Oleh Eduardus Lemanto, Kandidat Doktoral di Department of Social Philosophy of People’s Friendship University of Russia, Moskwa
“Ecrasez l’infame: Ganyang barang brengsek itu!” Itu kata Voltaire (Perancis, 1694-1778). Barang brengsek itu adalah fanatisme agama dan dogma-dogmanya. Sasaran umpatan Voltaire itu adalah pertikaian antara Protestan vs Katolik eranya. Voltaire muak atas pertikaian keduanya yang disebabkan oleh “cinta monyet dan cinta buta” antara politik dan agama di Perancis. Mengapa?
Ada yang bilang, cara gampang meluluhlantakkan negara besar plural tak perlu dengan rudal-rudal raksasa atau senjata pemusnah massal. Cukuplah dengan membunuh ideologi negaranya. Ia pasti hancur berkeping-keping. Jalannya? Semailah sebanyak mungkin ideologi eksklusif-religius. Lebih lengkap lagi jika politiknya menunggangi ideologi eksklusif-religius itu. Sederetan perilaku beringas pasti segera muncul.
Johan Vetlelsen, dalam Evil and Human Agency, bilang: mengendarai ideologi rasial (termasuk religius) untuk kepentingan politik atau menunggangi politik untuk kepentingan ideologi rasial pasti memproduksi peristiwa-peristiwa keji. Indonesia cermat mendeteksi penyakit itu. Namun sangat lamban dan bahkan ragu menghancurkannya, sebab kalkulasi politik mendominasi. “Hama-hama negara” berwujud ormas-ormas bermantel agama itu jelas di depan mata, bahkan dengan pemaksaan ideologi alternatif mereka.
Segerakah bangsa ini menghembuskan nafas terakhir? Ada banyak laboratorium politik di dunia yang berhasil melakukan uji coba pemanfaatan politik rasial berujung pembunuhan massal, genosida, dan peperangan yang tak berujung.
Desain politik Indonesia makin ke arah politik rasial itu. Soalnya bukan pada keberagaman agama sendiri, tetapi pada watak trilogis agama: infalibel, absolutis, dan otoriter. Agama merasa diri tak dapat bersalah (infalibilisme), sehingga ia merasa lebih berkuasa (absolutisme), dan karenanya merasa boleh melakukan pemaksaaan (otoritarianisme). Ketiga sifat itu beresiko tinggi jika dipakai sebagai lokomotif politik.
Jika kita terus nekat memakainya, maka peluangnya hanya dua: perang semua melawan semua yang memakan jutaaan korban atau perpecahan negara berkeping-keping. Sebab, hanya ada jalan tunggal dalam prosesnya memenangkan kontestasi yakni justifikasi diri: kami benar, kalian salah; parpol kami malaikat, kalian setan; kubu kami halal, kalian haram, dan seterusnya.
Coba bayangkan jika semua agama melakukan hal yang sama. Kita tidak mengharapkan perpecahan itu menimpa Indonesia. Namun, derajat kefatalannya sungguh luar biasa. Ke mana exit-nya? Berhentilah berbasa-basi! Komunikasi sudah tak mujarab! Hanya hukum dan hukuman yang super ketat dan lugas bisa menghabisinya. Waktu kita tak banyak lagi. Bisa dibilang terlambat, namun peluang penyehatan negeri masih ada. Sekarang, bukan nanti!
Religus memahami dunia.
Diriku tidak paham politik atas.
Oleh sebab itu religus diatas politik.
SukaSuka
Belajar politik. Belajar filsafat.
SukaSuka