Oleh Dhimas Anugrah
Pada Perang Dunia II, ribuan orang Yahudi dari Lithuania dan Polandia berlomba keluar dari Eropa Timur.
Waktu itu perang sedang memanas. Adolf Hitler makin menggila. Tanpa visa, perjalanan ke luar negeri bisa sangat berbahaya.
Apa lagi, pada Juni 1940 Italia ikut terlibat dalam perang dan rute laut Mediterania ditutup.
Para pengungsi terpaksa mencari jalan keluar baru untuk mencari selamat: melintasi Eropa Timur dan Asia (melalui kereta api trans-Siberia) ke Vladivostok, kemudian ke Jepang.
Dari Jepang para pengungsi akan berangkat dengan tujuan ke belahan bumi bagian barat.
Masalahnya, waktu itu sulit sekali menemukan negara yang mau mengeluarkan visa bagi orang Yahudi.
Padahal jumlah mereka tidak sedikit.
Menurut Ellen Cassedy dalam makalah “We Are Here: Facing History In Lithuania” di Bridges: A Jewish Feminist Journal 12, no. 2 (2007), pada saat di ambang perang, jumlah orang Yahudi merupakan sepertiga dari penduduk perkotaan Lituania.
Orang Yahudi yang banyak ini kebingungan dan hampir putus asa. Mereka tidak tahu bisa apply visa ke negara mana.
Coba bayangkan sejenak:
Bagaimana jika Anda berada dalam posisi itu? Ketika Anda dan suku Anda dikejar-kejar rezim berkuasa untuk dibawa ke kamp dan akhirnya dihabisi secara biadab?
Ngga kebayang kan?
Baik, mari lanjut lagi.
Di tengah realitas yang gelap itu untungnya, ada secercah harapan.
Para pengungsi ini mendengar ada kesempatan mendapatkan visa di Konsulat Jepang di Kaunas, Lithuania. Sejurus itu, banyak sekali pengungsi Yahudi ini yang bergegas ke sana.
Mereka berjuang mendapatkan visa ke Negeri Sakura, dengan hati berdoa agar Konsulat Jepang berbelas kasih mengabulkan visa mereka.
Konsul Jepang di Lithuania waktu itu adalah Chiune Sugihara.
Visa bagi Kehidupan
Menurut Laporan Tahunan 1940 dan 1941 oleh American Jewish Joint Distribution Committee (JDC), pengungsi Yahudi Eropa mulai tiba di Jepang pada Juli 1940.
Perjuangan mereka untuk bisa selamat tiba di Negeri Sakura tidaklah mudah.
Itu waktu, Pemerintah Jepang mewajibkan bhawa visa hanya diberikan kepada mereka yang telah melalui prosedur imigrasi yang ketat dan punya uang cukup untuk bepergian ke luar negeri.
Sebagian besar pengungsi tidak memenuhi persyaratan ini.
Mereka bahkan hampir-hampir tidak memiliki bekal cukup untuk melarikan diri ke luar negeri karena telah meninggalkan harta benda mereka di rumah yang akan segera dikuasai oleh pasukan Nazi.
Tuan Sugihara adalah diplomat ulung yang disiplin. Ia dengan patuh menghubungi Kementerian Luar Negeri Jepang sebanyak tiga kali untuk meminta instruksi terkait situasi para pengungsi Yahudi yang datang ke konsulatnya.
Situasi menjadi rumit karena Kementerian Luar Negeri menetapkan kebijakan bahwa siapa pun yang diberikan visa Jepang harus memiliki visa ke tujuan negera lain juga agar nanti bisa segera ke luar dari Negeri Matahari Terbit itu, tanpa pengecualian.
Tuan Sugihara melihat syarat ini mustahil bagi para pengungsi yang hampir tanpa harapan itu.
Menyadari bahwa para pemohon visa Jepang itu ada dalam bahaya jika mereka tetap tinggal lebih lama di Lithuania, Tuan Sugihara memutuskan untuk mengabaikan perintah Kementeriannya.
Dari 18 Juli hingga 28 Agustus 1940, atas inisiatifnya ia menerbitkan visa transit sepuluh hari bagi para pengungsi Yahudi untuk pergi ke Jepang.
Keputusan Tuan Sugihara adalah tindakan pembangkangan birokratis yang hampir tidak pernah dilakukan oleh para pejabat Jepang.
Ia berbicara dengan pejabat Soviet agar membiarkan orang-orang Yahudi melakukan perjalanan melalui negara itu melalui Kereta Api Trans-Siberia, meski harganya lebih mahal dari harga tiket standar.
Tuan Sugihara sendiri yang menulis visa itu, tampaknya dibantu para bawahannya yang setia.
Dilaporkan, ia sendiri menghabiskan 18 hingga 20 jam sehari untuk menulis visa bagi para pengungsi yang malang itu.
Konsulat Jepang di Lithuania saat itu dalam sehari menghasilkan visa yang jumlahnya setara satu bulan dalam keadaan normal. Tuan Sugihara menerbitkan visa setiap hari hingga 4 September, ketika ia harus meninggalkan jabatannya sebelum konsulat ditutup.
Dalam perang yang mencekam itu, ia telah memberikan ribuan visa kepada orang Yahudi. Banyak dari mereka adalah kepala rumah tangga dan dengan demikian diizinkan untuk membawa serta keluarga mereka.
Menurut saksi, Tuan Sugihara masih menulis visa saat transit di hotel hingga waktu naik kereta api di Stasiun Kereta Kaunas.
Tuan Sugihara sempat berkata kepada para pengungsi itu, “Maafkan saya. Saya tidak bisa menulis lagi. Saya berdoa yang terbaik untuk kalian.”
Selayaknya budaya Jepang, ia membungkuk dalam-dalam kepada orang-orang di depannya, sebagai tanda hormat yang tinggi. Ketika itu salah seorang pengungsi berteriak, “Tuan Sugihara, kami tidak akan pernah melupakanmu. Kami pasti akan melihatmu lagi!” Seperti ditulis Yukiko Sugihara dalam Visas for life (Edu-Comm Plus: 1995).
Sesudah di dalam kereta api, ia tetap melemparkan visa ke kerumunan pengungsi yang putus asa itu melalui jendela, bahkan saat kereta api mulai berjalan Konsul Jepang itu masih tetap melemparkan visa-visa itu lewat jendela sebisa yang ia mampu lemparkan.
Dalam menit-menit terakhir itu, banyak sekali lembaran kertas kosong dengan tanda segel Konsulat dan tanda tangan Sang Konsul (yang nantinya bisa ditulis menjadi visa) dengan tergesa-gesa disiapkan, dan cepat-cepat dilempar ke luar kepada para pengungsi melalui jendela kereta.
Menurut kabar yang berembus, sebelum Tuan Sugihara pergi, ia menyerahkan stempel resmi Konsulat kepada seorang pengungsi agar lebih banyak visa yang bisa dipalsukan. Seperti yang ditulis oleh David Wolpe dalam “The Japanese Man Who Saved 6,000 Jews With His Handwriting.” New York Times. 15 October 2018.
Meski kabar ini dibantah oleh putranya, Nobuki Sugihara melalui wawancara dengan Ann Curry, bahwa papanya tidak pernah memberikan stempel resmi Konsulat itu kepada siapa pun (Interview with Ann Curry on May 22, 2019 at the Museum of Jewish Heritage in NYC).
Tuan Sugihara sendiri tidak tahu pasti akan seperti apa sikap resmi pemerintahnya terkait ribuan visa yang dikeluarkannya bagi para pengungsi Yahudi itu.
Bertahun-tahun kemudian, ia mengenang, “Tidak ada yang pernah mempertanyakan apa-apa tentang itu. Saya kira pemerintah mungkin tidak menyadari berapa banyak yang sebenarnya saya keluarkan.”
Mengenang Orang Benar dari Antara Bangsa-bangsa
Chiune Sugihara adalah salah seorang tokoh kemanusiaan yang masyhur di dunia.
Ia lahir dari pasangan Yoshimi Sugihara dan Yatsu Sugihara, di Mino, prefektur Gifu, Jepang, pada 1 Januari 1900, setahun lebih dulu dari Soekarno yang kelak menjadi Presiden pertama Republik Indonesia.
Ketika ia lahir keluarganya tinggal di kuil Buddha yang mereka pinjam. Ketika masuk Universitas Waseda pada tahun 1918 dan mengambil jurusan bahasa Inggris, ia bergabung di Yuai Gakusha, sebuah komunitas Kristiani yang didirikan oleh Pendeta Gereja Baptis bernama Harry Baxter Benninhof, untuk meningkatkan kefasihan bahasa Inggrisnya.
Ia merintis karir jadi diplomat. Namun, suatu ketika ia melepaskan jabatannya sebagai Wakil Menteri Luar Negeri di Manchuria sebagai protes atas perlakuan yang buruk oleh tentara Jepang terhadap rakyat Tiongkok setempat.
Ketika tinggal di kota Harbin, Tiongkok, ia percaya kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya, lalu dibaptis dan menjadi anggota Gereja Kristen Ortodoks. Ia memilih nama baptis Sergei Pavlovich, seperti ditulis Hillel Levine pada In Search of Sugihara: The Elusive Japanese Diplomat Who Risked his Life to Rescue 10,000 Jews From the Holocaust (4 November 1996).
Pada tahun 1985, Negara Israel memberi penghargaan Tuan Sugihara sebagai “Righteous between the Nations” (Orang Benar di Antara Bangsa-bangsa) atas tindakannya memberi ribuan visa pada ribuan pengungsi Yahudi yang malang itu.
Dia adalah satu-satunya warga negara Jepang yang mendapat kehormatan itu.
Beberapa koran Jepang mewartakan bahwa Tuan Sughihara menyelamatkan 6.000 orang. Seperti The Japan Times (19 Januari 1985) yang memberi tajuk utamanya: “Pria Jepang yang Dihormati karena Menyelamatkan 6.000 Orang Yahudi.”
Koran itu juga melaporkan “Sugihara menentang perintah dari Tokyo dan mengeluarkan visa transit untuk hampir 6.000 orang Yahudi.”
Surat kabar AS menyebut Sugihara sebagai “Seorang diplomat yang menentang perintah pemerintahnya dan mengeluarkan visa transit untuk 6.000 orang Yahudi.”
Tahun 2020 adalah “Tahun Chiune Sugihara” di Lituania.
Diperkirakan sebanyak 100.000 orang yang hidup saat ini adalah keturunan dari penerima visa Tuan Sugihara, seperti yang ditulis Cnaan Liphshiz “Holocaust hero Chiune Sugihara’s son sets record straight on his father’s story (23 May 2019).
Pada tahun 1985 ia ditanya alasannya mengapa mengeluarkan visa untuk para pengungsi Yahudi. Ada dua alasan, Tuan Sugihara menjelaskan, bahwa “para pengungsi adalah manusia,” (the refugees were human beings) dan “mereka hanya membutuhkan pertolongan” (they simply needed help).
Tuan Sugihara adalah salah satu contoh nyata manusia yang memanusiakan manusia lainnya. Baginya, tidak ada manusia yang layak diperlakukan biadab, siapa pun dia dan dari etnis apa pun dia berasal. Bagaimana dengan Anda?
Bukti bahwa jika nilai-nilai Kekristenan di terapkan dalam setiap aspek kehidupan, maka hasilnya sungguh luar biasa.
SukaSuka
Salut
SukaSuka
Wah mengharukan, ini menimbulkan pertanyaan mengapa begitu banyak umat habis yg berpindah jadi orthodox?
SukaSuka
Banyak nilai lainnya yang juga berharga… bahkan lebih mendalam…
SukaSuka
Saya tidak tahu
SukaSuka