Oleh Reza A.A Wattimena
Ketika hendak menyeberang sungai atau lautan, orang menggunakan perahu atau kapal laut. Tidak ada jalan lain. Namun ketika sudah sampai di seberang, perahu tersebut dibuang. Ia tidak dibawa lagi.
Hanya orang bodoh yang menggendong perahu di daratan. Perahu hanyalah alat bantu. Tidak lebih dan tidak kurang. Ia tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri.
Begitu pula dengan obat. Ketika sakit, saya pergi ke dokter. Saya mendapat diagnosis, sekaligus terapi untuk kesembuhan. Obat, kerap kali, adalah bagian dari terapi tersebut.
Namun, ketika sudah sembuh, saya berhenti minum obat. Obat hanyalah alat bantu. Tidak lebih, dan tidak kurang. Ia, juga, tak memiliki nilai pada dirinya sendiri.
Hanya orang bodoh yang minum obat, ketika ia sudah sembuh. Tidak hanya itu, obat bahkan bisa menjadi racun. Obat justru bisa melukai, dan bahkan membunuh manusia. Obat, apapun bentuknya, tak perlu dilekati.
Menggunakan perahu di daratan adalah sikap salah kaprah. Minum obat setelah sembuh juga sama. Keduanya adalah sebentuk overdosis, yakni sikap berlebihan pada hal-hal yang membawa kebaikan. Akhirnya, hal-hal baik tersebut justru menjadi racun.
Overdosis Religi dan Sains
Di dunia sekarang ini, kita mengalami overdosis multidimensi. Pertama, kita, terutama di Indonesia, mengalami overdosis religi. Agama, sejatinya, adalah jalan menuju Tuhan. Yang terjadi, agama kini menjadi tuhan.
Orang beribadah dengan merusak ketenangan hidup bersama. Perempuan dipenjara dari ujung kepala sampai ujung kaki. Budaya nenek moyang yang luhur dan agung dibuang jauh-jauh. Akhirnya, kehidupan berbangsa menjadi tertutup dan terbelakang.
Kita pun tetap menjadi bangsa yang bodoh dan miskin. Karena bodoh, kita terus ditipu oleh bangsa lain. Uang kita diperas untuk hal-hal yang tak masuk akal. Kekayaan alam kita dicuri secara terbuka, tanpa ada perlawanan.
Dua, di belahan dunia lain, manusia mengalami overdosis sains. Sains adalah alat untuk membantu kehidupan. Yang terjadi kini adalah sebaliknya. Sains justru merusak alam, dan menjadikan manusia menjadi obyeknya.
Alam diperas untuk energi, tanpa ada kontrol yang masuk akal. Manusia menjadi obyek pasif dari berbagai penelitian ilmiah. Dengan pola pikir serupa, manusia kini hendak pergi ke Mars. Disanapun, ia akan menjadi kanker perusak alam dengan segala kecanggihan teknologi yang ada.
Tiga, kita mengalami overdosis kuasa. Orang mengejar kekuasaan dengan membabi buta. Agama dan politik pun dipermainkan demi memperoleh kekuasaan. Manusia diperbudak oleh hasratnya untuk berkuasa.
Kekuasaan, sebenarnya, bisa digunakan untuk tujuan-tujuan baik. Syaratnya, orang tidak boleh diperbudak olehnya. Ketika kekuasaan menjadi tujuan utama, bahkan menjadi tuhan, petaka adalah akibatnya. Ia menjadi racun yang merusak jiwa, dan menghancurkan kebaikan bersama.
Paradoks Hal-hal Baik
Lebih dari 2000 tahun yang lalu, Aristoteles sudah mengingatkan kita. Segala yang berlebihan akan membawa petaka. Hal-hal baik pun, jika berlebihan, akan membawa masalah. Itulah yang terjadi pada manusia sekarang ini.
Ketika berlebihan, agama menjadi racun. Ketika berlebihan, sains merusak kehidupan. Ketika berlebihan, kekuasaan mendatangkan petaka untuk semua. Inilah paradoks dari hal-hal baik.
Kita mengalami overdosis multidimensi. Kita harus sungguh sadar akan hal ini. Kesadaran akan melepaskan kita dari kelekatan. Hanya itulah kunci untuk mencapai kebebasan… dan kebahagiaan.
*****
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/