Oleh Reza A.A Wattimena
Terjadi lagi, institusi agama terlibat dalam pemerkosaan. Sudah berulang kali, hal ini terjadi. Perempuan-perempuan muda menjadi korban pemuka agama bernafsu besar, namun nurani serta akal sehat yang sudah lenyap. Banyak orang tua tertipu, sampai akhirnya terlambat, karena anaknya sudah hamil diperkosa oleh pemuka agama yang ia percaya. Dalam hati saya bertanya, sampai kapan kita mau sungguh belajar?
Kejadian ini tidak hanya melibatkan satu agama. Ada agama lain, dengan rumpun serupa, melakukannya selama puluhan tahun. Korbannya mayoritas adalah anak-anak kecil pria yang menjadi calon pemuka agama. Namun, karena dukungan uang dan kelicikan, kasus itu terpendam dalam di Indonesia.
Agama pun tidak lagi menjadi penerang kehidupan. Agama menjadi alat untuk membenarkan pemerkosaan. Agama menjadi alat untuk menutupi kemunafikan dan tindakan melanggar hukum, termasuk menebar bom kepada orang-orang tak bersalah. Agama telah membusuk dan berkarat dari dalam, serta berubah menjadi agama kematian yang merusak.
Apa yang ada di otak para pemuka agama itu, ketika mereka memperkosa manusia-manusia kecil tak berdaya ini? Apakah kumpulan kutipan ayat jadi pembenaran nafsu syahwat yang berkobar? Pertanyaan ini terikat dengan epistemologi agama pemerkosa. Ada lima hal yang perlu diperhatikan.
Agama Pemerkosa
Pertama, agama pemerkosa melihat perempuan sebagai benda mati yang hadir untuk kepuasan mereka. Inilah agama-agama yang merendahkan perempuan. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, perempuan dijajah dan diperbudak. Tak heran, perempuan pun menjadi alat pemuas nafsu belaka, tak lebih dan tak kurang.
Dua, ini terkait dengan soal kekuasaan. Karena berkedok agama, orang pun memiliki kekuasaan. Ia dipercaya oleh masyarakat. Namun, ini semua tipuan.
Kepercayaan buta amat mudah dipelintir untuk kejahatan. Orang pasrah di hadapan jubah agama yang penuh dengan kemunafikan. Agama pun menjadi alat untuk memperbodoh dan memanfaatkan orang lain, terutama perempuan. Di abad 21, agama semacam ini sebaiknya dimusnahkan dari muka bumi.
Tiga, pemuka agama pemerkosa kerap dibiarkan melanggar hukum. Mereka cenderung diabaikan, ketika melanggar aturan. Akhirnya, mereka merasa kebal hukum. Negara dan penegak hukum bertanggung jawab atas terjadinya hal ini.
Karena merasa kebal hukum, mereka menjadi sombong. Mereka bertindak seenaknya, termasuk memperkosa perempuan dan laki-laki yang seharusnya mereka bimbing. Mereka merasa menjadi Tuhan. Inilah yang membuat agama membusuk, dan akhirnya hancur dari dalam.
Empat, agama pemerkosa adalah agama tanpa isi. Tidak ada ajaran kebijaksanaan di dalamnya. Yang ada hanyalah himbauan moral, serta janji palsu surga, maupun hukuman palsu neraka. Inilah agama tanpa substansi, tanpa kedalaman.
Tak heran, agama tersebut penuh kedangkalan dan ketakutan. Para ilmuwan gemar menggempurnya. Mereka melihat agama semacam itu sebagai tahayul yang tak berguna. Di abad 21, agama tahayul sudah selayaknya lenyap dari muka bumi.
Hasrat ditekan dengan ancaman palsu. Nafsu disangkal di ruang publik. Akhirnya, masyarakat hidup dalam kemunafikan. Korupsi dan pemerkosaan terjadi berbarengan dengan menjamurnya rumah ibadah yang merusak kedamaian masyarakat.
Karena hasrat ditekan, ia meledak di ruang-ruang privat. Pemerkosaan dan kemunafikan adalah buahnya. Inilah agama yang tanpa isi, tanpa kebijaksanaan. Indonesia harus bangkit, dan membuang jauh-jauh agama ini kembali ke tanah asalnya yang gersang dan kejam.
Lima, epistemologi agama pemerkosa adalah epistemologi agama kematian. Inilah agama yang merusak kehidupan. Ia menghancurkan keindahan budaya, menindas serta memperkosa perempuan dari ujung kepala sampai ujung kaki, menebar bom dan ibadahnya merusak kedamaian hidup bersama. Sejujurnya, ia tak punya hak hidup di dalam masyarakat yang beradab.
Sudah Saatnya Bangun
Kita harus belajar sungguh dari semua tragedi ini. Hak-hak perempuan harus dikembalikan ke dalam agama dan budaya. Pemikiran kritis, terutama filsafat, harus menjadi bagian pendidikan dan keseharian bangsa Indonesia. Penegakan hukum harus tegas, tanpa kompromi dengan agama kematian, maupun berbagai pelanggaran lainnya.
Lebih dari itu, kita harus bergerak melampaui agama. Kita harus masuk ke ranah spiritualitas. Di ranah ini, hasrat terkendali di dalam kebijaksanaan. Kebahagiaan sejati, dan cinta kasih kepada semua mahluk, pun terjadi secara alami.
Agama-agama nusantara sangat dekat dengan spiritualitas. Seluruh Indonesia harus kembali ke akarnya, yakni agama-agama nusantara yang luhur, dan dipadu dengan sikap kritis yang dikembangkan oleh filsafat. Sudah terlalu lama kita menjadi miskin dan bodoh oleh terkaman agama kematian yang merusak. Apakah pemerkosaan anak-anak kita tercinta tidak cukup membangunkan kita dari kebodohan?
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/
Saya setuju dengan pemikiran yg kritis dan logis ini, karena iman harus ditopang juga dgn akal budi yg sehat. Boleh kah saya minta email pribadi Pak Reza utk diskusi privat? Terimakasih
SukaSuka
Saya setuju dengan pemikiran yang kritis ini, karena iman harus ditopang juga dgn akal budi yg sehat.
SukaSuka
haloo… terima kasih. reza.antonius@gmail.com
SukaSuka
setuju dengan pemikiran tsb diatas. “agama nusantara” perlu di rawat dengan baik2.
thema diatas mengingat kan kita, bahwa ke jahatan agama terjadi dimanapun saja, agama / sekte apapun dan bahkan sejak beratus2 tahun di lakukan tanpa konsequent. umat selalu di perbodoh.
di negara2 barat pun persoalan kejahatan / zinah dalam agama , yg terungkap sejak puluhan tahun, sedang di proses sampai detik inipun belum tuntas, belum lagi pemuka2 yg menghalang proses menyelesaian nya.
tidak mengherankan kaum umat di negara barat dgn pengetahuan umum, yg melepaskan kepercayaan dan mencari jalan spiritual.
hanya sayang nya umat “negara berkembang” menginterpretasi mundurnya minat ke agama, dengan alasan
“kemajuan technik”, yg sebetul nya tidak masuk akal.
salah2 semua tragedi kejahatan dan di manapun juga tidak lain , adalah ajaran dan pecutan utk kita sendiri dalam “mencari kaca mata yg sebetul nya sudah kita pakai sepanjang hidup”.
kita balik lagi ketitik asal “lingkaran”, apa kah ini yg dimaksud ??????
hidup kini dari saat ke saat,penuh kesadaran dan kekosongan, bahkan tidak ada luang utk “kertas print”(????)….ha ha ha…
terima kasih dan salam hangat !!
menikmati kopi seteguk demi seteguk , bukannya seluruh mahluk dan alam memanja kita , semua dalam kopi ?? haha
SukaSuka
Tulisan yang luar biasa bersama tawaran yang menarik untuk memberikan ruang kepada spiritualitas dan kembali kepada agama nusantara yang luhur. Jubah yang dikenakan tokoh agama kadang bisa menjadi tameng yang kuat untuk menjaga raga yang penuh dengan nafsu dengan dalih masih manusiawi. Ia dapat dengan bebas berkeliaran dengan membawa nama agama. Sebagian orang (awam) takut untuk bersuara ketika menyaksikan perlakuan para tokoh agama yang bertindak tanpa dosa ketika mampu menghancurkan raga dan masa depan perempuan muda. Budaya yang mengagung-agungkan tokoh agama kadang juga menjadi penghalang bagi sebagian orang bersuara dengan lantang. Selain itu, melihat perempuan sebagai yang salah (penggoda) turut menyelamatkan para penjahat dari tindakan yang dilakukan. Budaya yang masih memandang perempuan dengan kaca mata seperti ini perlu diubah sehingga dapat memberikan efek kepada tokoh agama yang menggunakan keliru dalam menggunakan kapital ia miliki.
SukaSuka
sepakat dengan tulisan bapak menjalankan agama dgn benar harus dibarengi spiritualitas atau klaw dalm islam dikenal dengan iman yang teguh
SukaSuka
Agama itu berfungsi untuk
1. Menghidupkan nurani
2. Mengendalikan hawa nafsu
3. Mengingatkan akan ada kehidupan lain.
Jika 3 fungsi ini gagal maka percuma manusia beragama.
SukaSuka
Saya sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat Tulisan ini saya menjadi sadar bahwa perlunya refleksi lebih dalam lagi untuk mengilhami agama dengan sebenar benarnya.
Tapi mohon izin Pak Reza, ada beberapa point yang bisa saya tanggapi :
1. Pengilhaman sebuah Agama yang dijadikan dasar hidup seseorang itu pasti punya kadar masing – masing.
Saya tidak memungkiri, bahwa ada bahkan banyak saudara saya yang menjadikan agama hanya sebagai kedok untuk pembenaran nafsunya. Tetapi meskipun demikian ada juga beberapa pengilhaman agama menjadikan seseorang itu memiliki karakter diri yang lebih baik dari sebelumnya.
2. Simpulan saya mungkin sedikit berbeda dari refleksi tentang ini, Yang seharusnya di koreksi adalah konsep konsep di dalam agama yang salah itu sendiri yang harus di buang, bukan dengan membuang konsep agama secara keseluruhan.
3. Konsep pemikiran, pengilhaman agama, ataupun refleksi filosofis akan terasa tidak berguna bagi mereka yang memang tidak dengan sadar menerapkan itu dengan bijak.
Sesempurna apapun konsep yang ada di pikiran akan sia sia jika penerapan di kehidupan nyatanya nihil.
Salam.
Gus Sohe
SukaSuka
Salam. Terima kasih. Indonesia memang sedang mengalami krisis nalar. Ini tampak jelas di dalam hidup beragama, terutama di Jakarta. Kita sedang dalam pertaruhan, apakah akan terjebak di abad kegelapan, atau memasuki abad pencerahan.
SukaSuka
Begitulah yang terjadi. Terima kasih sudah berbagi
SukaSuka
Iman tidak diperlukan. Yang diperlukan adalah akal sehat dan nurani yang jernih.
SukaSuka
Sepakat. Terima kasih
SukaSuka
Terima kasih. Saya juga tadinya berharap begitu. Namun, melihat perkembangannya, tampaknya sangat sulit. Di dalam ajaran agama, sudah ada penumpulan akal sehat dan nurani. Ini yang membuat begitu banyak kejahatan terjadi.
SukaSuka