan pertama yang ia lakukan adalah menarik napas. Ketika orang meninggal, tindakan terakhir yang ia lakukan adalah menghembuskan napas.
Hal tersebut bisa menjadi jelas di saat ini. Jika kita membuang napas, dan memutuskan untuk tidak menariknya lagi, maka kita akan mati. Tanpa udara, seluruh sel di tubuh kita akan berteriak, karena tersiksa. Dari sini, kita bisa melihat, bahwa hidup dan mati bukanlah dua hal yang jauh berbeda. Mereka terjadi secara bersama setiap saatnya.
Dari sudut pandang Yoga, proses terpenting bukanlah napas. Yang menjadi inti dari kehidupan adalah energi, atau apa yang disebut sebagai prana. Seluruh materi di alam ini dibentuk dan digerakkan oleh prana. Para Yogi berusaha memahami prana yang ada di dalam diri mereka. Dengan cara ini, mereka bahkan bisa berhenti bernapas, namun tetap hidup seutuhnya.
Bersama dengan makanan dan minuman, napas juga merupakan sumber energi. Namun, mereka bukanlah sumber energi yang utama. Mereka adalah sumber energi pendukung. Selama prana bisa dipahami dan disentuh, maka prana yang menjadi sumber energi utama. Orang bisa hidup tanpa makanan, minuman dan napas, jika ia bisa menyentuh prananya.[8]
Pada tingkat fisik manusia, pola yang berbeda terjadi. Kematian adalah bagian tak terpisahkan dari tubuh manusia. Satu hal kecil terjadi, kematian bisa menjemput. Kepala terbentur lantai. Tubuh terkena tegangan listrik tekanan tinggi. Kematian bisa datang, dan menjemput, tanpa ragu-ragu.
Kiranya, hanya manusia yang bisa sadar akan kematiannya. Hewan dan tumbuhan tidak memiliki kesadaran akan kematian. Bahkan, dengan kesadaran ini, manusia kerap lupa, bahwa ia akan mati. Ia menghabiskan hidupnya mengejar hal-hal yang sia-sia, seperti kekuasaan, nama besar dan kenikmatan. Dengan pola ini, sebelum mati, ia tak akan pernah bisa memahami, apa arti dari kehidupan sesungguhnya.
Ini semua terjadi, karena kita tak pernah sungguh paham, apa jati diri kita yang sesungguhnya.[9] Narasi ego kita terlalu kuat, dan juga terlalu besar. Dari sudut pandang tata surya yang ada, jika besok kita mati, tidak ada perubahan apapun yang berarti. Hal serupa menjadi lebih jelas, jika kita melihat hidup kita dari sudut pandang keseluruhan alam semesta. Kita tak lebih besar dari setitik debu di hadapannya.
Namun, di dalam keseharian, kita merasa, bahwa kita adalah orang besar. Kita adalah orang hebat. Kita bisa mengatur semuanya, supaya sejalan dengan keinginan kita. Ini adalah kesalahpahaman yang amat besar dan mendasar. Dengan kebodohan ini, kita kehilangan pemahaman mendasar tentang kematian dan juga kehidupan.
Kebodohan ini diperparah dengan berbagai cerita yang disebarkan agama tentang kematian. Ini bukan sekedar cerita, tetapi juga takhayul yang memperbodoh. Takhayul ini menyederhanakan masalah, sampai kita kehilangan inti utamanya. Manusia dianggap berasal dari sang pencipta. Jika ia taat pada sang pencipta, maka ia akan masuk surga. Sederhana, tetapi salah, dan berbahaya.
Tuhan dijadikan pijakan untuk hidup dan mati. Agama tidak boleh dipertanyakan, apalagi disalahkan, karena ia, konon, berasal dari Tuhan langsung. Padahal, jika dilihat di dalam sejarah, orang-orang yang bertuhanlah yang melakukan kejahatan paling kejam. Mereka membantai suku bangsa tak bersalah hanya untuk menyebarkan agamanya.[10] Mereka menghapus budaya luhur nenek moyang hanya untuk memperbesar ego mereka.
Kepercayaan buta pada Tuhan dan agama juga membuat orang tak pernah berusaha memahami kematian dan kehidupan mereka secara mendalam. Padahal, hanya dengan bersentuhan langsung dengan kematian, orang terbuka pada dimensi terdalam hidupnya. Spiritualitas yang sejati membutuhkan persentuhan langsung dengan kematian.[11] Ketika bersentuhan dengan kematian, orang lalu bertanya dengan tulus, apa itu kehidupan. Darimana kehidupan itu berasal?
Disinilah spiritualitas Asia mampu memberikan banyak jawaban. Spiritualitas, dalam arti ini, adalah dorongan untuk mengenali dimensi yang lebih dalam di diri manusia.[12] Dimensi ini berada lebih dalam dari pikiran maupun tubuh manusia. Untuk mayoritas orang, dari tradisi Yoga, spiritualitas disentuh lewat pengalaman kematian. Ini mungkin sulit diterima oleh banyak orang.
Ketika muda, kita merasa, bahwa kita akan hidup selamanya. Namun, ini hanyalah ilusi. Tubuh kita selalu mengingatkan, bahwa kita akan bertambah tua. Ketika kita bersentuhan dengan kematian, misalnya kematian anggota keluarga, kita akan sadar, betapa rapuhnya hidup ini. Kita pun terdorong untuk mencari lebih dalam tentang makna dari hidup ini.
Ini berarti, kita menyadari, betapa singkatnya hidup di tubuh ini. Jika kita sadar, bahwa kita akan segera mati, apakah kita akan membuang hidup ini untuk melakukan hal yang sia-sia? Apakah kita akan merasa punya waktu untuk bertengkar dengan orang yang kita cintai? Kesadaran akan kematian membuat hidup terasa berharga setiap detiknya. Hanya orang yang percaya, bahwa mereka abadi, akan memutuskan untuk berperang sampai mati.
Bagaimana tradisi Yoga sungguh menghayati kematian? Jawabannya sederhana, yakni dengan melihat tempat kremasi. Di masa normal, tanpa pandemik, tempat kremasi selalu penuh di India. Disinilah kunci untuk memahami spiritualitas yang sesungguhnya. Di dalam spiritualitas yang sejati, bau kematian selalu tak bisa dihindari.
Dengan mengamati tempat kremasi, kita akan sungguh sadar, bahwa kita itu akan mati. Setiap latihan spiritual selalu memiliki nuansa kematian di dalamnya. Tanpa bau dan nuansa kematian, spiritualitas hanya menjadi hiburan dangkal semata. Ada rasa tenang disana. Tetapi, tidak ada pembebasan, apalagi kebijaksanaan.
Tak heran, di dalam latihan yoga tradisional, para yogi memulai latihannya di tempat kremasi. Buddha juga menyarankan hal serupa kepada muridnya. Ia meminta murid-muridnya untuk duduk mengamati kesibukan tempat kremasi selama 3 bulan. Para muridnya harus melihat mayat-mayat yang hangus terbakar.[13] Bahkan, karena kesibukannya, tempat kremasi kerap kali membuang mayat yang masih setengah hangus terbakar ke sungai.
Di dalam tradisi Yoga, kematian dan kehidupan tak pernah bisa dipisahkan. Tempat kremasi mayat adalah rumah untuk sungguh memahami hal tersebut. Tentu saja, proses pembakaran mayat adalah sesuatu yang bisa menciptakan rasa tidak enak. Namun, jika proses tersebut sungguh disaksikan dengan seksama, orang bisa mendapatkan tingkat kesadaran baru di dalam dirinya. Konsepsi diri yang salah akan terbakar bersama dengannya.
Tidak hanya konsepsi diri, kita pun akan juga sadar, betapa rapuhnya tubuh manusia itu. Ketika kita menyadari hal ini, ada penerimaan yang mendalam terhadap ketidakkekalan hidup. Ada paradoks besar disini. Penerimaan terhadap kematian akan membuat kita menjadi lebih hidup.[14] Penolakan pada kematian juga berarti penolakan pada hidup itu sendiri.
Ini membawa pemahaman baru, bahwa kematian sesungguhnya tidak ada. Ia selalu bergandengan dengan kehidupan. Memang, tubuh manusia akan berubah. Ini menciptakan kesan, seolah seseorang menjadi tiada. Namun, mereka tidak lenyap seutuhnya.
Kehidupan, dari sudut pandang Yoga, terus berlangsung. Kehidupan mengambil bentuk yang berbeda. Dengan latihan yang tepat, orang bisa menyentuh ingatannya tentang kehidupan sebelumnya. Tentu saja, penelitian lebih jauh masih perlu dilakukan soal hal ini. Namun, satu hal kiranya bisa dipastikan, bahwa kematian itu adalah tanda dari ketidaktahuan.
Bagi orang yang tak sadar, kematian adalah sebuah fakta. Namun, para Yogi berlatih untuk terus mengembangkan kesadarannya dari saat ke saat. Maka, mereka melihat keadaan sebagaimana adanya. Tidak ada yang disebut sebagai kematian. Yang ada hanyalah kehidupan yang bergerak dari satu bentuk ke bentuk-bentuk lainnya.
Kematian juga kerap dipandang sebagai sebuah tragedi. Pandangan ini salah total. Sebaliknya, orang yang hidup di dalam ketidaksadaran adalah tragedi yang sesungguhnya.[15] Kesadaran penuh disini dan saat ini adalah kehidupan itu sendiri. Jika kematian tiba, itu sama sekali bukan sesuatu yang perlu diratapi. Ada mantra Sanskrit di dalam tradisi Yoga tentang ini.
“Jananam Sukhadam Maranam Karunam.” Kumpulan kata ini diucapkan dengan lembut. Bisa juga disertai dengan pilihan nada tertentu. Jananam Sukhadam berarti hidup. Secara sederhana, kata ini bisa juga diterjemahkan: hidup adalah sebuah kenikmatan.
Ini adalah sebuah fakta. Hidup dipenuhi dengan berbagai hal indah. Sinar mentari yang menyirami. Udara segar yang terus hadir. Ini dibarengi dengan keluarga dan persahabatan yang memberi warna bagi hidup.
Maranam berarti kematian. Sementara, karunam berarti anugrah, atau welas asih. Dalam arti ini, dari sudut pandang Yoga, kematian adalah suatu bentuk cinta kasih. Kematian memberi kelegaan dari perjuangan hidup. Memang, di dalam hidup, hampir semua kegiatan kita ditujukan melulu untuk memenuhi kebutuhan tubuh semata.
Tentang kematian, tantangan terbesar manusia adalah pandangan salah. Intinya sederhana, bahwa orang tidak mau mati. Mereka tidak sadar, bahwa jika mereka hidup abadi, maka mereka akan sangat menderita. Keabadian hidup adalah hal terburuk yang bisa terjadi pada manusia. Jika kematian datang pada waktu yang tepat, maka itu adalah hal terindah yang bisa terjadi di dalam hidup manusia.
Teknologi kedokteran memungkinkan orang untuk berusia panjang. Bahkan, walaupun sudah waktunya untuk mati, orang bisa terus hidup dengan bantuan berbagai alat medis yang tersedia. Ini tentunya menciptakan penderitaan yang besar. Dalam hal ini, kematian adalah sebuah kelegaan. Kematian adalah sebuah pembebasan.
Sejatinya, hidup adalah sebuah ketegangan. Ada energi dan gerak yang dibutuhkan untuk menciptakan, serta menjalankan hidup. Namun, kematian itu sangatlah sederhana. Dari sudut pandang Yoga, kematian adalah sebentuk relaksasi. Kematian adalah bentuk relaksasi yang paling tinggi.
Terlebih, ketika orang masih hidup, namun bisa merasakan relaksasi dari kematian, maka ia sedang memasuki Yoga. Hidupnya menjadi aliran energi yang selalu seimbang.[16] Tak ada penderitaan di dalamnya. Ada kelegaan yang membawa kejernihan di dalam setiap aliran napas. Setitik rasa akan kematian merupakan salah satu berkah terbesar di dalam hidup.
Setiap tarikan napas adalah kehidupan. Setiap hembusan napas adalah kematian. Napas adalah tarian yang menghubungkan kehidupan dan kematian. Ketika kita menarik napas, tubuh kita akan bergetar. Ketika kita membuang napas, ada ketenangan yang muncul.
Secara alami, kita membuang napas, ketika kita ingin merasa tenang. Semua orang melakukannya, entah mereka sadar, atau tidak. Keluarnya napas memberikan ketenangan. Sementara, kehidupan, sama seperti menarik napas, membutuhkan sedikit ketegangan. Kematian, dari sudut pandang Yoga, adalah relaksasi sejati. Memahami ini berarti kita melampaui pemahaman sempit yang diajarkan kepada kita, bahwa kematian adalah sesuatu yang jahat.
Banyak budaya yang melihat kematian sebagai sesuatu yang jelek. Agama-agama juga melestarikan pandangan ini. Akibatnya, kematian pun ditakuti. Pandangan ini mempengaruhi perilaku keseharian kita. Salah satu yang paling jelas adalah pola kita bernapas.
Hampir semua orang bernapas hanya separuh. Mereka menarik napas. Namun, mereka tidak membuangnya sampai habis. Proses pengeluaran napas tidak terjadi secara total. Ini, menurut tradisi Yoga, merupakan dampak tidak sadar dari ketakutan akan kematian. Dalam jangka panjang, tubuh akan menyimpan ketegangan yang bisa menciptakan beragam penyakit, baik untuk tubuh maupun pikiran manusia.
Jadi, kematian bukanlah sesuatu untuk ditakuti, apalagi dimusuhi. Kebudayaan yang memusuhi kematian adalah kebudayaan yang akan hancur. Penolakan terhadap kematian adalah penolakan terhadap kehidupan itu sendiri.
Kematian dan kehidupan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Pemahaman, bahwa kematian itu buruk, dan kehidupan itu baik, haruslah dilepas. Kehidupan ada, karena ada kematian. Sungai selalu ada di antara dua daratan. Kita tidak bisa bilang, bahwa satu daratan lebih baik dari daratan lainnya.
Analogi lainnya adalah antara cahaya dan kegelapan. Keduanya saling membutuhkan. Tidak ada cahaya, tanpa kegelapan. Yang sebaliknya juga tepat. Kegelapan hanya ada, karena adanya cahaya.
Kita semua akan mati. Apa yang lahir pasti akan mati. Apa yang muncul pasti akan berakhir. Menolak kematian berarti menolak kehidupan itu sendiri. Tidak ada kebahagiaan apapun yang muncul dari penolakan terhadap kematian.
Bahkan, beberapa kebudayaan sangat gemar merayakan kematian. Kematian bukanlah sesuatu untuk diratapi, atau ditangisi. Sebaliknya, kematian adalah sesuatu yang menggembirakan, sehingga patut dirayakan. Tubuh manusia dianggap sebagai pembatasan ruang dan waktu. Di dalam hidupnya di dunia, manusia terus terpenjara di dalam tubuhnya.
Kematian melepaskan kita dari tubuh. Kita pun terbebas dari penjara. Yang muncul adalah rasa sukacita. Ini bahkan lebih nikmat daripada saat kelahiran. Orang yang sungguh menyadari ini akan menyambut kematian dengan penuh rasa rindu dan kebahagiaan.
Ada satu saat di dalam hidup manusia, dimana ia masih hidup, namun langsung berjumpa dengan kematian. Saat ini adalah saat manusia terancam hidupnya. Ia berada di dalam keadaan bahaya. Pada saat ini, manusia menjadi sungguh sadar, bahwa kehidupan dan kematian hadir bersamaan. Keduanya tak bisa terpisahkan.
Di dalam kehidupan, ada kematian. Di dalam kematian pun, ada kehidupan. Segala yang ada, menurut tradisi Yoga, dibentuk dengan pola ini. Sang Pencipta (creator) selalu hadir di dalam ciptaannya (creation). Ada Tuhan di dalam segala sesuatu.
Namun, tak semua orang bisa sampai pada pengetahuan ini. Dibutuhkan perhatian yang amat mendalam terhadap kehidupan. Yoga yang sesungguhnya mengajarkan metode untuk mengembangkan perhatian semacam ini. Tanpa perhatian semacam ini, hidup akan menjadi dangkal. Tanpa pengetahuan tentang kematian, orang hanya akan menjalani separuh hidupnya, sehingga penderitaan tak bisa dihindari.
Di dalam Yoga, tujuan utama adalah kesatuan dari diri dan segalanya. Inilah keadaan sebenarnya dari hidup manusia. Ini hanya dapat dicapai, jika kita sadar, bahwa kita akan mati. Kesadaran ini harus dikembangkan setiap saat, tidak hanya saat kita sakit, atau menua. Setiap saat, kita sadar, bahwa kematian selalu bersama kita, dan tak akan pernah meninggalkan kita.
Ini bukan berarti, bahwa kita mencari-cari cara untuk mati. Namun, bila kematian menjemput, kapanpun itu, kita siap untuk menerimanya. Kita berupaya untuk merawat tubuh dan hidup ini, supaya ia berkembang semaksimal mungkin. Semua ini dilakukan dengan kesadaran penuh, bahwa kematian adalah bayangan dari kehidupan. Hanya dengan pola ini, hidup manusia bisa menjadi semakin utuh dan penuh.
Di dalam kehidupan yang amat kompleks sekarang ini, orang kerap mengalami kebingungan. Stress, depresi dan keinginan bunuh diri menjadi bagian dari keseharian banyak orang. Ini mendorong orang untuk mengundang kematian dalam hidupnya. Orang menghindari kehidupan, karena itu begitu menyakitkan. Maka, secara tidak sadar, ia mengundang kematian untuk segera datang.[17]
Gejala mengundang kematian ini cukup jelas. Semakin banyak penyakit kronis yang kini berkembang. Mulai dari kanker, kelainan organ sampai dengan autoimun, semua tersebar luas di berbagai belahan dunia. Ini adalah tanda, bahwa tubuh mulai mengudang kematian secara tanpa sadar. Sebab dasarnya adalah pola pikir dan pola hidup kita yang kerap menolak kehidupan itu sendiri.
Mengapa orang menghindari kehidupan? Mereka mengurung diri di dalam pekerjaan dan rumahnya. Mereka menolak belajar hal-hal baru. Mereka gampang menyerah di hadapan tantangan-tantangan kehidupan. Mereka mencari hal-hal aman, supaya tidak terluka oleh berbagai perubahan kehidupan.
Apakah ada yang aman di dalam kehidupan? Satu-satunya tempat paling aman untuk manusia adalah kuburannya sendiri. Tidak ada yang menganggunya. Mayat tidak akan terganggu oleh berbagai perubahan kehidupan. Tidak ada apapun yang terjadi di kuburan.
Di dalam hidup, tidak ada keamanan. Keamanan hanyalah ilusi semu dari pikiran. Hidup penuh dengan resiko dan persentuhan dengan kematian. Orang yang mencari keamanan sepenuhnya dalam hidup, sebenarnya, sedang mengundang kematian. Orang yang mencari keamanan berarti juga menolak kehidupan.
Di dalam tradisi Yoga, orang diminta untuk mengalami semua hal di dalam kehidupan. Ini berarti termasuk yang baik, juga yang buruk. Penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Ia harus dialami, dan dialami sepenuhnya. Menolak mengalami penderitaan justru membuat orang lari dari kehidupan, dan justru semakin mendekati kematian.[18]
Apa artinya mengalami kehidupan? Artinya, orang harus mengalami apa yang belum pernah mereka alami. Inilah kehidupan di dalam tradisi Yoga. Lagi pula, ketika lahir, orang tidak membawa apapun. Ketika mati, mereka pun juga tidak membawa apapun. Maka, tidak ada yang rugi disini.
Di dalam hidup, perubahan itu tidak terhindarkan. Maka, kita harus terbuka pada apapun, terutama pada hal-hal yang sebelumnya tak kita alami. Jika tidak, maka kehidupan berhenti. Kita memasuki zona nyaman, dan merasa aman. Dengan pola ini, kita secara sengaja mengundang kematian di dalam hidup kita.
Hidup, dalam tradisi Yoga, adalah kemungkinan. Kemungkinan adalah ketidakpastian. Hidup yang menolak ketidakpastian adalah kematian. Secara fisik, orang mungkin masih hidup. Namun, ia lebih tepat disebut sebagai mayat hidup.
Orang menjadi mayat hidup, ketika hidupnya berhenti. Ini terjadi, karena orang memilih untuk hidup di zona nyaman. Tak heran, walaupun semuanya berjalan baik, orang banyak mengalami stress dan depresi. Rumah mewah menjadi seperti peti mayat. Orang-orang yang dianggap kaya dan sukses itu pun hidup seperti zombie.
Buddhadharma dan Kematian Menurut Dzongsar Rinpoche
Tradisi Yoga juga dekat dengan tradisi Buddhadharma. Keduanya melihat kematian hanya sebagai sebuah peristiwa, dan bukan sebagai hal terakhir. Bahkan, dari sudut pandang ajaran Buddha, atau Buddhadharma, kematian adalah sebuah kesempatan untuk mencapai pembebasan.[19] Buddhadharma, dalam arti ini, adalah ajaran dari Sang Buddha, atau Siddharta Gautama. Secara khusus, saya mengacu pada pemikiran Dzongsar Rinpoche.[20] Ia lahir pada 18 Juni 1961 di Bhutan. Selain menjadi seorang Master Buddhis, dan penulis, ia juga menjadi sutradara beberapa film. Dzongsar Rinpoche dikenal sebagai seorang Master Buddhis yang terbuka pada berbagai tradisi.
Peristiwa kematian, di dalam Buddhadharma, dilihat sebagai sebuah peristiwa spiritual yang memiliki banyak kemungkinan. Pada saat kematian, manusia dihadapkan pada jati dirinya yang sejati, atau hakekat Buddha (Buddha nature) di dalam dirinya dalam bentuk kesadaran murni.
Setiap hal memilliki hakekat Buddha ini, bahkan benda-benda yang dianggap sebagai benda mati. Pada saat kematian, tubuh terpisah dari pikiran. Pada detik itu, orang mengalami kesadaran murni di dalam dirinya secara utuh. Hakekat Buddha inilah kesadaran murni tersebut. Para pemikir Buddhis menyebutnya sebagai tathatgatagarbha, atau sesuatu yang telanjang sebagaimana adanya.
Pengalaman ini terjadi begitu cepat dan begitu halus. Namun, jika kita mengenalinya, atau menyadarinya, maka pembebasan akan tercipta. Begitu alur berpikir Buddhis dan pencerahan pada saat kematian terjadi. Tentu saja, pengenalan tersebut tidak terjadi pada sembarang orang. Dibutuhkan latihan dan pembiasaan, ketika orang masih sehat di dalam hidupnya.
Ada beragam cara untuk berlatih. Yang paling umum adalah dengan melakukan meditasi. Dengan meditasi, orang diajak untuk menenangkan gejolak batinnya, dan membangun rasa welas asih untuk semua mahluk. Latihan semacam ini tidak terkait dengan agama tertentu. Ia tidak mengandaikan iman pada seperangkat ajaran tertentu yang harus dipercaya.
Pada umumnya, orang tak menyadari hakekat Buddha di dalam dirinya. Hakekat Buddha, dalam bentuk kesadaran murni itu, tertutup oleh beragam hal, mulai dari konsep, pikiran, emosi sampai dengan dengan tubuh. Konsep, pikiran dan emosi ersebut dibentuk oleh budaya, nilai-nilai sosial, agama dan kebiasaan hidup sehari-hari. Latihan batin di dalam tradisi Buddhis, maupun Yoga, adalah upaya untuk membebaskan orang dari semua hal tersebut.
Kematian dan Kesadaran
Ingatlah, bahwa kamu akan mati. Memento mori. Hanya ada satu hal yang pasti di dunia ini, bahwa kita semua akan mati. Artinya, tubuh dan batin kita akan mengalami perpisahan, entah lambat atau cepat nanti.[21]
Sayangnya, banyak orang takut berbicara soal ini. Mereka nyaman dengan pengetahuan salah yang diajarkan agama dan tradisi. Jika berbuat baik, maka masuk surga. Jika berbuat dosa, maka masuk neraka. Itu konyol.
Di dalam kebodohan, mereka hidup mencari kenikmatan. Uang dan kekuasaan diburu, tanpa kenal lelah. Jika perlu, orang lain, ataupun mahluk hidup lain, dikorbankan. Betapa bodohnya hidup semacam ini.
Orang belajar untuk menjadi semakin cerdas di dalam mencari uang dan kekuasaan. Padahal, itu semua begitu sementara dan rapuh. Ketika kematian menjemput, tak ada yang dibawa. Sementara, kita semua hampir tak punya pengetahuan apapun yang mendalam soal kematian: satu-satunya hal yang pasti dan kokoh terjadi di dalam hidup kita.
Dengan memahami kematian, kita akan hidup lebih jernih. Kita akan hidup lebih cerdas. Kita tak membuat pilihan-pilihan bodoh, hanya karena mengikuti orang lain, tradisi ataupun agama. Memahami kematian berarti memahami kehidupan dalam unsurnya yang tertinggi.
Semua identitas adalah semu. Bangsa, agama, suku, ras dan golongan adalah sesuatu yang rapuh. Bangsa tumbuh dan hancur. Agama lahir dan lenyap.
Identitas adalah tipuan. Tak hanya itu, kehidupan dan kematian pun hanya ilusi. Semua adalah proyeksi dari batin manusia. Para ilmuwan neurosains sudah sampai pada kesimpulan, bahwa dunia adalah ciptaan dari kesadaran dan struktur biologis manusia. Para Yogi dan Zen master sudah menyadari itu sejak ribuan tahun silam.
Tujuan dari semua filsafat dan latihan batin adalah menyadari hal ini. Kita bangun dari kebodohan yang lahir dari kebiasaan. Kita tidak lagi tertipu oleh gemerlap dunia yang tak pernah sungguh menciptakan kebahagiaan. Kita mencari ke dalam diri.
Semua derita lahir dari anggapan salah, bahwa dunia ini sungguh nyata. Semua ketakutan lahir dari anggapan salah, bahwa ada yang perlu dicapai dan dikejar di dalam hidup ini. Apa akibatnya, jika orang mengejar dan mencoba mengenggam asap? Frustasi. Persis seperti itulah yang terjadi di dalam hidup banyak orang.
Segalanya adalah proyeksi pikiran. Di balik pikiran, ada kesadaran. Ia bersifat murni, tanpa konsep. Ia hanya sadar, mengamati dan tak memiliki batas.
Ia tampil di dalam keseharian manusia. Ia hadir di dalam semua kegiatan pikiran ataupun perasaan. Di dalam Zen, batin keseharian adalah batin yang tercerahkan. Dengan menyadari kesadaran sebelum dan di balik pikiran, kita terbebaskan.
Ingatlah, bahwa hidup adalah proyeksi pikiran kita. Yang kita sebut sebagai hidup adalah ciptaan kita yang berpijak pada pengondisian sosial (social conditioning) kita. Di dalamnya, ada tradisi, agama dan kebiasaan yang ada di dalam masyarakat kita. Tidak ada dunia yang seutuhnya benar di luar pikiran kita.
Ketika kematian tiba, tubuh dan pikiran kita terpisah. Semua pengondisian sosial lenyap. Kita mengalami inti batin kita secara utuh. Kita berjumpa dengan diri kita sendiri yang sebenarnya, yakni kesadaran murni (pure awareness).
Jika orang tak tahu tentang hal ini, ia akan kaget. Ia bisa mengalami shock. Semua pikiran dan perasaannya menjadi kacau. Kematian pun menjadi saat yang sangat penuh derita baginya.
Maka, latihan spiritual adalah sebuah latihan untuk mati. Latihan spiritual mengajak orang untuk akrab dengan dirinya yang asli. Ia pun berjarak dari pikiran dan emosinya sendiri. Ketika kematian tiba, ia tak lagi kaget, bahkan bisa merasa bahagia, karena ia menyatu dengan diri sejatinya, serta tak lagi dikacaukan oleh pikiran dan emosi yang tak tentu arah.
Inti latihan spiritual adalah menyadari kesadaran. Kita menyentuh kekosongan yang sadar (empty awareness). Di dalam hidup, ini akan menghasilkan kejernihan. Di dalam proses kematian, ini akan membawa kita pada pembebasan yang seutuhnya.
Kematian pun dilihat sebagai saat pembebasan. Untuk itu, sebaiknya, orang perlu menjalani kematian di dalam kesendirian. Ia perlu melepaskan diri dari keluarga, dan juga dari segala urusan dunia yang hanyalah ilusi. Ingatlah, segala yang ada di dalam hidup, dan juga di dalam proses kematian, hanyalah proyeksi dari pikiran manusia semata.
Pikiran terakhir sebelum kematian juga amat penting. Mutu kematian amat ditentukan olehnya. Jika pikiran kita gelisah, maka kematian menjadi proses yang amat sulit. Sebaliknya, jika kita sepenuhnya jernih dan sadar, maka proses kematian bisa menjadi proses pembebasan mutlak.
Cara kita mati juga ditentukan oleh kebiasaan kita. Ini termasuk gaya hidup sekaligus kebiasaan berpikir kita. Hidup yang penuh dengan kemarahan akan berakhir pada kematian yang juga penuh kemarahan. Hidup penuh ketakutan juga akan berakhir pada kematian yang penuh ketakutan.
Ada hakim yang menanti kita setelah kematian. Bukan tuhan, ataupun malaikat, tetapi kebiasaan kita sendiri yang akan menghakimi kita. Gaya hidup kita akan menentukan mutu kematian kita. Kebiasaan yang kita bangun akan menjadi hakim penentu yang utama.
Surga dan neraka pun bukan sebuah tempat di luar sana. Keduanya adalah keadaan batin manusia, setelah kematian. Batin penuh derita adalah neraka. Sementara, batin yang sadar dan jernih adalah surga.
Namun perlu untuk terus diingat, bahwa semua adalah proyeksi dari pikiran kita. Semua diciptakan oleh pikiran kita, termasuk surga dan neraka. Semua yang muncul hanya diamati, tanpa dilekati. Ia juga tak perlu dibenci, atau dikejar sepenuh hati.
Selagi masih hidup, kita perlu untuk berlatih hidup sadar. Ini sangatlah penting untuk dilakukan. Jika tidak, kita akan melekat pada ide tentang diri dengan segala kerumitannya, termasuk takut, marah, kecewa dan sebagainya. Mutu hidup, dan juga mutu proses kematian kita, akan amat rendah.
Berlatih hidup sadar berarti membangun kebiasaan untuk akrab dengan diri sejati kita. Itulah kesadaran murni, tanpa konsep. Kita belajar untuk beristirahat di dalam kesadaran (resting in awareness). Di dalam tradisi Asia, kesadaran yang telanjang tanpa konsep ini disebut juga sebagai batin Buddha.
Beristirahat di dalam kesadaran berarti menjadi tanpa referensi. Tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tidak ada konsep, ataupun obyek, yang diacu. Menyadari kesadaran berarti tidak melakukan apapun, namun menjadi segalanya.
Inilah inti dari meditasi. Meditasi bukan hanya duduk tak bergerak, tetapi belajar sadar atas pikiran dan perasaan yang muncul. Meditasi berarti belajar untuk menyadari kesadaran (aware of awareness). Ini juga berarti hidup tanpa acuan obyek apapun, kecuali kesadaran itu sendiri.
Bagaimana jika keluarga atau teman dekat yang mendekati kematian? Dampingi mereka dengan semua pengetahuan ini. Yang terpenting adalah mendampingi mereka untuk menjalani semua proses yang ada dengan kesadaran dan kejernihan. Juga terus ingat, bahwa semua yang ada adalah proyeksi dari pikiran manusia, baik ketika hidup maupun mati.
Kita hidup dalam jaringan yang tak terbatas dengan segala yang ada. Semua saling mempengaruhi. Semua juga saling membutuhkan. Dengan kata lain, kita memiliki hutang untuk saling membantu satu sama lain, terutama untuk mencapai pembebasan seutuhnya. Dalam arti ini, makna dan tujuan kehidupan adalah untuk berlatih, guna mencapai pembebasan seutuhnya, tidak hanya dari derita, tetapi juga dari kebahagiaan yang sementara.
Itu hanya dapat dicapai, jika manusia akrab dengan kesadarannya. Ketika tubuh dan pikiran terpisah saat kematian, kesadaran murni tampil ke depan. Jika kita lari darinya, kita akan memasuki ruang yang penuh kekacauan dan kebingungan. Jika kita sudah akrab dengannya, dan menetap dengannya, ketika kematian tiba, maka kita akan mencapai pembebasan yang sepenuhnya.
Bagaimana jika kita gagal beristirahat di dalam kesadaran, ketika kematian tiba? Cukup amati segala yang terjadi. Tetaplah sadar, sama seperti di dalam kehidupan, bahwa semua yang terjadi adalah proyeksi pikiran kita. Amati segala yang terjadi, tanpa rasa takut, dan tanpa berharap, bahwa itu akan lenyap.
Pada akhirnya, kematian adalah sebuah kesempatan. Kematian, bisa juga dibilang, adalah puncak hidup manusia. Kematian bisa menjadi saat untuk terbebas sepenuhnya dari lingkaran derita dan bahagia sementara yang terus mengikat manusia. Pemahaman soal kematian juga mengajarkan kita cara hidup yang cerdas. Kita perlu bersiap untuk menghadapi kematian dengan cerdas, sambil menata hidup disini dan sekarang ini setepat mungkin.
Beberapa Refleksi
Pertanyaan yang menggantung di seluruh tulisan ini adalah, apakah ada kehidupan setelah kematian? Jawaban dari sudut pandang Yoga sudah jelas. Kehidupan terus bergerak. Ia berubah bentuk, namun tak memiliki awal, dan tak memiliki akhir. Kiranya, ini sejalan dengan hukum kekekalan energi yang berkembang di dalam ilmu pengetahuan modern. Energi tidak bisa musnah, namun hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain.
Bagaimana kehidupan ini bergerak, atau kehidupan terus berlanjut, bahkan setelah kematian? Di dalam tradisi Yoga, gerak kehidupan setelah kematian ditentukan oleh mutu batin orang, ketika ia masih hidup, atau karmanya. Dengan mutu batin yang penuh kebencian dan kemarahan, orang akan lahir di alam yang penuh derita. Sebaliknya, dengan mutu batin yang seimbang dan tercerahkan, orang akan menemukan alam penuh bahagia. Sampai satu titik, orang mengalami pembebasan penuh, dan tidak lagi terlahir.[22]
Karma adalah kebiasaan yang dilakukan berulang, sehingga membentuk pola tertentu yang kokoh. Pola tersebut adalah memori. Tubuh kita, dan seluruh hidup kita, adalah hasil dari karma, baik karma kolektif, maupun karma pribadi. Di saat ini dan disini, orang bisa memilih tindakannya, dan menentukan kualitas batinnya. Mutu batin yang baik, disertai dengan tindakan menolong mahluk lain, akan menghasilkan karma baik. Seluruh kenyataan bergerak dengan pola ini.
Maka, kematian adalah kesalahpahaman. Ia lahir dari ketidaktahuan. Kesalahpahaman ini juga lahir dari ketakutan. Akarnya pun beragam, mulai dari mitologi tentang kematian yang disebarkan oleh berbagai agama, maupun kemalasan orang untuk memahami diri mereka yang sebenarnya. Yoga menawarkan jalan untuk sungguh memahami kematian sebagaimana adanya. Pemahaman ini akan berbuah pembebasan.
Kematian juga bisa menjadi saat pembebasan.[23] Ketika tubuh dan pikiran terpisah, kesadaran murni akan tampil ke depan. Jika orang mengenalinya, dan menetap padanya, maka pembebasan akan muncul. Namun, jika orang melewatinya, ia akan kembali terjebak pada proyeksi pikiran dan perasaan, sebagaimana ketika ia hidup. Derita akan muncul, dan pembebasan akan jauh dari genggaman. Kelahiran kembali pun tak terhindarkan.
Daftar Acuan
Hagen, S. (1998). Buddhism: Plain and Simple. Portland: Broadway Books.
Rinpoche, D. J. (2020). Living Is Dying: How to Prepare for Death, Dying and Beyond. Boulder Colorado: Shambala.
Sadhguru. (2016). Inner Engineering. New York: Random House.
Sadhguru. (2020). Death: An Inside Story. London: Penguin Press.
Sadhguru. (2021). Karma: A Yogi’s Guide to Crafting Your Destiny. New York: Harmony.
Wattimena, R. A. (2017). Perspektif: Dari Spiritualitas Hidup sampai Hubungan Antar Bangsa. Yogyakarta: Maharsa.
Wattimena, R. A. (2018). Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen dan Jalan Pembebasan. Jakarta: Karaniya.
Wattimena, R. A. (2018). Mencari Ke Dalam: Zen dan Hidup yang Meditatif. Jakarta: Karaniya.
Wattimena, R. A. (2020). Rumah Filsafat. Diambil kembali dari https://rumahfilsafat.com/2020/04/09/dekonstruksi-kematian/
Wattimena, R. A. (2020). Untuk Mereka yang Beragama: Agama dalam Pelukan Filsafat, Politik dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius.
Wattimena, R. A. (2023). Rumah Filsafat. Diambil kembali dari https://rumahfilsafat.com/2023/01/23/pertautan-antara-kematian-kesadaran-dan-pembebasan-seutuhnya/
[1] Lihat (Sadhguru, Inner Engineering, 2016)
[2] Lihat (Wattimena, Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen dan Jalan Pembebasan, 2018)
[3] Lihat (Wattimena, Mencari Ke Dalam: Zen dan Hidup yang Meditatif, 2018)
[4] Lihat (Sadhguru, Inner Engineering, 2016)
[5] Kerangka tulisan ini diperoleh dari (Sadhguru, Death: An Inside Story, 2020)
[6] Lihat (Sadhguru, Death: An Inside Story, 2020)
[7] Lihat (Wattimena, Rumah Filsafat, 2020)
[8] Lihat (Sadhguru, Death: An Inside Story, 2020)
[9] Lihat (Wattimena, Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen dan Jalan Pembebasan, 2018)
[10] Lihat (Wattimena, Untuk Mereka yang Beragama: Agama dalam Pelukan Filsafat, Politik dan Spiritualitas, 2020)
[11] Lihat (Sadhguru, Death: An Inside Story, 2020)
[12] Lihat (Wattimena, Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen dan Jalan Pembebasan, 2018) dan (Wattimena, Perspektif: Dari Spiritualitas Hidup sampai Hubungan Antar Bangsa, 2017)
[13] Lihat (Hagen, 1998)
[14] Lihat (Sadhguru, Death: An Inside Story, 2020)
[15] Lihat (Sadhguru, Inner Engineering, 2016)
[16] Lihat (Sadhguru, Inner Engineering, 2016)
[17] Lihat (Sadhguru, Death: An Inside Story, 2020)
[18] Lihat (Sadhguru, Death: An Inside Story, 2020)
[19] Bagian ini diinspirasikan dari (Rinpoche, 2020)
[20] Lihat (Rinpoche, 2020)
[21] Diambil dari tulisan penulis (Wattimena, Rumah Filsafat, 2023) dan tetap mengacu pada (Rinpoche, 2020)
[22] Lihat (Sadhguru, Karma: A Yogi’s Guide to Crafting Your Destiny, 2021)
[23] Lihat (Rinpoche, 2020)