Nirvana Zen

Nirvana-PconOleh Reza A.A Wattimena

Minggu malam, hujan tak kunjung usai. Sudah dua hari ini, Jakarta diguyur hujan. Udara dingin dan segar. Namun, rasa sedih dan kelabu bertumbuh di kalbu.

Saya sendiri terus terguyur hujan. Acara keluar tak kunjung selesai. Harapannya, sakit tak lahir di tubuh. Makanya, sepenuhnya di hari Minggu, saya beristirahat di rumah.

Saya bertualang di dunia digital. Berbagai video pendek, saya saksikan. Berbagai kutipan bermakna menjadi asupan pikiran saya. Satu tersangkut di mata.

Namanya adalah Ramana Maharshi. Ia adalah tokoh penting di dalam tradisi Advaita Vedanta. Inilah tradisi spiritual filosofis yang berkembang pesat di India dan seluruh dunia. Inti ajarannya adalah, bahwa segala yang ada adalah kesadaran yang mengambil bentuk beragam, mulai dari materi sampai dengan mahluk hidup.

Bunyi kutipan tersebut begini. “No want” is the greatest bliss. Artinya, tidak menginginkan apapun adalah kebahagiaan tertinggi. Ini kiranya sejalan dengan ajaran Gautama, bahwa keinginan, terutama yang tak wajar, adalah sumber derita hidup manusia.

Dari Mana Keinginan Muncul?

Ada dua hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, kita memiliki keinginan untuk bertahan hidup, yakni untuk makan, minum dan sebagainya. Ini bersifat alami. Kita terlahir dengan keinginan ini untuk mempertahankan keberadaan kita.

Namun, ada keinginan jenis lain. Inilah keinginan yang dibentuk oleh pasar. Ia lahir dari iklan yang kita tonton, lihat dan dengar di dalam keseharian. Keinginan semacam ini kerap berlebihan, tidak masuk akal dan membuat kita terus gelisah.

Iklan dan pasar mengajarkan kita untuk terus membeli sesuatu. Jika tidak membeli, kita dibuat merasa tidak bahagia. Kita juga dibuat merasa ketinggalan jaman. Keinginan semacam ini yang membuat kita merasa tak pernah puas, dan tak pernah bahagia. Karl Marx menyebutnya sebagai kebutuhan-kebutuhan palsu (falsche Bedürfnisse).

Dua, kita juga perlu sadar soal hakekat dari pikiran kita. Cara berpikir adalah sesuatu yang dibentuk secara sosial. Ia diciptakan lewat hubungan kita dengan orang lain, entah di dalam pendidikan, agama dan tradisi. Maka, cara berpikir kita bukanlah sesuatu yang alamiah.

Bisa juga dibilang, pola pikir kita adalah sebuah tempat sampah. Ia adalah pengulangan dari apa yang pernah kita dengar dan baca. Terjebak pada pola pikir tertentu berarti terjebak pada tempat sampah. Derita dan nestapa pun tak terhindarkan.

Privilese Semu

Keinginan kita juga tak masuk akal dalam dua hal ini. Pertama, kita ingin semua hal sejalan sesuai rencana. Kita ingin menjadi diktator atas kehidupan. Ini adalah sikap yang tak masuk akal, dan hanya akan bermuara pada konflik serta penderitaan.

Dua, kita juga selalu ingin mendapat yang terbaik. Ini juga pandangan salah. Hidup adalah perubahan terus menerus. Hal baik dan buruk terjadi bergantian, dan terkadang berbarengan.

Dua hal ini juga membuat kita selalu gelisah. Kita tak pernah merasa puas. Kita tak pernah merasa cukup. Alhasil, kita selalu gelisah, cemas dan menderita, serta membuat sekitar kita ikut menderita.

Nirvana Zen

Nirvana terdiri dari dua kata, yakni Nir dan Vana. Artinya adalah penolakan terhadap hal-hal yang sementara dan terus berubah. Penolakan ini tidak lahir dari kebencian, tetapi dari pemahaman yang mendalam soal hidup manusia. Salah satu hal yang terus berubah adalah keinginan dan pikiran manusia.

Sebelum keinginan muncul, apa yang ada? Inilah keadaan batin tanpa konsep. Kita mengalami apa yang disebut “kesadaran murni”. Inilah diri kita yang sesungguhnya.

Menjadi tanpa keinginan berarti selalu merasa cukup. Tentu saja, kita masih perlu makan, minum dan bekerja. Itu penting untuk kelangsungan hidup kita. Namun, di luar keinginan itu, kita bersikap kritis, dan tak hanyut pada keinginan-keinginan hasil ciptaan pasar dan pikiran kita.

Di dalam nirvana, kita akan selalu merasa cukup. Tak ada keinginan yang muncul. Batin tak bergerak, dan tak terpengaruh oleh keadaan-keadaan di luar yang terus berubah. Para pemikir Stoa menyebutnya sebagai ataraxia.

Nirvana adalah tempat tanpa keinginan. Kita merasa cukup dan bahagia selalu. Derita lenyap seketika. Sesungguhnya, Nirvana adalah rumah kita yang sebenarnya, yakni rumah sejati kita.

Dalam keseharian, kita terus berkegiatan. Kita bekerja. Kita berjumpa dengan orang lain, dan sebagainya. Namun, kita perlu terus kembali ke rumah, yakni keadaan batin tanpa keinginan, atau nirvana.

Di dalam nirvana, kita mengisi energi dan kebahagiaan kita. Kita tetap tenang seimbang di segala keadaan. Ini perlu dilatih seumur hidup. Siapa kamu, tanpa semua keinginan yang ada di dalam dirimu?

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.